OPINI & RESENSI

Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia

9 Desember 2011

Muhammad Ridha

Dewasa ini kapitalisme dan demokrasi liberal sedang dipertanyakan. Di banyak negara Amerika latin, paling tidak sekitar 13 negara, dipipimpin oleh pemimpin sosialis yang gemar mencemooh, menghujat bahkan menyerang Amerika serikat sebagai biang dari kemiskinan banyak negara di Dunia, juga di Amerika latin. Kesadaran akan keburukan kapitalisme yang disanggah dengan kukuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya lahir dari sejumlah gerakan sosial yang berkerja terus menerus untuk memberikan pemahaman tentang buruknya kapitalisme dan demokrasi liberal. Diantara gerakan yang ada misalnya zapatista, munculnya tokoh-tokoh politik populis yang mengusung sosialisme, dan sejumlah aktifis gerakan gerilya yang memilih untuk menghentikan cara kekerasan demi merebut kepemimpinan rakyat. Wal hasil, di Amerika Latin, di daerah yang sangan dekat dengan Amerika Serikat, pusat kapitalisme, tumbuh keraguan atas kapitalisme dan sejumlah cara dan kampanyenya untuk mengentaskan kemiskinan dalam sebuah negara miskin menjadi kesejahteraan. ‘Gelombang merah jambu’ ini begitu dahsyat menyapu satu persatu negara yang masih terjebak ilusi kebebasan dan kapitalisme yang semu. Akhirnya terobosan sejumlah gerakan di Amerika Latin berhasil memukul telak kapitalisme hingga sekarang harus kembali berhitung kekuatan. Ada sejumlah analisis menganggap bahwa akar dari gerakan ini sebagaian besar lahir dari teologi pembebasan katolik yang mengawinkan anatara doktrin katolik dengan tradisi kritik marxian.

Di belahan dunia yang lain, dalam dunia Islam khususnya, sejak masih era penjajahan fisik lahir sejumlah organisasi yang sudah sejak awal mencurigai demokrasi. Mulai dari Ikhwanul Muslimin, hingga munculnya kemudian Hamas, HTI, dan sejumlah Gerakan Islam di negara Islam. Ichwanul Muslimin sejak semula mecita-citakan sebuah negara Islam yang konstitusi dan semua undang-undang serta nilai yang lahir di dalamnya bersumber dari Islam. HTI bercita-cita mendirikan sebuah kekhalifahan islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Mereka mencita-citakan bentuk khilafah islamiyah yang memang pernah terbukti berjalan sebagai sebuah sistem negara. Mereka membenci demokrasi, bukan hanya karena sistem ini bisa dengan mudah ditumpangiu oleh negara dan kaum modal yang sudah berkuasa, namun mereka beranggapan bahwa Tuhan, melalui perkataannya, adalah sumber hukum yang pasti, yang tentu jauh lebih baik dari demokrasi yang dengan mudah selalu dimanfaatkan oleh kaum modal, negara-negara imperial untuk mengkampanyekan kembali kolonialisme di negara-negara bekas jajahannya. Di Iran misalnya, pasca pemilu Iran yang kembali dimenangkan oleh Ahmadinejad, menegaskan kembali bahwa demokrasi memiliki celah, sehingga, tidak seperti

negara-negara Islam lain yang gemar menyusu kekuasaan barat, Iran mengukuhkan apa yang disebut teodemokrasi atau bahkan teokrasi dimana Tuhan melalui ‘wakilnya’ -imam dalam tradisi syi’ah- adalah yang berhak menentukan keputusan yang berkaitan dengan rakyat dan negara. Kasus lain misalnya munculnya sejumlah gerakan bawah tanah yang dengan terang mengumumkan visinya untuk menentang amerika dimanapun dia berada. Bagi gerakan ini melawan Amerika, dan tentu kapitalisme dan demokrasi liberalnya, lebih baik ketimbang diam dan ikut mengiakan penjajahan kapitalisme terhadap ummat Islam di seluruh belahan dunia. Mereka memiliki keyakinan bahwa manusia hanya ada dua. Yang radikal dan yang liberal. Bila dunia ini dianggap sebagai kereta yang sedang berjalan menyusuri jalan menuju tujuan yang sudah ditetapkan oleh kapitalisme dan liberalisme maka jalan satu- satunya adalah mengambil langkah radikal dengan mencoba menghentikan laju roda, menginjak remnya, menurunkan masinisnya atau dengan langkah lain. Yang pasti harus ada yang dilakukan untuk mengerem laju eksploitasi kapitalisme. Orang moderat, yang merasa tidak pada pilihan kedua-duanya, bagi gerakan ini, sesungguhnya memihak pada kapitalisme yang sedang mengarahkan kereta.

Analogi inilah yang ingin saya gambarkan sebagai relitas dunia Islam saat ini dimana sejumlah orang, ormas, dan partai politik Islam, mengaku moderat sebagai jalan untuk meperbaiki sistem kapitalisme saat ini yang memiskinkan. Padahal dengan menggunakan analogi di atas, kereta ini sudah berjalan dan mengarah pada tujuannya (yang ditetapkan kapitalisme dan liberalisme) dan diam tanpa melakukan apa-apa adalah berpihak pada laju kereta menuju tujuannya. Mungkin analogi sederhana inilah yang menyebabkan sejumlah gerakan Islam dewasa ini meragukan demokrasi. bahkan organisasi yang diklaim transnasional oleh buku yang sedang dibedah dalam ulasan ini.

Buku Ilusi Negara Islam ini berpretensi menjelaskan lika-liku jaringan yang dianggapnya ‘jaringan islam transnasional’ dengan melakukan study atas gejala pemurnian praktek kegamaan islam yang dilakukan oleh ulama yang dianggap penganjur wahabi di Indonesia. Karena itu buku ini lebih dahulu menjelaskan infiltasi gerakan islam transnasional yang diidentifikasi sebagai wahabi dan ikhwanul muslimin.

Definisi Gerakan Islam Transnasional

Ada pertanyaan kritis untuk buku ini. Apakah demokrasi, liberalisme yang diusung oleh buku ini bukan gerakan transnasional? Atau gerakan Islam transnasional? Atau sekumpulan ide-ide yang menyusu secara hirarkis kepada liberalisme yang diusung oleh negara-negara Barat, terutama Amerika juga bukan jaringan transnasional? Jangan-jangan buku ini, yang penuh pretensi lebih terikat secara ideologis dan hierarkis dengan jaringan kapitalisme global yang sekarang ini bertanggungjawab atas kemiskinan sejumlah negara Islam?

Tentang definisi gerakan islam transnasional buku yang melalui penelitian ini hanya mendefinisikan dua definisi Islam. Yang radikal (garis keras) dan yang moderat. Yang radikal didefinisikan sebagai individu atau organisasi yang memutlakkan pandangannya dan tidak toleran terhadap perbedaan dan argumen kelompok lain. Sementara yang moderat didefinisikan sebagai ‘individu yang menghargai perbedaan berkeyakinan sebagai fitrah; tidak mau memaksakan keyakinannya pada yang lain, baik melalui pemerintah atau bukan; menolah cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apapun; menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan yang dijamin konstitusi negara kita; pancasila dan NKRI sebagai konsensus final’ (hlm 48). Sebuah identifikasi yang sejak awal timpang dan tidak berdasar.

Apakah organisasi keagamaan yang menjalankan agamanya dengan pengajian-pengajian komunitas, dengan berupaya mengamalkan apa yang diyakininya sebagai ajaran agamanya adalah garis keras? Pertanyaan ini penting, sebab organisasi yang diklaim melakukan infiltrasi tehadap ‘Islam lokal’ Indonesia versi buku ini hanya sejumlah komunitas yang bergerak secara organisatoris dan kultural untuk melakukan dakwah dan pengajian agama. HTI misalnya, dengan mengkritik amerika dan kapitalisme dianggap sebagai organ transnasional yang menginfiltrasi keyakinan islam lokal. Apa sebenarnya yan diganggu dari keyakinan orang islam Indonesia. Bukankah mereka yang sekarang aktif di dalam organisasi ini juga orang Indonesia, yang juga punya hak untuk menyuarakan apa yang mereka anggap benar? Atau apakah karena yang dikritik adalah pusat kekuasaat thagut saat ini hingga mereka harus dianggap garis keras? Garis keras yang menyipang dari tradisi Islam asli indonesia yang ramah dan toleran.

Apa dasar mengklasifikasi islam moderat dan radikal (garis keras) dengan defenisinya masing- masing dalam studi ini. Bukankah tidak ada organisasi islam yang mengkategorikan dirinya sebagai organisasi garis keras? Apakah dia berjalan tidak dengan demokratis? Dengan cara-cara santun dan anti kekerasan? Belum ada bukti mendasar yang menguatkan kategori ini.

Pengantar buku ini, yang ditulis oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif (hlm. 2) membagi islam fundamental dalam tiga latar belakang lahirnya. Pertama yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat islam untuk menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamental mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.

Teori kedua, menyatakan membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara- saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan dan Iraq. Yang ketiga, khusus untuk indonesia, beranggapan maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Bila mengikuti ketiga teori ini, posisi gerakan Islam trans nasional ada di ketiga-tiganya dengan melihat gerakan dan cita-citanya. Bila demikian apakah yang salah dari apa yang disebut buku ini sebagai ‘infiltrasi’? untuk sebagian kalangan dalam sejumlah debat di Internet mengungkapkan kesalahan mendasarnya adalah pemujaan buku ini terhadap liberalisme barat.

Gerakan yang dituduh islan transnasional ini misalnya, mengutip pidato Hasan Al Banna pendiri Ichwanul Muslimin, yang dianggap sebagai Islam transnasional itu berpendapat (Ikhwan dan Democracy; DR. Fathi Osman, hlm. 2) ‘(pemerintah itu haruslah mampu memberikan kemerdekaan (kebeban pribadi), syura (musyawarah) juga harus bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya, hak-hak rakyat dan tanggun jawab pemerintah terhadap rakat harus ditetapkan dengan tegas’. Demikianlah cita- cita yang terselip dalam pidato Hasan al Banna mengenai sebuah pemerintahan konstitusional yang Islami dan berpihak pada rakyat. Apakah ini yang buruk dari Islam transnasional seperti yang dicurigai buku ini?

