OPINI & RESENSI
Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
Tidak sedikit cara pandang yang masih meletakksn stereotipe terhadap ‘perjuangan politik kaum muslim’. Kolonialisasi cara pandang pengetahuan Barat tentang Islam tidak sedikit memberi citarasa “sinis”. Bukan tiba-tiba anggapan-anggapan tersebut muncul. Kekerasan, menjadi salah satu dari sekian stigma yang tertanam. Pencitraan tersebut semakin terkomodifikasi dengan berbagai gesekan-gesekan politis yang terjadi di tingkat global. Konflik-konflik kekerasan di beberapa negara muslim seakan menambah daftar “pembenar” dari berbagai tuduhan tersebut. Wajah Islam sepertinya tidak jauh dari problem-problem kekerasan. Bahkan sering kali dunia Islam dalam kecenderungan “orientalisme” Barat masih dibaca dan dilihat secara hitam putih. Tidak saja bahwa teoritisi Barat kadang mempunyai pretensi sepihak untuk melihat wajah Islam dalam “kotak beku” kesimpulan yang sudah dianggap permanen, tetapi kadang meletakkannya sebagai salah satu ancaman peradaban. Meskipun tidak semua pengamat di luar Islam mempunyai kecenderungan premis tersebut, namun minimal praanggapan buruk itu masih cukup kuat tertanam.
Di masyarakat muslim sendiri memiliki berbagai keragaman cara pandang terhadap tema-tema krusial yang ditimpakan kepada aktifitas politis Islam termasuk di dalamnya adalah pilihan gerakan. Beberapa aktifitas gerakan Islam memang tidak dipungkiri lebih memilih “jalur kekerasan” sebagai mekanisme perjuangan. Tidak sedikit pula, gerakan islam lebih memahami ekspresi keislamannya dengan tradisi dan cara yang berbeda. Kita tentu mengenal sebagian yang memilih jalan epistemik untuk berperang secara fisik seperti yang terlihat dalam beberapa gerakan islam radikal. Sebut saja muslim Taliban di Afghanistan yang cukup terkenal setelah. Taliban dengan mayoritas suku Pathan yang mempunyai tradisi panjang dalam persoalan kekerasan.
Afghanistan dengan dinamika sejarah politiknya memang akan menampilkan kepermukaan Islam yang penuh dengan wajah “perang” dan “kekerasan” setidaknya gambaran ini tercermin dalam berbagai catatan sejarah politik di sana. Komunitas-komunitas suku yang dominan seringkali lebih menggambarkan kondisi sosial politik yang penuh dengan situasi nkonflik dan ketegangan-ketegangan. Tentu banyak sisi-sisi lain yang perlu ditelusuri dan digali. Data literatur sejarah politik yang banyak tersebar tidak jauh dengan situasi dan fakta-fakta konflik. Kemungkinan pilihan alternatif perjuangan politik di luar jalan kekerasan terasa tidak mendapat tempat? Buku Badshah Khan : Kisah Perjuangan Muslim Antikekerasan yang Terlupakan, karya Eknath Easwaran menampilan fakta dan kisah yang lain. Sebuah gambaran ekspresi perjuangan kaum muslim yang jauh dari tradisi dan kultur kekerasan.
Badshah Khan adalah seorang ulama dari sekian tokoh pejuang Islam amat terpandang dari perbatasan Hindia dan Pakistan yang mendedikasikan dirinya bagi perjuangan muslim dengan memilih prinsip perjuangan tanpa kekerasan. Lahir dari Suku Pathan yang keras dan pada dasarnya hidup dalam lingkungan tradisi dan keyakinan yang bertolak belakang. Pejuang Taliban sebagian besar adalah suku Pathan. Mereka dikenal dengan keberaniannya. Tidak ada kamus perdamaian. Perdamaian hanya bisa dicapai oleh bangsa Pathan sendiri. Badshah Khan menunjukan ‘wajah islam” yang lain yang selama ini belum banyak dilihat oleh bangsa Barat ataupun kaum muslim sendirik. Tentu Badshah Khan, adalah sosok pengecualian dari komunitas yang jauh dari tradisi perjuangan tanpa kekerasan.
Sulit dibayangkan,anah politik yang selalu meyakini dan menghayati jalan pengorbanan untuk berperang bisa melahirkan sosok Badshah Khan yang berbeda cara pandang dan keteguhan iman untuk berdiri dalam jalan cinta dan hasrat untuk mengampuni. Juah berbeda dengan Kaum Pathan yang kian lama belajar untuk menyerahkan dirinya pada sukunya dalam aksi yang seringkali harus menuntut pengorbanan diri secara total. Kematian karena kekerasan sudah hampir dapat dipastikan dan kadang-kadang justru dicari. Kematian semacam ini adalah jalan terpasti menuju surga. Sekiranya prinsip ini yang menjadikan pilihan kekerasan menjadi jantung gerakan komunitas Pathan.
Badshah Khan berpikir berbeda tentang perjuangan Islam, “Islam adalah amal. Yakeen, dan muhabat, yakni pelayanan tanpa pamrih, keimanan dan cinta kasih. Sikap “antikekerasan” bukanlah semata kebijakan yang bisa dikompromikan dengan situasi dan kondisi, melainkan bagian dari iman”. Setidaknya prinsip itu yang membuat Khan sangat termasyhur dengan sikap pilihannya. Selanjutnya yang menjadi rintangan terbesar di jalan Badshah Khan adalah budaya “bahasa dendam” dan “kekerasan” yang mengakar dalam masyarakat Pathan. Menawarkan prinsip antikekerasan bagi orang-orang yang sudah sekian lama hidup dalam budaya konflik bukan barang mudah. Tidak sekedar diremehkan karena dianggap pelarian dari rasa keberanian, tetapi juga berhadapan dengan godaan-godaan untuk reaktif terhadap kekerasan. “Anti kekerasan adalah senjata paraa penakut”. Demikian apriori yang berkembang dikalangan kaum Pathan.
Ajaran nilai Badshah Khan sangat jauh dari skeptisime tersebut. Jalan hidup dalam sikap antikekerasan adalah kekuatan yang sangat aktif dan tidak memberi ruang sedikitpun bagi mereka yang pengecut maupun bermental lemah. Gerakan ini bukan kepasifan untuk berjuang. Ia aktif untuk menghadang setiap tirani dan kezaliman. Jauh dari sikap menyerah secara pasif pada kejahatan. Perjuangan tanpakekerasan menyaratkan suatu perlawanan secara dinamis melawan eksploitasi individu, sosial, ekonomi dan politik dengan menggunakan “cinta” sebagai senjata. Sikap antikekerasan tidak pernah tunduk terhadap tirani dan eksploitasi. Butuh keberanian untuk mengawal gerakan ini menjadi benar. Dalam komentar catatanya, Ghani khan menunjukan premis-premis dasar yang amat penting dalam aktifitas tanpa kekerasan :
“Badshah Khan telah menemukan bahwa dalam satu detik , “cinta” dapat menciptakan lebih banyak hal daripada kehancuran akibat bom selama satu abad; bahwa kekuatan paling baik ternyata adalah kekuatan yang paling besar: bahwa satu-satunya cara untuk menjadi pemberani adalah dengan melakukan kebenaran; bahwa impian yang bebas dari nafsu lebih didambakan daripada hidup itu sendiri. Inilah hal-hal yang telah dianjurkan kepada kaum Pathan”.
Seperti nilai perjuangan Gandhi, Badshah Khan telah mengikrarkan diri untuk mendedikasikan bagi pembelaan rakyat. Walaupun resikonya ia harus berhadapan dengan tirani dan jeruji penjara. Bahkan beberapa tahun karena aktifitasnya, Badshah Khan harus mendekam di penjara beberapa tahun selama pemerintahan Inggris di India. Dia belajar mengekang hasrat-hasratnya untuk mebebaskan rakyatnya dan mengangkat meraka ketempat yang semestinya dalam sejarah. Selama karyanya di India, Badshah Khan telah berhasil menghimpun barisan pejuang antikekerasan. Khan sempat juga membentuk “Pusthun Jirgah” sebuah Liga Pemuda Pathan bersama liga pemuda muslim lainnya mencanangkan berbagai progtam reformasi pendidikan, sosial dan politik yang baru. Tetapi karya komunitas gerakan yang sangat terkenal adalah Khudai Khidmatgar (Pelayan-pelayan Tuhan) yang mendedikasikan kerjanya pada orientasi kebebasan dan pelayanan.
