OPINI & RESENSI
Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
Kalau kita perhatikan dengan seksama, ada perbaikan kuantitas menulis dari para penulis Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, bagaimanapun layak mendapatkan apresiasi. Perjuangan keras dan panjang para aktivis HAM, membuahkan hasil yang kita semua dapat memetiknya lalu menikmatinya. Tak terbayang bagaimana sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, yang dihargai, dihormati bahkan dipuja di negeri orang, tapi diburu, dipenjara, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di negeri sendiri. Itu semua adalah harga mahal atas apa yang dapat kita nikmati hari ini. Kita barangkali beruntung karena terlahir pada era dimana menulis apapun, dimanapun, dan kapanpun sudah tidak menjadi persoalan. Namun disadari atau tidak, kondisi itu berdampak simetris dengan kualitas tulisan yang kita buat.
Dalam tulisannya di Memori Bung Hatta, Bung Hatta menjelaskan tentang keheranan pelajar luar negeri melihat pelajar Indonesia yang dengan usia begitu muda namun sudah dibebani dengan perjuangan meraih kemerdekaan, memikirkan apa yang belum dipikirkan oleh pemuda di usianya. Kata Bung Hatta, “penindasan dan pemiskinan terhadap rakyat Indonesia, adalah alasan mereka lebih cepat dewasa dari yang semestinya”. Barang kali itu relevan dengan apa yang di rasakan oleh penulis-penulis pendahulu kita, sebut saja Pramoedya, Rendra, dan Buya Hamka, yang hidup dalam kekangan kebebasan sehingga apa yang mereka tuliskan merefleksikan penderitaan yang benar-benar mereka rasakan sendiri, lihat sendiri, atau dengar sendiri. Membaca tulisan Pramoedya mengantarkan kita seolah merasakan sendiri sakitnya hidup jaman penjajahan dan jaman penindasan. Lebih dari itu, juga membangun kesadaran kita atas kemanusiaan, keadilan, kebenaran, juga ke-Indonesiaan.
Apa yang kita dapatkan dari tulisan Pram, hampir tak dapat kita rasakan lagi dari tulisan-tulisan masa kini. Tulisan hari ini lebih merefleksikan keinginan dari seorang pengarang. Terlebih yang paling memilukan dan memalukan adalah munculnya banyak sekali penulis bayaran yang rela menuliskan apa saja asal seimbang dengan bayarannya. Hal ini dilakukan dengan berbagai modus, bisa dengan mengupah seorang penulis agar menuliskan landasan ilmiah sesuai dengan pesanan, atau bisa juga dengan mengupah orang lain menulis sesuatu atas nama si pemberi upah. Keduanya sama-sama mengencingi etika sebagai seorang penulis.
Rendah Keberpihakan
Kita tengah berada pada masyarakat yang sedang berjuang mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, oleh karena itu, rasanya telah jelas kepada siapa keberpihakan harus ditujukan. Ya, kita berpihak pada orang-orang yang tertindas dalam kemiskinan, yang terbuang dalam persaingan, yang kalah dalam permodalan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hak atas republik ini, hak tidak saja atas untuk hidup di atasnya namun juga hak untuk menikmati kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sejak semula kita sudah memaknai bahwa demokrasi tidak hanya mengikatkan akarnya dalam bidang politik, tapi juga mengakar pada aspek ekonomi. Hak memilih pemimpin, tidak memiliki arti apa-apa jika kemudian setelahnya rakyat dibiarkan terjebak dalam jurang persaingan yang memiskinkan.
Oleh karena itu, pada aspek filosofis, menulis adalah mengabdi pada kemanusiaan dengan makna membebaskan manusia dari penindasan, memerdekakan manusia dari perbudakan hingga pada akhirnya mengeluarkan manusia dari kubangan kemiskinan. Logika ini telah dengan sangat indah dicantumkan dalam nilai yang terkandung pada Pancasila sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak diturunkan dari langit, ia harus diperjuangkan. Oleh karenanya, menulis adalah cara yang paling bernas untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan. Menusia bisa saja mati, tapi karyanya adalah kenangan sepanjang masa.
Model pemidanaan yang terfokus pada pemberatan hukuman terhadap pelaku dengan tujuan agar menimbulkan efek jera adalah model lama yang sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan negara-negara modern. Kini, telah terjadi merit sistem terhadap teori pemidaan melalui infiltrasi keilmuan lain semisal antropologi, sosiologi, psikologi, dan khususnya Hak Asasi Manusia (HAM). Yang terakhir merupakan diskursus yang paling banyak dibicarakan, yaitu perkawinan antara pemidanaan dengan hak asasi manusia. Wacana ini, layak untuk diangkat di Indonesia saat ini karena momentum perubahan UU Terorisme tengah gencar dibicarakan.
Kita semua setuju bahwa teroris dengan alasan apapun adalah kejahatan yang harus ditindak tegas, selain meresahkan masyarakat juga membahayakan keutuhan negara, karena biasanya tindakan teror bermuatan politik. Bela sungkawa yang mendalam senantiasa kita sematkan kepada keluarga korban terorisme yang ditingkalkan oleh anggota keluarga mereka. Namun demikian, tidak berarti kita dapat memperlakukan pelaku teror secara tidak adil dan beradab melanggar hak asasi manusia yang mereka miliki. Sebagai negara hukum yang berlandaskan kepada Pancasila, kita memiliki pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dengan alasan apapun, tindakan yang mengenyampingkan hukum dan Pancasila tidak dapat dibenarkan. Kemanusiaan yang adil dan beradab, setidaknya menjadi cermin bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusia secara adil dan beradab.
Rencana perubahan UU terorisme menginginkan agar peran kepolisian dalam menindak pelaku teror diperkuat, baik dalam aspek penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan berbagai aspek penindakan lainnya. Kebijakan ini nampak progresif dan sah-sah saja jika dilihat hanya dari kerangka normatifnya saja. Namun jika diperhatikan lebih jauh, berangkat dari historis penanganan korupsi di Indonesia hingga implikasi penguatan peran kepolisian, barangkali rencana itu patut kita soroti terlebih dahulu.