Sejumlah Catatan Untuk Buku Ini

Secara fiqhiah kaidah fiqh yang digunakan untuk meneguhkan argumentasi buku ini ada dua, yang pertama kaidah mashlahah mursalah dan al adh al muhakkamah. Memang benar bahwa kedua kaidah ini bisa digunakan sebagai kaidah untuk mengangkat hukum dalam islam. Mashlahah mursalah adalah kaidah yang beranggapan bahwa apa yang bermaslahat bagi kebanyakan orang adalah hukum. Yang kedua, al adah al muhakkamah, adalah kaidah fiqhiah yang menganggap bahwa adat adalah sumber hukum. Argumentasi inilah yang paling kuat menopang seluruh argumentasi teologis mendasar buku ini. Namun, sayangnya buku ini menghadapi apa yang biasa disebut dalam studi teks sebagai krisis representasi. Bahwa keduanya adalah kaidah fiqh memang benar. Tetapi bukankah kaidah yang disebutkan diatas adalah kaidah yang paling minimal. Ada sujumlah kaidah melakukan istinbat hukum dalam kaidah fiqh. Namun semuanya tidak diangkat dalam buku ini. Secara semiotik buku ini berpretensi menampilkan tafsir secara sempit atas kaidah fiqh yang direpresentasikannya.belumlagi bahwa kaidah mashlahah mursalah juga masih menjadi perdebatan sejumlah ulama, sehingga belum disepakati sepenuhnya sebagai kaidah.

Catatan lain untuk buku ini adalah sejumkah kesalahan tekhnis mendasar dan terkait dengan etika akademik. Misalnya mencantumkan nama peneliti yang sudah sejak awal tidak setuju dimintai oleh libforall sebagai lembaga yang menyelenggarakan proyek penelitian ini. Kemudian yang lainnya, dan ini berkaitan erat dengan etika penelitian dimana buku ini dianggap oleh penelitianya sendiri sebagai bukan hasil penelitian mereka. Ini ditunjukkan dengan lahirnya pernyataan sikap empat penulis Jogja. Keempat penulis tersebut adalah Laode Arham, S.S, Dr. Zuli Qodir, Abdur Rozaki, M.si, Muhammad Kholik Ridwan, S.Ag. di aantara pernyataan sikapnya (www.indonesiaBuku.com). Pertama,. Materi (isi) buku yang disajikan di dalamnya bukanlah hasil riset dan karya kami dan karena itu kami tidak mungkin mengakui sebagai hasil penelitian kami. Padahal di dalam buku tersebut kami disebut sebagai peneliti. Kedua, di dalam proses penerbitan buku tersebut, kami tidak pernah diajak dialog di dalam proses menganalisis data dan membuat laporan penelitian sampai penerbitan menjadi sebuah buku.

Kenyataan ini membuktikan buku ini tidak sesuai dengan standar-standar sebagai karya ilmiah. Data yang manipulatif adalah pelanggaran etika mendasar dari sebuah karya penelitian. Secara ideologis, buku ini menghamba pada kepentingan kapitalisme dan liberalisme barat yang diusung dan dikampanyekan melalui badan-badan resmi internasional seperti PBB, lembaga-lembaga Donor, dll yang dengan giat menatar seluruh negara islam ntuk fasih mempraktekkan demokrasi dan pandai membenci sistem lain selain demokrasi. Untuk sementara, bagi saya, buku ini hanyalah buku politis, bukan buku akademik, yang penuh pretensi ideologis, diskriminatif dan mengumbar kebencian.

9 Desember 2011

Muhammad Yunus

Buku Bank kaum Miskin ditulis oleh Muhammad Yunus, seorang professor Ekonomi pada Chittagong University, Bangladesh. Sesungguhnya buku ini telah lama ditulis, yaitu pada tahun 1997 di Perancis. Awalnya buku ini berjudul vers un monde sans pauvrete, yang apabila diartikan kurang lebih ‘menuju dunia tanpa kemiskinan’. Sembilan tahun kemudian Yunus dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian. Pasca penobatan tersebut masyarakat dunia semakin ramai mencari dan membahas tulisan tulisannya. Pada tahun 2007, buku ini sampai ke Indonesia melalui penerbit Marjin Kiri dengan judul Bank Kaum Miskin.

Berikut di bawah ini akan disampaikan poin poin substansial yang terdapat dalam buku tersebut. Secara garis besar ada tiga fokus yang akan dibahas. Pada awal akan diulas tentang kepribadian Yunus, selanjutnya akan disorot upaya melawan kemiskinan yang dilakukannya dengan pemberian kredit mikro, serta yang terakhir akan diulas korelasinya dengan Indonesia.

Sosok Muhammad Yunus

Yunus lahir dari keluarga muslim yang taat. Ayahnya yang lembut adalah pedagang sekaligus pengrajin ornamen permata yang terkemuka di Chittagong, sedangkan Ibunya yang disiplin adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Selain Yunus, keluarga tersebut masih dikaruniai delapan anak.

Yunus berumur 21 tahun ketika berhasil menyelesaikan studi di Universitas Chittagong. Dirinya langsung ditawari posisi sebagai dosen di almamaternya dan mengajar dari tahun 1961-1965. Kemudian dirinya mendapatkan beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studi Ph. D di Amerika1. Fullbright mewajibkan Yunus untuk kuliah di Vanderbilt University, di Tennessee, Sebelum masuk kesitu dirinya juga diwajibakan untuk mengikuti kuliah musim panas di University of Colorado. Kecerdasan Yunus tampaknya bisa terlihat dari pengakuannya di buku ini dengan menganggap program pascasarjana ekonomi pembangunan di Vanderbilt adalah program master yang enteng dan dangkal jika dibandingkan dengan tugas tugas yang canggih yang sudah dia kerjakan di Bangladesh (hal 20).

Apabila diibaratkan, Yunus bukanlah seorang Sufi; yaitu seseorang yang ketika menemukan ilmunya (untuk menyelami Tuhan) maka akan larut dalam keasyikannya dengan ilmu untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dirinya adalah seorang Resi, yaitu seseorang yang justru tidak larut dalam keasyikannya ketika berilmu, tetaoi justru turun gunung untuk membereskan permasalahan sosial dengan ilmu yang dimilikinya.

Permasalahan sosial yang dimaksud adalah kemiskinan. Yunus merasa sangat muak dengan teori teori yang dia ucapkan di kelas, karena dianggap tidak dapat memberikan manfaat positif terhadap pengentasan kemiskinan di negaranya. Oleh karena itu, dirinya memutuskan untuk turun gunung. Dibantu oleh relawan mahasiswanya, dirinya terjun ke masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut dimulai dari daerah sekitar kampusnya, desa Jobra, yang kelak akan meluas ke daerah lainnya.

Pentingnya aset dan modal

Seorang ekonom terkemuka dunia yang berasal dari Peru, Hernando de Soto, melalui bukunya The Mystery of Capital; why capitalism triumphs in the west and failed in everywhere else? menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah tidak terdapatnya kepemilikan yang legal oleh orang miskin atas aset-aset produktif, seperti kepemilikan yang sah atas tanah dan bangunan. Sehingga orang miskin tersebut tidak dapat optimal menggunakan aset, baik untuk melakukan proses jual beli, sewa menyewa, termasuk untuk mengagunkan tanah dan bangunan yang mereka pakai. Sehingga aset yang mereka miliki menjadi aset yang menganggur dan tidak dapat menggerakkan roda ekonomi mereka2.

Kritik tersebut tampak berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan yang diulas oleh Yunus. Orang orang miskin tidak dianggap layak untuk mendapatkan kredit oleh bank. Alasannya adalah tidak adanya aset yang dapat dijadikan jaminan oleh pihak Bank, apabila terjadi default (gagal bayar). Pemerintah di berbagai negara masih enggan untuk mengakui (melegalkan) aset aset yang orang miskin miliki, sehingga kesulitan orang miskin untuk mendapatkan kredit masih kerap akan dijumpai.

Sufiya, pemicu kegelisahan Yunus

Suatu ketika Yunus beserta rekannya mendatangi desa Jobra, kawasan di dekat kampus Chittagong yang terkenal dengan kehidupan kemiskinan yang ekstrem. Dia mengunjungi sebuah rumah yang terdapat seorang wanita sedang membuat bangku dari bambu. Yunus bertanya pada Sufiya; nama perempuan tersebut; “berapakah harga bambu ini?”, perempuan tersebut menjawab; “lima taka” (pada waktu itu setara dengan US$ 22 sen). Yunus kembali menyahut; “apakah ibu mempunyai uang lima taka?”, lalu dijawab kembali; “tidak, saya pinjam bambunya dari paikar (perantara), syaratnya adalah saya harus menjual kembali bambu saya kepada mereka untuk membayar pinjaman saya”. Yunus kembali bertanya; “lalu ibu jual kembali berapa harga bambunya?”, si ibu menjawab, “lima taka lima puluh poysha”. Sehingga dari pembicaraan tersebut, diketahui keuntungan si Ibu dari membuat bangku bambu tersebut hanyalah 50 poysha (US$ 2 sen).

Dalam perbincangan lebih lanjut, diketahui bahwa dirinya tidak dapat meminjam uang kepada rentenir. Karena menurutnya “rentenir meminta banyak, orang yang berurusan dengan mereka hanya akan bertambah miskin; kadang mereka meminta (bunga) sepuluh persen per minggu, akan tetapi ada tetangganya yang terkena sepuluh persen per hari”. (hal 45)

Perbincangan dengan Sufiya tersebut membuat Yunus tertegun dan berpikir keras. Dirinya sadar bahwa sangat sulit bagi Sufiya beserta keluarganya untuk hidup dengan uang sebesar US$ 2sen. Uang tersebut tidak akan dapat ia gunakan untuk menyekolahkan anak anaknya guna memutus mata rantai kemiskinan, tidak pula cukup untuk membeli pakaian layak pakai, karena uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan makannya sendiri saja. Tampaknya, pedagang hanya ingin mememastikan bahwa dia membayar Sufiya sekedar cukup untuk menutup ongkos bahan baku dan membuatnya tetap hidup.

Gundah dengan kejadian tersebut, keesokan harinya Yunus meminta mahasiswinya untuk mengumpulkan data, ada berapa orang seperti Sufiya di desa Jobra serta berapa jumlah kredit yang mereka butuhkan. Belakangan diketahui mereka berjumlah 42 orang, dan membutuhkan keseluruhan pinjaman sebesar 856 taka (US$ 27). Maka akhirnya Yunus mengutus mahasiswinya tersebut untuk meminjamkan 856 taka tersebut pada 42 orang tersebut, dan membolehkan mereka untuk membayar hutang tersebut kapan saja mereka mau.

