OPINI & RESENSI

Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia

Selama satu tahun ini, teman-teman dan para ikhwan gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta telah belajar bersama-sama dengan Pusham UII, Tim Pengacara Muslim (TPM) Jateng, LBH Yogyakarta dan berbagai organ lain dalam apa yang disebut dengan gerakan advokasi hak asasi manusia. Berbagai training dan diskusi selalu membahas dengan sengit berbagai pengalaman gerakan dan sekaligus pengalaman ketertindasan dimana umat Islam, kerapkali menjadi korban kejahatan aparat Negara, sejak zaman orde baru hingga era reformasi ini. Beberapa buku dan bahan bacaan didiskusikan untuk memperkaca wawasan, meningkatkan keterampilan dan mengasah sensifitas.

Salah satu agenda yang kerap saya sampaikan kepada para ikhwan itu adalah bahwa para aktivis Islam belum mempunyai karya penelitian dan dokumentasi yang brilian dalam bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde BAru dan orde reformasi ini dalam isu terorisme. Sebaliknya, para aktivis gerakan Kiri dan Komunis telah mempunyai puluhan judul buku yang mencatat, merekam, mendokumentasikan dan menganalisa pengalaman mereka sebagai korban kejahatan rezim Soeharto dalam peristiwa 65/66, atau peristiwa pasca G.30 S. 65. Hal ini berbeda setarus delapan puluh derajat dengan rekan-rekan aktivis Islam yang pernah menjadi korban rezim orde baru dan reformasi ini, sejak peristiwa Komando Jihad, Usroh, Tanjung Priok, Lampung, hingga isu Terorisme belakangan ini.

Menurut hemat saya, para aktivis Islam (gerakan Islam) perlu belajar dari kelompok ini: tentang bagaimana cara mereka merekam sejarah ketertindasan itu dan membuatnya sebagai ‘panggung kekejaman’ rezim berkuasa di masa lalu. Salah satu buku yang patut dipelajari adalah buku ini: ‘Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi’ yang ditulis oleh M.R Siregar. Buku ini mengupas secara gamblang bagaimana berbagai peristiwa dan sistematika pelanggaran HAM terjadi, dan akar masalah, konteks ekonomi serta politik yang melatarbelakanginya.

Genealogi “politik” HAM

Bab satu dan kedua, buku ini mengupas akar masalah sejarah ekonomi dan politik di Indonesia dimana gerakan Kiri dan Komunis termasuk kelompok Radikal yang dalam banyak hal pilihan politiknya sama dengan apa yang diambil oleh mantan “Amir” DI/TII S.K.M. Kartosuwiryo. Sikap sayap kiri ini sangat penting untuk dicatat: penolakan terhadap manifesto politik Belanda, perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvile yang tujuannya adalah menyangkut apa yang selama ini kita sebut dengan problem HAM Ekosob, yakni pemerintah yang bekerja untuk kepentingan modal/negara asing dengan mengorbankan kehidupan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Masa kabinet Hatta, merupakan salah satu periode penting di awal kemerdekaan politik RI, dimana pemerintah menerima tekanan Amerika, Belanda dan Inggris dengan membiarkan perusahaan-perusahaan asing menguras kekayaan dan sumber daya alam strategis.

Dengan mengutip Kreutzer, MR Siregar menuliskan lagi bagaimana perusahaan asing mampu menaklukan pemerintah RI dan menguras kekayaan alam negeri ini (hlm 14):

“pada hari-hari itu (awal November 1945, red), Amerika Serikat telah memperoleh kepentingan- kepentingan yang cukup besar di kepulauan Indonesia. Perusahaan-perusahaan swasta Amerika telah mulai menambang biji nikel dan besi di Sulawesi (Celebes). Industri-industri pertambangan di Bangka dan Belitung mengekspor seng dan timah di Amerika Serikat. Standart Oil Rockefeller telah menggali kurang lebih 500 sumur minyak di Sumatra. Di pulau yang sama Goodrich dan raksasa karet lainnya memiliki perkebunan-perkebunan sekitar 100.000 ha untuk masing-masing.”

Dalam tekanan tersebut, hanya front persatuan nasional yang dapat mengalahkan kaum imperialis itu. Sayangnya, front ini yang dulu digagas Muso dan PKI ditolak oleh Masyumi dan PNI (hlm. 18). Dengan kata lain, sejarah juga menunjukan bahwa berbagai faksi dan elit gerakan nasional, pada akhirnya akan saling mengalahkan dan membunuh untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan internasional. Sejarah pada akhirnya menjadi milik Hatta, yang kemudian belakangan milik Jendral Soeharto dengan dukungan Amerika dan negara-negara imperialis lainnya.

Bila problem Hak Asasi Manusia, di antaranya berakar pada negara yang mengabdi pada kapitalisme, seperti yang ditunjukan oleh UU PMA 2007 belakangan ini, maka dominasi dan imperialisme pasca kolonial terbukti gagal untuk dilawan dan dihilangkan. Dengan kata lain, pembaharuan UU PMA, UU SDA, UU Migas dan berbagai perundang-undangan lain yang bertentangan dengan UUD 1945, dan UU HAM 1999, UU No. 11/2005 tentang HAM Ekosob, telah memiliki akar struktural dan sejarah yang penting untuk dibaca lagi melalui buku ini.