Kita sepakat bahwa pelaku teror harus dihukum seberat-beratnya, namun harus dengan proses peradilan yang adil, bersih, dan jujur. Namun selama ini fakta menunjukkan kerapkali polisi menindak di tempat orang yang baru diduga sebagai teroris. Tidak tanggung-tanggung, tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian adalah menembak ditempat, akibatnya mayoritas upaya penangkapan terduga teroris selalu berujung kematian. Padahal statusnya baru sebagai terduga teroris, ironinya kriteria penetapan seseorang sebagai terduga teroris tidak jelas, hanya berdasarkan informasi dari Intelejen negara yang sangat mungkin terjadi kesalahan.
Kesigapan Densus 88 dalam mendeteksi jaringan teror di Indonesia patut kita apresiasi, namun kita juga menyesalkan penanangan terduga teroris selama ini oleh kepolisian kerap memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Sebagai upaya terakhir, penembakan tentu dibenarkan namun tidak dalam rangka menghilangkan nyawa orang lain. Densus 88 tentu lebih mengerti dimana harus mengarahkan peluru jika hanya sekedar untuk melumpuhkan atau mematikan sasaran. Pandangan kita tentu sama bahwa tindakan mereka adalah tindakan kejahatan yang membahayakan negara sekaligus warga negara, namun keberadaan mereka sebagai manusia tidaklah dapat diperlakukan secara tidak beradab dan tidak berkemanusiaan.
Oleh karena itu, arah perubahan UU terorisme harus memperhatikan aspek kemanusiaan para terduga teroris bahkan pelaku teroris. Jangan sampai dendam kita terhadap pelaku teror menjadi kita bertindak diluar nalar dan logika hukum serta Pancasila. Nilai-nilai kemanusiaan harus senantiasa kita tempatkan secara proporsional secara adil dan beradab. Di luar itu, penguatan upaya preventif juga harus diakomodir dalam UU terorisme. Harus kita pahami bersama bahwa mereka tidak pernah mengakui bahwa tindakan teror yang mereka lakukan adalah kejahatan, justru sebaliknya mereka beranggapan yang mereka lakukan adalah perintah agama yang suci. Karenanya, perlakuan tidak manusiawi hanya akan semakin menyulut kemarahan dan kebencian mereka sehingga memancing tindakan teror lain. Masalah terorisme adalah masalah yang bermula dari doktrin, olehkarenanya juga harus dilawan dengan doktrin, tidak cukup hanya tindakan represif.
Teroris menjadi masalah bersama semua negara di dunia termasuk Indonesia, tidak melihat apakah negara maju, berkembang, bahkan tertinggal sekalipun, tak ada yang luput dari ancaman terorisme. Bom bunuh diri yang terjadi di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur beberapa waktu lalu (24/5) seolah menjadi tanda bahwa masalah terorisme masih menjadi ancaman utama di negeri ini. Pelaku teror masih berkeliaran dimana-mana, bahkan kota besar sekelas Jakarta sekalipun. Seruan presiden Jokowi terhadap para pelaku teror bahwa “kami tidak takut masti”, tentu berdampak positif terhadap psikologi masyarakat Indonesia, namun itu sama sekali tidak cukup untuk menyelesaikan masalah terorisme.
Berangkat dari Doktrin
Menarik yang disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa bom bunuh diri berawal dari doktrin yang salah atas penafsiran terhadap ajaran agama. Inilah bedanya kejahatan terorisme dengan berbagai bentuk kejahatan yang lain. Jika kejahatan yang lain selain terorisme semisal pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan lain sebagainya disadari pelaku bahwa itu merupakan bentuk kejahatan sehingga pengenaan sanksi yang berat dapat berpengaruh pada efek jera pelaku, berbeda halnya dengan terorisme. Pelaku teror karena sebelumnya telah di doktrin bahwa apa yang ia lakukan merupakan perintah Tuhan, maka ia sama sekali tidak menganggap bahwa yang ia lakukan adalah sebagai kejahatan. Justru itu merupakan perbuatan mulia dan suci, sehingga seberat apapun hukuman yang diberikan bahkan mati sekalipun, mereka tidak akan takut, sebaliknya memang itu yang mereka harapkan atas iming-iming surga dengan berbagai bidadarinya.
Oleh karena itu, semakin negara bertindak refresif dengan mereka, justru akan menjadikan mereka semakin gencar melakukan serangan teror. Hal ini telah terbukti setidaknya di Indonesia, pasca bom bali yang menewaskan banyak orang, masalah terorisme terus terjadi sampai hari ini. Kita tentu memberikan apresiasi atas kinerja Tim Datasemen Khusus (Densus) 88 yang sejauh ini telah cukup berhasil menangkap gembong teroris. Namun apakah itu berhasil menyelesaikan masalah terorisme? Fakta menunjukkan tidak, rentetan bom bunuh diri yang terus terjadi menjadi isyarat bahwa tindakan refresif tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Berakhir pada Doktrin
Tindakan refresif tentu masih tetap harus dipertahankan, sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warga negara. Namun dalam kasus terorisme, itu tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya solusi ke depan. Jika pelaku terorisme memulai tindakannya atas doktrin yang ia terima, maka satu-satunya jalan untuk menyembuhkan sekaligus merekayasa agar tidak ada generasi lanjutan terorisme adalah juga dengan doktrin. Doktrin sebagaimana dimaksud mencakup dua bagian.
Pertama, adalah doktrin terhadap masyarakat secara lansung, baik yang telah terindikasi terlibat dalam sindikat terorisme dan paham radikal maupun terhadap masyarakat umum yang tidak terindikasi sama sekali. Langkah yang dilakukan oleh menteri agama untuk menertibkan substansi khutbah jum’at patut mendapatkan apresiasi, namun itu saja tidaklah cukup dengan wilayah yang begitu luas dan kuantitas masji yang mencapai puluhan ribu, pengawasan akan dangat sulit untuk dilakukan. Dalam konteks ini, pemerintah harus mencari cara lain agar doktrin-doktrin radikal atau semacamnya dapat diatasi. Cara yang mungkin dilakukan adalah dengan melibatkan perguruan tinggi. Perguruan Tinggi dalam konsepsi Tri Dharma Perguruan Tinggi memiliki tanggung jawab pengabdian kepada masyarakat secara lansung, oleh karena nya hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Kedua, untuk mencegah penyebaran terorisme sedini mungkin, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melihat kembali kurikulum pendidikan agama, baik di sekolah-sekolah yang berlatar belakang Islam maupun umum. Selama ini, harus kita akui bahwa transformasi pengetahuan agama masih berangkat dari postulat bahwa agamaku lah yang paling benar, sedangkan yang lain salah, aneh, lucu, dan lain sebagainya. Model pembelajaran agama yang demikian mau tidak mau harus dihentikan, jika terorisme ingin hilangkan dari bumi Indonesia.