Sikap tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan Yunus bahwa orang-orang seperti Sufiya bukanlah orang yang bodoh dan malas, juga bukan orang yang tidak mempunyai keahlian sehingga perlu dikasihani. Mereka miskin karena mereka tidak diberi kesempatan dan kepercayaan dari lembaga lembaga finansial untuk mengembangkan basis ekonominya (hal 48).

Belakangan, Yunus sadar bahwa hal tersebut adalah respon reaktif dan emosional. Sehingga dia menginginkan adanya institusi yang dapat dijadikan sandaran yang berkelanjutan oleh masyarakat kecil tersebut.

Menuju Bank Kaum Miskin

Yunus akhirnya memutuskan untuk berkomunikasi dengan Janata Bank, Bank pemerintah terbesar di Bangladesh. Inti dari kedatangannya adalah meminta bank tersebut memberikan kredit lunak kepada masyarakat Jobra. Akan tetapi sang menejer mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin dengan berbagai alasan; pertama, karena jumlahnya terlampau kecil sehingga tidak akan menutup bea operasional bank (tidak profitable); kedua, karena calon debitor tersebut tidak dapat membaca dan menulis sehingga menyulitkan administrasi bank; ketiga, karena mereka tidak mempunyai aset untuk diagunkan yang dapat dijadikan jaminan oleh bank.

Atas jawaban tersebut, Yunus mengatakan adalah syarat yang edan bila bank hanya mau berurusan dengan orang yang bisa baca tulis, mengingat hanya 25% dari populasi Bangladesh ketika itu yang tidak buta huruf. Lebih lanjut ia mengatakan, mahasiswanya siap untuk menjadi sukarelawan untuk mengisikan administrasi yang ada. Sedangkan untuk masalah agunan, Yunus menjawab: “mereka (orang-orang miskin) perlu menjual sesuatu guna memperoleh penghasilan buat dimakan. Mereka sangat punya alasan untuk membayar kembali (ke bank), yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya. Itu adalah jaminan terbaik yang Bank bisa dapat; nyawa mereka.”

Awalnya, bank tetap tidak teryakinkan. Namun, setelah tarik ulur yang panjang hingga melibatkan kantor pusat Bank Janata, akhirnya disepakati bahwa ke 42 kaum miskin desa Jobra akan mendapatkan pinjaman sebesar maksimal 10.000 taka (US$ 300), akan tetapi dengan menempatkan Yunus sebagai penjamin. Sehingga, sesungguhnya bank masih enggan untuk berurusan dengan kaum miskin, Bank Janata melakukan semua ini karena mempertimbangkan sosok Yunus secara personal.

Program Kerjasama dengan Janata Bank tersebut mempunyai hasil yang mengejutkan, pembayaran kembali pinjaman tanpa agunan terbukti jauh lebih baik ketimbang mereka yang pinjamannya dijamin oleh aset. Lebih dari 98% pinjaman dilunasi. Mereka (kaum miskin) tampaknya sadar, bahwa ini adalah aset mereka satu satunya untuk keluar dari kemiskinan (hal 57).

Ketidak-puasan atas rendahnya kepercayaan bank kepada kaum miskin serta fakta suksesnya pembayaran kembali oleh orang miskin di desa Jobra, mendorong Yunus untuk membuat sebuah institusi baru yang disebut Grameen Bank.

Cara Kerja Grameen Bank (GB)

Yang dijinkan untuk menjadi nasabah GB adalah perempuan-perempuan yang berada dalam kondisi miskin ekstrim. Dipilih perempuan karena secara sosial ekonomi di Bangladesh dianggap terbukti lebih mandiri dan mempunyai pikiran jangka panjang (untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik kepada anak anaknya) dibanding laki laki, yang dianggap lebih egositis. Dipilih yang miskin ekstrim karena dianggap merekalah orang orang yang mempunyai semangat luar biasa untuk berjuang keluar dari kemiskinan.

Banyak dari mekanisme kerja GB justru berkebalikan dengan bank konvensional. Pada GB, yang ditekankan bukanlah pada individu, melainkan pada kelompok, sehingga yang dianggap sebagai peminjam adalah kelompok.

Pertama-tama setiap pemohon bergabung dalam sekelompok orang orang yang mempunyai pemikiran sama dan hidup dalam kondisi sosial ekonomi serupa. Kelompok ini dibentuk oleh calon nasabah itu sendiri, tanpa mendapatkan campur tangan dari GB. Selanjutnya apabila telah berjumlah lima orang, maka mereka harus datang secara bersama-sama ke GB, setelah disetujui mereka mendapatkan training selama seminggu. Mereka akan mendapatkan penjelasan tentang kebijakan kebijakan di GB. Selanjutnya akan diuji secara lisan perorangan untuk mengetahui apakah mereka sudah memahami kebijakan yang dijelaskan ataukah belum. Apabila ada satu saja dari anggota kelompok yang gagal, maka hal tersebut dianggap sebagai kegagalan kelompok, sehingga proses pemberian kredit akan ditunda hingga semua anggota kelompok lulus ujian.

Hal yang sama berlaku pula pada mekanisme pembayaran cicilan hutang kredit. Apabila ada satu anggota kelompok gagal bayar, maka kelompok tersebut tidak akan mendapatkan kredit hingga keseluruh anggota kelompok tersebut berhasil membayar. Mekanisme ini memang sengaja didesain untuk menciptakan tekanan secara halus dari sisi internal masing-masing anggota kelompok; sehingga masing masing anggota saling mengawasi anggota yang lainnya agar tetap berada dalam tujuan kelompok. Tampaknya mekanisme ini adalah cara GB untuk mengikat tanggung jawab si peminjam; dari loyalitas peminjam ke GB menjadi peminjam ke kelompoknya. Loyalitas tanggung jawab peminjam kepada GB memang tidak bisa diharapkan kuat mengingat GB memang tidak meminta jaminan agunan dari si peminjam tersebut.

Sisi lain yang berbeda dengan Bank konvensional lainnya adalah jumlah cicilan yang harus dibayar/tempo pembayaranya. GB membuat cicilan sedemikian kecil sehingga si peminjam hampir tidak merasakan kehilangan uangnya. Misalnya hutang si peminjam adalah 365 taka yang harus dilunasi dalam jangka waktu setahun, maka yang dilakukan oleh GB bukanlah meminta pelunasan pembayaran diujung tenggat waktu pelunasan, namun meminta si peminjam untuk membayar sehari sebesar 1 taka. Perbedaan yang mencolok lainnya adalah tingkat suku bunga di GB yang sangat bersahabat bagi orang kecil; 20 persen (per tahun).

Microcredit di Indonesia

Kredit mikro seperti apa yang dilakukan oleh Yunus, sebenarnya bukan ‘barang baru’ di Indonesia. Sepak terjang kredit mikro di Indonesia telah dibukukan oleh Bank Dunia dangan judul “Lessons from Indonesia/Pembelajaran dari Indonesia” pada tahun 2001, oleh PBB, Bank Rakyat Indonesia dinobatkan sebagai laboratorium dunia untuk kredit mikro. Lebih dari itu, sejak lebih dari 20 tahun yang lalu Indonesia telah memiliki kementrian yang mengurusi koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang didukung kewajiban bank bank menyisihkan 20 persen dari total kreditnya untuk UMKM, kewajiban BUMN untuk menyisihkan sebagian labanya untuk UMKM, dlsb. Tampak indah kedengarannya, akan tetapi realitas dilapangan tidak terpenuhi karena bank lebih suka menyalurkan kredit untuk konsumsi (menengah atas). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha besar selalu mendapatkan prioritas dan previlase. Akhirnya UMKM tetap kembang kempis.

Paragraf di atas adalah kata pengantar dari redaksi marjin kiri (hal v-vi) yang dibuat tahun 2007. Sehingga menarik untuk dianalisa, bagaimanakah kondisinya saat ini?

Dalam konteks ketergantungan terhadap nasabah, Bank dapat dikatakan masih sangat bergantung pada nasabah nasabah kelas kakap (termasuk didalamnya pengusaha, lembaga pengelola uang pensiun, dll)3, sehingga tidak menutup kemungkinan ketergantungan tersebut menjadi kunci untuk tindakan resiprokal; tuntutan kepada bank untuk melancarkan pemberian kredit usaha kepada unit usaha nasabah yang pengusaha tersebut. Namun, dalam konteks pemberian kredit, Bank saat ini sedang ekstra hati hati dalam penyaluran kredit untuk usaha, terlebih lagi kredit dalam jumlah besar. Hal tersebut dikarenakan situasi perekonomian global masih sangat tidak kondusif. Sehingga bank sangat khawatir atas kemungkinan terjadinya default (gagal bayar) atas kredit yang diberikan.

Saat ini, bank-bank di Indonesia sudah mulai gencar melirik mikro kredit4. Terdapat tiga alasan untuk hal tersebut; pertama, sekalipun kualitas keuntungannya (dari bunga) mungkin tidaklah sebesar dari bunga debitor kakap, namun kuantitas nasabahnya amatlah banyak, sehingga secara ekonomis tetaplah profitable. Kedua, UMKM terbukti lebih tahan terhadap krisis, sehingga kemungkinan default amatlah kecil. Ketiga, semakin yakinnya perbankan terhadap kuatnya sektor UMKM, hal tersebut dilihat dari laporan UNDP, UMKM di Jogja relatif tidak banyak terganggu akibat gempa bumi yang melanda Jogja beberapa waktu silam.

Akan tetapi, Indonesia tidak boleh terlalu cepat puas, karena sekalipun sudah banyak menunjukan kemajuan yang positif seperti yang telah diutarakan di atas, masih banyak usaha mikro yang membutuhkan uluran tangan5. Selain itu, potensial permasalahan mengenai agunan sebagaimana telah dikupas pada poin pentingnya aset dan modal, masih kerap menjadi ganjalan bagi sebagian calon nasabah.

Kiri, Kanan atau Tengah?