Kekerasan Tentara Pemerintah, dalam kabinet Hatta yang secara diam-diam bekerjasama dengan Amerika juga terjadi di masa-masa revolusi yang menjadi jalan awal dari sejarah panjang kekerasan tentara Indonesia terhadap buruh, yang masih berlangsung hingga hari ini. Hal yang sama dilakukan setelah PKI tumbang di masa-masa orde baru, terhadap para aktivis Islam di Pula Jawa dan Sumatra.

Bila SBY gagal dan tidak mampu memberikan perlindungan HAM Ekosob kepada korban lumpur Lapindo, pemerintah tidak mampu melindungi buruh (menyangkut hak-hak buruh yang telah ditetapkan dalam UU Hak Ekosob, No. 11 tahun 1005), yang notabene adalah rakyatnya dari Perusahaan hari ini, maka akar masalahnya sudah berlangsung pasca perjanjian KMB tahun 1949. Salah satu nota kesepakatan pemerintah RI dan Belanda adalah menjamin perkebunan/tanah dan perusahan asing tidak dinasionalisasi, tidak diberikan pada para petani (yang telah dirampas masa kolonial), bahkan sebagian diberikan kepada Amerika Serikat. Duet Soekarno-Hatta, didukung oleh PNI, PSI dan partai lain telah memberikan secara cuma-cuma kepada para kolonialis itu tanah-tanah, perkebunan dan perusahaan. Inilah kemerdekaan yang tidak sepenuhnya, sebagaimana yang masih berlangsung hingga hari ini. Di kalangan Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) saat itu sangat menentang kebijakan-kebijakan paska-kolonialis itu.

Aksi-aksi buruh dan petani di Sumatra Utara, di Jawa Timur, kemudian disambut dengan berondongan senjata, dan pembunuhan-pembunuhan terhadap aktivis buruh dan tani oleh Tentara. Pemerintah dan militer menjadi alat kapitalisme pasca kolonial yang sedang memperbaiki dirinya pasca PD II (hl, 51, 215). Mari kita lihat catatan MR Siregar:

“Tuntutan pihak perkebunan asing melibatkan sekitar 28.000 keluarga di Jawa dengan luas tanah sekitar 80.000 ha, di antaranya 20.000 ha di Malang (Jawa Timur). 23.000 ha di Kediri dan

14.000 ha di Suarakarta (Jawa Tengah). Di Sumatra terdapat 150.000 keluarga, atau sama dengan 750.000 jiwa. Tanah yang hendak dirampas kembali ini tak sedikit yang telah digarap petani sejak pendudukan Jepang, dan sepanjang tahun-tahun nperjuangan bersenjata membela kemerdekaan 1945-1949, telah memberikan sumbangan yang tidak kecil kepadan republik.”

..“Tetapi berdasarkan persetujuan KMB, tanah-tanah tersebut harus dikembalikan kepada “pemiliknya” semula yaitu para pemegang konsesi kolonial. ….Menteri dalam negeri Mr. Moh Roem (Masyumi) dan Gubernur Sumatra Utara Abd. Hakim (Masyumi) tanpa perasaan iba apalagi keadilan barang sedikitpun mengerahkan stauan-satuan Polisi mengawal traktor-traktor yang dikerahkan pihak perkebunan menggilas tanah-tanaman-tanaman dan rumah-rumah kamu tani di berbagai tempat di Sumatra Timur, khususnya di Tanjung Morowa. Pentraktoran dilakukan ketika padi sedang menguning, dan tanaman palawija siap untuk dipanen.”

Kita kemudian disadarkan oleh buku ini, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak petani, buruh dan HAM secara umum, telah memiliki fondasi yang begitu kuat di jantung kekuasaan di republik ini. Pelanggaran- pelanggaran ini, dan keberpihakan Tentara, khususnya Angkatan Darat pada Neokolonialisme seperti pemusnahan terhadap petani di atas telah menjadi “kondisi yang dipersiapkan” untuk holokaus yang tidak terperikan itu. Penghisapan atas buruh, penindasan terhadap petani (yang notabene mayoritas mereka adalah umat Islam), menjadi kenyataan yang terus berlanjut hingga hari ini. Sukses terpenting dari pembantaian 65/66 adalah penghancuran segala bentuk gerakan sosial yang berbasis pada pemenuhan dan perjuangan hak-hak rakyat. Dan seperi kita semua tahu, setelah 65/66 Rezim Soeharto dengan leluasa “membantai umat Islam” di berbagai wilayah di Indonesia.

