Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia

PUSHAM UII merupakan lembaga studi independen di lingkungan Universitas Islam Indonesia, yang mengedepankan pertanggungjawaban secara ilmiah dalam kerja-kerjanya. PUSHAM UII berfokus untuk memajukan situasi penikmatan HAM di Indonesia.

PROGRAM
Program Terbaru Dari Kami
Penelitian
Penelitian PUSHAM UII meliputi penelitian berbasis lapangan dan non-lapangan (desk-based). PUSHAM UII selalu menempatkan penelitian sebagai suatu basis penting dalam aktivitas-aktivitas advokasi-pendidikan.
PROGRAM
Program Terbaru Dari Kami
Advokasi
Advokasi PUSHAM UII meliputi pembentukan dan evaluasi kebijakan dan pengembangan mekanisme implementasi kebijakan.
PROGRAM
Program Terbaru Dari Kami
Pendidikan
Di bidang pendidikan, PUSHAM UII menyelenggarakan pendidikan hak asasi manusia untuk pelbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, elemen pemerintahan, hingga masyarakat umum.

PROGRAM

Kegiatan PUSHAM

Universitas Islam Indonesia

01

PENELITIAN

Penelitian PUSHAM UII meliputi penelitian berbasis lapangan dan non-lapangan (desk-based). PUSHAM UII selalu menempatkan penelitian sebagai suatu basis penting dalam aktivitas-aktivitas advokasi-pendidikan.

02

ADVOKASI

Advokasi PUSHAM UII meliputi pembentukan dan evaluasi kebijakan dan pengembangan mekanisme implementasi kebijakan.

03

PENDIDIKAN

Di bidang pendidikan, PUSHAM UII menyelenggarakan pendidikan hak asasi manusia untuk pelbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, elemen pemerintahan, hingga masyarakat umum.

PUBLIKASI

Karya Terbitan Internal

Universitas Islam Indonesia

MAKALAH ILMIAH

Penulis: ROMO EDUARDUS DIDIK CAHYONO, S.J.

LAPORAN PENELITIAN

OPINI & RESENSI

Opini tentang isu-isu hak asasi manusia di tingkat nasional, regional, dan internasional, serta resensi buku terkait.

Pada bulan Maret 2020 lalu, Mahkamah Agung telah membatalkan ketentuan mengenai kenaikan iuran BPJS, melalui judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Mengacu pada putusan MA tersebut, pemerintah kemudian menurunkan tarif iuran BPJS seperti semula, terhitung sejak bulan April 2020 lalu.

Namun, hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Nominal kenaikan sama dengan kenaikan sebelumnya, bedanya hanya untuk golongan Kelas III, kenaikan ditunda sampai dengan tahun 2021 mendatang. Tentu saja, Perpres ini memicu banyak protes di tengah masa pandemi seperti saat ini. Pemerintah, tidak saja dianggap nir empati terhadap rakyat, namun muncul pula tudingan bahwa presiden telah melanggar konstitusi.

Melanggar Kostitusi

Pasal 24A ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Salah satu kewenangan MA yang diamanatkan oleh UUD pasca amandemen adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adanya macamnya, termasuk salah satunya adalah Peraturan Presiden. Artinya, pengujian yang dilakukan oleh MA terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, pada bulan April lalu, merupakan salah satu pelaksanaan amanat konstitusi. Sehingga, kebijakan Presiden Jokowi yang melanggar Putusan MA dengan mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, juga dapat dikategorikan melanggar konstitusi. Terlebih, dasar pembatalan Perpres dalam Putusan MA bukanlah aspek prosedural melainkan aspek substansial.

Sekalipun memang, karena yang dilanggar adalah konstitusi, maka tidak ada sanksi yuridis yang dapat dikenakan kepada presiden. Yang dapat dilakukan hanyalah kembali mengajukan judicial review Perpes tersebut kepada MA agar dibatalkan. Meski ada ruang impeachment yang dapat ditempuh jika presiden dianggap telah melanggar konstitusi, namun impeachment merupakan mekanisme politik yang hampir tidak mungkin sama sekali dapat terjadi dalam situasi seperti saat ini, di mana parlemen sepenuhnya dikuasai oleh koalisi pemerintah.

