BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Tim Pusham UII bersama Jajaran Bareskrim Polri

Pusham UII menjalin kerja sama dengan Bareskrim Polri untuk isu peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Kerja sama ini difokuskan untuk penghormatan dan pemenuhan yang maksimal bagi hak-hak penyandang disabilitas dalam konteks peradilan, terutama dalam proses di Kepolisian. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembentukan Peraturan Kepala Bareskrim tentang SOP Penanganan Perkara Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum.

Pada Selasa, 23 Januari 2024, tim Pusham UII mengadakan pertemuan dengan tim Bareskrim Polri untuk mendiskusikan tindak lanjut pembahasan Peraturan Kepala Bareskrim (Perkara) tersebut. Tim Pusham UII disambut oleh Kombes Pol. Dr. Rita Wulandari Wibowo dan AKBP Ema Rahmawati. Proses diskusi berjalan cukup efektif dan produktif sehingga tersusun rencana untuk terus mengawal Perkaba hingga proses pengesahan nantinya.

Eko Riyadi, Widodo Dwi Putro, Cekli Setya Pratiwi, Herlambang P. Wiratraman, Adrian Bedneer, dan M. Syafi’ie dalam Seminar Metodologi HAM

Pada Kamis, 11 Januari 2024, Pusham UII bekerja sama dengan LSJ FH UGM untuk mengadakan seminar mengenai pemanfaatan putusan peradilan untuk perlindungan keadilan sosial dan kebebasan sipil. Dalam seminar ini, diskusinya berfokus pada catatan-catatan kritis terhadap putusan pengadilan dalam konteks penerapan hukum HAM, praktik-praktik baik dalam putusan pengadilan yang ada, dan agenda penelitian yang dapat dikembangkan ke depan. Seminar ini merupakan tindak lanjut dari peluncuran buku ‘Metodologi Hukum HAM: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia’ pada akhir 2023 lalu. Seminar ini menghadirkan narasumber-narasumber yang ahli di bidangnya masing-masing. Ada Eko Riyadi memberikan pengantar mengenai alasan-alasan bagi pengadilan untuk menerapkan norma HAM. Herlambang P. Wiratraman mengkritisi ratio decidendi hakim yang berjarak dengan perkembangan doktrin dan hukum HAM. Widodo Dwi Putro memperdalam fondasi filosofis HAM

Hak Asasi Manusia Mengisi Ketimpangan Ruh dalam Hukum

Atas nama UII, saya menyambut baik penulisan dan penerbitan buku yang akan diluncurkan dan didiskusikan hari ini. Saya juga ingin mengajak semua hadirin untuk memberikan apresiasi yang tinggi kepada ikhtiar kolektif ini, yang melibatkan penulis lintas lembaga dan dengan dukungan penuh dari The Norwegian Center for Human Rights (NCHR) atau Norsk senter for menneskerettigheter, Universitas Oslo.

Kita semua berharap, kehadiran buku langka ini akan menjadi referensi bermakna untuk pembaruan hukum di tanah air, terutama terkait inklusi hukum hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.

Saya diberi buku yang akan diluncurkan beberapa waktu lalu. Tentu, saya menyambutnya dengan antusias dan memulai membacanya. Paling tidak sebagian isi buku. Bagian epilog yang ditulis oleh Bapak Andriaan Bedner pun saya baca. Meski tidak dapat mencerna semua poin, saya sebagai orang awam hukum, menangkap banyak poin penting.

Saya pun akhirnya teringat kisah Nenek Minah yang terjadi 14 tahun lalu, pada 2009.

Nenek Minah, pada saat itu, selepas memanen kedelai di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), Purwokerto. Dalam perjalanan pulang melihat kakao matang di perkebuan tempat ia bekerja, dan dia ingin memetiknya. Tiga buah kakao dipetiknya dan diletakkan di bawah pohon.

Dia ingin mengambil biji kakao untuk disemai di kebunnya sendiri. Mandor perkebunan memergokinya. Nenek Minah langsung meminta maaf dan menyerahkan ketiga kakao tadi.

Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian. Proses hukum pun bergulir.

Akhirnya Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao seberat 3 kg seharga Rp6.000, meski dia tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.

Tentu di luar kapasitas saya untuk membahas kasus ini lebih lanjut. Namun, hati nurani saya melihat ada yang “aneh” dalam kasus tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus besar lain, seperti korupsi.

Sekilas saya lacak latar belakang Nenek Minah. Dia miskin. Untuk ongkos perjalanan menghidiri sidang dengan biaya ojek dan angkutan umum Rp50.000 juga sangat berat.

Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah itu yang dinamakan keadilan? Apakah hukum memang harus saklek/kaku tanpa melihat konteks? Ataukah ada perspektif lain?

Pekan lalu, oleh seorang kawan, saya diberi hadiah sebuah buku, berjudul The Tyranny of Merit. Penulisnya Michael J. Sandel, profesor di Harvard Law School.

Pesan besar yang diusung oleh buku ini adalah, bahwa ketika kesenjangan atau ketimpangan masih ada dan apalagi tajam, prinsip meritokrasi hanya akan mendemoralisasi atau melemahkan semangat mereka yang tertinggal.