Ribuan orang kian waktu semakin tertarik dengan ekspresi keislaman ini. Ribuan orang Pathan bahkan dengan setia mengangkat sumpah untuk berjuang dalam garis nilai antikekerasan. Bagi tradisi dan nilai hidup orang Pathan, arti sumpah bukan sederhana. Sekali diucapkan kata-kata orang Pathan tidak dapat diingkari. Kecenderungan militansi ini yang membuat gerakan tanpa kekerasan justru mendapat radikalitas yang sebenarnya. Khudai Khidmatgar setidaknya sanggup membuktikan klaim Gandhi bahwa “sikap antikekerasan dimaksudkan bagi mereka yang kuat.” Setidaknya mematahkan anggapan sebagian pandangan dunia yang memandang kekerasan nyaris sebagai respon yang alamiah terhadap konflik dan sikap antikekerasan sebagai pengungsian bagi mereka yang terlalu lemah atau terlalu takut untuk bertempur menggunakan senjata.
Sebagian besar pengikut Khudai Khidmatgar setidaknya juga menunjukan bahwa sikap penghargaan terhadap “antikekerasan” harus diletakkan pada kebebasan keberanian yang merdeka, hidup dalam iman yang mendalam kepada Tuhan dan prinsip tidak menghargai ketakutan dan sikap pengecut. Pengalaman di India banyak memberi pelajaran berharga, Aktifitas dengan “kekerasan” (perlawanan sebelum 1919) menciptakan kebencian di benak rakyat India terhadap kekerasan. Namun, pergerakan tanpa kekerasan memenangkan cinta, hasrat dan simpati rakyat
Ekpresi perjuangan muslim ini sangat menggugah kesadaran bagi semua orang. Melawan dengan “cinta” seakan hanyalah slogan dan utopia belaka, tetapi dalam prinsip perjuangan Badshaj Khan, prinsip dan ekspresi tanpa kekerasan justru banyak melahirkan pembaharuan sosial politik jangka panjang. Setidaknya ingin meyakinkan bahwa “kekerasan” akan selalu melahirkan “anak kandung kekerasan” yang kontraproduktif dengan cita-cita dasar agama. Mengawal prinsip ini bukan karya yang sederhana dan mudah. Ada prinsip dasar dan janji komitmen mendasar yang harus diyakini dan dipraktikan. Komitmen yang harus menjadi sumpah dan nilai hidup yang harus ditaati.
Bernjanji akan menolak “kekerasan” dan “balas dendam”; berjanji mengampuni mereka yang menindas atau memperlakukan dengan kejam; bernjanji akan menolak terlibat dalam permusuhan dan perselisihan dan tidak akan mencari musuh; berjanji akan memperlakukan setiap orang Pathan sebagai saudara dan temanku; bernjanji akanj menolak adat-adat dan praktik praktik antisosial; berjanji akan hidup sederhana, melakukan kebajikan dan menolak kejahatan; berjanji akan bersikapm sopan dan baik serta tidak menuruti gaya hidup santai serta berjanji akan mengabdikan setidaknya dua jam sehari untuk karya sosial. Begitulah prinsip sumpah yang menjadi kredo utama perjuangan tanpa kekerasan yang dilakukan para pengikut Khudai Khidmatgar.
Jangan pernah berpikir bahwa dengan memperkaya dirimu sendiri,
negerimu akan menjadi makmur. Tidak akan pernah.
Jika kamu ingin negerimu dan rakyatmu makmur,
kamu harus berhenti hidup hanya untuk dirimu sendiri.
Kamu harus mulai hidup untuk masyarakat.
Itulah jalan untuk menuju kemakmuran dan kemajuan.
(Badshah Khan)
Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik kapitalisme lanjut. Fase ini berkembang pesat ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neoklasik yang masih percaya mesin intervensi “regulasi pemerintah” Sebagian memberikan memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk membedakan dengan “entitas negara” dan sekaligus untuk menghidari kekeliruan asumsi umum bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara akan melenyap dengan sendirinya. Negara sekiranya justru pada tahap perkembangan tertentu justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme. Teori melenyapnya negara dalam sistem neoliberilme justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat. Barangkali alur argumentasi secara umum terhadap problem neoliberalisme tertangkap demikian. Penting kiranya untuk lebih jauh membaca dalil-dalil justifikasi dan juga diskursus yang dibawa neoliberalisme beserta alat angkutnya sehingga sebagai sebuah ide, sistem ini menjadi diterima secara umum.
Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Haevey yang diterbitkan Penerbit Resist ini merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an sianggap sebagai lompatan konfigurasu ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep yang ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting kiranya untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide neoliberalisme cukup berkembang pesat.
Buku ini secara eksplisit mau mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari kondisi negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey ada dua alasan penting, pertama, karena dalam konteks praktik, banyak negara menyimpang dari derskripsi teorinya dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain. Oleh Harvey menyebutnya sebagai bersifat “transisional” atau “tidak stabil”. Di antara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat sebuah kondisi disparitas yang semakin nampak bahwa neoliberalisme dalam dirinya menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam imaji mendasar neoliberal, diharapkan berdiri hanya sebagai “penonton”. Perkembangan waktu, harapan ini justru terkesan hanya menjadi kedok dari kepentingan yang lebih besar. Negara justru semakin memantapkan peranan intervensionisnya sebagai institusi yang mempunyai legitimasi untuk mengatur dan mencipta regulasi. Kedua, neoliberalisme banyak kasus justru lebih menampakan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang didengungkan. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Ketiga, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Keempat, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligopolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Kelima, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.
Diskursif dan Daya Pikat Neoliberalisme
Bagaimana kita bisa menelisik jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey senbagai “disparitas yang ideal dan yang real” adalah dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting kiranya memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Apa yang cukup harus dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keyakinan umum adalah buah campur tangan dari berbagai kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide apapun sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Apa yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Bab I cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di beberapa kawasan seperti di Eropa Timur, Amerika Latin, Uni Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebaan inipula yang menjadi ikon propaganda Anerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik. Kekuasaan Irak di bawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Di balik stas nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak mengesahkan berbagai keputusan perubahan di sekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein lebih menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing, dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Lebih parah lagi, kebiakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.
Apa relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan? Propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slohan kebebasan tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Inilah buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini. Bahkan jika dicermati, langkah pengadopsian keseluruhan kebijakan neoliberal ini banyak dipraktikan dengan berbagai tekanan dan perebutan kekuasaan secara paksa. Eksperimen Neoliberalisme di Chili adalah wujud vulgar dari liberalisasi dengan paksa dan brutal yang banyak melahirkan keuntungan-keuntungan revivalisasi akumulasi kapital negara-negara Barat. Pembangunan konsep utopianisme neoliberalisme menurut David Harvey hanyalah sebagai suatu sistem justifikasi dan legitimasi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk pemulihan kekuasan elite ekonomi semata.
Membaca Mesin Angkut Kapitalisme
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia adalah terbentuknya aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya. Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.
Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.
Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral. dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan;Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.
Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.
Neoliberalisme : Jalan Hegemoni Baru
Bagaimana ide Neoliberal ini tetap dikawal untuk menjadi pandangan kolektif yang permanen? Meminjam analisis Gransci, Harvey menekankan pentingnya membaca bagaiaman sebuah ide kemudian diyakini menjadi pikiran kolektif. Kecerdasan membawa ini dalam kesadaran kultural sangat penting dalam kerja neoliberal. Segala diskursus kultural dimobilisasi untuk membangun kepercayaan kolektif bahwa sesuatu ide harus diterima sebagai realitas yang benar. Slogan-slogan politik diciptakan untuk menyamarkan stratego-strategi yang ada dibalik retorika tanpa isi. Menurut Harvey banyak saluran dan alat angkut yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti yang pernah dilontarkan oleh Althuser sebagai ”Aparatus Ideologis”, alat angkut itu terbentang pada korporasi-korporasi, media, universitas-universitas, sekolah0sekolah, lembaga keagamaan dan asosiasi-asosiasi profesi.Dengan berbagai kekuatan diskursus yang dibawa mesin-mesin Neoliberal maka tercipta iklim opini yang berpandangan bahwa neoliberalisme adalah satu-satunya menu tawaran bagi kemajuan ekonomi. Tidak ada alternatif di luar itu. Penguasaan opini akan semakin masif dan terkonsolidasi berkat penguasaan kekuasaan negara.
Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B. Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui. Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Dimana Meletakan Alternatif Gerakan ?