Dewasa ini kapitalisme dan demokrasi liberal sedang dipertanyakan. Di banyak negara Amerika latin, paling tidak sekitar 13 negara, dipipimpin oleh pemimpin sosialis yang gemar mencemooh, menghujat bahkan menyerang Amerika serikat sebagai biang dari kemiskinan banyak negara di Dunia, juga di Amerika latin. Kesadaran akan keburukan kapitalisme yang disanggah dengan kukuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya lahir dari sejumlah gerakan sosial yang berkerja terus menerus untuk memberikan pemahaman tentang buruknya kapitalisme dan demokrasi liberal. Diantara gerakan yang ada misalnya zapatista, munculnya tokoh-tokoh politik populis yang mengusung sosialisme, dan sejumlah aktifis gerakan gerilya yang memilih untuk menghentikan cara kekerasan demi merebut kepemimpinan rakyat. Wal hasil, di Amerika Latin, di daerah yang sangan dekat dengan Amerika Serikat, pusat kapitalisme, tumbuh keraguan atas kapitalisme dan sejumlah cara dan kampanyenya untuk mengentaskan kemiskinan dalam sebuah negara miskin menjadi kesejahteraan. ‘Gelombang merah jambu’ ini begitu dahsyat menyapu satu persatu negara yang masih terjebak ilusi kebebasan dan kapitalisme yang semu. Akhirnya terobosan sejumlah gerakan di Amerika Latin berhasil memukul telak kapitalisme hingga sekarang harus kembali berhitung kekuatan. Ada sejumlah analisis menganggap bahwa akar dari gerakan ini sebagaian besar lahir dari teologi pembebasan katolik yang mengawinkan anatara doktrin katolik dengan tradisi kritik marxian.
Di belahan dunia yang lain, dalam dunia Islam khususnya, sejak masih era penjajahan fisik lahir sejumlah organisasi yang sudah sejak awal mencurigai demokrasi. Mulai dari Ikhwanul Muslimin, hingga munculnya kemudian Hamas, HTI, dan sejumlah Gerakan Islam di negara Islam. Ichwanul Muslimin sejak semula mecita-citakan sebuah negara Islam yang konstitusi dan semua undang-undang serta nilai yang lahir di dalamnya bersumber dari Islam. HTI bercita-cita mendirikan sebuah kekhalifahan islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Mereka mencita-citakan bentuk khilafah islamiyah yang memang pernah terbukti berjalan sebagai sebuah sistem negara. Mereka membenci demokrasi, bukan hanya karena sistem ini bisa dengan mudah ditumpangiu oleh negara dan kaum modal yang sudah berkuasa, namun mereka beranggapan bahwa Tuhan, melalui perkataannya, adalah sumber hukum yang pasti, yang tentu jauh lebih baik dari demokrasi yang dengan mudah selalu dimanfaatkan oleh kaum modal, negara-negara imperial untuk mengkampanyekan kembali kolonialisme di negara-negara bekas jajahannya. Di Iran misalnya, pasca pemilu Iran yang kembali dimenangkan oleh Ahmadinejad, menegaskan kembali bahwa demokrasi memiliki celah, sehingga, tidak seperti
negara-negara Islam lain yang gemar menyusu kekuasaan barat, Iran mengukuhkan apa yang disebut teodemokrasi atau bahkan teokrasi dimana Tuhan melalui ‘wakilnya’ -imam dalam tradisi syi’ah- adalah yang berhak menentukan keputusan yang berkaitan dengan rakyat dan negara. Kasus lain misalnya munculnya sejumlah gerakan bawah tanah yang dengan terang mengumumkan visinya untuk menentang amerika dimanapun dia berada. Bagi gerakan ini melawan Amerika, dan tentu kapitalisme dan demokrasi liberalnya, lebih baik ketimbang diam dan ikut mengiakan penjajahan kapitalisme terhadap ummat Islam di seluruh belahan dunia. Mereka memiliki keyakinan bahwa manusia hanya ada dua. Yang radikal dan yang liberal. Bila dunia ini dianggap sebagai kereta yang sedang berjalan menyusuri jalan menuju tujuan yang sudah ditetapkan oleh kapitalisme dan liberalisme maka jalan satu- satunya adalah mengambil langkah radikal dengan mencoba menghentikan laju roda, menginjak remnya, menurunkan masinisnya atau dengan langkah lain. Yang pasti harus ada yang dilakukan untuk mengerem laju eksploitasi kapitalisme. Orang moderat, yang merasa tidak pada pilihan kedua-duanya, bagi gerakan ini, sesungguhnya memihak pada kapitalisme yang sedang mengarahkan kereta.
Analogi inilah yang ingin saya gambarkan sebagai relitas dunia Islam saat ini dimana sejumlah orang, ormas, dan partai politik Islam, mengaku moderat sebagai jalan untuk meperbaiki sistem kapitalisme saat ini yang memiskinkan. Padahal dengan menggunakan analogi di atas, kereta ini sudah berjalan dan mengarah pada tujuannya (yang ditetapkan kapitalisme dan liberalisme) dan diam tanpa melakukan apa-apa adalah berpihak pada laju kereta menuju tujuannya. Mungkin analogi sederhana inilah yang menyebabkan sejumlah gerakan Islam dewasa ini meragukan demokrasi. bahkan organisasi yang diklaim transnasional oleh buku yang sedang dibedah dalam ulasan ini.
Buku Ilusi Negara Islam ini berpretensi menjelaskan lika-liku jaringan yang dianggapnya ‘jaringan islam transnasional’ dengan melakukan study atas gejala pemurnian praktek kegamaan islam yang dilakukan oleh ulama yang dianggap penganjur wahabi di Indonesia. Karena itu buku ini lebih dahulu menjelaskan infiltasi gerakan islam transnasional yang diidentifikasi sebagai wahabi dan ikhwanul muslimin.