Buku ini merupakan pencapaian gerakan ghazwul fikri yang tangguh dari korban 65/66 di Indonesia. Ini merupakan bahan pelajaran yang sangat penting bagi gerakan Islam di negeri ini. Buku ini merekam dan mencatat ulang sejumlah peristiwa kekerasan HAM, kejahatan HAM, yang tidak saja sebagai sebuah holokaus, namun juga hingga taraf tertentu menjadi genosida yang patut diingat dan dibuka secara publik. Secara spesifik, deskripsi secara detil, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto dan Rezim Orde baru, terdapat dalam bab ‘VI: Dimensi Holokaus dari Tragedi ini’ (hlm. 201—317). Kemudian dimensi struktural, ekonomi, dan politik HAM di Indonesia diurai dengan sangat panjang lebar, dalam dua bab: bab VII, Hak Menentukan Nasib Sendiri di Depan Kemahakuasaan Imperialisme (318—397); dan bab VIII, Dimensi Struktural dari Tragedi Ini (398—520).

Korban Kejahatan dalam ‘Tragedi Kemanusiaan’

Mari kita lihat beberapa peristiwa kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun-tahun yang mengerikan itu.

Bentuk KejahatanDeskripsiKeterangan
Pogrom (massa yang melakukan serangan)Aksi ini terjadi secara serentak, meluas dan sistematis, terjadi di hampir seluruh kota dan provinsi di Indonesia.Misalnya yang menimpa seorang ibu dan 3 naknya yang masih kecil di Sumatra Utara (h.216-217), menimpa Pramudya Anata Toer di Jakarta (217-218)
Penahanan (dipenjara) tanpa proses pengadilanPara korban setelah ditangkap, mereka disiksa di kamp-kamp penahanan (kantor polisi, tentara, atau gedung lainn), selama bertahun-tahun.Misalnya lagi yang menimpa sang ibu di atas, ditahan selama 5 tahun.
“Penyembelihan”“Di Jakarta, sekawanan Pogrom menjerang air dalam drum. Ketika sudah menggelagak (mendidih), seseorang yang mereka amankan …dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas dicelupkan di dalamnya…kepuasan mereka lepas dalam tawa dan sorak sorai…ketika korban dikeluarkan dari drum maka sang korban …Kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas matang…serta kedua bola matanya meletup…di sebuah kmapung di Jakarta sebuah keluarga berakhir dengan sebutam “Sate Komunis”. (h.223)Perburuan daging komunis di Jawa Tengah dipimpin oleh Kol. Sarwo Edhie. 800 orang dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala (h.223)

Masih banyak contoh lain, yang digambarkan oleh MRS secara detil, dengan beberapa contoh di beberapa provinsi. Penyiksaan dalam tahanan , kondisi dalam penjara yang tidak manusiawi, yang menyebabkan banyak tahanan meninggal perlahan-lahan (232—236). Penyiksaan ketika diinterogasi (238— 244). Demikian halnya kondisi kerja pakasa, seperti zaman pendudukan Jepang. Tak lupa buku ini merekam beberapa proses pengadilan sudah barang tentu dapat dengan mudah diketahui hasilnya (252—289). Tidak berhenti pada “kematian” di penjara, selepas dari tahanan, mereka kemudian menjadi warga “sub-human” (untuk yang kedua kalinya) di masyarakat (289—317).

Pelaku

Mengenai pelaku kekerasan dan kejahatan tersebut, MRS melukiskan seorang Jendral Sumitro, sebagaimana yang dia kutip dari wawancara Sumitro dengan televisi BBC.

“dihias dengan senyumdibiir, wajah yang cerah dan riang gembira, jenderal pensiunan Sumitro dengan bangga memberitahukan bahwa dialah orangnya yang diberikan kepercayaan oleh Soeharto untuk mengomandani penyembelihan dalam tahun-tahun gelap gulita yang penuh genangan darah dan air mata….Sumitro menyebut kampanye maut itu sebagai “hunting” (perburuan)…” (hlm. 222—223)

Pelaku lain yang digambarkan oleh MRS adalah Kolonel Sarwo Edhie (mertua presiden SBY): “Perburuan daging manusia anti komunis di provinsi ini (Jateng, penulis) dikepalai oleh seorang opsir yang sangat bengis Kolonel Sarwo Edhie. Sarwo Edhie melatih dua tiga hari grup-grup pemuda naisonalis dan Islam dan kemudian melepaskan mereka keluar untuk melakukan pembunuhan.” (hlm. 223) Penjelasan lain mengenai pelaku: “..Di Jawa Timur, di Lawang, di Kabupaten Malang, para korban digantung dan dengan kejam dipukuli oleh anggota-anggota ANSOR, di bawah perlindungan satuan tentara Zipur V (sejenis satuan Zeni) di Singosari Malang, para korban di Pancung (hlm. 224).