Keragaman atas kondisi objektif dan transisi negara dalam cengkeraman neoliberalisme juga berpengaruh terhadap munculnya berbagai varian gerakan sosial. Pilihan-pilihan berbeda ini satu sisi membuka iklim demokratisasi atas jawaban terhadap hadirnya noliberalisme tetapi sisi yang lein juga menyebabkan berbagai penyatuan aktifitas gerakan sering tersendat. Meskipun tidak cukup detail dalam membaca kemungkinan gerakan alternatif semacam apa yang perlu dibangun untuk menghadapi neoliberalisme berkaca dalam dilema keragaman gerakan sosial ini, David Harvey memberikan dua catatankecenderungan penting yang selama ini bisa dijadikan model pilihan, Pertama, terlibat dan ikut serta dalam gerakan-gerakan oposisi dan membangun program perjuangan oposisi yang berjangka luas. Kedua, melakukan riset-riset teoritis dan praktis mengenai kondisi saat ini dan berusaha menemukan kemungkinan alternatif-alternatif yang bisa bisa dikembangkan. Tentu dua hal pendekatan gerakan ini tidaklah harus dibaca terpisah berdiri sendiri. Penting kiranya mengambil keduanya sebagai cara untuk mengembangkan kualitas gerakan. Apa yang menjadi premis penting dari konsekuensi tersebarnya berbagai reaksi gerakan yang lebih pulral adalah bukan untuk menuntut dan memaksa kita menyatukan dalam pola yang seragam tetapi menemukan hubungan-hubungan organisasi dari gerakan-gerakan yang beagam itu dalam roh perlawanan yang sama. Mungkin premis jawaban juga masih sangat mengambang dan oleh karenanya catatan terakhir yang ditulis Harvey dalam buku ini amat penting disimak: Semakin Neoliberalisme difahami sebagai retorika utopian yang gagal dan tidak lebih sebagai ”topeng” untuk menutup-nutupi proyek kembali kepentingan kelas yang berkuasa, semakin kuat basis bagi munculnya kembali gerakan-gerakan massa yang menyuarakan tuntutan-tuntutan akan egalitarianisme politik dan keadilan ekonomi, perdagangan yang adil, dan jaminan perlindungan ekonomi yang lebih besar.
Ketika Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang perburuhan diketukpalukan tahun ini, serentak ribuan barisan buruh dari berbagai organisasi buruh di Indonesia marah dan lantang melakukan protes. Keputusan pemerintah ini tentu saja dianggap sangat arogan, tidak manusiawi dan dianggap akan mematikan nasib buruh. Protes massa buruh tidak hanya memberi kita cerminan bahwa problem buruh sampai detik ini kian tidak membaik tetapi juga menggambarkan bahwa sistem ekonomi politik mainstream tetap saja selalu tidak berpihak pada kelas-kelas pinggiran semacam kaum buruh. Nasib terpuruknya buruh tidak sampai di sini. Krisis ekonomi global yang saat ini terjadi lagi-lagi akan menenggelamkan harapan sekian banyak buruh karena ancaman PHK massal. Kelas buruh yang akhirnya banyak menanggung dampak paling buruk. Inilah gambaran nafsu kapitalisme yang amat mengerikan. Atas nama efektifitas dan roda bertahannya industri, “buruh” selalu ditempatkan sebagai halnya mesin berjalan. Inilah “metafora mesin” yang kini selalu dimapankan oleh logika industri. Apalagi sistem kontrak kerja (outsourching) telah meletakan buruh pada situasi yang paling rentan. Nasibnya telah dibatasi oleh berbagai klausul atiran memaksa yang samasekali tidak memihak. Nasib jutaan kaum pekerja (buruh) ada di ujung tanduk. Bersiap sewaktu-eaktu harus dipangkas dalam ikatan kerja tanpa jaminan kompensasi apapun. Kalau dilihat dalam logika ini, maka ‘buruh’ bisa saja mewakili citra sebuah gambaran “perbudakan modern”. Perbudakan yang kian membentuk dalam wujud yang semakin ekstrim dan modern. Inilah sistem dan warisan kebudayaan penghisapan yang detik ini justru oleh para penguasa masih dilestraikan dengan begitu angkuhnya.
Makna “budak” tentu dalam kamus umum dimengerti sebagai seseorang yang diposisikan menjadi pembantu, abdi, atau sesorang yang diletakkan sebagai layaknya setengah manusia (subhuman). Sebagai sebuah sistem kebudayaan dalam epos sejarah masayarakat, “perbudakan” memberi pengertian sebagai sistem sosial dimana ada orang dan sekelompok orang merampas hak dan kepentingan manusia yang lain. Probloemnya, mainstream kebudayaan mapan tidak meletakan buruh ini hakikatnya sebagai budak. Diskursus kekuasaan bahkan mampu mensublimkan dan menghaluskan ini menjadi bukan persoalan yang rawan. Parahnya lagi, diskursus tentang apapaun yang menyinggung “buruh” masih selalu dianggap sebagai kegiatan “subversif” kekiri-kirian yang “haram” dibincangkan. Apakah wacana tentang nasib buruh hanyalah menjadi tradisi dan kecenderungan sikap gerakan-gerakan yang ada dalam jalur ideologi “kiri”? Apakah Islam mempunyai khasanah tersendiri tentang problem buruh ini? Jika saja Islam merupakan entitas maha besar dari kesatuan utuh sejarah poeradaban ini, bukankah persentuhan dengan dinamika buruh semakin dimungkinkan terjadi? Bagamaina kemudian diskursus tentang buruh ini diterjemahkan oleh Islam?
Islam sangat diharapkan mampu serius berbicara mengenai “teologi buruh” yang tidak mengasingkan diri untuk ikut membicarakan berbagai relasi modal, buruh dan negara dan terutama peduli terhadap sekian problem buruh yang semakin memprihatikan. Spirit inilah yang tertangkap dalam gagasan buku Teologi Buruh karya Abdul Jalil. Tentu gagasan ini sekaligus juga berangkat dari keprihatinan bahwa dalam konteks Indonesia yang memiliki mayoritas warga muslim, tetapi kenyataannya sekian waktu gerakan Islam masih cenderung tiarap untuk merespon problem buruh yang semakin tragis. Tidak jarang pula bahwa sekian roda ekonomi yang dikelola oleh komunitas dan institusi muslim masih juga larut dalam prinsip kapitalistik yang justru jauh dari spirit keperpihakan umat. Bisnis-bisnis muslim tidak ubahnya sama dengan bisnis lainnya yang lebih beriktiar untuk kepentingan keuntungan modal ketimbang pemenuhan rasa keadilan bagi sekian warga muslim.
Melalui penelusuran aspek historis perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, buku ini mau eksplisit mengatakan bahwa problem buruh saat ini tidak ubahnya merupakan cerminan sistem perbudakan yang masih diwariskan ribuan tahun yang lalu. Budak hanyalah manusia kelas pinggiran yang nasib hidupnya ditentukan oleh kemahakuasaan para pemilik budak. Fakta tragis ini nyatanya pernah ada di Indonesia. Tahun 1877, di wilayah Sumba, kematian raja harus diikuti oleh kematian seratus orang budak demi kehidupan baka sang raja. Di beberapa perjalanan kehidupan suku Indonesia fenomena perbudakan juga cukup masih berkembang. Dengan seiring perkembangan peadaban sistem perbudsakan juga mengalami transformasi luar biasa. Kolonialisasi asing atas bangsa Indonesia juga semakin memposisikan sistem perbudakan dalam wujud yang lebih modern. Walaupun ada beberapa kebijakan peraturan yang dikeluarkan untuk menata sistem perbudakan ini, pada prinsipnya sistem ini relatif belum menghilang. Memang pada tahun 1817, pemerintah kolonial Belanda telah memberi peraturan larangan untuk jual beli budak. Dalam Regeringsreglement, semacam Undang-undang Hindia Belanda (1818) melarang jual beli budak, termasuk larangan mendatangkan/memasukan budak dari luar Indonesia.
Atas berbagai masukan dan perkembangan kritik memang ada perkembangan dan perubahan dalam pengelolaan sistem perbudakan. Sejarah mencatat bahwa Regeringsreglement sampai tahun 1827, 1830 dan tahun 1836 memang belum ada perubahan berarti tentang niat penghapusan sistem perbudakan. Baru pada tahun 1854 dengan eksplisit memang menghendaki sistem perbudakan. Namun perubahan inipun belum cukup hakikat sistem eksploitasi yang lebih mengeras. Sistem kerja rodi salah satunya masih tetap dipertahankan sebagai cara massalisasi akumulasi modal kolonial sampai dihapuskannya pada tahun 1930 dan berganti dengan sistem kerja “kapitalistik”. Hadirnya sistem ini, mengangkat hakikat perbudakan menjadi berwajah lebih modern. Walaupun telah diatur posisi yang lebih terbuka pada kesempatan buruh tetapi pada kenyataannya nasib buruh masih selalu terpinggirkan. Kondisi masih belum beranjak baik, karena pada prinsipnya sistem kapitalistik masih sangat menempatkan kekuasaan korporasi melalui pemilik modal dengan tidak terbatas. Pemutusan hubungan kerja bisa saja tiba-tiba dilakukan hanya oleh beberapa alasan yang bisa sasja tidak adil bagi buruh. Penentuan jumlah gaji yang harus diterima oleh para buruh juga relatif ditentukan oleh kekuasaan para pengusaha. Telah terjadi dominasi kapitalis dan relasi hubungan industrial yang timpang. Demikianlah, Bab 4 buku ini mau melihat lebih jauh relasi ketimpangan kerja industrial tersebut.