Namun demikian, terlepas dari apapun dinamika yang muncul atas lahirnya Perpres ini, tindakan Presiden Jokowi tidaklah terpuji. Hukum, baik melalui undang-undang maupun putusan hakim, adalah rel yang menuntun arah jalannya kereta Indonesia. Hukum tidak saja memungkinkan ketertiban muncul, namun juga menjadi legitimasi kuat adanya suatu pemerintahan. Terlebih, dalam konsepsi yang lebih teoritis, Presiden dan MA berada pada dua cabangan kekuasaan berbeda yang memiliki sejarah panjang. Presiden adalah rumpun cabang kekuasaan eksekutif, sedangkan MA adalah rumpun cabang kekuasaan yudikatif. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun tidak dipisahkan secara kaku. Dalam sejarah panjang negara, munculnya cabang kekuasaan yudikatif ini, adalah respon terhadap kesewenang-wenangan eksekutif dalam memerintah. Sehingga lahirnya yudikatif, sejatinya tidak lain untuk membatasi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif.

Dulu, kita sering kali mendengar orang berseloroh, biarlah saja jika ada suatu keputusan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), toh pemerintah dapat membuat keputusan serupa setelahnya. Hal ini dapat terjadi karena putusan PTUN, memiliki daya ikat dan daya paksa yang lemah, sehingga jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi yang dapat dikenakan. Ini adalah preseden buruk dalam berhukum, padahal tegaknya republik ini sangat bergantung pada tegaknya hukum kita sendiri. Dengan kata lain, menjunjung tinggi hukum, sama artinya dengan menjunjung tinggi NKRI. Biarlah ini menjadi sejarah kelam masa lalu Indonesia, jangan sampai menjadi kebiasaan yang terus terulang sampai hari ini, apalagi jika dilakukan oleh seorang presiden.

Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan KPU telah menetapkan penundaan jadwal penyelenggaraan pesta demokrasi daerah menjadi bulan Desember 2020 mendatang. Keputusan bersama ini lalu direspon oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini yang kemudian menjadi payung hukum penundaan pemilukada, karena sebelumnya, belum ada norma yang dapat menjadi payung hukum penundaan tersebut. Tulisan ini, mencoba untuk menganalisis lebih jauh salah satu pasal dalam Perppu ini, yaitu penetapan jadwal penyelenggaraan pemilukada pada bulan Desember 2020. Secara substansial, tentu keberadaan norma yang sudah sangat konkret dan jelas ini menyalahi tata aturan perundang-undangan di Indonesia, karena sejatinya sebuah norma dalam undang-undang termasuk Perppu haruslah bersifat abstrak dan umum. Namun di luar itu, ada masalah lain yang harus menjadi pertimbangan kita bersama menyikapi ketentuan ini, yaitu tantangan yang akan dihadapi jika pemilukada tetap diselenggarakan pada bulan Desember mendatang.

KPU di Masa Pandemi

Pihak yang akan sangat terdampak dengan pelaksanaan pemilukada adalah para penyelenggara pemilukada, khususnya KPU. Jika pemilukada diselenggarakan pada bulan Desember, maka sejak bulan Juli proses atau tahapan pemilukada sudah harus dimulai. Mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan, penetapan calon, gugatan, kampanye, dan lain sebagainya. Pertama, jika melihat situasi dan kondisi saat ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada bulan Juli mendatang, pandemi covid-19 ini belum akan benar-benar hilang dari Indonesia. Pemerintah sendiri dalam laporan terakhirnya memperkirakan penyebaran virus baru terselesaikan pada bulan September 2020, dengan asumsi kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini berhasil. Dengan demikian ini akan berdampak pada kinerja KPU dan penyelenggara pemilu yang lainnya. Bekerja dengan pekerjaan teknis seperti KPU, akan sangat beresiko di tengah pandemi saat ini. Optimalisasi kinerja penyelenggara pemilukada ini penting karena ia akan menjadi legitimasi berhasil atau tidaknya dan demokratis atau tidaknya pemilukada.