Militer AD dengan sangat lihat melibatkan seluruh elemen ideologi, organisasi dan kelompok masyarakat, yang hendak menutupi kejahatannya dengan lumuran darah orang-orang sipil yang terprovokasi membantai komunis. Dengan miris MRS Siregar menggambarkannya:

“Kebuasan dalam penyembelihan, selain sangat beraneka ragam dam juga sangat inovatif, kreatif dan kompetitif. Para algojo yang Protestan, Katolik, dan Hindu Bali tidak mau kalah dari yang Islam. Begitu juga yang nasionalis dari yang “sosialis” dan liberal.” (hlm. 224)

Bahkan disebutkan, setiap jendral memiliki target membunuh 100.000 orang PKI atau yang dituduh PKI (hlm 215—216). Ditambah keterlibatan pelaku dari kalangan sipil yang anti komunis telah membuat pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang sulit untuk diproses melalui mekanisme hukum, sosial dan apalagi politik. Jalan terakhir yang disepakati oleh MPR tahun 1999 adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ironisnya, sebelum komisi ini dibentuk Rancangan UU yang akan mengaturnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pelanggaran HAM dalam peristiwa pasca 1 Oktober 65, sangat terkait dengan dimensi ekonomi politik imperialisme dan neokolonialisme. Kaitan dan dimensi tersebut masih berjalan hingga sekarang yang diurai dengan sangat menarik pada bab-bab berikutnya. Dampak stuktural, dan ini yang lebih parah dari holokaus dan kejahatan yang biadab terhadap komunisme adalah apa yang sekarang bisa disebut imperialisme global menancapkan kakinya di Indonesia. Pengusaan berbagai SDA oleh perusahaan asing. Otoritarianisme, oligarki politik yang menghamba pada kepentingan modal global (neoliberalisme) dan ‘telinga pemerintah yang bebal’, kedap dari suara-suara penderitaan rakyat. Terus berlangsung hingga hari ini. Pelanggaran HAM pelan-pelan berlangsung secara sistematis pasca 65/66.

Pasca Orde Baru, trend pelanggaran HAM mulai bergeser, kembali ke masa-masa awal 50-an, ketika pemerintah dan tentara berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Lebih dari itu, kita semua masih hidup dalam ‘orde baru’ yang ditanamkan ke dalam mind kita: tentang kejahatan dan kebengisan PKI, dan bahaya gerakan Islam Radikal melalui isu terorisme. Mampukah kita membebaskan diri kita dari belenggu Orde Baru itu?. Maka sudah saatnya juga para aktivis Islam Radikal membuat karya serupa yang telah dibuat MR Siregar. Meskipun aktivis Islam berbeda ideologi dan gerakan dengan mereka, namun buku ini menyimpan ‘hikmah’ yang dapat dipetik, agar menjadi kekuatan bagi gerakan Islam dalam memperjungkan hak asasinya yang telah dirampas sejak zaman orba hingga orde reformasin ini.

(tulisan ini pernah menjadi bahan diskusi dalam Acara Beda Buku ini, tahun 2007 di Yogyakarta)

9 Desember 2011

Sobirin Malian, S.H,. M.H

Tindak kekerasan sampai hari ini masih terus bergulir, dengan beragam motif dan latar belakang. Gerakan separatis di berbagai wilayah di Indonesia semakin menunjukkan nyalinya. Sejumlah aksi kekerasan di Poso dan Ambon telah merenggut ribuan nyawa tak bersalah. Teror bom bunuh diri di kedutaan besar asing, di pusat keramaian, bahkan di tempat-tempat suci ibadah tak terelak lagi. Ada yang berpendapat, itu semua adalah resiko dari dinamika transisi politik di belahan bumi manapun, termasuk di Indonesia.

Mengakhiri Millenium kedua dan menjelang lengsernya rezim Orde Baru, Soeharto, di berbagai wilayah di Indonesia muncul berbagai fenomena memprihatinkan berupa peristiwa kerusuhan massal dan kekerasan yang mengatasnamakan SARA (suku, etnis, dan agama). Sebagai gambaran, konflik di Sambas antara etnis Melayu dan Madura pada 1999 mengakibatkan 150 korban meninggal dunia dan lebih dari 10.000 warga setempat harus menggungsi. Sementara, konflik di Ambon telah merenggut 3.000 korban meninggal dunia. Konflik lainnya yang juga menimbulkan dampak luas adalah konflik di Timor Leste, Aceh, Papua, Maluku, dan Poso.

Munculnya konflik lokal di Indonesia tidak mudah untuk ditebak motif indikasinya, karena setiap konflik mempunyai penyebab dan dinamika yang berbeda. Dimensi permasalahan yang menyebabkan konflik-konflik tersebut berkembang relatif beragam, mulai dari unsur politik, ekonomi, sosial maupun kultural (agama). Maka, pembahasan mengenai konflik-konflik tersebut harus ditempatkan pada konteks yang lebih komprehensif.

Praktik kekerasan di masa Orde Baru dengan mendasarkan pada sentimen agama, sebenarnya tidak lahir secara alami sebagai persoalan masyarakat bawah an sich. Namun, itu merupakan mata rantai keberlanjutan dari suasana dan karakter sistem politik yang sedang berkuasa (Orde Baru). Kekerasan yang terjadi bukanlah ekspresi sesaat atas situasi itu, tetapi lebih berakar pada gejala yang menyejarah dan terpendam sangat lama. Oleh karena itu, kekerasan massa yang berkembang menjelang dan sesudah runtuhnya Orde Baru, merupakan reaksi atas kekerasan sebelumnya yang dilakukan dan dilembagakan oleh negara (kekerasan struktural).

Kenapa Harus Agama ?