Kerakusan kapitalisme industri dirasakan menjadi sebab terutama dari peminggiran buruh. Kapitralisme industri begitu banyak telah membuahkan mesin pemerasan keringat buruh hanya demi penumpukan keuntungan ketimbang rasa keadilan. Hasil yang diraih sebagi keuntungan tidak kembali pada apa yang sejarusnya menjadi hak kesejahteraan buruh. Negara yang dianggap mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membantu problem ini justru menjadi bagian utuh dari adanya relasi ketimpangan itu. Alih-alih memberi kompensasi yang adil bagi hak hidup buruh, negara justru kerap kali menjadi sarana ideologis dan sekaligus represif untuk mempertahankan sistem ketimpangan ini. Apa yang kemudian harus dilakukan? Apakah Islam juga mampu memberi jawaban memadahi dari sekian problem ini ketika Indonesia yang ralatif berpenduduk mayoritas muslim, nasib buruh juga masih terus ditelantarkan?
Abdul Jalil dan bab 5 buku ini mau sedikit menengok dan merefleksikan dalam kacamata perspektif pengalaman Islam beserta beberapa pisau tafsir yang ada di dalamnya. Proposisi keyakinan buku ini mau memberi sugesti optimistis bahwa Islam harusnya mampu menawarkan alternatif dari problem perburuhan ini. Sebagaimana agama yang komprehensif dan universal, Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif di luar dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme. Islam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk “fiqh” (hukum Islam) yang bersifat operatif operasional diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontenporer. Selain itu juga berbekal konsep dasar Al-Qur’an, diharapkan bisa memberi tekanan terhadap sistem agar penanganan masalah buruh tetap mengacu pada koridor fitrah kemanusian yang sejatinya. Meskipun konsep yang utuh tentang sistem perburuhan belum ada secara komprehensif dalam definitif hukum islam karena refrensi tekstual dan historis memang belum ada, namun bahwa nilai-nilai yang mengacu pada hakikat dasar perburuhan sebenarnya bisa ditemukan dan bisa menjadi bahan acuan tafsir teologis yang berharga dengan segenap mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” yang selalu berdinamika dan berkembang.
Dalam beberapa catatan, buku ini mau memberikan penegasan menarik bahwa Islam memberikan refleksi berharga bagi pembacaan problem buruh. Berangkat dari awal tafsir tentang hak, Abdul Jalil dalam catatan buku ini kembali memaparkan hak-hak buruh yang sebenarnya banyak tersirat ditampilkan dalam Islam. Islsm sangat mendambakan kompetensi dan produkstifitas manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an (Qs : al-Mulk (67) : 2) bahwa “kehidupan” adalah ujian bagi manusia di dalam berbuat dan beramal. Jika kita letakan dalam konteks riil ekonomi maka bisa dikatakan bahwa yang lebih baik perbuatannya adalah mereka yang memang produktif. Dalam Islam jelas tegas mengingatkan bahwa penghargaan dan pemberian upah bagi buruh dengan selayaknya adalah merupakan poin mendasar yang harus diperhatikan. Dalam sebuah hadist telah dinyatakan bahwa “Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering”. (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Hadist no. 2434.) Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian upah yang selayaknya secara eksplisit dilarang dalam Islam.
“Tiga kelompok orang yang akan saya musuhi di hari kiamat, yakni orang yang bersumpah atas nama-Ku dan kemudian dia ingkar; orang yang menjual orang lain yang berstatus merdeka kemudian hasilnya dimakan; dan orang yang tidak membayar upah pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya”, (Shahih al-Bukhari, hadist no. 2075).
Beberapa hak yang mendasar yang selama ini juga santer diperjuangkan oleh buruh seperti hak mendapatkan keselmatan, kesehatan dan perlindungan juga telah ditegaskan juga dalam nilai-nilai Islam. Dengan begitu, Islam memberi penegasan bahwa para majikan pada hakikatnya harus bertanggungjawab penuh atas berbagai hal yang menjadi kebutuhan buruh seperti kesehatan, perlindungan, dan keselamatan kerja. Menelantarkan buruh merupakan hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam dengan gamblang mengajarkan untuk tidak boleh mentelantarkan dan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai fitrah kemanusiannya.
“Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barangsiapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa ia harus dibantu”. (al Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadist no. 559)
Penekanan terhadap penghargaan martabat kemanusian sudah menjadi kewajiban bagi semua orang Muslim. Dalam konteks relasi kerja industrial, Islam jelas mengajarkan bahwa hal yang paling dinistakan bila sistem ini menempatkan manusia sebagai “mesin”. Manusia adalah entitas yang harus dihormati dan mendapat penghidupan yang layak. Menjadi sebuah hak bagi para buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak tersebut. Apa yang diujarkan oleh Nabi sangat gamblang dan lugas bahwa seorang majikan yang yang tidak mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi para buruhnya maka sebenarnya dia adalah seorang “pembunuh”
“…saya mendengar Nabi bersabda : barang siapa mengangkat buruh, jika ia tidak mempu mempunyai rumah maka harus dibikinkan rumah; Jika ia belum menikah maka harus dinikahkan; Jika ia tidak mempunyai pembantu maka harus dicarikan pembantu; jika ia tidak mempunyai kendaraan maka harus diberikan kendaraan. Jika majikan tidak memberikan hal tersebut. Ia adalah seorang pembunuh”. ( Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, hadist no. 17329)
Yang lebih menarik dari pemaparan beberapa fakta tersebut, buku ini juga mampu memberi sedikit gugahan pembaca bahwa secara hostoris seperti nilai-nilai yang menyoal tentang perbutuhan juga pernah terangkat dalam dinamika sejarah Islam seperti persoalan-persoalan tumbuh berkembangnya sarikat-sarikat buruh sesuai dengan perkembangan peradaban Islam. Dari buku ini meminjam hasil penelitian yang dilakukan oleh Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), Serikat Buruh dalam Islam bahkan telah tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Utsmaniyah, tepatnya di Turki Anatolia pada abad XIV Masehi yang dalam catatan sejarah lebih akrab disebut sebagai “Akhi” dan “Fityan”. Bahkan dalam literatur lain, Andre Raymod menyebutkan beberapa catatan berharga mengenai munculnya berbagai sarikat buruh dalam sejarah Islam. Seperti adanya serikat-serikat buruh di sektor-sektor pekerjaan seperti tukang cukur, pembawa panji-panji, mu’azhzhin, dan juga buruh pekerja di kebun kopi. Sejak abad XVI hingga XIX Masehi, serikat-serikat buruh telah terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan, Mereka hidup di pasar kota. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecilpun mempunyai serikat buruh. Dalam catatan seharah di atas telah banyak yang disumbangkan oleh hadirnya serikat-serikat buruh ini. Serikat buruh telah memberikan andil luar biaa bagi perjalanan peradaban Islam.
Tentu ada beberapa catatan yang menarik dan perlu untuk dikembangkan lagi sebagai usaha pendalaman dan pengembangan tulisan ini. Secara prinsip problem buruh adalah problem yang harus dibaca secara lebih utuh karena akan banyak menyeret persoalan yang lain. Beberapa usaha Abdul Jalil untuk serius memberikaan alasan perlunya sikap kritis dan maju dalam membaca persoalan buruh perlu harus diberi apresiasi mengingat minimnya kajian dan riset yang serius untuk mengamati problem perburuhan di Indonesia. Ada catatan yang perlu ditambahkan, pertama, tulisan ini masih terbatas menjangkau fakta-fakta yang masih umum dan masih terbatas pada cuilan-cuilan fragmentasi pengalaman peristiwa yang tertekskan dalam literatur-literatur yang sudah mapan seperti teks Kitab Suci. Maka ruh atas gambaran ini belum terasa menjangkau epos konteks jaman yang lebih mendalam dengan segala polemik di dalamnya. Kedua, problem perburuhan juga belum memberi gambaran yang lebih banyak tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam sendiri membangun perspektif dan epistemologi gerakan terutama berkaitan dengan permasalahan buruh. Jika ini diangkat maka tentu saja ada berbagai problem menarik tentang subjektifitas gerakan yang khas yang bisa kita baca terutama dalam konteks gerakan buruh di Indonesia berkait juga dengan gerakan islam. Ketiga, apa yang diangkat Abdul Jalil memang masih akan terbaca sebagai gagasan normatif ideal. Apa yang sebenarnya menarik untuk dikerjakan lebih lanjut adalah menjawab tesis penting mengapa detik ini pula gerakan Islam belum cukup mampu untuk menjawab tantangan nasib buruh lebih komprehensif. Problem politik, ekonomi , sosiologi dan juga kebudayaan gerakan tentu menjadi penting untuk digali bersama dengan usaha penelusuran aspek teologis secara lebih kontekstual.