Definisi Gerakan Islam Transnasional
Ada pertanyaan kritis untuk buku ini. Apakah demokrasi, liberalisme yang diusung oleh buku ini bukan gerakan transnasional? Atau gerakan Islam transnasional? Atau sekumpulan ide-ide yang menyusu secara hirarkis kepada liberalisme yang diusung oleh negara-negara Barat, terutama Amerika juga bukan jaringan transnasional? Jangan-jangan buku ini, yang penuh pretensi lebih terikat secara ideologis dan hierarkis dengan jaringan kapitalisme global yang sekarang ini bertanggungjawab atas kemiskinan sejumlah negara Islam?
Tentang definisi gerakan islam transnasional buku yang melalui penelitian ini hanya mendefinisikan dua definisi Islam. Yang radikal (garis keras) dan yang moderat. Yang radikal didefinisikan sebagai individu atau organisasi yang memutlakkan pandangannya dan tidak toleran terhadap perbedaan dan argumen kelompok lain. Sementara yang moderat didefinisikan sebagai ‘individu yang menghargai perbedaan berkeyakinan sebagai fitrah; tidak mau memaksakan keyakinannya pada yang lain, baik melalui pemerintah atau bukan; menolah cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apapun; menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan yang dijamin konstitusi negara kita; pancasila dan NKRI sebagai konsensus final’ (hlm 48). Sebuah identifikasi yang sejak awal timpang dan tidak berdasar.
Apakah organisasi keagamaan yang menjalankan agamanya dengan pengajian-pengajian komunitas, dengan berupaya mengamalkan apa yang diyakininya sebagai ajaran agamanya adalah garis keras? Pertanyaan ini penting, sebab organisasi yang diklaim melakukan infiltrasi tehadap ‘Islam lokal’ Indonesia versi buku ini hanya sejumlah komunitas yang bergerak secara organisatoris dan kultural untuk melakukan dakwah dan pengajian agama. HTI misalnya, dengan mengkritik amerika dan kapitalisme dianggap sebagai organ transnasional yang menginfiltrasi keyakinan islam lokal. Apa sebenarnya yan diganggu dari keyakinan orang islam Indonesia. Bukankah mereka yang sekarang aktif di dalam organisasi ini juga orang Indonesia, yang juga punya hak untuk menyuarakan apa yang mereka anggap benar? Atau apakah karena yang dikritik adalah pusat kekuasaat thagut saat ini hingga mereka harus dianggap garis keras? Garis keras yang menyipang dari tradisi Islam asli indonesia yang ramah dan toleran.
Apa dasar mengklasifikasi islam moderat dan radikal (garis keras) dengan defenisinya masing- masing dalam studi ini. Bukankah tidak ada organisasi islam yang mengkategorikan dirinya sebagai organisasi garis keras? Apakah dia berjalan tidak dengan demokratis? Dengan cara-cara santun dan anti kekerasan? Belum ada bukti mendasar yang menguatkan kategori ini.
Pengantar buku ini, yang ditulis oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif (hlm. 2) membagi islam fundamental dalam tiga latar belakang lahirnya. Pertama yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat islam untuk menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamental mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.
Teori kedua, menyatakan membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara- saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan dan Iraq. Yang ketiga, khusus untuk indonesia, beranggapan maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Bila mengikuti ketiga teori ini, posisi gerakan Islam trans nasional ada di ketiga-tiganya dengan melihat gerakan dan cita-citanya. Bila demikian apakah yang salah dari apa yang disebut buku ini sebagai ‘infiltrasi’? untuk sebagian kalangan dalam sejumlah debat di Internet mengungkapkan kesalahan mendasarnya adalah pemujaan buku ini terhadap liberalisme barat.
Gerakan yang dituduh islan transnasional ini misalnya, mengutip pidato Hasan Al Banna pendiri Ichwanul Muslimin, yang dianggap sebagai Islam transnasional itu berpendapat (Ikhwan dan Democracy; DR. Fathi Osman, hlm. 2) ‘(pemerintah itu haruslah mampu memberikan kemerdekaan (kebeban pribadi), syura (musyawarah) juga harus bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya, hak-hak rakyat dan tanggun jawab pemerintah terhadap rakat harus ditetapkan dengan tegas’. Demikianlah cita- cita yang terselip dalam pidato Hasan al Banna mengenai sebuah pemerintahan konstitusional yang Islami dan berpihak pada rakyat. Apakah ini yang buruk dari Islam transnasional seperti yang dicurigai buku ini?
Sejumlah Catatan Untuk Buku Ini
Secara fiqhiah kaidah fiqh yang digunakan untuk meneguhkan argumentasi buku ini ada dua, yang pertama kaidah mashlahah mursalah dan al adh al muhakkamah. Memang benar bahwa kedua kaidah ini bisa digunakan sebagai kaidah untuk mengangkat hukum dalam islam. Mashlahah mursalah adalah kaidah yang beranggapan bahwa apa yang bermaslahat bagi kebanyakan orang adalah hukum. Yang kedua, al adah al muhakkamah, adalah kaidah fiqhiah yang menganggap bahwa adat adalah sumber hukum. Argumentasi inilah yang paling kuat menopang seluruh argumentasi teologis mendasar buku ini. Namun, sayangnya buku ini menghadapi apa yang biasa disebut dalam studi teks sebagai krisis representasi. Bahwa keduanya adalah kaidah fiqh memang benar. Tetapi bukankah kaidah yang disebutkan diatas adalah kaidah yang paling minimal. Ada sujumlah kaidah melakukan istinbat hukum dalam kaidah fiqh. Namun semuanya tidak diangkat dalam buku ini. Secara semiotik buku ini berpretensi menampilkan tafsir secara sempit atas kaidah fiqh yang direpresentasikannya.belumlagi bahwa kaidah mashlahah mursalah juga masih menjadi perdebatan sejumlah ulama, sehingga belum disepakati sepenuhnya sebagai kaidah.
