OPINI & RESENSI
Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
1 Februari 2021
M. Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Beberapa minggu yang lalu terjadi kegaduhan di masyarakat terkait sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sistem ini merupakan realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Karena begitu derasnya kritik orang tua di beberapa tempat, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru dan mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2019.
Seperti dilansir banyak media, permasalahan yang muncul akibat penerapan sistem zonasi, pertama, daya sekolah dan jumlah siswa tidak seimbang di beberapa tempat. Ada sekolah yang berlebih muridnya, dan ada ada sekolah yang kekurang murid. Kedua, belum adanya pertimbangaan yang jelas terkait jumlah anak didik dan keberadaan sekolah di beberapa tempat. Ketiga, infrastruktur, fasilitas dan sarana prasarana sekolah belum merata. Keempat, berkurangnya kompetisi antar siswa untuk masuk sekolah negeri terbaik. Kelima, nilai ujian nasional tidak penting lagi, karena yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak rumah atau zonasi peserta didik ke sekolah.
Sedangkan alasan pemerintah dan dalam banyak hal juga bisa dimengerti, pertama, sistem zonasi akan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Anak didik tidak perlu sekolah jauh dari rumahnya. Kedua, akses pendidikan akan lebih merata. Ketiga, kondisi kelas yang heterogen sehingga akan mendorong siswa untuk bekerjasama di level yang berbasis lokal. Keempat, sistem zonasi akan mengurangi praktik jual beli kursi. Kelima, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru. Keenam, memudahkan identifikasi persoalan sistem pendidikan sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berpijak pada plus minus dan polemik sistem zonasi, satu hal yang juga mesti dipikirkan oleh pemangku kebijakan adalah nasib anak-anak difabel yang hingga saat ini masih banyak ditolak ketika mendaftar di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan. Padahal, secara zonasi, tempat tinggal anak difabel tersebut dekat dengan sekolah umum di daerahnya.
Pertanyaannya, apakah sistem zonasi saat ini akan memberi akses bagi anak difabel untuk sekolah di dekat rumahnya dan secara otomatis sekolah tersebut menjadi sebuah sekolah inklusi? Atau, kondisinya masih sama dengan kisah pilu terdahulu, di mana anak-anak difabel tetap akan mengalami kesulitan saat mendaftar di sekolah umum dan orang tua difabel akan kesulitan kembali untuk antar jemput anaknya yang difabel karena akses sekolah yang jauh. Dalam banyak hal, anak-anak difabel tidak bisa bersekolah karena adanya hambatan-hambatan struktural yang secara langsung dan tidak langsung memutus hak-hak anak difabel atas di dunia pendidikan.
Ketentuan Sistem Zonasi
Dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, pertama, jalur zonasi, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah.
Dalam peraturan terbaru, Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 % (delapan puluh persen) dari tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi paling banyak 15% (lima belas persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Peraturan terbaru dengan demikian tidak banyak mengubah ketentuan pilihan sistem zonasi, hanya sedikit mengubah besaran persentasi penerimaan siswa lewat sistem zonasi dan jalur prestasi.
Bagaimana dengan penerimaan anak didik difabel? Dalam peraturan dinyatakan bahwa kuota dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu; dan/atau anak difabel pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Bahkan dengan alasan yang kurang jelas, Permendikbud akan memberi sanksi berupa pengeluaran bagi orang tua/wali yang terbukti memalsukan keadaaan sehingga seolah-olah peserta didik merupakan seorang anak difabel. Hal ini dalam banyak hal akan membuat takut orang tua, utamanya dari kalangan kaum miskin dan orang tua anak difabel.
Membaca ketentuan Permedikbud terlihat jelas bahwa anak didik difabel tidak cukup mendapatkan afirmasi dalam ketentuan sistem zonasi yang tujuannya notabene ingin mendorong akses layanan pendidikan. Dalam peraturan hanya terbaca anak didik difabel diterima sesuai kuota zonasi jika tersedia sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal, keberadaan sekolah inklusif saat ini masih menjadi catatan sangat serius di berbagai daerah di Indonesia, baik ketersediaan sekolahnya dan atau pun problem ketersediaan guru pendamping dan sarana prasarana yang belum aksesibel.