Peresensi
Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Pemerhati politik dan Budaya tinggal di Yogyakarta)
Barangkali sedikit benar apa yang dilontarkan oleh Michael Sturner, bahwa kepentingan mencipta “sejarah” bagi setiap penguasa adalah lebih menggambarkan betapa penulisan sejarah dan cerita-cerita yang dibangun merupakan salah satu cara penguasaan “ingatan kolektif” massa rakyat. Bagi Michael Sturner “Di negeri tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu”. Mereka yang dimaksud di sini tentu saja setiap penguasa yang memerlukan bentuk ‘legitimasi kekuasaan’ yang kuat dan permanen yang mengandaikan setiap dukungan pendapat umum untuk proses kelanggengan kekuasaan.
Mengetengahkan cerita-cerita dan gambaran-gambaran sejarah masa lalu bagi penguasa adalah penting untuk membangun wacana ‘ikatan relasioanal’ antara ‘yang silam’ dengan ‘yang kini’. Legitimasi ‘masa kini’ akan sangat ditentukan bagaimana ‘masa lalu’ kemudian dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Tidaklah mengherankan jika kemudian di mana-mana, penguasaan terhadap gambaran masa lampau dijadikan sebagai sarana pembenaran sistem yang dipakai sekarang. Sedikitnya ada 2 (dua) cara pengendalian narasi dalam sejarah yang juga berkait dengan modus kerja ‘narativasi’ dalam ideologi. Pertama, dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah, ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan-kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang selalu menyertainya. Kedua, bisa dilakukan dengan ‘kebisuan sejarah’ ini sangat menyangkut dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk negara. Ada banyak rahasia sejarah yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tersebut. Sering kali penguasa harus menggunakan payung aturan hukum yang resmi untuk mengontrol setiap usaha pembongkaran tersebut. Jika saja kekeliruan-kekeliruan dan manipulasi sejarah sampai terbongkar maka akan mengganggu legitimasi bagi penguasa.
Siapa yang mampu mengontrol dan mengatur wacana sejarah, dialah yang akan mampu membangun opini dan pendapat umum bagi masyarakat. Untuk kasus metode pertama pengendalian sejarah maka penguasa benar-benar akan sangat teliti dan jeli bagaimana narasi-narasi dalam sejarah itu disusun dan diolah. ‘penipuan’ (dissimulation) adalah salah satu modus operandi ideologi di mana relasi dominasi dapat dibangun dan dipelihara dengan cara disembunyikan, diingkari atau dikaburkan, atau dihadirkan dengan cara mengalihkan perhatian dari atau memberikan penjelasan terhadap relasi atau proses yang sedang berlangsung.
Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung dibuat berang dengan hadirnya perubahan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan.
Buku “Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor tepat kiranya menjadi salah satu kajian yang amat penting untuk melihat historiografi sejarah Indonesia yang masih sarat dengan kekuasaan terutama kepentingan militer. Dalam berbagai catatan yang terbukukan sejak kekuasaan Orde Baru sampai sekarang, peran militer tetap masih selalu hadir dominan dalam panggung sejarah nasional Indonesia. Di dalam genggaman kekuasaan, sejarah bisa menjadi sesuatu sarana ideologisasi yang amat strategis. Dalam tangan besi kekuasaan, sejarah bisa akan menjadi sosok yang mempunyai dua wajah sekaligus. Wajah yang satu mendewakan fakta yang dianggap akan mendukung berjalannya kekuasaan dan wajah yang lain telah membenamkan fakta-fakta yang dianggap mengganggu legitimasi status quo. Akhirnya sejarah bagi kekuasaan tidak jauh dengan prinsip “pelanggengan” dan “pelenyapan”.
“Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor dengan jeli telah berupaya untuk mengungkapkan motif-motif dan kisah-kisah di belakang proyek-proyek sejarah yang diabngun militer. Bagaimana militer mampu dengan cerdik mengkonstruksi “masa lampau” adalah gagasan besar dalam buku ini. Buku ini sekaligus menggambarkan beberapa fakta perilaku politik di belakang “representasi” beberapa periode panggung sejarah yang penting di indonesia. Lebih jauh dari sekedar untuk menelisik dan sekaligus mengajak membaca “ingatan kolektif” tentang perjalanan sejarah Indoensia, McGregor justru sangat jeli untuk mengatakan bahwa sejarah indonesia selama ini tidak luput dari ketegangan-ketegangan dan proses-proses persaingan, dan dalam beberapa kasus adalah proses pembinasaan “sejarah yang lain”. Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya karena kekuasaan mampu melekatkan upaya ini dengan berbagai kebijakan seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, kurangnya kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan “militer” untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel.
Ketika “Sejarah” Tidak berpihak ke “Korban”
Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling ”primitif” yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ”dominasi wacana” tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang ingin diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar justru hanya akan menjadi biang bumerang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.
Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun ”interpretasi”. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapun yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.
Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi atas kepentingan ’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kepentingan itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.
Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.
Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat
Dialektika Sejarah : “Pelupaan” dan “Pengingatan”
Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.
Sejarah kembali lagi bisa menjadi medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepentingan tersebut. Sejarah yang kalah kemudian akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.
Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalananya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yang lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.
Harapan besar bagi upaya merekonstruksi sejarah secara lebih benar tentu paling kongkritnya adalah bagaimana kemudian “sejarah” ditempatkan secara lebih benar. Dalam istilah yang lebih tepat seperti yang digagas oleh Heather Sutherland sebagai “historizing history” yakni menempatkan sejarah dalam konteksnya. Tentu upaya ini terkesan sangat utopis melihat bahwa negara sekaligus adalah ”medan” dan ”ruang” ketegangan yang detik ini belum menunjukan upaya keperpihakan pada berbagai kepingan sejarah pinggiran yang sekian waktu dibenamkan. Buku pendidikan sejarah pada umumnya juga masih menunjukan bias ideologis yang sangat kentara. Apa yang telah dipaparkan olej McGregor barangkali masih relevan, pendidikan sejarah dalam sekolah-sekolah masih lebih manampakan sebagai proyek ideologisasi ketimbang proyek pencerahan kesadaran kritis bagi siswa untuk memahami realitas hidup seharahnya secara lebih benar. Meskipun beberapa catatan metodologi pemaparan seharah mengalami perkembangan, pendidikan sejarah tetap saja cukup hati-hati dan bahkan menghindar untuk mengangkat “fakta-fakta kontroversial” yang detik ini masih belum. Dalam beberapa kasus seperti yang sepintas terlihat dalam buku pendidikan sejarah untuk SMA, sejarah-sejarah kontroversial yang seharusnya dilihat dan dibaca lebih proposional tetap saja diterabas sesuai dengan logika alur yang dominan dipakai dalam sejarah resmi sejak Orde baru. Ada fakta-fakta lain yang terus-menerus “disembunyikan” dengan berbagai pertimbangan yang lebih politis dan ideologis ketimbang alasan yang lebih objektif dan rasional. Sejarah masih tidak mendekat pada sejarah mereka yang pinggiran dan mereka yang selama ini dihilangkan dan historiografi indonesia. Sejarah lebih menjadi catatan peristiwa yang tidak dirasakan hidup oleh rakyat. Sejarah menjadi mengasingkan diri dari jantung cita-cita kesadaran sejarah sebenarnya. Satu faktor yang amat kentara adalah bahwa sejarah cenderung asyik berbincang hanya pada ”sejarah elite negara” dan sering berpaling pada ”catatan-catatan arus bawah” yang sebenarnya begitu amat kaya untuk dipaparkan. Sekali lagi, bukannya sejarah bukan semestinya hadir hanya untuk para pemenang..!!!