 Kedua, akan ada masalah yang sangat besar terkait dengan data. Saat ini, sebagian besar penduduk telah berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, sehingga ada pengurangan penduduk yang sangat besar pada satu daerah, sebaliknya ada penambahan penduduk yang sangat signifikan pula pada daerah yang lain. Dalam negara yang mengkategorikan memilih sebagai hak seperti Indonesia, besar dan kecilnya kuantitas pemilih dalam pemilu memang tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pemilu. Namun, karena memilih adalah hak konstitusional, tetap saja KPU dan pemerintah wajib menjamin pemenuhannya. Dengan kata lain, jika ada warga negara yang tidak memiliki hak pilih, dan pemerintah membiarkannya begitu saja, maka telah terjadi pelanggaran hak konstitusional. Artinya, mobilitas penduduk yang tak terkendali pada masa pandemi ini, akan  menyulitkan KPU dalam mendata daftar pemilih sementara melakukan pandataan ulang, akan sangat sulit dilakukan.

Ketiga, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah terkait dengan anggaran. Selama ini, politik anggaran pemilukada selalu saja menimbulkan masalah, ada tolak-tarik antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga anggaran biasanya baru tersedia menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilukada. Tahapan pemilukada yang sudah harus dimulai sejak bulan Juli mendatang, tentu saja sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terlebih pada tahun 2020 ini akan diselenggarakan pemilukada serentak di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah sedang memfokuskan anggaran pada penanganan covid-19 dan ini rasional. Sehingga, sangat kecil kemungkinan akan ada sisa anggaran yang cukup untuk tetap menyelenggarakan pemilukada di tahun 2020 ini.

Penundaan Pemilukada

Tiga masalah diatas hanyalah sekelumit tantangan kecil yang dihadapi oleh KPU, masih banyak masalah lain yang jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, pilihan rasional saat ini adalah segera memutuskan penundaan pemilukada, agar seluruh lapisan pemerintah dapat berfokus pada penanganan covid-19. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme yang cukup bebas untuk menunda proses penyelenggaraan pemilukada, sehingga tidak ada lagi problem yuridis untuk mengambil kebijakan penundaan. Sebaiknya, penundaan Pemilukada ini tidak ditentukan dengan batas waktu yang pasti, melainkan menunggu sampai pemerintah berhasil menangani pandemi covid-19. Setelah pandemi covid-19 berhasil diatasi, maka pemerintah, KPU dan DPR dapat kembali membahas dan menentukan penyelenggaraan pemilukada. Pelihan kebijakan ini tentu saja bukan tanpa masalah, namun dilihat dari berbagai sisi, masalah yang akan timbul jauh lebih kecil dari pada tetap memaksakan pemilukada di bulan Desember mendatang.

Ada yang anomali dalam sistem perwakilan Indonesia. Anomali itu, kalau kita perhatikan dari fenomena yang terjadi belakangan ini, bahkan berada dalam substansi atau jantung dari sistem perwakilan itu sendiri. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam konstitusinya dan juga dalam falsafah negara Pancasila telah memaklumkan bahwa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Oleh karena itu, ada wakil rakyat yang dipilih secara berkala setiap lima tahun sekali, untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan mengimbangi kekuatan eksekutif agar tidak tak terkendali. Sayangnya, konsepsi sistem perwakilan sebagai pengejawantahan daulat rakyat itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan dalam banyak hal keduanya (wakil rakyat dan daulat rakyat) kerap berada pada titik yang berlawanan. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa daulat rakyat adalah kausa dari wakil rakyat, dengan kata lain eksistensi wakil rakyat merupakan derivasi dari daulat rakyat. Maka, saat wakil rakyat tidak lagi sejalan dengan daulat rakyat, sesungguhnya ia telah kehilangan esensinya atau kausanya sebagai wakil rakyat.