Catatan lain untuk buku ini adalah sejumkah kesalahan tekhnis mendasar dan terkait dengan etika akademik. Misalnya mencantumkan nama peneliti yang sudah sejak awal tidak setuju dimintai oleh libforall sebagai lembaga yang menyelenggarakan proyek penelitian ini. Kemudian yang lainnya, dan ini berkaitan erat dengan etika penelitian dimana buku ini dianggap oleh penelitianya sendiri sebagai bukan hasil penelitian mereka. Ini ditunjukkan dengan lahirnya pernyataan sikap empat penulis Jogja. Keempat penulis tersebut adalah Laode Arham, S.S, Dr. Zuli Qodir, Abdur Rozaki, M.si, Muhammad Kholik Ridwan, S.Ag. di aantara pernyataan sikapnya (www.indonesiaBuku.com). Pertama,. Materi (isi) buku yang disajikan di dalamnya bukanlah hasil riset dan karya kami dan karena itu kami tidak mungkin mengakui sebagai hasil penelitian kami. Padahal di dalam buku tersebut kami disebut sebagai peneliti. Kedua, di dalam proses penerbitan buku tersebut, kami tidak pernah diajak dialog di dalam proses menganalisis data dan membuat laporan penelitian sampai penerbitan menjadi sebuah buku.
Kenyataan ini membuktikan buku ini tidak sesuai dengan standar-standar sebagai karya ilmiah. Data yang manipulatif adalah pelanggaran etika mendasar dari sebuah karya penelitian. Secara ideologis, buku ini menghamba pada kepentingan kapitalisme dan liberalisme barat yang diusung dan dikampanyekan melalui badan-badan resmi internasional seperti PBB, lembaga-lembaga Donor, dll yang dengan giat menatar seluruh negara islam ntuk fasih mempraktekkan demokrasi dan pandai membenci sistem lain selain demokrasi. Untuk sementara, bagi saya, buku ini hanyalah buku politis, bukan buku akademik, yang penuh pretensi ideologis, diskriminatif dan mengumbar kebencian.
Buku Bank kaum Miskin ditulis oleh Muhammad Yunus, seorang professor Ekonomi pada Chittagong University, Bangladesh. Sesungguhnya buku ini telah lama ditulis, yaitu pada tahun 1997 di Perancis. Awalnya buku ini berjudul vers un monde sans pauvrete, yang apabila diartikan kurang lebih ‘menuju dunia tanpa kemiskinan’. Sembilan tahun kemudian Yunus dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian. Pasca penobatan tersebut masyarakat dunia semakin ramai mencari dan membahas tulisan tulisannya. Pada tahun 2007, buku ini sampai ke Indonesia melalui penerbit Marjin Kiri dengan judul Bank Kaum Miskin.
Berikut di bawah ini akan disampaikan poin poin substansial yang terdapat dalam buku tersebut. Secara garis besar ada tiga fokus yang akan dibahas. Pada awal akan diulas tentang kepribadian Yunus, selanjutnya akan disorot upaya melawan kemiskinan yang dilakukannya dengan pemberian kredit mikro, serta yang terakhir akan diulas korelasinya dengan Indonesia.
Sosok Muhammad Yunus
Yunus lahir dari keluarga muslim yang taat. Ayahnya yang lembut adalah pedagang sekaligus pengrajin ornamen permata yang terkemuka di Chittagong, sedangkan Ibunya yang disiplin adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Selain Yunus, keluarga tersebut masih dikaruniai delapan anak.
Yunus berumur 21 tahun ketika berhasil menyelesaikan studi di Universitas Chittagong. Dirinya langsung ditawari posisi sebagai dosen di almamaternya dan mengajar dari tahun 1961-1965. Kemudian dirinya mendapatkan beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studi Ph. D di Amerika1. Fullbright mewajibkan Yunus untuk kuliah di Vanderbilt University, di Tennessee, Sebelum masuk kesitu dirinya juga diwajibakan untuk mengikuti kuliah musim panas di University of Colorado. Kecerdasan Yunus tampaknya bisa terlihat dari pengakuannya di buku ini dengan menganggap program pascasarjana ekonomi pembangunan di Vanderbilt adalah program master yang enteng dan dangkal jika dibandingkan dengan tugas tugas yang canggih yang sudah dia kerjakan di Bangladesh (hal 20).
Apabila diibaratkan, Yunus bukanlah seorang Sufi; yaitu seseorang yang ketika menemukan ilmunya (untuk menyelami Tuhan) maka akan larut dalam keasyikannya dengan ilmu untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dirinya adalah seorang Resi, yaitu seseorang yang justru tidak larut dalam keasyikannya ketika berilmu, tetaoi justru turun gunung untuk membereskan permasalahan sosial dengan ilmu yang dimilikinya.
Permasalahan sosial yang dimaksud adalah kemiskinan. Yunus merasa sangat muak dengan teori teori yang dia ucapkan di kelas, karena dianggap tidak dapat memberikan manfaat positif terhadap pengentasan kemiskinan di negaranya. Oleh karena itu, dirinya memutuskan untuk turun gunung. Dibantu oleh relawan mahasiswanya, dirinya terjun ke masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut dimulai dari daerah sekitar kampusnya, desa Jobra, yang kelak akan meluas ke daerah lainnya.
Pentingnya aset dan modal
Seorang ekonom terkemuka dunia yang berasal dari Peru, Hernando de Soto, melalui bukunya The Mystery of Capital; why capitalism triumphs in the west and failed in everywhere else? menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah tidak terdapatnya kepemilikan yang legal oleh orang miskin atas aset-aset produktif, seperti kepemilikan yang sah atas tanah dan bangunan. Sehingga orang miskin tersebut tidak dapat optimal menggunakan aset, baik untuk melakukan proses jual beli, sewa menyewa, termasuk untuk mengagunkan tanah dan bangunan yang mereka pakai. Sehingga aset yang mereka miliki menjadi aset yang menganggur dan tidak dapat menggerakkan roda ekonomi mereka2.
Kritik tersebut tampak berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan yang diulas oleh Yunus. Orang orang miskin tidak dianggap layak untuk mendapatkan kredit oleh bank. Alasannya adalah tidak adanya aset yang dapat dijadikan jaminan oleh pihak Bank, apabila terjadi default (gagal bayar). Pemerintah di berbagai negara masih enggan untuk mengakui (melegalkan) aset aset yang orang miskin miliki, sehingga kesulitan orang miskin untuk mendapatkan kredit masih kerap akan dijumpai.