Ini adalah kisah yang diambil dari sebuah buku yang mengaggumkan. Judulnya menarik: Sepotong Surga di Andalusia (Kisah Peradaban Muslim, Yahudi, Kristen Spanyol Pertengahan…750-1482M) Buku ini ditulis oleh Maria Rosa Menocal. Seorang Profesor bahasa Spanyol dan Portugis di Yale University. Kenapa buku ini jadi memikat karena terdapat kisah sejarah yang mengaggumkan. Tentang bagaimana Islam tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang majemuk. Tentu ini bukan sekedar cerita mengenai buku ini melainkan juga bagaimana Andalusia jadi potongan sejarah yang pantas dipelajari. Masa silam yang sekarang ini banyak dirindukan oleh sejumlah Gerakan Islam untuk dihidupkan kembali. Di samping jamuan utama buku ini, tulisan ini dilengkapi dengan tambahan data, dokumen dan artikel yang
mengetengahkan Andalusia. Terutama karya besar Philip K Hitti, History of The Arabs. Bab tentang Spanyol dan keruntuhanya. Sebuah karya besar yang membedah sejarah Arab yang intinya ada dalam penyebar-luasan pengaruh Islam. Pujian berhamburan atas karya ini, selain kronologis, detail juga disampaikan dalam tutur kisah yang mirip dengan novel bersambung. Kedua karya ini menjadi panduan utama bagaimana melihat Islam di Spanyol. Masa keemasan yang telah membawa Islam sebagai ajaran yang terbuka, toleran dan melindungi minoritas. Masa gemilang yang membawa Islam dalam budaya pengetahuan yang mengaggumkan sekaligus mempengaruhi abad-abad berikutnya. Ini adalah pintu dimana Eropa menemukan kekayaan pengetahuan sebenarnya. Semangat yang kini menjadi penting untuk dihidupkan kembali dan menjadi relevan untuk ditengok. Setelah banyak kecaman, tuduhan bahkan segala bentuk kesangsian atas Islam. Juga perlu dilihat setelah banyak gerakan Islam selalu membaca masa lampau hanya dalam sudut pandang ’syariah’ dan ’khilafah’. Masa lampau ternyata lebih kaya ketimbang itu. Andalusia membuktikan masa lampau yang toleran, maju, terbuka dan penuh dengan karya-karya agung.
Sampai hari ini, aku tidak menemukan penghibur kesedihanku setelah kehilangan dirinya….
Aku tidak pernah dapat melupakan kenangan tentangnya
(Ibn Hazm)
Ketahuilah, tuanku, bahwa tanah kami disebut Sefarad dalam
Bahasa suci, sementara warga keturunan Ismail menamakanya Al-Andalus
Dan kerajaanya dinamakan Kordoba
(Hasdai ibn Shaprut)
Andalusia diibaratkan sepotong surga. Kota yang dipimpin oleh salah satu keturunan Bani Umayyah. Bersinar, melimpah dan memiliki kekayaan pengetahuan. Padahal kota itu tegak dari tangan seorang pelarian. Abd Al-Rahman masih muda dan nekat. Keturunan terakhir Dinasti Umayyah. Cucu Hisyam, khalifah kesepuluh Damaskus. Ditembusnya gunung pasir Afrika untuk menghindar dari pembantaian ganas dinasti Abbasiyah. Semua keluarganya musnah. Kala itu Abd Al-Rahman masih berusia awal dua puluhan tahun. Berlari ke arah barat menuju perbatasan yang sangat jauh. Menembus Palestina, Mesir dan Afrika Utara. Kebetulan ibunya salah satu keturunan suku Barber. Salah satu suku dari daerah yang kini populer dengan nama Maroko. Kesanalah Abd Al-rahman berlari. Di daerah yang disebut oleh kaum muslim sebagai ’Maghrib’ (Barat Jauh) kekuasaan Ummayah yang telah roboh coba ditegakkan.
Bukan seperti sebuah kisah persilatan yang pekat dengan adegan duel. Kekuasaan itu tegak memang lewat duel dengan penguasa lokal. Silih berganti terjadi peperangan. Tapi yang paling memukau adalah cara Abd al-rahman dalam menegakkan sekaligus memperluas kekuasaanya. Andalusia negeri yang bertahan tidak saja lewat serdadu. Lebih banyak oleh pertemuan kebudayaan. Lebih banyak oleh kemampuan untuk saling belajar. Anak muda pelarian itu bukan saja membuktikan sebagai penguasa. Dirinya membawa kecerdasan yang sempurna. F Scott Fitzgeralds, menyatakan kalau ’tes kecerdasan paling unggul adalah kemampuan untuk menyimpan dua ide yang bertentangan di dalam pikiran pada saat yang bersamaan’. Abd Alrahman yang dijuluki sebagai ’elang Quraisy’ mampu meramu kedua kekuatan itu. Anak muda yang hidup dalam zaman pertengahan itu memilih untuk menjadi jembatan atas arus kebudayaan yang beragam. Disitu terdapat kaum Yahudi, Kristen dan Muslim yang hidup berdampingan. Abd Al-Rahman berada di titik temu beragam keyakinan itu. Dan sebagai penguasa pintar diramunya keberagaman itu menjadi kekayaan tak ternilai yang hingga sekarang dikenang oleh sejarah.
Kordoba salah satu kekayaan paling bernilai dari penguasa Ummayah. Salah satu kota Andalusia yang agung. Pameran kemakmuran dilukis dalam frase pemandangan di kota itu. Disana, terdapat: sembilan ratus kamar mandi umum dan puluhan ribu toko; ratusan atau mungkin ribuan masjid; air yang mengalir dari saluran air; jalan-jalan yang mulus dan penuh dengan penerangan……perpustakaan khalifah mengoleksi sekitar empat ratus ribu buku dan itu hanya salah satu dari tujuh puluh perpustakaan di Kordoba. Khalifah ini begitu sangat mencintai buku. Katalog perpustakaan Khalifah berjumlah 44 jilid dan katalog itu berisikan informasi tentang segala macam buku yang mencapai sekitar 600.000 judul. Dengan dasar budaya pengetahuan seperti itu tentu Andalusia mendapat julukan Hiasan Dunia (Ornament of The World)
Tanpa harus ada dakwah, propaganda dan bujukan terjadilah lonjakan pemeluk Islam secara besar-besaran. Bahasa Arab menjadi bahasa yang dikagumi dan bahkan melebihi kekuatan bahasa latin. Jika bahasa latin hanya digunakan untuk bahasa Kitab suci maka bahasa Arab jauh berdaya jangkau. Mereka menggunakanya untuk karya puisi. Mereka memanfaatkanya untuk menulis kajian filsafat. Dan tentu untuk mengetahui kandungan Qur’an. Kitab puitik yang menyimpan keindahan luar biasa. Ada julukan menggelikan pada penduduk Kristen yang tinggal di bawah pemerintahan Ummayah di Andalusia. Mereka menyebutnya ’Mozarab’ yang asalnya berarti ’aku ingin menjadi orang Arab’. Julukan yang menjadi simbol bagaimana terlindunginya orang Kristen di bawah penguasa muslim. Kedigdayaan bahasa Arab itu karena bahasa itu telah membawa bersama semua ilmu pengetahuan, mulai dari puisi hingga filfasat, yang memuaskan dahaga para pecinta pengetahuan.
Situasi ini juga memikat warga Yahudi. Mereka juga tinggal di Andalusia. Mereka memilih untuk berbaur dengan kebudayaan Arab-Islam Umayyah sekaligus tetap menjadi anggota komunitas Yahudi. Jaminan praktek beribadat yang mengaggumkan. Di Andalusia mereka tetap diperbolehkan menjalankan agamanya dengan menggunakan bahasa asli. Bahasa Ibrani. Tanpa diganggu, dianiaya apalagi dituduh sesat. Bahkan salah satu tokoh Yahudi, Hasdai, bisa menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri.Ingat, Perdana Menteri! Sebuah keadaan yang tidak begitu saja hadir, tanpa tangan toleransi dan sikap terbuka. Jabatan Hasdai yang juga seorang
ulama Yahudi dan dipercaya sebagai editor beberapa karya pengetahuan membawa Andalusia dalam kemajuan yang berarti. Hingga akhirnya pada 929 M Abd Al-Rahman III yang juga merupakan cucu ketiga memproklamirkan diri sebagai pemimpin orang beriman (amir almuminin) dengan dibantu perdana menteri orang Yahudi, Hasdai ibn Shaprut. Puncak pengaruh yang bisa dikatakan sebagai cara untuk menyatakan bahwa Andalusia tidak lagi tunduk pada Dinasti Abbasiyyah yang ada di Baqdad.