Fenomena Covid-19

Apa yang terjadi belakangan ini semakin memperkuat tesis itu, bahwa wakil rakyat kerap kali berhadap-hadapan dengan daulat rakyat. Fenomena wabah covid-19 telah memunculkan keprihatinan bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Efek dari wabah ini berkait kelindan dengan ruang hidup masyarakat yang lain, utamanya terhadap pekerjaan mereka, baik yang bekerja pada sektor barang maupun jasa. Para pedagang harus menutup usaha mereka karena minimnya transaksi, para penjual jasa baik kasar maupun profesional kehilangan pelanggan mereka, perusahaan-perusahaan besar tidak dapat beroperasi sehingga berdampak pada PHK terhadap karyawannya, dan masih banyak sektor terdampak lainnya.

Sayangnya, ditengah situasi itu, kita justeru melihat, mendengar, dan membaca berita yang menyesakkan dada akibat ulah wakil rakyat kita di parlemen. Beberapa hari belakangan ini, parlemen tengah disibukkan dengan pelaksanaan tahapan pembahasan dan pengesahan beberapa Randangan Undang-Undang. Ironinya, RUU  yang dibahas dan akan disahkan itu, sama sekali tidak terkait dengan kondisi yang tengah dihadapi masyarakat saat ini. Justeru RUU yang sangat kontroversial, yang dalam kondisi biasa dapat dipastikan akan memunculkan gelombang protes masa yang besar. Beberapa RUU itu misalnya, RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RKUHP, tiga RUU ini telah berulangkali batal disahkan karena dianggap memiliki cacat substansial dan prosedural. Kini, saat masyarakat dan pemerintah tengah sibuk berjibaku dengan wabah covid-19, parlemen justeru memanfaatkan kesempatan itu secara “diam-diam”.

Barangkali parlemen menilai penanganan wabah covid-19 ini adalah tugas pemerintahan eksekutif, sedangkan parlemen berada pada wilayah yang lain. Padahal, parlemen adalah wakil rakyat, artinya segala derita yang muncul pada rakyat, juga mengikat wakil rakyat. Tesis ini, mewajibkan parlemen mengambil peran aktif dalam setiap keadaan yang menimpa rakyat, termasuk dalam pandemi covid-19 ini.

Demokrasi Sebagai Etos Politis

Realitas di atas, menandakan ada masalah atau bahkan ada yang salah dengan demokrasi sebagai sistem politik di negara kita. Pandangan demokrasi sebagai sistem politik memang banyak dianut dewasa ini. Orang seakan yakin bahwa jika sistem politik sudah tertata secara demokratis, aktornya pun (termasuk masyarakat) menjadi demokratis. Optimisme semacam itu segera mendapat tantangannya dari kenyataan empiris bahwa cukup banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan di Asia (termasuk Indonesia sendiri), memiliki konstitusi demokratis, tetapi konstitusi ini tidak serta merta mewujudkan demokrasi real. Kantong anggur yang baru berisi anggur yang lama. Di sinilah kita meminjam konsepsi dari F. Budi Hardiman, bahwa kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksanan demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian. Itulah mengapa di tengah pandemi covid-19 ini, tidak tampak simpati wakil rakyat atas rakyat, yang terjadi justeru sebaliknya wakil rakyat berhadap-hadapan dengan pemilik daulat.

KABAR TERBARU

Kegiatan dan Berita

Universitas Islam Indonesia

KEGIATAN

Program-program dan advokasi yang dilaksanakan PUSHAM UII menggunakan pendekatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

BERITA

TERBARU

Pendidikan dan Pelatihan tentang Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum di Diklat Reserse Lemdiklat POLRI

Pusham UII bermitra dengan Diklat Reserse Lemdiklat Polri dimulai pada tahun 2020. Kemitraan juga dilakukan dengan lembaga Badiklat Kejaksaan …

Selengkapnya

Position Statement Sheet: Pusham UII Menyerukan Penghentian Serangan Israel di Palestina

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menyampaikan seruan kepada komunitas internasional di tengah meningkatnya kekerasan …

Selengkapnya
id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top