Pesan Bagi Pemangku Kebijakan
Dalam beberapa forum, keberadaan sistem zonasi sangat diharapkan akan menciptakan akses pendidikan yang lebih adil bagi anak-anak difabel. Selama ini, banyak anak didik difabel ditolak ketika mendaftar di sekolah dekat rumah tinggalnya. Pihak sekolah dengan alasan-alasan yang beragam biasanya menolak pendaftaran anak didik difabel dan mengarahkan agar mendaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jaraknya di banyak tempat ternyata jauh dari tempat tinggal anak didik difabel.
Penolakan anak difabel di sekolah secara umum bertentangan dengan hukum. Pada Pasal 5 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa difabel memiliki hak atas pendidikan. Pada Pasal 10 huruf b dinyatakan bahwa hak pendidikan untuk difabel termasuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi peserta didik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Terkait dengan sistem zonasi, Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang disabilitas juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak difabel untuk bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Zonasi menjadi pertimbangan utama bagi anak didik difabel.
Berangkat dari kegaduhan sistem zonasi dan problem akut yang menimpa anak didik difabel, besar harapan untuk pemangku kebijakan khususnya pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar melakukan evaluasi ulang terhadap tata kelola pendidikan bagi anak-anak difabel. Sistem zonasi lebih jauh harapannya akan menjadi media yang akan membuka ruang terciptanya pendidikan inklusi, akses pendidikan yang lebih manusiawi, dan berharap anak-anak difabel tidak lagi termarginalkan.
Sumber :
Media Online Solider-SIGAP pada 4 Juli 2019
1 Januari 2021
Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Sengkarut hubungan pusat dan daerah sudah sejak lama mewarnai diskursus politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Sejak penjajahan kolonial Belanda, Jepang, awal kemerdekaan hingga hari ini, hampir selalu menghadapi isu sama yang tak pernah kunjung ditemukan jalan penyelesaiannya, yaitu isu sentralisasi. Undang-undang pemerintahan daerah yang terakhir, UU Nomor 23 Tahun 2014, justeru dianggap sebagai UU yang paling sentralistik sejak reformasi dan amandemen UUD N RI Tahun 1945.
Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara yang berbentuk kesatuan. Padahal argumentasi ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikonsepsikan oleh UUD 1945, terutama UUD pasca amandemen, sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Disamping itu, secara teoritik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen dan kompromi politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.
Kondisi di atas diperparah pula oleh orientasi pembangunan yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi sejak terpilih menjadi presiden pada tahun 2014 silam. Sebernanya tidak ada yang salah dengan paradigma pembangunan itu. Hanya saja, kerap kali pada perjalanannya pemerintah menjadikan pembangunan sebagai peran pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah yang telalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu sistem perencanaan terpusat (cental planning). Kendali pemerintahan dan pembangunan berada di tangan pemerintah pusat. Perencanaan dan pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan, diawasi, dan dievaluasi. Dalam konteks inilah dapat dipahami, mengapa dalam UU 23 Tahun 2014, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, keduanya diposisikan sebagai daerah administrasi dan wakil pusat di daerah.
Memposisikan daerah sebagai daerah administrasi dan wakil pusat telah membebaskan pemerintah daerah dari tanggung jawab politik, baik terhadap DPRD maupun masyarakat daerah. Kondisi ini juga telah menyuburkan korupsi di tingkat daerah, yang berbuah maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, dan berbagai masalah lain sebagai dampak dari penataan hubungan pusat dan daerah yang sentralistik.
Covid-19 dan Sengkarut Hubungan
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pusat berkesempatan untuk memperlajarim memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat, baik untuk meningkatkan kesejahteraan daerah maupun masyarakat daerah.