Sufiya, pemicu kegelisahan Yunus
Suatu ketika Yunus beserta rekannya mendatangi desa Jobra, kawasan di dekat kampus Chittagong yang terkenal dengan kehidupan kemiskinan yang ekstrem. Dia mengunjungi sebuah rumah yang terdapat seorang wanita sedang membuat bangku dari bambu. Yunus bertanya pada Sufiya; nama perempuan tersebut; “berapakah harga bambu ini?”, perempuan tersebut menjawab; “lima taka” (pada waktu itu setara dengan US$ 22 sen). Yunus kembali menyahut; “apakah ibu mempunyai uang lima taka?”, lalu dijawab kembali; “tidak, saya pinjam bambunya dari paikar (perantara), syaratnya adalah saya harus menjual kembali bambu saya kepada mereka untuk membayar pinjaman saya”. Yunus kembali bertanya; “lalu ibu jual kembali berapa harga bambunya?”, si ibu menjawab, “lima taka lima puluh poysha”. Sehingga dari pembicaraan tersebut, diketahui keuntungan si Ibu dari membuat bangku bambu tersebut hanyalah 50 poysha (US$ 2 sen).
Dalam perbincangan lebih lanjut, diketahui bahwa dirinya tidak dapat meminjam uang kepada rentenir. Karena menurutnya “rentenir meminta banyak, orang yang berurusan dengan mereka hanya akan bertambah miskin; kadang mereka meminta (bunga) sepuluh persen per minggu, akan tetapi ada tetangganya yang terkena sepuluh persen per hari”. (hal 45)
Perbincangan dengan Sufiya tersebut membuat Yunus tertegun dan berpikir keras. Dirinya sadar bahwa sangat sulit bagi Sufiya beserta keluarganya untuk hidup dengan uang sebesar US$ 2sen. Uang tersebut tidak akan dapat ia gunakan untuk menyekolahkan anak anaknya guna memutus mata rantai kemiskinan, tidak pula cukup untuk membeli pakaian layak pakai, karena uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan makannya sendiri saja. Tampaknya, pedagang hanya ingin mememastikan bahwa dia membayar Sufiya sekedar cukup untuk menutup ongkos bahan baku dan membuatnya tetap hidup.
Gundah dengan kejadian tersebut, keesokan harinya Yunus meminta mahasiswinya untuk mengumpulkan data, ada berapa orang seperti Sufiya di desa Jobra serta berapa jumlah kredit yang mereka butuhkan. Belakangan diketahui mereka berjumlah 42 orang, dan membutuhkan keseluruhan pinjaman sebesar 856 taka (US$ 27). Maka akhirnya Yunus mengutus mahasiswinya tersebut untuk meminjamkan 856 taka tersebut pada 42 orang tersebut, dan membolehkan mereka untuk membayar hutang tersebut kapan saja mereka mau.
Sikap tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan Yunus bahwa orang-orang seperti Sufiya bukanlah orang yang bodoh dan malas, juga bukan orang yang tidak mempunyai keahlian sehingga perlu dikasihani. Mereka miskin karena mereka tidak diberi kesempatan dan kepercayaan dari lembaga lembaga finansial untuk mengembangkan basis ekonominya (hal 48).
Belakangan, Yunus sadar bahwa hal tersebut adalah respon reaktif dan emosional. Sehingga dia menginginkan adanya institusi yang dapat dijadikan sandaran yang berkelanjutan oleh masyarakat kecil tersebut.
Menuju Bank Kaum Miskin
Yunus akhirnya memutuskan untuk berkomunikasi dengan Janata Bank, Bank pemerintah terbesar di Bangladesh. Inti dari kedatangannya adalah meminta bank tersebut memberikan kredit lunak kepada masyarakat Jobra. Akan tetapi sang menejer mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin dengan berbagai alasan; pertama, karena jumlahnya terlampau kecil sehingga tidak akan menutup bea operasional bank (tidak profitable); kedua, karena calon debitor tersebut tidak dapat membaca dan menulis sehingga menyulitkan administrasi bank; ketiga, karena mereka tidak mempunyai aset untuk diagunkan yang dapat dijadikan jaminan oleh bank.
Atas jawaban tersebut, Yunus mengatakan adalah syarat yang edan bila bank hanya mau berurusan dengan orang yang bisa baca tulis, mengingat hanya 25% dari populasi Bangladesh ketika itu yang tidak buta huruf. Lebih lanjut ia mengatakan, mahasiswanya siap untuk menjadi sukarelawan untuk mengisikan administrasi yang ada. Sedangkan untuk masalah agunan, Yunus menjawab: “mereka (orang-orang miskin) perlu menjual sesuatu guna memperoleh penghasilan buat dimakan. Mereka sangat punya alasan untuk membayar kembali (ke bank), yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya. Itu adalah jaminan terbaik yang Bank bisa dapat; nyawa mereka.”
Awalnya, bank tetap tidak teryakinkan. Namun, setelah tarik ulur yang panjang hingga melibatkan kantor pusat Bank Janata, akhirnya disepakati bahwa ke 42 kaum miskin desa Jobra akan mendapatkan pinjaman sebesar maksimal 10.000 taka (US$ 300), akan tetapi dengan menempatkan Yunus sebagai penjamin. Sehingga, sesungguhnya bank masih enggan untuk berurusan dengan kaum miskin, Bank Janata melakukan semua ini karena mempertimbangkan sosok Yunus secara personal.
Program Kerjasama dengan Janata Bank tersebut mempunyai hasil yang mengejutkan, pembayaran kembali pinjaman tanpa agunan terbukti jauh lebih baik ketimbang mereka yang pinjamannya dijamin oleh aset. Lebih dari 98% pinjaman dilunasi. Mereka (kaum miskin) tampaknya sadar, bahwa ini adalah aset mereka satu satunya untuk keluar dari kemiskinan (hal 57).
Ketidak-puasan atas rendahnya kepercayaan bank kepada kaum miskin serta fakta suksesnya pembayaran kembali oleh orang miskin di desa Jobra, mendorong Yunus untuk membuat sebuah institusi baru yang disebut Grameen Bank.
Cara Kerja Grameen Bank (GB)
Yang dijinkan untuk menjadi nasabah GB adalah perempuan-perempuan yang berada dalam kondisi miskin ekstrim. Dipilih perempuan karena secara sosial ekonomi di Bangladesh dianggap terbukti lebih mandiri dan mempunyai pikiran jangka panjang (untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik kepada anak anaknya) dibanding laki laki, yang dianggap lebih egositis. Dipilih yang miskin ekstrim karena dianggap merekalah orang orang yang mempunyai semangat luar biasa untuk berjuang keluar dari kemiskinan.