Beberapa waktu lalu, seorang aktivis gender terkemuka di Jogjakarta tampil sebagai pembicara dalam diskusi panel yang pesertanya adalah delegasi pemimpin muda Indonesia-Australia. Dirinya meragukan konsep bisnis yang berkaitan erat dengan sosial seperti Grameen Bank. Dia mengatakan: “Business is business, tidak dapat dicampur campur dengan sosial. Toh terbukti juga bahwa tujuan akhirnya lembaga-lembaga pemberi mikro kredit tetaplah untuk menghasilkan profit”. Disisi lain, seorang professor ekonomi komunis mengkritik Yunus; “Anda telah memberikan opium kepada kaum miskin, agar mereka tidak terlibat dengan isu isu politik yang lebih besar. Dengan pinjaman mikro anda yang tidak ada artinya itu, mereka tidur nyenyak dan tidak membuat kegaduhan. Semangat revolusi mereka mereda. Karenanya grameen adalah musuh revolusi” (Hal 197). Sehingga menjadi menarik untuk diulas bagaimanakah sebenarnya posisi GB dalam spektrum ideologi politik?

Yunus menyatakan bahwa dirinya percaya dengan tesis pokok kapitalisme: sistem ekonomi itu harus kompetitif, namun dirinya menyatakan keberatannya atas ciri utama kapitalisme yang lain; memaksimalisasi laba. Sehingga dirinya mengusulkan mengganti prinsip maksimalisasi laba tersebut dengan prinsip yang lebih luas; (a) laba, dan (b) manfaat sosial (hal 201).

Yunus menjelaskan bahwa Grameen mendukung pemerintahan yang ramping, berkomitmen pada pasar bebas, dan mendorong lembaga lembaga usaha. Maka dari itu Grameen semestinya kanan. Namun, Grameen juga bertujuan pada tujuan-tujuan sosial: penghapusan kemiskinan, penyediaan pendidikan, kesempatan kerja kaum miskin, dll. Grameen tidak percaya dengan laissez faire. Grameen percaya pada intervensi sosial tanpa mengharuskan pemerintah terlibat dalam bisnis atau penyediaan layanan layanan. Yunus mengatakan bahwa karena hal tersebut, maka Grameen dapat dikategorikan sebagai kiri. (Hal 203)

Hanya sesingkat itu saja ulasan Yunus, agaknya dirinya sengaja membiarkan permasalahan spektrum ideologi politik ini secara mengambang; menyerahkan kepada pembaca untuk menyimpulkan dimanakah letak GB dari spektrum ideologi politik (termasuk menyerahkan apakah hal tersebut signifikan untuk dipermasalahkan oleh pembaca ataukah tidak).

Di penghujung tulisan ini, saya sebagai penulis resensi tulisan ini tidak ingin memberikan kesimpulan akhir, apalagi mengenai letak spektrum ideologi Yunus yang jelas-jelas menarik untuk dielaborasi. Akan tetapi, saya ingin mengutip tulisan bijak dari Emha Ainun Najib di bawah ini6, yang tampaknya sangat sesuai untuk kita renungkan, baik sebagai langkah awal sebelum memberikan komentar atas sikap ideologi politik Yunus, ataupun sebagai refleksi untuk diri kita sendiri.

Ada orang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Ada orang mengucapkan tetapi tak melakukan. Ada orang melakukan tetapi tak mengucapkan. Ada orang yang tak mengucapkan dan tak melakukan… dengan berbagai variabelnya.

Ada orang yang mengkritik dan memberi jalan keluar. Ada orang mengkritik tetapi tak bisa memberi jalan keluar. Ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik. Ada orang yang tidak mengkritik dan tidak memberi jalan keluar… dengan berbagai variabelnya.

Ada orang berjuang, berteriak teriak dan melaksanakan perjuangannya. Ada orang berjuang, tidak berteriak tetapi mewujudakn perjuangannya. Ada orang berjuang dan tidak sibuk mengumumkan di koran bahwa ia berjuang, karena teriakannya mengganggu strategi perjuangannya. Ada yang berteria- teriak dan tidak berjuang…, dengan segala variabelnya.

Ada orang yang sangat khusyuk dengan prinsip dan idealismenya dan sangat sungguh-sungguh memikirkan strategi terapan prinsipnya. Ada orang yang total pegang prinsip sampai tak punya energi dan waktu untuk memikirkan bagaimana menerapkannya. Ada orang yang habis usianya untuk tata kelola dan tata terapan sampai tak ada prinsip yang tersisa dalam dirinya. Ada orang yang tak peduli pada prinsip dan tak sungguh sungguh melaksanakan apapun…, dengan segala variabelnya.

di barisan manakah kita berada/ingin menempatkan diri?


1 Beberapa universitas di luar negeri memang memungkinkan untuk lulusan S1 untuk langsung melanjutkan studi S3. Akan tetapi banyak pula universitas yang memeiliki kebijakan ketat untuk program S3, dimana bahkan mereka tidak mau menerima mahasiswa yang sudah mempunyai gelar S2, dengan alasan mahasiswa tersebut dari universitas yang dianggap tidak mempunyai reputasi yang baik.

2 Soto menyebut hal tersebut dengan sebutan tabungan si miskin yang terbelenggu dalam bentuk asset asset yang cacat: rumah di tanah yang tidak jelas siapa pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, Hak hak atas aset tersebut tidak-lah tercatat (juga tidak dianggap legal), sehingga tidak bisa diperjual belikan, juga tidak mungkin diagunkan, dll. Lihat: ‘Para Penguasa dan Penasihat Ahli, Bacalah Ini!’, wawancara Parakitri Simbolon dengan Hernando de Soto dalam Bagus Dharmawan (ed), Esai Esai Nobel Ekonomi, Kompas Media Nusantara, November 2007, hal. 221.

3 Lihat: Susidarto, Bank “Disandra” Nasabah Kakap, Wacana dalam SKH Suara Merdeka,15 Juli 2009.

4 Lihat: Tempo, Kredit Mikro: Kecil-kecil jadi Primadona, Bank bank makin getol menyal;urkan kredit mikro. Pendapatan Bunga bersih tinggi dan kredit macet rendah, 21 Juni 2009.

5 Saat ini diprediksi terdapat 49 Juta kredit usaha mikro diseluruh Indonesia, dan baru 35 persen saja yang masih yang baru mendapatkan akses perbankan. Ibid.

6 Lihat: Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kiai, Jakarta, September 2008, Hal 2.

9 Desember 2011

Takshi Shiraishi

Surakarta ibarat api kecil yang siap meletup dan membesar. Sejarah mencatat berbagai peristiwa kekerasan dan kerusuhan pernah terjadi di wilayah ini. Kerusuhan terbesar terakhir terjadi pada Mei 1998, persis pada saat masa transisi kekuasaan kepemimpinan Soeharto penguasa Orde Baru ketika itu. Sempat pula terjadi peristiwa kerusuhan dengan skala yang lebih kecil sesudahnya, sesaat Megawati Soekarnoputri tak terpilih sebagai presiden pada 1999.

Bagaimana menjelaskan Surakarta – sebagai sebuah ruang sejarah – yang seolah-olah memiliki “tradisi” radikalisme ini ? Sebuah catatan yang dibuat oleh seorang sejarawan, mencatat bahwa setidaknya telah terjadi 14 kali peristiwa kekerasan bernuansa rasialis (khususnya berkaitan dengan relasi Cina-Jawa) di kota ini. Catatan itu bahkan dianggap semacam sebagai sebuah siklus waktu tertentu.

Lepas dari benar tidaknya keyakinan atas siklus tersebut, menarik untuk melihat bagaimana Surakarta memiliki jejak-jejak dinamis politik pergerakan rakyat dalam konteks kolonial. Buku karya Takashi Shiraishi ini merupakan kajian penting dan berharga tentang tema tersebut. Melalui buku ini Takashi mencoba menjelaskan bagaimana pergerakan rakyat di Surakarta pada rentang tahun 1912-1926 melalui berbagai cara dan bentuk seperti surat kabar, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, karya sastra, ataupun lagu-lagu, merupakan momen yang menandai saat orang Indonesia mulai memandang dunia mereka dengan cara yang baru. Cara yang baru itu merepresentasikan cikal bakal politik Indonesia modern, juga cikal bakal nasionalisme Indonesia, Islamisme, serta Komunisme sebagai gerakan politik. Sebuah masa baru, seiring pula dengan munculnya para kaum terdidik dan terpelajar bumiputera sampai dengan seperempat pertama abad ke-20, buah munculnya politik etis.

Titik Berangkat

Historiografi ortodoks tentang Indonesia biasanya berkisah tentang Indonesia merdeka, dan masa sebelumnya sebagai masa-masa benih nasionalisme yang sedang membentuk. Satu catatan penting dari Takashi adalah soal kritiknya terhadap historiografi ortodoks ini, terutama yang bersumber dari sejarawan J.Th. Petrus Blumberger, seorang mantan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang dianggap sebagai pelopor pandangan ini.

Karya Blumberger dianggap merupakan karya klasik dengan karya triloginya – De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie (gerakan Komunis di Hindia Belanda), De Nationalistiche Beweging in Nederlandsch-Indie (Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-Indie (Gerakan Indo-Eropa di Hindia Belanda). Karya tersebut kemudian yang berpengaruh terhadap cara pandang umum dan sistem-sistem klasifikasi yang digunakan oleh pemerintah kolonial, semisal penggolongan masyarakat Hindia menjadi “eropa”, “Indo Eropa”, “Timur Asing”, dan “Bumiputra”. Juga dengan penggolongan organisasi secara ideologis – yang kemudian terus berlanjut – sampai dengan sesudah Indonesia merdeka : nasionalis, agama, dan komunis.

Menurut Takashi, setidaknya terdapat dua kelemahan mendasar dalam penulisan sejarah ortodoks ini. Pertama, bahwa mereka yang bergerak pada masa itu (seperempat awal abad ke-20), berpikir, berbicara, dan bertindak sebagai orang pertama, dan baru pada dekade 1920-an partai-partai mulai mengambil alih suara orang pertama ini atas nama organisasi dan disiplin. Sesuatu hal yang mungkin tersederhanakan oleh arsip sejarah kolonial yang hanya mengatur berkas arsipnya berdasarkan organisasi. Hal ini jelas mereduksi kenyataan aktor atau orang pertama dalam konteks sejarah pergerakan ini.

Kedua, dengan melihat pergerakan pada dekade 1910-an dan paro pertama 1920-an sebagai transisi, historiografi ortodoks tidak menghadirkan satu rangkaian pertanyaan yang penting : Bagaimana orang saat itu berhadapan dengan realitas? Seperti apa realitas itu? Pikiran dan gagasan apa yang menuntun mereka? Dan yang paling penting : bentuk dan bahasa seperti apa yang digunakan untuk menampilkan kesadaran baru mereka? (hal.xv).