Kondisi di atas lah yang diharapkan dapat melembaga dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia. Dengan demikian, kondisi covid yang tengah mewabah di Indonesia dan dunia belakangan ini, dapat memacu pemerintah daerah untuk lebih kreatif dan tegas menjadi motor penggerak masyarakat daerah. Kondisi daerah yang beragam, termasuk potensi penyebaran covid-19 juga berbeda antar satu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga, akan lebih baik jika kebijakan pemetaan penyebaran, penanggulangan, dan penyelesaiannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Sayangnya, situasi tersebut dalam konteks saat ini tidak mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah pusat, dengan berbagai kewenangan yuridisnya, memiliki kekuasaan yang begitu besar dalam hampir seluruh bidang pemerintahan. Artinya, peluang daerah untuk memiliki kebijakan sendiri, termasuk dalam penanganan covid-19 ini, tanpa persetujuan dari pemerintah pusat, hampir tidak mungkin. Bahkan, dalam konteks diskresi, yang secara teoritis berarti kewenangan bebas pejabat TUN untuk mengambil kebijakan dalam syarat dan kondisi tertentu, juga harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pusat. Ini berarti, sistem yang saat ini berlaku, telah memunculkan ketergantungan yang begitu besar daerah atas pusat. Kedua, dari aspek pemerintah daerah juga masih ada masalah, desentralisasi mengharuskan adanya kompetensi dan kreativitas kepala daerah untuk menjawab berbagai masalah yang muncul di daerah. Namun, berada di bawah hegemoni pemerintah pusat selama ini, menjadikan pemerintah daerah kalang kabut saat menghadapi pandemi. Mereka dituntut untuk kreatif padahal selama ini terkungkung di bawah pusat, tentu saja harapan menjadi kreatif ini jauh panggang dari api.
Pandemi covid-19 ini menjadi bukti sengkarut penataan hubungan pusat dan daerah. Ada daerah yang ingin bertindak progresif namun khawatir dianggap mendahului pusat, sebaliknya, ada pula daerah yang tidak melakukan apa-apa karena kehilangan kreativitas. Pilihan kita untuk mempertahankan pendekatan sentralistik, mendapatkan tantangan berat saat pandemi, ini meransang kita untuk mempertanyakan kembali penataan hubungan pusat dan daerah di masa depan.
1 Juli 2020
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Terminologi yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah “pemilukada”, bukan “pilkada”, bukan pula “pemilihan” seperti yang selama ini digunakan. Terkait dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perdebatan panjang yang melelahkan bahkan sampai hari ini belum selesai, yaitu apakah rezim pemilihan kepala daerah termasuk rezim pemilu, ataukah rezim pemilihan kepala daerah. Konsekuensi pilihan atas dua hal ini sangatlah panjang, ia berkaitkelindan dengan mekanisme pemilihan (lansung atau tidak lansung), lembaga penyelenggara, hingga proses penyelesaian sengketa (MK atau bukan), dan masih banyak hal lainnya. Tentu masing-masing pihak yang berbeda pendapat, memiliki argumentasi dan kepentingannya sendiri. Namun, paska Putusan MK Nomor 55 Tahun 2019, perdebatan itu sejatinya telah berakhir. MK telah menyatakan pemilihan kepala daerah merupakan bagian atau rezim dari pemilu sebagai diatur di dalam Pasal 22E UUD N RI Tahun 1945, konsekuensi logisnya baik mekanisme, kelembagaan, maupun penyelesaian sengketa juga mengikuti ketentuan pemilu. Dengan kata lain, penyelenggara Pemilukada adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP sedangkan penyelesaian sengketa berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, terminologi yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemilukada.
Pemilukada di tahun 2020 ini akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, artinya lebih dari setengah daerah akan melansungkan pesta demokrasi lokal. Pemerintah telah memutuskan pemilukada tetap diselenggarakan di tahun ini, yaitu 09 Desember 2020 mendatang, sekalipun pandemi covid-19 belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Pilihan ini, dengan semua konsekuensinya tentu telah dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pemunduran pemilukada yang terlampau lama, akan memiliki konsekuensi negatif terhadap penyelenggaraan otonomi di daerah, karena akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dengan kewenangan yang sangat terbatas.
Harus diakui, pandemi covid-19 telah mengalihkan perhatian semua pihak dalam penyelenggaraan pemilukada Desember 2020 mendatang, termasuk penyelenggara, pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Kita terfokus dengan penambahan anggaran pemilukada, keselamatan penyelenggara dan pemilih, optimalisasi wewenang pengawasan, dan berbagai hal teknis lainnya. Sehingga, banyak aspek substantif yang terlupakan, tidak menjadi perhatian, padahal keberadaannya begitu vital dalam konteks pemajuan demokrasi lokal. Salah satunya adalah keberadaan calon tunggal dalam pemilukada.