Ironisnya, isu SARA (suku, etnis, agama) terutama agama, menjadi umpan politis strategis untuk memperkeruh stabilitas bangsa dan negara. Orientasi masyarakat terbelah (split oriented), persatuan dan kesatuan bangsa tercerai berai, masyarakat menjadi panik, penjarahan dan pembakaran kios warga keturunan Tionghoa (Cina), serta teror dan pembakaran sarana tempat ibadah. Semua itu tidak lain merupakan dinamika politik sebuah zaman yang sedang bergejolak.

Agama seringkali menjadi taruhan bagi terwujudnya setiap interest politik. Dalam kondisi sosial- keagamaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, keinginan untuk membangkitkan sikap sektarian dengan menciptakan agama sebagai simbol merupakan fenomena yang sering dijumpai pada masa-masa akhir kekuasaan orde baru. Agama kemudian menjadi bagian dari tuntutan proporsionalisme; yaitu suatu distribusi kekuasaan yang “adil” berdasarkan jumlah populasi agama. Karena sebelumnya, pemerintah telah memberikan perlakuan khusus terhadap semua pihak kecuali pribumi muslim sendiri, terutama Cina untuk bidang ekonomi, dan Kristen untuk bidang politik dan birokrasi. Sementara, bagi masyarakat akar rumput, agama bisa berupa ancaman konversi (baca: Kristenisasi).

Sementara Hefner berpendapat, pergolakan yang terjadi menjelang akhir tampuk kekuasaan Soeharto, menunjukkan nihilnya konsensus di kalangan umat Islam mengenai pluralisme dan demokrasi. Hal ini dapat dibenarkan karena target utama dari upaya reformasi adalah penggulingan rezim yang dipersonifikasikan dengan sosok Soeharto sebagai common enemy. Menurutnya, Ada pola yang dominan, yaitu munculnya kelompok Islam ultrakonservatif yang didukung oleh rezim, yang di dalam melakukan aksi-aksinya bekerja sama dengan Prabowo Subianto (menantu Soeharto) untuk selalu mendukung Soeharto dengan menebarkan kebencian yang didasarkan pada agama. Dengan demikian, kekerasan yang menandai lengsernya Soeharto membongkar logika kebijakannya terhadap agama (Islam) yang gagal. Dan pada akhir kekuasaannya, Soeharto masih memiliki kelompok think tank elite yang fungsinya untuk memproduksi propaganda anti Cina dan anti Kristen.

Sementara sejumlah pengamat menilai, bahwa berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pasca lengsernya Soeharto sangat berhubungan dengan tumbangnya kekuatan lama, yakni mereka yang pro status- quo dan para mendukung fanatik Soeharto serta yang ingin menggagalkan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan yang reformis. Selain itu, kekerasan agama yang tersulut di daerah-daerah sebagai usaha mengalihkan perhatian publik dari usaha kelangsungan tuntutan masyarakat terhadap semakin ditegakkannya supremasi hukum, dalam hal ini terkait pengusutan terhadap harta kekayaan para pejabat Orde Baru (terutama Soeharto) yang dicapai melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). (Hal. 153).

Dalam buku ini, Haqqul Yakin, penulis buku, berkesimpulan bahwa munculnya berbagai konflik kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru dan pasca runtuhnya tampuk kekuasaan Soeharto yang selalu identik dikaitkan dengan persoalan-persoalan SARA (suku, etnis, dan agama) murni tidaklah benar. Di balik itu semua, negara yang dalam hal ini para elite politik memegang kunci skenario atas konflik demi untuk mengacaukan stabilitas pemerintah yang bersih dan damai.

Agama sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individu maupun sosial, selalu memberikan dorongan kepada pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.

9 Desember 2011

Imran (Staf Pusham-UII)

Mengutip pendapat Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang bertujuan mengupayakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Maka kepentingan umum harus dileatakan lebih utama dari kepentingan pribadi dan ketika kepentingan pribadi yang utama maka sesungguhnya para pemegang kekuasaan telah menyalhgunakan wewenangnya. Sama halnya dengan fenomena korupsi yang telah melanda hampir semua negara di dunia merupakan bentuk peletakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.

Persoalan-persoalan korupsi selalu mengiringi dinamika kehidupan masyarakat dengan intensitas yang berbeda-beda tiap masanya. Catatan kuno tentang hal tersebut telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, dimana korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam bentuk suap menyuap, di Mesir, Babylonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno merupakan bentuk-bentuk korupsi yang ditemukan pada masa-masa itu. Namun seiring dengan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru perbuatan korupsi juga terjadi. Prilaku korupsi terdapat di dalam negara demokrasi, dalam negara diktator militer, disetiap tahap pembangunan dan segala jenis sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti yang terdapat di bekas Uni Soviet.

Oleh karena itu korupsi tidak saja ada di negara maju, tetapi juga terdapat di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di Negara-negara miskin korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi, dan mengerogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik.

