PENELITIAN

Penelitian merupakan salah satu pendekatan fondasional dalam pelaksanaan program-program PUSHAM UII, di samping pendidikan dan advokasi. Dalam mempromosikan situasi hak asasi manusia di Indonesia, PUSHAM UII terbiasa untuk menggunakan data-data yang diperoleh baik dari dari penelitian berbasis lapangan maupun berbasis nonlapangan. Dengan pendekatan penelitian, PUSHAM UII dapat membaca existing condition untuk suatu persoalan hak asasi manusia secara akurat. Data-data yang diperoleh juga diposisikan sebagai basis dalam memetakan masalah secara memadai, dan merumuskan intervensi yang paling tepat sebagai solusi untuk memajukan situasi hak asasi manusia.

Hingga saat ini, PUSHAM UII telah menggunakan pendekatan penelitian dalam pelbagai program. Antara lain: penelitian terkait pengaplikasian hukum hak asasi manusia dalam putusan pengadilan, penelitian terkait aksesibilitas pengadilan dan lembaga pemasyarakatan bagi penyandang disabilitas, hingga penelitian terkait pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

Pendekatan penelitian:

Tak ada satu pemimpin politik yang bisa mengakhiri suatu demokrasi;
demikian juga, tak satu pemimpin yang bisa menyelamatkan suatu demokrasi.
Demokrasi adalah usaha bersama. Nasibnya tergantung pada kita semua
(Steven Levitsky & Daniel Ziblatt)

Levitsky & Ziblatt telah memberikan peringatan bahwa terdapat pemimpin yang dilahirkan melalui mekanisme demokratis, tetapi kemudian menjadi pihak yang membunuh demokrasi. Namun, sebagian besar pemimpin membunuh demokrasi secara perlahan. Pemilu masih diselenggarakan, parlemen kritis masih ada, media massa masih aktif, bahkan nafsu kekuasaan politik dilegalkan dan disetujui oleh parlemen dan dianggap konstitusional oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan judicial review, seperti Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, 2023, hlm. 60).

Peringatan di atas nampak jelas telah terjadi di Indonesia pada akhir periode pertama dan di sepanjang periode kedua Presiden Joko Widodo, kira-kira tahun 2018-2024. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan Undang-Undang Pertambangan, Omnibus Law, Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden, dan terakhir walaupun gagal adalah putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi penanda rusaknya tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. Seluruh perubahan ini nampak legal secara prosedural, bahkan dikukuhkan oleh lembaga peradilan. Namun, semua perubahan itu terjadi sesungguhnya bukan didasarkan pada kebutuhan konstitusional demi kepentingan terbaik rakyat dan bangsa Indonesia, tetapi lebih sebagai jalur untuk kepentingan politik dan ekonomi sekelompok elite

dan anak-anak Presiden Joko Widodo.

Di tengah situasi yang semakin genting serta diamnya kekuatan politik dan organisasi sosial kemasyarakatan termasuk keagamaan, komunitas akademik mengambil peran untuk melantangkan suara nyaring spirit republik dan demokrasi, walaupun ada yang suaranya parau. Pernyataan publik yang telah disuarakan menandai masih adanya cendekiawan yang berpijak pada nilai, walaupun

ada juga yang mencari aman dan mengirimkan sinyal dukungan kepada rezim. Buku ini merekam suara publik yang tajam sekaligus yang parau. Dipersilakan kepada pembaca untuk menikmati sikap komunitas akademik dan masyarakat sipil di dalam buku ini.

Buku ini merekam 76 (tujuh puluh enam) pernyataan publik yang dibacakan oleh komunitas akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Secara teknis, pernyataan publik dikumpulkan dan dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu suara perguruan tinggi, asosiasi perguruan tinggi, komunitas alumni lembaga pendidikan, dan koalisi masyarakat sipil. Suara perguruan tinggi termasuk di dalamnya pernyataan resmi perguruan tinggi, pernyataan komunitas dosen, dan komunitas mahasiswa.

Pernyataan publik yang direkam di dalam buku ini telah mendapatkan persetujuan dari para pihak

yang menyatakan sikap publiknya. Penyunting telah mengirimkan surat persetujuan kepada semua pihak yang mengeluarkan rilis dan memberi waktu selama 7 (tujuh) hari untuk membalasnya. Di dalam surat persetujuan telah diinformasikan bahwa jika dalam waktu 7 (tujuh) hari, pihak yang merilis tidak menyampaikan keberatan, maka hal itu dianggap sebagai persetujuan untuk rilis. Di luar 76 (tujuhpuluh enam) pernyataan publik yang direkam dalam buku ini, terdapat beberapa rilis yang tidak dimasukkan karena ketiadaan persetujuan dari pihak yang membuatnya.

DOWNLOAD BUKU HASIL PENELITIAN (PDF)

Tepat pada 28 Januari 2025, pemerintahan Prabowo-Gibran genap berusia 100 hari. Dalam 100 hari pertama ini, pemerintahan Prabowo-Gibran tercatat telah mengesahkan 155 peraturan perundang-undangan, dengan rincian 87 undang-undang, 1 peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden. Namun, pada periode yang sama, belum terlihat keseriusan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengurusi bidang hak asasi manusia. Hal ini meletakkan dasar bagi Pusham UII untuk menilai dan mengevaluasi performa hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama.

Hasil penilaian dan evaluasi itu dituangkan dalam laporan penelitian berjudul “LANGKAH AWAL YANG SURAM: Performa Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-Undangan Pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 Hari Pertama.”

Performa HAM Suram, Skor Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkisar 0,1 dari 1

Dari sisi peraturan perundang-undangan, Pusham UII menilai bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan hak asasi manusia sebagai elemen minoritas. Orientasi hak asasi manusia dalam 155 peraturan perundang-undangan ditemukan sangat lemah  berdasarkan peraturan yang memuat hak asasi manusia (Skor: 0,14 dari skala 0-1). Berdasarkan cakupan hukum dan ragam hak asasi manusia, orientasi hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran juga ditemukan sangat lemah (Skor: 0,06 dari skala 0-1).

Di samping itu, juga ditemukan masalah-masalah lain dari peraturan perundang-undangan yang telah disahkan, yaitu: pengakuan hak-hak masyarakat adat yang tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak bagi masyarakat adat; klise dalam penggunaan frasa ‘Melindungi Segenap Bangsa dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum; ketidakjelasan pemaknaan untuk agenda pembangunan berkelanjutan; dan eksklusi/pemisahan bidang hak asasi manusia dari bidang-bidang lain.

DOWNLAOAD PENELITIAN (PDF)

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top