Proklamasi kekuasaan memberi sinyal dan tugas. Bagi Abd Rahman III, bukan deklarasi yang utama, melainkan bagaimana orang sepenuhnya mengerti bahwa memang layak Andalusia dijadikan sebagai kiblat dunia. Cita-cita yang kemudian didasari dengan curahan kebijakan yang dipusatkan pada pengembangan estetika, materi dan intelektual. Program kemajuan yang didanai dan didukung sepenuhnya oleh kerajaan. Salah satu perhatian utama adalah pembangunan kastil yang dinamai Madinah Al-Zahrah (Kota Al-Zahrah) Bukan sekedar istana tapi kota yang dikelilingi istana dan taman. Kota yang didirikan untuk mengenang seorang selir yang dicintai raja. Ekspresi cinta yang mahal sekaligus fantastis. Philip K Hitti menuliskan panorama istana itu:
’…istana al-Zahra. Dimana untuk mempercantik istananya, ia mendatangkan marmer dari Numidia dan Kartago; tiang-tiang dan kolam dengan patung emas diimpor atau diperoleh sebagai hadiah dari Konstatinopel; 10.000 pekerja dan 1.500 binatang pengangkut bekerja menyelesaikan bangunan itu selama bertahun-tahun…..’
Maria Rosa Menocal mengandaikan tentang daya tarik kota Madinah Al-Zahrah ketika dirubuhkan di suatu hari pada 1009 M. Ia melukiskan sebuah pertanyaan yang begitu nyeri:
’orang pasti bertanya, manakah…yang paling memabukkan ketika rombongan tentara meruntuhkan tembok kota? Apakah gedung pertemuan dengan langit-langit yang terbuat dari emas dan perak, yang di tengah-tengahnya bergantung hiasan mutiara yang besar? Kolam air raksasa yang memantulkan kilau sinar matahri ke seluruh penjuru? Kebun binatang yang dihuni hewan-hewan buas dan langka dengan parit di sekelilingnya? Ratusan jenis kolam lainnya di setiap halaman gedung atau bangunan? Atau, mungkin, air mancur yang di tengah-tengahnya terdapat patung singa berwarna kuning kehitaman yang dihiasi mutiara?…
Begitu mengaggumkan kota itu hingga Philip K Hitti menyebut periode ini adalah masa terbaik. Andalusia kemudian disebut sebagai salah satu dari tiga pusat kebudayaan dunia, selain Konstatinopel dan Bagdad. Coba andaikan kita tinggal di salah satu kota yang dilukis oleh Philip K Hitti sebagai:
’…kota dengan 130.000 rumah, 21 kota pinggiran, 73 perpustakaan dan sejumlah toko buku, masjid dan istana…kota ini memiliki bermil-mil jalan yang rata yang disinari lampu-lampu dari rumah-rumah di pinggirnya, padahal, ’tujuh abad setelah periode ini, kota London hanya memiliki satu lampu umum…di Andalusia terdapat 27 sekolah gratis di Ibu Kota dan memiliki perguruan tinggi Universitas Kordova yang mendahului al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad…dan penguasa disana mengundang banyak Profesor untuk menjadi pengajar dengan diberi imbalan tinggi…sehingga para sarjana menyebut di Andalusia ’hampir semua orang bisa membaca dan menulis…’
Tidak hanya keindahan bangunan kota tapi juga bagaimana budaya pengetahuan hidup. Spanyol seperti pintu yang menghubungkan tradisi intelektual Yunani dan Barat. Melalui tangan para cendekiawan Islam melejit berbagai penemuan yang hingga sekarang masih berpengaruh. Para penguasa bukan hanya pintar di ladang pertempuran tapi juga pecinta seni dan pengetahuan. Abd Al Rahman selain pemuda pelarian yang nekad dan pintar juga seorang penyair. Tradisi berpuisi dirawatnya dan terdapat banyak seniman tinggal di Andalusia. Begitu juga Al Hakam penggantinya adalah khalifah yang begitu rakus pada buku. Para punggawa istana-kalau sekarang adalah PNS-punya pekerjaan utama: menjelajahi semua toko buku di Iskandariyah, Damaskus dan Baghdad. Mereka ditugaskan untuk membeli dan menyalin naskah. Khalifah sendiri membaca dan menelaah karya-karya itu. Bayangkan kekuasaan yang pejabatnya cinta pengetahuan dan rajanya rakus membaca.
Jika diringkas dalam kalimat sederhana memang wajar jika kekuasaan semacam ini kemudian melahirkan banyak penduduk pintar. Hampir kalau tidak dikatakan seluruhnya penemuan pengetahuan berhutang pada kehidupan Andalusia. Bidang apapun! Sekali lagi, di bidang pengetahuan apa saja!
Ali ibn Hazm adalah penulis terkenal dan memiliki keluasan pengetahuan. Tahu berapa banyak buku yang sudah ditulisnya? Banyak sejarawan menyebut tak kurang dari 400 buku tentang sejarah, teologi, hadis, logika dan puisi ditulisnya. Menariknya dari 400 karya, yang paling populer adalah buku The Neck-Ring of the Dove, satu buku yang banyak bertutur tentang cinta. Ada 30 bab singkat yang masing-masing membahas suatu masalah atau tema, seperti :’Tentang orang-orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama’ ’Tentang Sinyal-Sinyal yang Terpancar dari Mata’ dan ’Tentang Pengkhianatan’. Wakh! Buku yang ditulis oleh seorang yang pernah ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan kepercayaan Khalifah. Dalam artian sekarang, pejabat yang romantik dan pintar. Kelak semua kisah cinta dunia berhutang besar pada dasar-dasar kisah yang ditulis oleh para penyair, penulis dan sastrawan Andalusia Ali ibn Hazm.
Universitas Kordova salah satu tonggak arca pengetahuan memiliki semboyan yang populer hingga saat ini. Bunyinya: ’Dunia hanya terdiri atas empat unsur, pengetahuan orang bijak, keadilan penguasa, doa orang saleh dan keberanian ksatria’ Jurusan yang ada di kampus itu: astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan hukum. Semuanya gratis. Dari jurusan itulah muncul pasukan ilmuwan yang hingga hari temuanya masih kita pakai. Soal paling sepele sekaligus dasar pengetahuan adalah penemuan kertas. Diawali temuan dari Maroko kemudian menyebar ke Timur dan puncaknya di Spanyol. Industri kertas pertama di dunia ada di Kordova.
Kajian geografi yang mengilhami Columbus untuk melakukan petualangan banyak dipengaruhi oleh ilmu astronomi yang tumbuh dari Andalusia. Abu Ubayd in Abd al-Aziz al-Bakri yang karya geografinya berjilid-jilid berjudul al-Masalik wa al-Mamalik (Buku Mengenai Jalan dan kerajaan) telah mendorong lahirnya banyak catatan perjalanan. Juga kemajuan dalam bidang astronomi yang diedit, ditulis ulang dan mengkritik pengetahuan astronomi kerabat Muslim mereka di Timur. Salah satu tokoh terkemuka adalah Abu al-Qasim Maslamah al-Majriti yang menyunting dan mengoreksi astronomi yang disusun oleh al-Khawarizmi. Nama terakhir ini adalah pelopor pertama penggunaan angka. Kemajuan serupa ada di matematika, ilmu pengetahuan alam, botani, farmasi dan ilmu bedah. Tak habis-habis lembaran ini jika mau meringkas pesatnya kemajuan Andalusia. Singkatnya pengetahuan modern bertumpu pada dasar penemuan Andalusia.
Salah satu ilmuwan besar yang menulis sejarah sekaligus ilmu Kedokteran adalah Ibn al-Khatib. Salah satu teorinya yang ditulis dan berpengaruh hingga saat ini adalah teori penularan. Gagasan abad ke -14 yang di Barat masih misteri. Barat masih beranggapan penyakit yang mewabah adalah sihir dan kutukan. Pengandaian yang dibantah oleh Ibn al-Khatib. Ia menulis:
Kepada orang yang berkata, ”Bagaimana kita bisa menerima kemungkinan penularan, sementara hukum agama menyangkalnya? Kami menjawab bahwa keberadaan penularan telah dibuktikan oleh sejumlah percobaan, penelitian, bukti-bukti inderawi, dan laporan-laporan terpecaya. Fakta-fakta ini menegaskan argumen yang nyata kebenaranya. Fakta penularan menjadi jelas bagi para peneliti yang memperhatikan bahwa seseorang yang menjalin kontak dengan seorang penderita akan menderita penyakit yang sama, sedangkan orang yang tidak menjalin kontak akan tetap sehat, dan bahwa penularan bisa terjadi lewat pakaian, gelas minum, dan anting-anting
Mohon diingat ini ditulis ketika masih abad 14. Saat fakultas kedokteran dan pengobatan alternatif belum menjamur seperti sekarang. Bukan teori penularan melainkan juga ilmu bedah. Ilmuwan yang bernama Khalaf ibn Abbas al-Zahrawi, menulis sebuah karya al-tashrif li Man ’Ajaz ’an al-Ta’lif (Pertolongan bagi Yang Merasa Kesulitan Memahami Risalah Besar) yang memperkenalkan dan menekankan ide-ide, seperti, membakar luka, menghancurkan batu dalam kandung kemih, serta kemestian vivisecton dan pembedahan. Tentu ilmu kedokteran berhutang besar pada karya ini.