Banyak dari mekanisme kerja GB justru berkebalikan dengan bank konvensional. Pada GB, yang ditekankan bukanlah pada individu, melainkan pada kelompok, sehingga yang dianggap sebagai peminjam adalah kelompok.
Pertama-tama setiap pemohon bergabung dalam sekelompok orang orang yang mempunyai pemikiran sama dan hidup dalam kondisi sosial ekonomi serupa. Kelompok ini dibentuk oleh calon nasabah itu sendiri, tanpa mendapatkan campur tangan dari GB. Selanjutnya apabila telah berjumlah lima orang, maka mereka harus datang secara bersama-sama ke GB, setelah disetujui mereka mendapatkan training selama seminggu. Mereka akan mendapatkan penjelasan tentang kebijakan kebijakan di GB. Selanjutnya akan diuji secara lisan perorangan untuk mengetahui apakah mereka sudah memahami kebijakan yang dijelaskan ataukah belum. Apabila ada satu saja dari anggota kelompok yang gagal, maka hal tersebut dianggap sebagai kegagalan kelompok, sehingga proses pemberian kredit akan ditunda hingga semua anggota kelompok lulus ujian.
Hal yang sama berlaku pula pada mekanisme pembayaran cicilan hutang kredit. Apabila ada satu anggota kelompok gagal bayar, maka kelompok tersebut tidak akan mendapatkan kredit hingga keseluruh anggota kelompok tersebut berhasil membayar. Mekanisme ini memang sengaja didesain untuk menciptakan tekanan secara halus dari sisi internal masing-masing anggota kelompok; sehingga masing masing anggota saling mengawasi anggota yang lainnya agar tetap berada dalam tujuan kelompok. Tampaknya mekanisme ini adalah cara GB untuk mengikat tanggung jawab si peminjam; dari loyalitas peminjam ke GB menjadi peminjam ke kelompoknya. Loyalitas tanggung jawab peminjam kepada GB memang tidak bisa diharapkan kuat mengingat GB memang tidak meminta jaminan agunan dari si peminjam tersebut.
Sisi lain yang berbeda dengan Bank konvensional lainnya adalah jumlah cicilan yang harus dibayar/tempo pembayaranya. GB membuat cicilan sedemikian kecil sehingga si peminjam hampir tidak merasakan kehilangan uangnya. Misalnya hutang si peminjam adalah 365 taka yang harus dilunasi dalam jangka waktu setahun, maka yang dilakukan oleh GB bukanlah meminta pelunasan pembayaran diujung tenggat waktu pelunasan, namun meminta si peminjam untuk membayar sehari sebesar 1 taka. Perbedaan yang mencolok lainnya adalah tingkat suku bunga di GB yang sangat bersahabat bagi orang kecil; 20 persen (per tahun).
Microcredit di Indonesia
Kredit mikro seperti apa yang dilakukan oleh Yunus, sebenarnya bukan ‘barang baru’ di Indonesia. Sepak terjang kredit mikro di Indonesia telah dibukukan oleh Bank Dunia dangan judul “Lessons from Indonesia/Pembelajaran dari Indonesia” pada tahun 2001, oleh PBB, Bank Rakyat Indonesia dinobatkan sebagai laboratorium dunia untuk kredit mikro. Lebih dari itu, sejak lebih dari 20 tahun yang lalu Indonesia telah memiliki kementrian yang mengurusi koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang didukung kewajiban bank bank menyisihkan 20 persen dari total kreditnya untuk UMKM, kewajiban BUMN untuk menyisihkan sebagian labanya untuk UMKM, dlsb. Tampak indah kedengarannya, akan tetapi realitas dilapangan tidak terpenuhi karena bank lebih suka menyalurkan kredit untuk konsumsi (menengah atas). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha besar selalu mendapatkan prioritas dan previlase. Akhirnya UMKM tetap kembang kempis.
Paragraf di atas adalah kata pengantar dari redaksi marjin kiri (hal v-vi) yang dibuat tahun 2007. Sehingga menarik untuk dianalisa, bagaimanakah kondisinya saat ini?
Dalam konteks ketergantungan terhadap nasabah, Bank dapat dikatakan masih sangat bergantung pada nasabah nasabah kelas kakap (termasuk didalamnya pengusaha, lembaga pengelola uang pensiun, dll)3, sehingga tidak menutup kemungkinan ketergantungan tersebut menjadi kunci untuk tindakan resiprokal; tuntutan kepada bank untuk melancarkan pemberian kredit usaha kepada unit usaha nasabah yang pengusaha tersebut. Namun, dalam konteks pemberian kredit, Bank saat ini sedang ekstra hati hati dalam penyaluran kredit untuk usaha, terlebih lagi kredit dalam jumlah besar. Hal tersebut dikarenakan situasi perekonomian global masih sangat tidak kondusif. Sehingga bank sangat khawatir atas kemungkinan terjadinya default (gagal bayar) atas kredit yang diberikan.
Saat ini, bank-bank di Indonesia sudah mulai gencar melirik mikro kredit4. Terdapat tiga alasan untuk hal tersebut; pertama, sekalipun kualitas keuntungannya (dari bunga) mungkin tidaklah sebesar dari bunga debitor kakap, namun kuantitas nasabahnya amatlah banyak, sehingga secara ekonomis tetaplah profitable. Kedua, UMKM terbukti lebih tahan terhadap krisis, sehingga kemungkinan default amatlah kecil. Ketiga, semakin yakinnya perbankan terhadap kuatnya sektor UMKM, hal tersebut dilihat dari laporan UNDP, UMKM di Jogja relatif tidak banyak terganggu akibat gempa bumi yang melanda Jogja beberapa waktu silam.
Akan tetapi, Indonesia tidak boleh terlalu cepat puas, karena sekalipun sudah banyak menunjukan kemajuan yang positif seperti yang telah diutarakan di atas, masih banyak usaha mikro yang membutuhkan uluran tangan5. Selain itu, potensial permasalahan mengenai agunan sebagaimana telah dikupas pada poin pentingnya aset dan modal, masih kerap menjadi ganjalan bagi sebagian calon nasabah.
Kiri, Kanan atau Tengah?