Surakarta dan Lahirnya Pergerakan

Bagian awal buku ini berbicara tentang latar sejarah Surakarta sebagai sebuah arena. Sebuah wilayah yang mengalami pasang surut dalam konteks tarik-menarik kekuatan kolonial dan kraton. Dua kekuatan yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan struktur sosial dan tata politik yang berjalan di wilayah tersebut. Pada bagian ini pula kita bisa melihat awal muncul dan berkembangnya pula industri batik sebagai kekuatan ekonomi di wilayah Surakarta. Industri ini muncul pada ”zaman modal kedua” dan terus berkembang hingga menguasai pasar nasional sampai dekade awal abad ke-20.

Awal abad XX juga dianggap sebagai masa babak baru dalam perkembangan Surakarta. Masa yang dianggap sebagai ”zaman modern” dengan diiringi politik etis dari pemerintah Belanda dan merupakan penanda penting bagi muncul dan berkembangnya pendidikan. Pendidikan ini pula yang kemudian dianggap menjadi bentuk modernitas. Berbagai sekolah (dasar) dibuka di Surakarta pada masa-masa ini. Sebagian kaum bumiputera akhirnya mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Kaum muda ”generasi baru” ini – meskipun dianggap mengalami mobilitas, namun tetap dalam struktur rasial kolonial – tetaplah menjadi kekuatan baru dan nantinya menjadi tulang punggung pergerakan di Surakarta.

Sarekat Islam (SI) merupakan organisasi awal yang cukup mengakar di Surakarta. Organisasi yang bercikal bakal dari sebuah organisasi ronda bagi kepentingan keamanan pengusaha pribumi batik itu (Rekso Rumekso), kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam. Berbagai tokoh yang lahir dalam rahim politik etis kolonial ketika itu tampil sebagai pemimpin-pemimpin SI di Surakarta khususnya, seperti Tjokroaminoto, H. Samanhudi, sampai dengan Marco Kartodikromo.

Gerakan SI di Surakarta khususnya, dan di kota-kota lain secara umum, dianggap telah mengancam pemerintah kolonial. Melalui tulisan di surat kabar dan aksi-aksi protes yang digelar, dengan semangat ”menuntut persamaan hak bumiputera”, berbagai aktivitas SI dan para pendukungnya telah meresahkan penguasa kolonial ketika itu. Digambarkan dalam bab ini, bagaimana terjadinya pasang surut SI sebagai sebuah organisasi bumiputera. Strategi dan taktik dalam menghadapi berbagai pembatasan dari pemerintah Hindia, aksi-aksi persaingannya dengan organisasi yang sama di kalangan Tionghoa, sampai dengan berbagai bentuk perpecahan yang muncul di tubuh dalam organisasinya sendiri.

Seiring dengan situasi sosial ketika itu (1917-1920) dunia berubah dengan cepat, ketika Perang Dunia I memasuki tahap terakhir. Pada masa itu pergerakan mengalami transformasi yang mendalam. Jika zaman awal SI ditandai oleh vergadering-vergadering, pada masa-masa tersebut merupakan zaman pemogokan, di mana pemimpin-pemimpin baru dan pusat-pusat pergerakan bermunculan. Sejak akhir 1918, gerakan SI muncul kembali dengan serikat buruh sebagai pelopornya.

Masa pergerakan sepanjang 1917-1920 yang ditandai dengan dibukanya Volksraad, kebangkitan Semaoen dan SI Semarang, gerakan Djawa Dipa, TNKM, gerakan serikat buruh, kebangkitan PFB dan Soerjopranoto, memang mempengaruhi situasi pergerakan di Surakarta. Namun dalam konteks Surakarta, zaman bergerak itu muncul pertama kali seiring dengan dipulihkannya nama baik Tjipto Mangoenkoesoemo di atas panggung utama pergerakan sebagai anggota Insulinde yang ditunjuk untuk duduk di Volksraad, dan dengan kemunculan Haji Mohammad Misbach sebagai tokoh mubaligh reformis. Kombinasi Tjipto yang nasionalis dan Misbach yang mubaligh inilah yang mendorong Insulinde – bukan SI – menjadi kekuatan pergerakan “revolusioner” utama di Surakarta pada masa-masa itu (hal.159).

Menarik untuk melihat sosok Haji Misbach ini. Karena sebagai mubaligh, ia memiliki pandangan yang sangat Marxist, seperti tertuang dalam berbagai tulisan-tulisannya di berbagai media ketika itu (Islam Bergerak, dsb). Ia menyoroti ketimpangan dan penghisapan petani oleh kapitalisme, pemerintah, dan kekuasaan kraton ketika itu. Bagi Misbach, melakukan propaganda untuk ”kebebasan kita”, ”kebebasan negeri”, sama seperti melakukan propaganda untuk Islam, dan dalam pengertian itulah ia menunjukkan dirinya sebagai seorang mubaligh sekaligus propagandis Insulinde (hal.204). Sebagai propagandis, akhirnya ia mendorong pemogokan petani. Meskipun akhirnya ditangkap dan dipenjara, posisi Misbach digantikan kemudian oleh Tjipto Mangunkusumo, yang memiliki gaya dan pendekatan yang berbeda dalam melakukan gerakan kritik terhadap penguasa.

Solo di Zaman Pergerakan

Gerakan Tjipto Mangunkusumo yang dikenal sebagai ”anti Raja” dimulai pada sekitar bulan Juni 1919. Tjipto melakukan kampanye mengkritik dan memprotes posisi kraton yang feodal. Kampanye yang dilakukannya antaralain melalui tulisan di Panggoegah dan melalui Volksraad, telah membuat polarisasi di kalangan aktivis pergerakan, antara mereka yang pro Kerajaan dan pro Tjipto. Gerakan yang dilakukan Tjipto ini juga menghantarkannya sebagai pemimpin Insulinde/NIP-SH yang membawa mereka ke kancah ”perjuangan politik” (hal.238).

Ia mengusulkan sunan seharusnya dipensiun saja karena dianggap membebani rakyat, selain itu mereka juga dianggap sebagai budak-budak VOC. Pada intinya ia mengkritik kekuatan kraton sebagai representasi dari feodalisme seperti halnya di abad pertengahan. Kampanye anti Raja ini dalam prosesnya membuat keributan di kalangan pemerintah Hindia, Kasunanan, maupun Mangkunegaran sendiri. Di samping sebenarnya membuat polarisasi pada para aktivis gerakan (dalam konteks Surakarta, Boedi Oetomo dan SI Surakarta adalah pro kerajaan). Bentuk lain yang dikembangkan Tjipto kemudian dalam kampanye anti Rajanya adalah melalui Ketoprak, sebuah teater populer di Jawa. Dengan media ini ia melakukan sindiran dan kritik terhadap kerajaan.

Pada masa ini pula dilakukan rapat umum Sarekat Hindia (SH) di Surakarta yang dihadiri sekitar 2000 orang. Momen ini kian meruncingkan mereka yang pro dan kontra terhadap Kerajaan. Sementara suasana pergerakan lain dirasakan di daerah pedesaan Surakarta, ketika Sarekat Hindia bersama beberapa organisasi buruh lainnya (PFB dan SI Delanggu) melakukan berbagai rapat dan pertemuan untuk melawan dan mengancam rust en orde pemerintah kolonial. Misbach sering tampil dalam rapat-rapat tersebut.

Semakin memanasnya situasi pergerakan yang dimotori Sarekat Hindia nya Tjipto Mangunkusumo, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan sekitar Surakarta, menyebabkan pemerintah kolonial akhirnya bersikap tegas. Tjipto Mangunkusumo, Misbach, dan para tokoh Sarekat Hindia akhirnya ditangkap dan dipenjarakan. Khusus Tjipto, ia kemudian dibuang ke Bandung dan akhirnya ke Banda pada tahun 1921. Sebuah peristiwa yang akhirnya mengakhiri kiprahnya di panggung pergerakan Surakarta.

Islamisme versus Komunisme

Sementara itu kembalinya Misbach setelah dipenjara di Pekalongan ke Surakarta pada 1922, menjadi titik balik baginya kemudian untuk meninggalkan sekutunya Muhamadiyah, dan menjadi propagandis PKI/SI Merah. Ia banyak bicara tentang keselarasan paham yang mendasar antara Islam dan komunisme. Dalam banyak hal, Misbach memiliki kritik dan pandangan yang berbeda dengan Muhamadiyah. Dalam salah satu tulisannya di Medan Moeslimin tahun 1922, ia membedakan antara mukmin dan munafik, sesuatu yang pernah ia ungkapkan sebelumnya dalam kesempatan yang lain sebagai Islam sejati dan Islam lamisan. Dalam banyak kasus kalangan Muhamadiyah ketika itu dianggapnya sebagai mewakili kalangan munafik (hal.335).

Pengertian mukmin dan munafik di sini baginya mengacu pada Islam sejati yang ia maksudkan sebagai sikap apa yang harus diambil muslim Hindia terhadap politik dan pergerakan di zaman modal di Hindia yang dijajah oleh orang non-muslim. Dalam penjelasan lebih lanjutnya, bagaimana masyarakat Hindia harus dibebaskan dari kungkungan kekuatan kapitalisme dan imperialisme yang membelenggu. Pada intinya, Misbach ingin mengatakan bahwa sebagai seorang muslim sejati artinya adalah berani melawan penindasan yang dilakukan oleh kapitalisme dan imperialisme yang telah menyengsarakan rakyat banyak di bumi Hindia khususnya. Misbach dalam konteks ini memadukan Islamisme dan komunisme dalam pandangan dan semangat hidup yang akhirnya menggerakkan dia dalam berbagai bentuk aktivitas gerakan. Berbagai aktivitas gerakan yang dilakukan Misbach sepanjang sekitar tahun 1922-1924 di Surakarta khususnya, dianggap terlalu membahayakan stabilitas penguasa. Sampai pada akhirnya ia ditangkap dan dibuang bersama keluarganya ke Manokwari dan meninggal di sana pada 24 Mei 1926.