Setelah melewati perjalanan panjang dan berubah-ubah, akhirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 mengakomodir keberadaan calon tunggal dengan dasar Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015. Kalau diperhatikan, keberadaan calon tunggal terus mengalami peningkatan setiap waktunya. Dalam catatan penulis, pada Pemilukada serentak tahun 2015 lalu terdapat tiga kabupaten yang memiliki calon tunggal dari 269 kabupaten/kota dan provinsi penyelenggara Pemilukada. Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 9 dari 101 daerah penyelenggara Pemilukada dan kembali meningkat pada tahun 2018 menjadi 16 dari 171 pilkada. Pada Desember 2020 mendatang, akan ada 270 daerah yang mengikuti kontestasi Pemilukada, sehingga dapat dipastikan akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap calon tunggal kepala daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Terlebih dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, banyak aspek yang mendukung tumbuh suburnya calon tunggal. Banyak pihak yang mulai menyadari, memenangkan kontestasi Pemilukada dengan menjadi calon tunggal relatif lebih mudah dari berbagai sudut (kecuali biaya). Sampai hari ini, hanya ada satu daerah di mana calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong.
Ada problem substantif yang cukup fatal dalam pengakomodiran calon tunggal dalam pemilukada, terlebih dalam negara demokrasi yang masih syarat dengan transaksional dan interaksi patron-client seperti Indonesia. Pemilukada lansung yang sebelumnya diniatkan menjadi pendidikan politik dan pemenuhan kedaulatan rakyat daerah, dapat berubah menjadi transaksi “binal” elit politik di daerah-daerah. Menjadi calon tunggal, terutama petahana, di daerah tidaklah sulit, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan “membeli” suara partai-partai politik di daerah yang bersangkutan, sehingga tidak ada ruang untuk calon lain mencalonkan diri. Kalaupun ada partai yang mendukung, presentasenya tidak memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon, sehingga gagal sejak awal. Pada aspek ini, harus kita akui bahwa komitmen partai politik dalam pemajuan demokrasi masih sangat rendah. Partai menyumbang peran yang cukup besar dalam berbagai masalah demokrasi yang mengangkangi Indonesia saat ini. Di sisi lain, keberadaan calon perseorangan tidak bisa terlalu diharapkan, dengan persyaratan yang sangat sulit, hampir tidak ada yang berminat menjadi calon perseorangan, apalagi mengumpulkan berbagai persyaratan ditengah pandemi saat ini tidaklah mudah. Lagi-lagi, ini juga adalah ulah partai politik di senayan, yang tidak begitu “senang” dengan kehadiran calon perseorangan.
Problem substantif berupa demokrasi transaksional dan patron-client di atas, tentu tidak dapat dihilangkan semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat aspek pendidikan politik, kesejahteraan, dan banyak faktor lain yang mempengaruhi. Namun, dalam konteks negara hukum modern, yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki sistem yang ada, untuk menutup celah sekecil mungkin bagi tumbuh kembangnya demokrasi transaksional dan patron-client tersebut. Keberadaan calon tunggal dalam pemilukada sudah seharusnya dievaluasi, dampak negatif yang ditimbulkannya jauh lebih buruk terutama dalam pemajuan demokrasi Indonesia. Pilihannya, bisa saja dengan menutup ruang calon tunggal sama sekali, sehingga calon kepala daerah minimal harus ada dua calon, atau dengan memudahkan persyarata calon perseorangan.
Saat ini, pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.
Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.
Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.
Harmonisasi
Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.
Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.
Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.
Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012, kuota paling sedikit hanya 1%
Pengawasan Lemah
Substansi penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.
Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran.
SUMBER :
Koran Kedaulatan Rakyat (KR), 28 November 2019
Para wakil rakyat terpilih dalam Pemilu 2019 telah diumumkan. Mereka yang terpilih tentu bergembira, sedangkan wakil rakyat yang tidak terpilih sebagian besar kecewa bahkan ada yang stres, walaupun ada ada sebagian yang secara terbuka menerima kekalahan sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.