Di negara maju akan menurunkan standar kehidupan dan mengerogoti keabsahan politik, di negara yang sedang mengalami masa transisi dapat mengerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Di negara berkembang akan mengalienasikan kepemimpinan politik dan semakin mempersukar adanya pemerintahan yang efektif. Pendeknya perbuatan korupsi dapat menjatuhkan suatu pemerintahan

Memahami Korupsi Politik

Dalam tulisannya dengan mengutip beberapa sumber penulis buku ini mengatakan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan politik baik karena dipilih maupun ditunjuk. Kedudukan politik para pelaku dapat sebagai presiden, kepala pemerintahan, para menteri, anggota parlemen yang seringkali mengunakan fasilitas dan kemudahan politis yang melekat dalam diri mereka. Korupsi politik dapat berbentuk tirani, penghianatan atau subversi, lobbyism, pembelian suara, kecurangan dalam pemilu, patronage dan favoritisme. Selain itu pelaku korupsi politik dapat bersifat individual, kelompok, kroni, keluarga, maupun rezim suatu pemerintahan.

Penyebab korupsi politik tentu bermacam-macam, dari yang bersifat sistemik hingga yang berisfat perilaku, yang kemudian menyatu dalam kekuasaan yang tanpa kontrol dari hukum, etika dan hati nurani. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini bahwa, nafsu politik kekuasaan yang buas, sarana dan prasarana ekonomi yang tidak transpasan, kontrol yang lemah, krisis moral para pemimpin, dan penegakan hukum yang lemah dimanfaatkan oleh pemegang kakusaan politik untuk melakukan tindakan-tidakan korupsi.

Dari sini terlihat bahwa korupsi politik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan etika. Kedua hal ini kemudian tidak mampu menjadi alat kontrol dalam proses-proses politik dan kekuasaan dalam suatu negara modern. Padahal dalam negara moderen kepatuhan terhadap hukum dan etika merupakan nilai moral tertinggi yang dapat memperkuat legitimasi kekuasaan di mata masyarakat.

Hukum dan etika akhirnya digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka bahkan tidak jarang digunakan sebagai instrumen untuk tindakan represif terhadap lawan-lawan politik. Seperti yang ditulis dalam buku ini bahwa intimidasi, ancaman, atau digiring ke penegak hukum merupakan suatu yang sering terjadi pada masa orde baru ketika masyarakat melakukan kontrol kritis terhadap prilaku para penguasa ketika itu sehingga hukum dan etika hanya menjadi simbol yang tidak bermakna.

Dalam konteks Islam penanggulangan korupsi politik telah dilakukan pada jaman Rasulullah, seperti diriwayatkan Abu Hamis As Sa’idi bahwa Rasulullah pernah memecat Ibnul Attabiyah pejabat pengumpul zakat dari kafillah Bani Sulaiman gara-gara menerima hadiah. Nabi juga melarang seorang pejabat menerima suap maupun hadiah. Di Jaman Kalifah Umar pernah ia memerintahkan Maslamah membagi dua kekayaan pejabat yang tidak wajar. Yang tercatat misalnya Gubernur Bahrain Abu Hurairah, Gubernur Mesir Amru Bin Ash, Gubernur Iraq Nu’man bin Ady, Gubernur Makkah Nafi’ bin Ammar Al Khuzai’i, Gubernur Yaman Ya’la bin Munabbib, Gubernur Kufah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Gubernur Syam Khalid bin Walid. Hal ini dilakukan karena Umar menduga bahwa penguasa berpeluang mendapatkan rejeki di luar kewajaran. Jika tak terbukti melakukan KKN, di akhir masa jabatan harta mantan pejabat itu di bagi dua, separuh diambil negara dan separuh di kembalikan tetapi jika harta itu terbukti di dapat dair KKN seluruh harta di sita negara (h.92-93)

Dampak Korupsi Politik

Praktek-praktek korupsi politik di banyak negara telah menempatkan pemegang kekuasan tertinggi sebagai pelakunya. Pemimpin Uganda Idi Amin; Mobutu Sese Seko dari Konggo; Jean Claude Duvalier dari Haiti; Jean Bodel Bokassa pemimpin Afrika Tengah; Zulfiqar Ali Bhutto pemimpin Pakistan; Augusto Pinochet pemimpin Chilie; Chun Do Hwan pemimpin Korea Selatan. Ini semua adalah gambaran tentang pelaku korupsi politk yang saat berkuasa adalah pemimpin negara tertinggi masing-masing.

Praktek-praktek korupsi para pejabat ini telah mengikis kredibilitas, mendelegitimasi kelangsungan kehidupan politik pemerintah serta menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi politik berimplikasi terhadap menurunnya kredibilitas pemerintahan baik secara nasional maupun internasional yang telah merugikan kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang menurut James C. Scott, adalah negara yang salah urus, dimana dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan yang merupakan akibat dari maraknya korupsi oleh pejabat negara . Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).

Membaca buku ini kita mendapatkan banyak informasi tentang korupsi politik yang terjadi di dunia internasional. Namun dibeberapa paragraf terjadi ketidak konsistenan yang dilakukan oleh penulis, salah satunya adalah dengan memasukan tentang pelanggaran berat HAM dalam buku ini, padahal sejak awal buku ini hanya membahas tentang korupsi politik dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran berat HAM. Selain itu ide yang melompat-lompat membuat kesulitan sendiri untuk memahami alur berpikir dari buku ini sehingga di butuhkan ketelitian dalam membacanya. Sebagai satu karya ilmiah yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor, buka ini mampu memberikan prespektif baru dari beragam soal tentang korupsi yang terjadi di banyak negara.