Suara Rakyat dan Kaburnya Kategori Ideologis

Pasca pembuangan Misbach ke Manokwari, Marco Kartodikromo meneruskan pergerakan komunis di Surakarta. Tahun-tahun terakhir 1926 di Surakarta, seperti halnya terjadi di beberapa kota lain di Jawa, meningkatnya tensi yang akhirnya terjadinya pemberontakan PKI pada 1926. Namun akhirnya pemberontakan di Surakarta bisa dipadamkan, dan kebanyakan pimpinan PKI (termasuk Marco, Mualimin, dsb) ditangkap dan dibuang ke Digul. Marco akhirnya meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria. Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang pergerakan. Istilah pergerakan di sini sebenarnya merupakan sebuah proses ”penerjemahan” dan ”pencomotan” yang kompleks dan dinamis. Istilah-istilah vergadering, voordracht (pidato), accord (pidato), vakbonden (serikat buruh), mogok, communisme, Islamisme, cursussen (kursus), atau debat, tidak punya arti apa-apa dan kedengaran asing di telinga pribumi. Pada saat zaman pergerakan itulah, kata-kata itu menandai bentuk-bentuk baru politik menancapkan akarnya di dalam bahasa Melayu/Indonesia.

Proses dinamis dari upaya penerjemahan itu sebenarnya lebih dari dari sekedar bangkitnya kaum pribumi, bahkan sungguh merupakan suatu peristiwa yang revolusioner, justru karena peristiwa tersebut memberi tempat bagi munculnya berbagai bentuk dan bahasa baru sehingga rakyat dapat ”mengatakan” apa yang tak dapat mereka ”katakan” selama ini. Surat-surat kabar, boikot, rapat-rapat umum, pemogokan, dan bentuk-bentuk lainnya yang muncul dalam pergerakan kemudian memobilisasi segmen-segmen penduduk yang lebih luas lagi dan telah melepaskan gelombang radikalisme rakyat. Gelombang radikalisme inilah yang membuat pergerakan benar-benar milik rakyat.

Hal menarik lainnya dan perlu digarisbawahi dalam buku ini adalah tentang sosok Haji Misbach. Idenya tentang Islamisme dan Komunisme tidak dapat diklasifikasikan ke kategori ideologi yang ada selama ini : nasionalis, Islam, dan komunis. Namun jika ditelusur dari kata-kata dan tindakannya untuk memerangi dunia lingkungan hidupnya, ia bukanlah sosok yang membingungkan lagi. Sosok seorang muslim putihan Jawa yang mencoba membuktikan kemurnian Islamnya dengan berjuang melawan semua fitnah sebagaimana diungkapkan kepadanya oleh Karl Marx. Misbachlah yang mengingatkan kita akan kesalahan klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme, dan memperingatkan kita akan pandangan nasionalis yang serampangan itu.

Buku yang diangkat dari disertasi penulisnya di Universitas Cornell ini menarik dan penting, karena merupakan bentuk historiografi yang berusaha keluar dari historiografi ortodoks yang dianggap memiliki banyak keterbatasan untuk menjelaskan proses dan munculnya kesadaran berorganisasi dan pergerakan, yang pada titik akhirnya memunculkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Proses yang justru dialami dan disuarakan oleh rakyat sebagai orang pertama sebelum munculnya partai pada tahun 1920an. Suara yang diwakili melalui kata-kata, tulisan, dan berbagai bentuk tindakan protes para pelakunya.

9 Desember 2011

Dr. Mujiburrahman

Cita-cita dan proyeksi “kebersatuan” dan “kebersandingan” antara ‘nilai-nilai Islam’ dan nilai dasar kebangsaan, sejatinya merupakan ketegangan gagasan yang hari ini semakin kian menarik untuk dibaca. Medan ketegangan ini secara ‘epistemologis’ merupakan cara dari bagaimana kedua nilai tersebut bereksistensi dan bertahan dalam gerak peradaban ke depan yang semakin cepat. Tidak memungkiri, di banyak hal, perbincangan tentangnya kadang syarat dengan tendensi-tendensi ‘politik’ dan ‘ideologi’ yang dibawa oleh masing-masing nilai tersebut. Sejarah politik Indonesia yang terepresentasikan dalam ruang-ruang kontestasi partai politik tidak jauh-jauh juga masih membawa dimensi perbincangan ini. Katagori Clifford Geertz dalam memandang dan membaca representasi kekuatan keagamaan islam Indonesia seperti ‘priyayi’, ‘abangan’ dan ‘santri’ beberapa hal masih cukup membantu untuk membaca beberapa dinamika sosial politik kekinian. Tentu saja katagori Geertz perlu dilengkapi dan ditambahi dengan bebeberapa analisis perkembangan kontemporer. Dalam kergaman gerak perubahan, setiap katagori adalah alat bantu sekaligus batasan untuk membantu merepresentasikan sesuatu hal. Fakta yang semakin kompleks akan mendorong setiap katagori perlu mendialogkan dengan realitas yang berjalan. Seperti halnya diskursus katagori tentang ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ harus juga dibaca dalam titik pangkal prinsip ini.

Kontestasi politik Pemilu 2009 tetap menyisakan tarik-menarik ketegangan di antara nilai tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai evolusi perkembangan, ‘diskursus’ tentang bagaimana ‘state’ harus dibangun dan ditata apakah melalui dasar-dasar ‘kebangsaan’ yang lebih menghargai pluralitas keberagaman dan visi modern negara atau nilai-nilai religiusitas Islam tetap menjadi persoalan yang menarik. Dengan berbagai dinamikanya, kutub pendikotomian kadang semakin menunjukan batasan yang semakin tipis dan terbuka. Entah memang karena keniscayaan politik atau cara strategi berpolitik, masing-masing ‘kutub’ seolah tidak mau terjebak pada ‘identitas’ yang ‘kaku’ dan ‘dingin’. Menarik sebagai contoh adalah betapa partai-partai Islam sekarang tidak lagi memposisikan semata sebagai ‘representasi islam’ tetapi sekaligus juga ingin mengusung ‘jawaban” atas kebutuhan nasional secara lebih besar. Tidak menjadi asing bahwa ‘diskursus’ tentang ‘nasionalisme’ atau ‘keindonesiaan’ tidak lagi hanya menjadi ‘klaim’ dari ‘partai- partai politik yang berdasar atas azas dan ideologi “nasionalisme’. Tak pelak hadir pertanyaan kritis berikutnya, apakah ‘nasionalisme’ atau ‘keislaman’ yang kini menjadi ‘orientasi’ yang sedang diperebutkan? Apakah ia justru sebenarnyalah hanya terhenti pada “diskursus mengapung” yang lebih berorientasi pada ‘komodifikasi politik’ semata ketimbang ‘proyeksi ideologis’ yang lebih jauh?

Islam, nasionalisme dan berbagai ketegangan ‘dikursus’

Pada dinamika sejarah keislaman Indonesia secara lebih luas, mencatatatkan prinsip pandangan yang beragam dalam meletakkan ‘keberagamann’ yang diyakini tepat dan cocok di Indonesia. Dua kutub besar sebagai cara pandang tentangnya mengakar dan megerucut pada diskursus di antara ‘universalisasi’ dan ‘partikularisasi’ Islam diletakkan pada ‘ruang hidup keindonesiaan’. Sebagian meyakini bahwa nilia-nilai kearifan dan keberagaman konteks lokal amatlah menjadi modal dasar penting bagaimana mengembangakan ‘keberagamaan’ dalam nilai-nilai keindonesiaan. Pada prinsip yang lebih besar, Islam dan nilai keindonesiaan tidak diposisikan dalam hubungan yang antagonistik. Berbagai potensi nilai keindonesiaan diyakini merupakan fondasi dan ruang hidup penting bagaimana “Islam Indonesia bisa menunjukan wajahnya’. Relasi ‘universalitas keislaman’ dan ‘partikularitas kebangsaan’ Indonesia tidaklah dilihat sebagai dua wajah nilai yang saling ‘meniadakan’. Keduanya merupakan nilai komplenter yang saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Transformasi dan evolusi keagamaan tidaklah harus dibanguin melalui ekspresi ‘kekuasaan’, ‘penaklukan’, dan ‘formalisasi’ yang meniadakan ruang hidup pada bumi yang dipijaknya sendiri. Dalam perspektif yang lebih maju, ia dipandang sebagai pencerminan Islam yang lebih transformatif ketimbang formalis semata. Upaya ‘mengkontekstualisasikan’ nilai-nilai Islam dalam nafas dan kebutuhan ‘keindonesiaan’ merupakan mandat yang harus dijalankan. Titik terpentingnya adalah mengembangkan dan menghidupkan Islam dalam ranah kearifan ‘madzhab’ Indonesia.

Pandangan yang meletakkan aspek ‘dialogis’ sekaligus ‘akomodatif’ sebagai cara untuk membentuk ‘pola-pola keberagamaan’ cenderung banyak dianut oleh prinsip bahwa ‘sejatinya sebagai ekspresi keagamaan, ia tidak bisa melepaskan dengan pertemuannya dengan ekspresi nilai-nilai yang melingkupinya. Menutup diri atasnya justru merupakan sikap ‘ahistoris’ yang akan melemahkan agama secara jangka panjang. Kebertahanan Islam tentu akan sangat ditentukan bagaimana ia bisa menyelaraskan dan mensinergikan dengan nilai-nilai dasar yang bertumbuh dalam jantung bumi Indonesia. Meminjam thesis Berger dalam tulisannya di “The Desecularization of the World”, strategi membangun ‘kebertahanan’ dan eksistensi keagamaan mempunyai tiga kecenderungan pola yang digunakan 1)`Stratregi penaklukan atau revolusi keagamaan; 2) pengasingan diri; 3) dialog. Setiap kecenderungan ini memberikan bentuk ekspresi keagamaan berbeda dan masing- masing pilihan akan mengandung beberapa konsekuensi pengaruh yang berbeda pula pada usaha mendialogkan ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ dalam wujud praktiknya. Fenomena perkembangan ‘modernitas’ dan segala laju perubahan yang dibawanya turut menyumbang sekaligus mendorong berbagai gesekan dan persentuhan yang tidak bisa dihindari dalam dinamika Islam.