Di balik hiruk pikuk kemenangan para wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota), satu hal yang selalu muncul setelah musim pemilihan umum : apakah para wakil rakyat itu bisa, dan akan serius memperjuangkan nasib rakyat yang terus terlanggar hak-haknya?
Dalam sistem demokrasi, pertanyaan relasi rakyat dan wakilnya merupakan hal yang sangat umum. Kondisi tersebut muncul karena setiap momen penyelenggaraan pemilu, rakyat kembali disuguhkan dengan janji-janji manis, padahal janji para kandidat sebelumnya belum kunjung dirasakan rakyat. Lebih jauh, keluhan dan suara rakyat dalam banyak hal cenderung tidak dihiraukan.
Krisis Lembaga Perwakilan
Krisis aktor dan sistem lembaga perwakilan cukup banyak kalau kita bedah satu persatu. Kritik terbaru muncul dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang mengkritik DPR karena menggelar rapat dan pertemuan tertutup dengan mitra kerjanya di masa sidang ke-III dan IV tahun 2018 dan 2019. Padahal rapat-rapat tersebut membahas sesuatu yang bukan menjadi rahasia negara. Tidak adanya transparansi dan akses pengawasan tentu berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, krisis menahun yang terjadi di lembaga perwakilan adalah keseriusan para wakil rakyat dalam menghadiri rapat yang membahas isu-isu publik. Formappi mencatatat bahwa sidang paripurna DPR yang dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019, Anggota Dewan yang hadir hanya 281 orang, padahal Anggota DPR RI keseluruhannya berjumlah 560 orang. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat para wakil rakyat dipilih dan dibayar di atas keringat rakyat, ditambah catatan ketidakseriusan Anggota Dewan untuk mendiskusikan dan memecahkan secara tuntas akar persoalan struktural pelanggaran hak yang menimpa masyarakat.
Fakta tidak kalah menyedihkan dinyatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa ada 254 Anggota Dewan yang telah menjadi tersangka korupsi sepanjang periode 2014-2019. Dari ratusan angka pelaku tersebut, 20 orang diantaranya anggota DPR RI dimana pelakunya tersebar di berbagai partai dan sebagian besar merupakan pimpinan di lembaga perwakilan rakyat dan partai politik.
Melihat problem di atas, muncul kecemasan sangat serius, apakah para wakil rakyat yang baru terpilih akan berprilaku serupa dengan dengan perilaku para wakil rakyat yang terdahulu? Kecemasan ini semestinya tidak begitu kuat seandainya ada mekanisme yang lebih sistemik untuk mengkoreksi perilaku para wakil rakyat yang bermasalah.
Wakil Rakyat Baru
Terlepas dari problem yang menggelisahkan, kritik membangun terus terjadi dan selalu ada harapan agar para wakil rakyat terpilih saat ini lebih bertanggungjawab. Secara hukum, tugas dan wewenang wakil rakyat cukup besar, yang secara umum terkait dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta tugas-tugas lain yang secara umum menghimpun, menyerap, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Terkait fungsi legislasi, para wakil rakyat terpilih telah ditunggu untuk mendiksusikan secara mendalam program legislasi nasional dan daerah. Para wakil rakyat dituntut membuat aturan-aturan yang berkualitas, dan secara substantif dapat mendorong perwujudan pemenuhan hak-hak yang selama ini belum terjamin dan bahkan secara umum masih banyak yang berjalan di tempat.
Terkait aturan-aturan yang akan diperjuangkan, sudah semestinya para wakil rakyat turun ke komunitas masyarakat dan mendengarkan krisis-krisis sosial yang salah satu faktornya adalah terkait ketidakjelasan jaminan hukum dan belum jelasnya sanksi bagi pemangku kewajiban yang tidak menjalankan tanggungjawabnya. Sedangkan terkait fungsi pengawasan dan anggaran, para wakil terpilih dituntut dapat serius mengawal program-program yang dibuat pemerintah yang harapan besarnya dapat memperbaiki nasib rakyat lemah yang selama ini masih masih tercerabut hak-haknya. Para wakil rakyat dituntut menjalin komunikasi dengan komunitas rakyat yang ada di level bawah, memahami problem strukturalnya, dan memperjuangkan nasib rakyat meja di meja kekuasaan.