9 Desember 2011

Tri Guntur Narwaya, M.Si

Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.

Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.

Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.

Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan

pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya,

“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)

Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.

Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260).

Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.

Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79).

Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.

Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.

Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan

“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip- prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.

Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber- sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.

Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158).

Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.

Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa ,

“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)

Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)

“dasar dari asas syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)

9 Desember 2011

Sobrin Malian, S.H

Berbagai polemik seputar konflik antara negara Palestina dan Israel seolah tak berujung. Sedemikian besar pengaruh konflik ini, sehingga berbagai negara merasa berkepentingan untuk turut campur dalam pertikaian ini. Bahkan, beberapa kali Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba tampil untuk menengahi persoalan tersebut. Namun, hal ini tak jua terselesaikan. Sebaliknya, konflik seolah semakin tak berujung dan Israel semakin sering melakukan penghancuran terhadap rumah-rumah milik warga Palestina. Berbagai protes dari negara lain ternyata tak diindahkan oleh Israel. Dengan dukungan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, tentara Israel semakin tegas menancapkan kukunya di Palestina.

Penderitaan masyarakat Palestina memang patut mendapatkan simpati. Ketidakadilan yang mereka alami sangat kasat mata, namun, mengapa ini tak juga terselesaikan? Jika memang tidak segera diselesaikan, korban akan semakin bertambah banyak, terutama dari kalangan sipil warga Palestina. Selain itu, kebencian terhadap Israel akan semakin menjadi-jadi. Hal ini sangat dirasakan oleh anak-anak Palestina yang semenjak kecil sudah harus berurusan dengan kebengisan tentara Israel.

Secara tematis, buku dengan rujukan antar konflik Irael dan Palestina sudah ribuan jumlahnya. Meski begitu, hadirnya buku karya Haris Priyatna ini membawa referensi baru bagi kita yang peduli terhadap konflik ini. Dengan teliti, Haris melakukan studi literatur dan menemukan banyak sekali sisi lain dari konflik bersenjata ini. “Sisi lain” inilah yang ia hadirkan. Buku ini menghadirkan beberapa tokoh yang boleh dikatakan berada dalam ambiguitas. Mengapa bisa dikatakan demikian?

Haris menemukan kenyataan, bahwa tidak semua bangsa Yahudi setuju dengan pendudukan Israel di tanah Palestina. Mereka yang notabene memang lahir sebagai seoranng Yahudi, secara terang-terangan malah membela warga Palestina. Mereka terdiri atas berbagai macam profesi. Selain para rabbi dari agama Yahudi ortodoks, mereka juga terdiri atas berbagai ilmuwan, diantaranya adalah Noam Chomsky yang dikenal berkecimpung dalam ilmu budaya dan masyarakat. Selain itu terdapat pula Amira Haas, seorang jurnalis, Illan Pappe, ahli politik dan masih banyak lagi yang lain. Mereka tergerak hatinya untuk membela warga Palestina karena ketidakadilan yang mereka hadapi.

Meskipun alasan yang mereka kemukakan berbeda-beda, namun pada intinya mereka sama. Mereka menolak intervensi yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Para Rabbi Yahudi yang masih memegang teguh pada kitab Taurat, menyatakan bahwa apa yang dilakukan Israel merupakan sebuah bentuk bid’ah. Para Rabbi agama Yahudi ortodoks ini menyimpulkan bahwa bangsa Israel yang

mencoba menduduki wilayah Palestina tidak sabar dalam menjalani ketentuan Tuhan. Oleh karenanya mereka menolak dengan tegas tindakan yang tidak berprikemanusiaan ini. Mereka juga menyeru kepada umat Muslim di dunia, bahwa orang Yahudi sebenarnya tidak memusuhi Islam.

Antara Yahudi dan Islam tidak berbeda jauh karena sama-sama percaya pada satu Tuhan. Adapun yang dilakukan bangsa Israel merupakan tindakan yang sama sekali di luar akal sehat manusia. Dengan sikap tersebut, mereka menolak stigma bahwa yang menduduki Palestina adalah kaum Yahudi. Bangsa Yahudi yang benar tidak melakukan tindakan semena-mena seperti itu. Mereka menyebut bangsa Israel yang menduduki paksa wilayah Palestina sebagai Zionis. Rabbi Yahudi Ortodoks yang berseberangan dengan kebijakan Israel ini banyak tersebar di saentero dunia, termasuk di Inggris, Amerika bahkan di Israel sendiri.