Dunia dengan segala entitas kebudayaannya mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pandangan meyakini bahwa perubahan dunia adalah keniscayaan wajah yang tidak terhindari. Tetapi problem seriusnya tidak semata pada titik keyakinan ini. Problem yang menggelayut adalah “kemana perubahan itu akan menuju” dan bagaimana setiap nilai, pandangan dan tradisi Islam melihat ‘perubahan’ dalam kacamatanya masing-masing. Pluralitas pada titik inilah yang tidak jarang melahirkan posisi diskursus yang berbeda pada setiap ekspresi keberagamaan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian menerima dan berdiri menjadi ‘loyalis buta’ yang setia terhadap sikap terbukanya pada perubahan. Ia semata dilihat sebagai “keniscayaan abadi” yang tidak bisa dicegah. Mengingkarinya adalah sebuah kesia-siaan. Lebih ekstrimnya, setiap perubahan seperti yang terbawakan dalam episode globalisasi, neoliberalisme dan semacamnya dilihat sebagai harapan baru yang menjanjikan. Diujung yang lain, berdiri sekian pandangan yang begitu sangat ekstrim mencurigai, menentang dan bahkan meletakkan perubahan sebagai ‘monster’ yang harus dibinasakan. Perubahan adalah ‘mengganggu status quo tradisi’. Ia selalu dipandang sejatinya hanya akan meluluhlantahkan ‘kesakralan nilai’ dan menghancurkan bangunan diri keislaman. Dari sekian dikotomi ekstrim ketegangan itu, tidak sedikit pula yang lebih realistis dan rasional meletakan ‘perubahan’ sebagai entitas yang harus dibaca secara ‘adil’ dan sekaligus penuh dengan kritik kedalaman. Dialektika kebudayaan akan selalu bisa ditemukan di ruang dan di tempat manapun. “Ikut” tetapi tidak ‘hanyut” adalah sebagian prinsip dipegang untuk menhadapi setiap perubahan.

Diskursus tentang tema-tema ‘pembaharuan Islam’ tidak bisa melepaskan diri dari keniscayaan modernisme. Sebagian yang lain menatap penuh optimistis terhadap misi pembaharuan namun tidak sedikit pula yang begitu resistensi terhadap segala ide-ide apapun tentang pembaharuan Islam. Perspesi yang dimunculkan oleh ide gerakan ini tidak jarang juga melahirkan banyak perdebatan. Tentu pertanyaannya selalu diarahkan pada kecurigaan adanya inflitrasi ide-ide barat dalam gerakan pembaharuan Islam. Modernisasi dan kecurigaan sekularisisasi atas ide-ide Islam yang pernah ditujukan kepada pemikir muslim seperti Nurcholish Madjid merupakan salah satu gambaran dinamika perkembangan persepsi tentang ide-ide pembaharuan. Tidak selalu didekatkan dengan ide-ide sekularisasi, kecurigaan dan resistensi ini juga pernah diarahkan pula pada sosok oemikir seperti Kiai Ahmad Dahlan tentang anggapan ide-ide ‘rasionalisasi’ dan ‘purifikasi’ Islam. Diskursus ketegangan lebih terletak pada kesangsian dan sekaligus ketidakpercayaan bahwa ‘pembaharuan Islam’ bersumber dari ‘epistemologi’ dasar-dasar nilai Islam. Walaupun tidak jarang, para pemhabaru Islam lebih meyakinkan bahwa justru ‘mandat dari gerakan ini’ adalah untuk mengembangkan Islam dari berbagai ruang stagnasi dan kemandegan akibat berbagai penetrasi kebudayaan-kebudayaan yang merugikan Islam. Perubahan tidak perlu dibaca secara tendensius dan prasangka membabi-buta. Ia perlu disentuh sekaligus disikapi secara kritis. Apakah ia akan menghasilkan dialog yang ‘afirmatif’ atau ‘kontradiktif’ tentu akan sangat ditentukan dengan dinamika objektif yang berlangsung.

Mencari ‘ekspresi keberagamaan’ yang ‘dialogis’

Tidak bisa dipungkiri sekian polemik yang berhadapan di antara diskursus seperti ‘barat’ dan ‘islam’, ‘fundamental’ dan ‘liberal’, ‘perubahan’ dan ‘tradisi’, ‘universalisme’ dan ‘partikularusme’, ‘sinkretisme’ dan ‘pemurnian’, ‘pluralisme’ dan ‘sentralisme’, ‘modernis’ dan ‘tradisionalis’ merupakan ekspresi tidak terhindari dari buah pembacaan dan interpretasi tentang perubahan dan masa depan Islam yang ingin diletakkan. Dalam realitas ketegangan entitas-entitas nilai ini, ia tidak bergerak dalam ‘ruang’ dan ‘medan’ yang kosong. Variabel dan konteks ‘politik’, ‘sosiologis’, ‘antropologis’ dan dimensi ‘historis’ menyumbang sekian pengaruh yang cukup penting dalam dinamika diskursus ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ tersebut.

Beberapa tema menarik di atas, yang mengkaitkan kesalinghungan antara spirit perkembangan Islam dan konteks keindonesiaan cukup kompleks dan menarik diangkat oleh Dr. Mujiburrahman dalam bukunya “Mengindonesiakan Islam”. Buku yang merupakan hasil pengumpulan karya tulisnya tentang Islam dan Indonesia lebih ingin menunjukan ruang kompleksitas tentang diskursus keislaman di Indonesia. Di struktur isi penulisannya, Mujiburrahman menorehkan beberapa ide kontroversi yang saat ini masih terus bergulir terutama tentang diskursus pluralisme, negara, islam dan sekaligus beberapa isi kontemporer tentang agama dan demokrasi. Ada beberapa catatan yang sengaja diangkat penulis ini untuk memberi bobot karya lebih berkualitas terutama perihal pembacaan teoritik dan beberapa perspektif pengkajian keislaman kontemporer yang harus dipegang sebagai pisau analisis.

Apa yang terlihat fokus dalam deretan bab yang telah disusun oleh penulis buku ini secara eksplisit ingin mengurai berbagai tautan fenomena dan problem penting di dalamnya di sekitar persoalan ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’. Terhadap dua bahan penting ini, Mujiburrahman membangun landasan perspektif yang berangkat dari keyakinan teoritis bahwa entitas keduanya tidak bisa dilihat secara dikotomis dan berhadapan. Islam dan ‘nasionalisme ’ justru membingkai dan merias wajah kekhasan yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Dengan keragaman, pluralitas, dan khasanah bangsa yang unik maka Islam Indonesia akan sangat sulit untuk dibentuk menjadi islam yang monolitik dengan melepaskan aspek ruang hidup yang plural. Memaksakan ekspresi keagaman dengan satu sentralitas tunggal keberagamaan dan menghindar dari nilai-nilai dan bumi tradisi yang dipijaknya justru secara prinsip kontraproduktif. Membuka diri secara demokratis mempertemukan berbagai posisi pandangan keislaman akan lebih membangun kualitas keberagamaan itu sendiri. Optimisme terhadap hal itu selalu terlihat ditekankan dalam tiap kesimpulan bab. Meskipun bukan sebuah proses yang begitu saja mudah, tetapi Mujiburrahman meyakini bahwa ‘ketegangan-ketegangan dialog’ , pada prinsipnya akan membantu melahirkan nilai-nilai baru yang saling melengkapi.

Sebagai karya yang berusaha memotret problematika diskursus keislaman dan problem-problem kontemporer tentang islam dan keindonesiaan, karya ini perlu mendapatkan apresiasi. Spirit terhadap perlunya ruang ‘kebertemuan’ terhadap berbagai keragaman nilai dengan segala etos penghargaan menjadi poin yang meanrik untuk dicermati. Tampanya, menurut Mujiburrahman akan selalu berujung pada ‘konflik’ dan ‘pertentangan’ yang tidak akan pernah usai. Kearifan dan keberanian untuk berdialog adalah kunci. Selaras dengan potensi dan karakteritik keberagaman ekspresi keislaman di Indonesia , maka poin ‘penghargaan’ yang saling melengkapi dan tidak meniadakan satu sama yang lain haruslah digarisbawahi. Keyakinan prinsip ini pula yang memberi garis tegas pada pandangan Mujiburrahman yang sangat yakin terhadap khasanah nilai-nilai ‘keindonesiaan’ yang bisa mengembangkan masa depan Islam di nusantara ini. Tentu secara normatif pula masih harus digenapi dengan usaha serius dan komitmen kerja keras untuk mewujudkannya.

‘Keindonesiaan’ yang selalu ‘berproses’

Masih ada catatan kritis yang tertinggal untuk karya buku ini. Menelusuk dalam ‘logika imanen’ premis dasar dalam karya ini terasa masih meninggalkan ‘ruang kosong’ yang belum begitu dalam disentuh oleh Mujiburrahman terutama tentang pendalaman lebih detail tentang dinamika internal dalam entitas nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip pandangannya belum meninggalkan jauh dari model dan realitas keindonesiaan yang masih dibaca dalam kerangka pandangan “nation state’. Sebuah ikwal tentang cara pandang yang cukup berkembang dalam fase-fase paskakemerdekaan bangsa-bangsa. Jika kita kontekskan dengan realitas sekarang, justru ada spirit berbeda yang dibawa dalam pergerakan dan perkembangan diskursus ‘nasionalisme’. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa bukankah ‘nasionalisme’ adalah bagian diskursus politik yang lebih merupa dalam ‘politik identitas’ ketimbang dinamika lebih kongkrit yang sekarang sedang bergulir. Definisi politiknya lebih menggambarkan ‘masyarakat’ yang dibayangkan sebagai mekanisme membangun dasar pijakan keindonesiaan. Tentu sifatnya bisa jadi lebih berdimensi politis ketimbang kultural yang dibayangkan oleh penulis buku ini sejak awal. Jika melihat perubahan keindonesiaan yang begitu pesat dengan laju gerak ‘imperialisme’ pasar yang begitu berpengaruhnya, maka jangan-jangan “keindonesiaan’ yang sedang diperbincangkan menjadi lebih hanya menjadi ‘bayangan’ yang sudah tidak kokoh lagi. Orang bahkan akan cukup kesulitan untuk merumuskan secara lebih detail dan utuh tentang apa yang disebut “nilai keindonesiaan’. Artinya pula, spirit “mengindonesiakan islam” juga menjadi premis yang masih ‘mengapung’ dan masih belum terlalu kokoh dasar pijakannya. Tentu ada satu catatan yang artinya pula perlu ditampilkan. Jika ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ adalah ‘entitas diskursif’ yang terus bergerak, maka apapun yang kemudian kita sebut sebagai “mengindonesiakan islam’ bisa jadi adalah gerak sejarah yang terus ‘mencari’ dan tentu tidak terburu untuk disimpulkan sebagai sebuah bentuk dan wajah ‘keislaman’ yang final.