Tidak itu saja, tetapi peninggalan paling berkesan dan berpengaruh ada di seni arsitektur. Tapak-kuda adalah arsitektur muslim-barat yang menjadi dasar bangunan-bangunan masjid maupun gereja. Juga yang fantastis adalah produksi tekstil dan pakaian mewah. Tenunan Spanyol yang merupakan peninggalan Andalusia dikonsumsi oleh bangunan gereja untuk menutupi patung para Santo. Sekaligus jubah kebesaran bangsawan Eropa berasal dari motif tenunan Andalusia. Namun yang tak kalah hebohnya adalah perkembangan seni musik. Model lirik Spanyol hingga hari ini menjadi dasar bagi musik pop daratan Eropa Barat. Malahan beberapa alat musik menjadi peninggalan terpenting saat ini. Rebab yang menjadi cikal bakal biola. Juga trompet kuno, tamborin, bahkan memperkenalkan gitar ke Eropa (bahasa arabnya qitarah, melalui bahasa Spanyol guitarra, asalnya dari bahasa Yunani) terompet (bahasa spanyolnya albaque, dari bahasa Arab al Buq) timbal (bahasa Spanyol atambal, dari bahasa Aranb al-thabl) dan kanoon (dari bahasa Arab qanun)
Mengapa ada kemajuan sehebat ini? Mengapa ada negeri yang begitu menjiplak utuh tatanan firdaus? Hingga seorang biarawati Hroswista mengungkapkan periode Andalusia sebagai ’Perhiasan Dunia’? apa yang membuat kemajuan dan kejayaan negeri yang begitu padat penduduknya dengan ilmuwan, budayawan dan tenaga medik unggulan?
Maria Rosa Menocal sang peneliti menyebut sebagai bertahanya kebaikan, atau toleransi yang produktif dan liberal. Jangan berprasangka dengan kata ini. Jawaban ini bukan kebetulan tapi melihat sejarah ’biografis’ pendiri awal dinasti ini. Abd Al Rahman datang dan menetap di Spanyol yang sudah dihuni oleh orang Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiganya berbaur, saling menghormati dan menyerap budaya unggulan masing-masing. Perbauran ini bukan semata-mata taktik politik tapi jalan masuk akal meraih kemajuan. Dengan antusias dikembangkan iklim kebebasan intelektual dengan memacu gerakan terjemahan besar-besaran. Sudah barang tentu ada polemik, kesangsian dan kekuatiran. Tapi itu semua roboh di bawah kekuasaan yang memuliakan kebebasan dan jaminan politik terhadap tradisi berfikir bebas.
Dalam bahasa Philip K Hitti para pemikir muslim Andalusia selalu menyatakan kalau, Aristoteles dianggap benar, Plato juga, Al Quran juga benar; tapi kebenaran hanya satu. Karenanya, dibutuhkan pengembangan metodologis untuk menyelaraskan ketiganya dan tugas itu dibebankan pada ilmuwan muslim. Tradisi intelektual yang terbuka, toleran dan bersahabat ini yang mampu mengakhiri periode zaman kegelapan Eropa. Hutang budi masyarakat Eropa sangatlah besar pada Andalusia. Maria Rosa Menocal memberi gambaran:
..upaya masyarakat muslim selama dua abad untuk memahami dan mengadaptasi alam pikiran Yunani telah mengintegrasikan kembali pandangan dunia zaman klasik yang vital menjadi suatu kebudayaan yang hidup….karya-karya ilmuwan Andalusia mengandung visi dasar yang dapat dicirikan sebagai upaya pembelaan terhadap kebebasan manusia. Keduanya memusatkan pada paradoks-paradoks agar iman dan akal dapat berkembang dalam domainnya masing-masing. Bukan iman atau akal yang harus menempati posisi lebih tinggi satu sama lain (karena hal ini pasti akan bermuara pada penindasan yang satu atas yang lain), melainkan bahwa akal dan iman memililiki tempat kedudukanya sendiri yang tidak dapat diganggu gugat dan cukup luas di atas satu meja tempat keduanya secara bersama-sama dapat menikmati jamuan kebenaran…’ Sebuah kalimat yang meluncur dari seorang yang terpesona pada keagungan Andalusia. Ilham akan kebebasan dan kerakusan pada pengetahuan. Sesuatu yang kini mulai redup, hilang dan ditanggalkan. Jejak itu kian dipangkas oleh keinginan untuk kembali pada kemurnian dengan menutup semua jejak pengaruh kemajuan. Andalusia tumbang karena gerakan pemurnian itu. Pasukan Muslim sendiri yang merontokkan kekuasaan Andalusia. Pasukan fanatis yang menginginkan gagasan kasar tentang penghentian pembauran. Mereka melihat ada ’kekesatan’ pada dinasti yang berlimpah, maju dan berkuasa. Iklim sekuler dalam kehidupan intelektual Andalusia dinilai sebagai pengkhianatan. Mereka lebih memilih menegakkan kekuasaan tidak dengan pena melainkan pedang. Dinasti Murabitun yang pada awalnya adalah paguyuban militer mengembangkan kekuasaan dengan membuang jauh-jauh tradisi intelektual. Masa itulah buku karya Al Ghazali dibakar habis. Kaum Yahudi bukan dilindungi tapi dimusuhi. Malahan mereka menumbangkan banyak raja kecil Yahudi. Keadaan tanpa kendali dan intrik yang terjadi dimana-mana mempercepat akhir kekuasaan Andalusia.
Ujung kisah ini diakhiri dengan kemenangan total raja Kristen, Ferdinand yang menikahi Isabella. Berada di bawah pengaruh pendeta yang merupakan kepercayaan sang Ratu, Kardinal Ximenez de Cisneros, diawali periode pembersihan yang mengerikan. Granada menjadi kota tempat dikuburnya semua karya-karya Islam. Pembakaran buku jadi kegiatan utama. Dan pemaksaan orang masuk kristen jadi kebijakan pentingnya. Siapa yang menolak akan dihukum mati. Keadaan mengerikan yang berlangsung sejak abad ke -11. Tentu kemudahan hancurnya itu semua karena perpecahan internal, perebutan kekuasaan dan kerakusan antar penguasa Islam sendiri. Lonceng kematian setelah mereka mulai meneguhkan kembali fanatisme dan membuang jauh-jauh iklim toleransi, kebebasan dan penghormatan pada akal sehat.
Andalusia adalah kenangan agung. Mengajak kita untuk memahami betapa beratnya beban kebesaran. Kemajuan pengetahuan, budaya dan ekonomi tidak saja memerlukan kekebasan. Dibutuhkan kekuasaan yang menanggalkan etos fanastisme dan keinginan untuk menyingkirkan yang lain. Kombinasi fanatisme Islam yang diwakili oleh orang Berber dari Afrika Utara-yang kemudian jadi pendiri dinasti Murabitun-bersama dengan pasukan ’salib’ yang keji, tanpa toleransi membawa kepunahan Andalusia. Kekuasaan itu saja tak cukup. Disambung periode fanatisme yang menggebu. Yakni kehadiran kaum al Muwahid-yang meruntuhkan dinasti Murabitun dan sama fanatiknya-yang bersamaan dengan pengaruh Paus Innocent III yang menggunakan kebijakan tangan besi. Sempurna sudahlah fanatisme yang berbalut agama itu hadir. Pedang, agama dan orang tolol berkomplot bersama.
Andalusia memberi pelajaran penting. Kebebasan ternyata memiliki musuhnya sendiri. Andalusia membenarkan dalil kalau fanatisme bisa menyembul tiba-tiba dan meluap begitu saja. Jika fanatisme kemudian merangkul kekuasaan maka yang bubar pertama kali adalah kemajuan pengetahuan. Dasar pengetahuan dianggap tak berguna dan kebebasan dikatakan sebagai kemunduran iman. Kedua buku ini adalah jendela untuk mengingatkan pada kita betapa bahayanya fanatisme dan luar biasanya anugerah kebebasan. Sebuah pelajaran yang begitu besar jika tidak dihiraukan. Karena Andalusia seperti menghidupkan kembali firman Allah:
’kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan kepada sekalian manusia: (karena) kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu beriman kepada Allah’(Qs Al Imran/ 3: 104)
Itulah ’cerita’ sekeping surga, Andalusia namanya!