Lain halnya dengan para jurnalis, sebutlah seorang wanita bernama Amira Haas. Perempuan Yahudi ini rela hidup bersama dengan warga Palestina di wilayah Gaza. Ia prihatin dengan apa yang menimpa rakyat Palestina, yang hampir tiap hari disuguhi oleh tindakan kekerasan. Sebagai seorang jurnalis, tulisannya banyak tersebar di koran-koran terkemukan di dunia. Selain dimuat di koran Turki, ia juga menulis kesaksian di koran The Independent, Inggris. Kebetulan The Independent mau memuat tulisan Amira Haas, karena koran ini memang dikenal beraliran liberal dan tidak terlalu sepaham dengan kekuasaan kerajaan Inggris. Kepedulian yang luar biasa terhadap rakyat Palestina membuat wartawati warga negara Israel ini mendapatkan berbagai kehormatan. Diantara penghargaan yang disematkan kepadanya adalah Press Freedom Hero dari International Press Institute pada tahun 2000, penghargaan HAM Bruno Kreisky pada 2002, hadiah UNESCO/Gullermo Cano World Press Freedom pada 2003, dan penghargaan pengukuhan dari Anna Lindh Memorial Fund pada tahun 2004.

Selain Amira Haas, ada pria bernama Illan Pappe. Ia adalah pemikir di bidang politik warga negara Israel yang juga bersimpati kepada perjuangan rakyat Palestina. Ia dikenal sebagai dosen senior di Haifa University. Keberaniannya untuk menyuarakan pemboikotan terhadap tindakan Israel di Palestina membuatnya diusir dari kampus. Telepon yang berisikan ancaman selalu mengusiknya tiap hari. Pandangannya memang dikenal dengan slogan anti Zionis. Ia sangat menentang pendudukan Israel ke wilayah Palestina. Pandangan awalnya yang menyebabkan ia dituduh penghianat bangsa Israel adalah saat ia mengungkapkan sebuah kebenaran.

Menurutnya, pada tahun 1948, tentara Israel melakukan pembantaian di Desa Tantura, yang menjadi wilayah Palestina. Pembantaian itu menyebabkan ribuan orang meninggal dan belum ada satu orang ahli sejarahpun yang melakukan penelitian terhadap pembantaian tersebut. Boleh dikatakan bahwa, ia merupakan orang pertama yang mengatakannya di depan publik. Pandangan awal inilah yang membuat ia menjadi bahan cemoohan dimana-mana dan dicap tidak nasionalis. Namun, ia bergeming. Pendiriannya tetap bahwa sepahit apapun sebuah realitas, harus diungkapkan di hadapan publik agar sejarah mencatatnya sebagai sebuah kebenaran.

Tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Noam Chomsky. Ia merupakan intelektual paling kontroversial sejagat. Kiprahnya sebagai aktivis dan kritikus dimulai ketika ia giat mencela perang Amerika di Vietnam pada tahun 60-an. Setelah Vietnam, ia merambah ke balahan dunia yang lain. Ia mengecam keterlibatan Amerika Serikat di Guatemala atau El Salvador. Konflik Timur Tengah juga menjadi bahan kajiannya. Meski dirinya orang Yahudi, ia adalah seorang yang paling konfrontatif mempersoalkan pencaplokan tanah Palestina oleh bangsa Israel.

Apa yang dilakukan oleh Noam Chomsky mendapat tantangan dari banyak pihak, terutama dari Amerika Serikat dan Israel. Bahkan, Presiden Richard Nixon kala itu, secara terang-terangan memasukkan Noam Chomsky pada “daftar hitam” musuh negara. Dialah satu-satunya aktivis dan kritikus kebijakan Amerika Serikat yang masuk dalam daftar tersebut. Selain itu, ia kerap diserang secara langsung oleh pejabat tinggi di negara Amerika.

Selain Noam Chomsky, ada pula nama Sara Roy. Sara Roy merupakan seorang ilmuwan peneliti di Center for Middle Eastern Studies di Harvard University. Terlatih sebagai seorang ahli ekonomi politik, Sara Roy telah bekerja di jalur Gaza dan Tepi Barat sejak tahun 1985. Ia melakukan riset berkaitan dengan pembangunan ekonomi, sosial dan politik jalur Gaza dan tentang bantuan asing Amerika Serikat kepada wilayah itu. Walaupun kajiannya tentang ekonomi, Sara Roy sangat tajam melakukan kritik terhadap Israel.

Sara Roy menulis secara luas tentang ekonomi Palestina, terutama di Gaza, dan telah mendokumentasikan perkembangannya selama tiga dekade yang lampau. Penelitian terbarunya, yang

didanai oleh John D. And Catherine T. MacArthur Foundation, mengkaji sektor-sektor sosial dan ekonomi dari pergerakan Islam Palestina dan hubungan mereka dengan lembaga-lembaga politik Islam, dan perubahan-perubahan kritis terhadap pergerakan Islam yang telah terjadi selama tujuh tahun terakhir ini.

Sara Roy mengatakan bahwa perusakan ekonomi Palestina di bawah pendudukan Israel melebihi yang dialami wilayah jajahan lainnya. Hal ini karena tujuan dasar Israel bukanlah sekedar mengeksploitasi, melainkan untuk mencabut hak milik bangsa Palestina, mengosongkan sebanyak mungkin bagian dari wilayah pendudukan untuk permukiman khusus Yahudi.* * *

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top