9 Desember 2011

Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel

Dalam mainstream literatur teori sosial, kita dikenalkan dengan ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ sebagai sebuah ekspresi keislaman yang didalamnya terkandung gagasan tentang dunia sebagai sebuah ‘emanasi’ dari Tuhan dan ‘paralelisme’ mikrokosmos dan makrokosmos. Ia juga bisa dimengerti sebagai perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung dengan tujuan yang terkait dengan konsepsi tentang ‘kemaslahatan umat’. Beberapa kelompok ‘sufi’ membangun dengan pola-pola hirarkhi tarekat yang ketat tetapi tidak sedikit pula yang membangunnya dengan asosiasi yang lebih longgar. Kedekatan diri dengan Allah kerap kali dibangun dengan berbagai praktik seperti zikir, doa, menyebutkan sifat-sifat dan teknik-teknik olah tubuh olah batin lainnya lainnya seperti cara-cara ‘meditasi’ dan ‘kontenplasi’. Memelihara solidaritas, persahabatan dan kedekatan antara ‘syaikh’ atau ‘mursyid’ dan murid-murid melalui pembelajaran pengutamaan tradisi dan perilaku yang benar merupakan karakteristik yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan tarekat mereka. Meskipun batasan pengertian ini tidaklah sesuatu yang baku, minimal gambaran wajah inilah yang oleh awam kerap dipahami.

Tentu tidak terlalu asing untuk mengenal gerakan-gerakan cabang ‘sufisme’ dalam skala global yang popular seperti ‘Naqsabandiyah’, ‘Khalwatiyah’, ‘Tijaniyah’, ‘Qadiriyah’, ‘Ahmadiyah’, ‘Syadziliah’, ‘Mawlawiyah’, dan beberapa gerakan sufisme berpengaruh di tingkat lokal lainnya seperti ‘Syattariyah’ ‘Wahidiyah’ dan ‘Rida’iyah’. Nama-nama besar Syaikh sufi yang cukup terkenal bisa kita dapat seperti Ibnu Arabi, al-Jilli, Ghazali, Ahmad Kuftaru, Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rumi, Inayat Khan dan pemikir pembaharu sufisme lainnya seperti Hamka yang popular di Indonesia. Beberapa aliran besar ‘sufismer’ ini kemudian telah banyak berkembang dan bermetamorfosis ke anak cabangnya di beberapa negara.

Beberapa komunitas dan gerakan Islam besar di Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) misalnya, pada beberapa hal lebih toleran terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Garis batas yang dipegang sebagai prinsip penilaian bagi NU terletak pada apakah tarekat sufi ini tarekat “mu’tabarah” atau tarekat “ghairu mu’tabarah”. Tarekat “mu’tabarah” dengan sendirinya adalah tarekat yang ‘sahih’ (benar)_karena memiliki pertalian hubungan guru-murid sampai nabi Muhammad Saw. Sebaliknya tarekat “ghairu mu’tabarah” dianjurkan untuk tidak diikuti untuk menghindari hal yang salah dalam menjalani hidup kesufian. Perkembangan kontemporer, sufisme baik “mu’tabarah” maupun “ghairu mu’tabarah” berkembang semakin luas terutama jangkaunnya di komunitas urban perkotaan. Ia membentuk format, pola dan relasi yang baru dengan perkembangan kemodernan saat ini. Bisa kita sebut beberapa nama ‘mursyid’ terkenal dengan tarekat sufi besarnya di Indonesia seperti KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin yang memimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawabarat;, KH. Asrori bin Muhammad Usman di TQN Kedinding, Surabaya, KH. Masyhuri Syahid di TQN Jombang Jawa Timur. Kita juga cukup akrab dengan berbagai model praktik sufi yang lebih popular dalam beberapa tahun ini dengan praktik zikir berjamaahnya seperti Majelis Zikir pimpinan Ustad Arifin Ilham, Majelis Zikir pimpinan H. Hariyono, Majelis Zikir As Samawat pimpinan KH. Saadi dan Majelis Zikir Istirham pimpinan KH. Abdurrahim Rajiun. Neskipun tergolong ghairu mu’tabarah, tetapi para peminat dan pengikutnya cukup lumayan besar.

Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.

Pada kontroversi yang lebih keras, ‘Sufisme’ kerap mendapat serangan dan penentangan terutama oleh kelompok-kelompok ‘salafi’ dan kelompok islam modernis dengan gerakan orientasi pemurnian islamnya. Menguatnya marginalisasi atas eksistensi keberadaan sufisme di Indonesia terjadi terutama pada peralihan abad ke-20 ketika terjadi penguatan gerakan ‘revitalisasi agama’ atas pengaruh kaum pembaharu Islam di Timur Tengah. Pengkarakterisasi ‘sufisme’ sebagai ‘islam yang tidak islam’ pernah cukup menguat pada saat-saat itu. Upaya revitalisasi ini didorong juga oleh spirit untuk membersihkan Islam dari pengaruh nilai-nilai yang dianggap ‘bukan Islam’. Atas semakin luasnya pertentangan ini, beberapa pengamat dan penulis tentang islam memprediksikan atas melenyapnya tradisi ‘Tasawuf’ dan gerakan ‘Sufisme’. Menurut beberapa pengamat tentang Islam, sufisme akan menghilang dan pudar juga seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi. Ruang emosional keislaman akan direbut oleh para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama hingga sisa-sisanya masih terasa saat ini.

Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan- anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam. Adaptasi dan cara bertahan hidup telah ditunjukan dengan berbagai elaborasi praktik-praktik baru ‘Sufisme’ yang berkembang semakin beragam. Ada artikulasi praktik keislaman yang lebih luas dan menarik untuk dikaji lebih jauh ketimbang hanya diletakkan pada pandangan dikotomis semata. Perubahan yang dibawa oleh modernisasi banyak hal bertemu dengan berbagai kesalinghubungan konteks perubahan ekonomi, politik, kultural dan evolusi struktur-struktur kelembagaan lainnya. Dikotomi ‘simplistik’ yang menghadapkan ‘sufisme’ pada bentangan katagori ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’ tidak menarik lagi menjadi kunci analisis. Sebaliknya, sufisme dalam keragaman praktiknya bisa mengambil jarak atas modernitas dan tetepai banyak hal juga bisa adaptif terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.

Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara. Khasanah tentang dinamika dunia ‘tasawuf’ yang memberi pemetaan menarik. Pertama, Sufisme sebagai entitas keagamaan tidak bisa hanya diletakkan semata pada pemahaman-pemahaman yang ‘a-historis’, ‘homogen’ dan ‘dikotomik’. Ada keragaman ekspresi, ada kekhasan tradisi dan ada multi pandangan yang mendorong ‘Sufisme’ bertumbuh dan berkembang. Fakta kebertahanan ‘Sufisme’ ini satu sisi telah menantang perspektif lama dan sekaligus mengajak semua orang untuk mulai memahami kelangsungan signifikansi ‘sufisme’ di dunia modern dan kontemporer dengan lebih mendalam. Kedua, Sufisme dalam keterkaitan dengan modernisasi tidak harus dibaca secara ‘biner’ dan hadap-berhadapan. Dinamika dan pasang surut kehidupan ‘Sufisme’ tidak hanya disebabkan oleh variabel modernitas. Lahirnya berbagai ‘neo-sufisme’ bisa jadi adalah hasil tarik menarik dan saling pengaruh dari perubahan berbagai struktur dan sistem sosial lain yang ikut berubah. Buku ini sekaligus mau mangajak untuk perlunya konseptualisasi ulang tentang berbagai pandangan tendesnsius dan mapan terhadap watak ‘Sufisme’. Secara etis terlihat upaya mendudukan berbagai keragaman ‘Sufisme’ dengan upaya pembacaan dan pemahaman lebih kritis melampaui perdebatan-perdebatan yang cenderung deterministik. Ketiga, buku ini ingin memahamkan bahwa ‘Sufisme’ dalam ekspresi dan praktiknya tidak memiliki sikap politik yang doktrinal secara kaku. Ia tidak juga dipahami sebagai entitas yang tidak berubah. Ia berkembang dan berevolusi dalam persentuhannya dengan faktor- faktor internal maupun eksternal. ‘Sufisme’ juga tidak hanya mengutup pada satu mode dan keyakinan dasar tertentu. Ia bisa terbentang dari paling ‘puritan’ sampai yang paling ‘perenialis’. Ia juga bisa tumbuh bergerak dari yang paling konnservatif sampai yang paling adaptif dengan arus modernitas. Ia bahkan bisa bergerak melampauio batas ‘yang tradisional’ dan ‘yang modern’

Buku ini mengangkat beberapa hasil kajian riset penting dan menarik tentang ‘Sufisme kontemporer’ di beberapa negara seperti Mali, Mesir, India, Indonesia dan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam beberapa aspek, buku ini mengajukan satu model pendekatan baru untuk melihat kembali hubungan yang lebih dinamis antara ‘Sufisme’, label-label ‘non sufi’, dan kondisi modernitas. Tidak hanya menjangkau komunitas-komunitas sufi lokal dan domestik, beberapa hasil riset lebih mengembangakan pada skala yang lebih luas yakni gerakan sufisme dalam skala internasional. Kuatnya perubahan eksternal dan penentangan yang bertubi-tubi atas eksistensi sufisme bukan menghentikan ekspresi keagamaan ini melenyap, ia dengan berbagai keunikan, kekhasan dan juga keragaman tradisi justru berkembang pesat. Di beberapa kehadirannya justru dimaknai sebagai cara-cara lebih stratagis untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dari gempuran budaya ‘non Islami’ yang semakin kuat. Sebagai halnya melakat pada konteks sosial historis,

keberadaanya selalu berartikulasi dan bersentuhan dengan dinamika perubahan tersebut. Tesis tentang sekularisasi karena dampak modernitas dari beberapa pemikir tentang islam semakin terbantahkan dengan kemunculan wujud dan wajah ‘kebangkitan agama’. Sufisme bisa menjadi salah satu bagian entitas penting dalam upaya ‘desekuralisasi’ dan penjagaan nilai-nilai keislaman yang termasuk sangat penting. Para sufi pasca-kolonial, seperti yang ditunjukan John O. Voll dalam halaman akhir buku ini menunjukan sebuah kecenderungan perubahan baru wajah dan pola ‘pemasaran agama’ yang lebih ditentukan oleh situasi objektif lingkungan sufisme berada.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top