Beberapa waktu lalu, seorang aktivis gender terkemuka di Jogjakarta tampil sebagai pembicara dalam diskusi panel yang pesertanya adalah delegasi pemimpin muda Indonesia-Australia. Dirinya meragukan konsep bisnis yang berkaitan erat dengan sosial seperti Grameen Bank. Dia mengatakan: “Business is business, tidak dapat dicampur campur dengan sosial. Toh terbukti juga bahwa tujuan akhirnya lembaga-lembaga pemberi mikro kredit tetaplah untuk menghasilkan profit”. Disisi lain, seorang professor ekonomi komunis mengkritik Yunus; “Anda telah memberikan opium kepada kaum miskin, agar mereka tidak terlibat dengan isu isu politik yang lebih besar. Dengan pinjaman mikro anda yang tidak ada artinya itu, mereka tidur nyenyak dan tidak membuat kegaduhan. Semangat revolusi mereka mereda. Karenanya grameen adalah musuh revolusi” (Hal 197). Sehingga menjadi menarik untuk diulas bagaimanakah sebenarnya posisi GB dalam spektrum ideologi politik?
Yunus menyatakan bahwa dirinya percaya dengan tesis pokok kapitalisme: sistem ekonomi itu harus kompetitif, namun dirinya menyatakan keberatannya atas ciri utama kapitalisme yang lain; memaksimalisasi laba. Sehingga dirinya mengusulkan mengganti prinsip maksimalisasi laba tersebut dengan prinsip yang lebih luas; (a) laba, dan (b) manfaat sosial (hal 201).
Yunus menjelaskan bahwa Grameen mendukung pemerintahan yang ramping, berkomitmen pada pasar bebas, dan mendorong lembaga lembaga usaha. Maka dari itu Grameen semestinya kanan. Namun, Grameen juga bertujuan pada tujuan-tujuan sosial: penghapusan kemiskinan, penyediaan pendidikan, kesempatan kerja kaum miskin, dll. Grameen tidak percaya dengan laissez faire. Grameen percaya pada intervensi sosial tanpa mengharuskan pemerintah terlibat dalam bisnis atau penyediaan layanan layanan. Yunus mengatakan bahwa karena hal tersebut, maka Grameen dapat dikategorikan sebagai kiri. (Hal 203)
Hanya sesingkat itu saja ulasan Yunus, agaknya dirinya sengaja membiarkan permasalahan spektrum ideologi politik ini secara mengambang; menyerahkan kepada pembaca untuk menyimpulkan dimanakah letak GB dari spektrum ideologi politik (termasuk menyerahkan apakah hal tersebut signifikan untuk dipermasalahkan oleh pembaca ataukah tidak).
Di penghujung tulisan ini, saya sebagai penulis resensi tulisan ini tidak ingin memberikan kesimpulan akhir, apalagi mengenai letak spektrum ideologi Yunus yang jelas-jelas menarik untuk dielaborasi. Akan tetapi, saya ingin mengutip tulisan bijak dari Emha Ainun Najib di bawah ini6, yang tampaknya sangat sesuai untuk kita renungkan, baik sebagai langkah awal sebelum memberikan komentar atas sikap ideologi politik Yunus, ataupun sebagai refleksi untuk diri kita sendiri.
Ada orang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Ada orang mengucapkan tetapi tak melakukan. Ada orang melakukan tetapi tak mengucapkan. Ada orang yang tak mengucapkan dan tak melakukan… dengan berbagai variabelnya.
Ada orang yang mengkritik dan memberi jalan keluar. Ada orang mengkritik tetapi tak bisa memberi jalan keluar. Ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik. Ada orang yang tidak mengkritik dan tidak memberi jalan keluar… dengan berbagai variabelnya.
Ada orang berjuang, berteriak teriak dan melaksanakan perjuangannya. Ada orang berjuang, tidak berteriak tetapi mewujudakn perjuangannya. Ada orang berjuang dan tidak sibuk mengumumkan di koran bahwa ia berjuang, karena teriakannya mengganggu strategi perjuangannya. Ada yang berteria- teriak dan tidak berjuang…, dengan segala variabelnya.
Ada orang yang sangat khusyuk dengan prinsip dan idealismenya dan sangat sungguh-sungguh memikirkan strategi terapan prinsipnya. Ada orang yang total pegang prinsip sampai tak punya energi dan waktu untuk memikirkan bagaimana menerapkannya. Ada orang yang habis usianya untuk tata kelola dan tata terapan sampai tak ada prinsip yang tersisa dalam dirinya. Ada orang yang tak peduli pada prinsip dan tak sungguh sungguh melaksanakan apapun…, dengan segala variabelnya.
… di barisan manakah kita berada/ingin menempatkan diri?
1 Beberapa universitas di luar negeri memang memungkinkan untuk lulusan S1 untuk langsung melanjutkan studi S3. Akan tetapi banyak pula universitas yang memeiliki kebijakan ketat untuk program S3, dimana bahkan mereka tidak mau menerima mahasiswa yang sudah mempunyai gelar S2, dengan alasan mahasiswa tersebut dari universitas yang dianggap tidak mempunyai reputasi yang baik.
2 Soto menyebut hal tersebut dengan sebutan tabungan si miskin yang terbelenggu dalam bentuk asset asset yang cacat: rumah di tanah yang tidak jelas siapa pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, Hak hak atas aset tersebut tidak-lah tercatat (juga tidak dianggap legal), sehingga tidak bisa diperjual belikan, juga tidak mungkin diagunkan, dll. Lihat: ‘Para Penguasa dan Penasihat Ahli, Bacalah Ini!’, wawancara Parakitri Simbolon dengan Hernando de Soto dalam Bagus Dharmawan (ed), Esai Esai Nobel Ekonomi, Kompas Media Nusantara, November 2007, hal. 221.
3 Lihat: Susidarto, Bank “Disandra” Nasabah Kakap, Wacana dalam SKH Suara Merdeka,15 Juli 2009.
4 Lihat: Tempo, Kredit Mikro: Kecil-kecil jadi Primadona, Bank bank makin getol menyal;urkan kredit mikro. Pendapatan Bunga bersih tinggi dan kredit macet rendah, 21 Juni 2009.
5 Saat ini diprediksi terdapat 49 Juta kredit usaha mikro diseluruh Indonesia, dan baru 35 persen saja yang masih yang baru mendapatkan akses perbankan. Ibid.
6 Lihat: Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kiai, Jakarta, September 2008, Hal 2.