Dalam tafsiran sederhana saya, jika hak-hak dasar manusia atau warga negara belum bisa terpenuhi maka maka lapangan permainan tidak akan menjadi landai, dan dipastikan jika ada kompetisi atau tuntutan untuk patuh kepada standar tertentu, ada pihak yang merasa diuntungkan. Iklusivitas dan keadilan kemudian dipertanyakan.

Apakah mungkin ini juga berlaku dalam hukum? Saya dengar jika dalam hukum juga ada pilitik. Pembentukan hukum sebagai “standar” bersama, juga katanya tidak selalu kalis dari kepentingan. Ada potensi hak-hak dasar manusia diabaikan.

Jika ini benar, maka paling tidak sebagian hukum positif yang berlaku mengandung ruh ketimpangan. Apakah mungkin meritokrasi dalam konteks kesetaraan di depan hukum masih valid?

Saya tidak akan masuk lebih dalam, karena di luar kapasitas saya. Saya menyerahkan kepada ahlinya untuk mendiskusikannya.

Apa tugas pengadilan terhadap hak asasi manusia berdasarkan kerangka hukum hak asasi manusia itu sendiri? Pada tataran akademis, berbagai upaya telah dilakukan para sarjana untuk mendefinisikan jawabannya, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, jika menggeser pertanyaan ini ke aspek yang lebih praktis, seperti “bagaimana cara pengadilan menerapkan hukum hak asasi manusia dalam putusannya”, belum ditemukan literatur-literatur di Indonesia yang menyajikan jawaban spesifik tentangnya.

Itulah sebabnya, Pusham UII mengidentifikasi bahwa masih banyak putusan pengadilan di Indonesia yang belum sepenuhnya memanfaatkan hukum hak asasi manusia pada pertimbangan hukum hakimnya. Namun demikian, perlu dicatat bahwa temuan ini tidak mengindikasikan ketiadaan sama sekali. Meskipun dalam jumlah terbatas, Pusham UII juga berhasil menemukan adanya upaya penggunaan hukum hak asasi manusia pada praktik peradilan, misalnya sebagaimana dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan sebagian kecil pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung.

Praktik peradilan yang telah berupaya untuk memberi ruang pada pertimbangan hukum hak asasi manusia harus dibaca sebagai sinyal positif mengenai institusionalisasi hukum hak asasi manusia pada level domestik di Indonesia. Namun, belum mainstream-nya praktik tersebut di lembaga peradilan di Indonesia menjadi dasar yang kuat selalu melakukan advokasi terhadapnya, termasuk dalam kerangka akademis. Dalam hal ini, Pusham UII dan NCHR telah bekerja sama untuk mengarusutamakan hukum hak asasi manusia dalam praktik peradilan di Indonesia.

Salah satu aktivitas yang telah diselesaikan adalah penelitian dan penyediaan referensi metodologis, terutama bagi para hakim, untuk dapat menerapkan hukum hak asasi manusia ketika mengadili kasus-kasus konkret. Referensi metodologis tersebut telah disusun dalam sebuah buku berjudul “Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, yang akan diluncurkan pada Desember 2023. Buku ini menyediakan panduan metodologis bagi hakim untuk memahami dan menerapkan hukum hak asasi manusia dalam kasus-kasus konkret di bidang hukum pidana, perdata, TUN, dan perkara-perkara konstitusional seperti judicial review baik di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.

Dalam rangka mengarusutamakan dan menguatkan subsansi buku tersebut, Pusham UII menyelenggarakan Seminar Bedah Buku sebagai salah satu rangkaian dalam kegiatan Peluncuran. Seminar Bedah Buku diadakan di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center yang beralamatkan di Jl. Palagan Tentara Pelajar, Yogyakarta. Pada Hari Selasa, 12 Desember 2023. Acara ini diisi oleh tiga orang narasumber sebagai pembedah. Satu narasumber secara online yaitu Prof. Simon A. Butt, BA, LL.B, Ph.D dari The University of Sydney, sedangkan 2 narasumber hadir yaitu Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc dariKomisi Nasional Hak Asasi Manusia RI dan Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si. dariUniversitas Islam Indonesia. Sedangkan Moderator dibawakan oleh Dr. Despan Heryansyah, S.H., M.H..

Seminar Bedah Buku selain dihadiri para penulis buku juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia : Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H. danRektor Universitas Islam Indonesia :  Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. Dan dihadiri juga perwakilan-perwakilan dari elemen pemerintahan dan aparat penegak hukum, elemen masyarakat sipil dan praktisi hukum, dan akademisi.

Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah:

  1. Mendiseminasikan gagasan metodologi hukum hak asasi manusia dalam praktik peradilan di Indonesia, yang terdiri dari aspek penalaran, praktik, dan tantangan penerapannya;
  2. Meluncurkan buku “Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia”; dan
  3. Mendapatkan feedback dari elemen akademisi, organisasi masyarakat sipil, advokat, dan aparat penegak hukum terkait gagasan metodologi hukum hak asasi manusia sebagai baseline pengembangan pengetahuan di masa depan.
id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top