OPINI & RESENSI

Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia

20 Maret 2025

M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Puasa Ramadhan kali ini bersamaan dengan situasi negara yang tidak baik-baik saja : pajak yang naik, gelombang pemutusan kerja, biaya kebutuhan pokok yang melonjak tinggi, turunnya kelas menengah ke kelas bawah, dan praktek korupsi yang tak terkendali. Pertanyaannya, sejauhmana puasa bulan ini berkontribusi terhadap penciptaan tatanan sosial dan bernegara yang beradab? Pertanyaan ini cukup relevan, mengingat mayoritas warga dan pejabat negara beragama Islam, walapun ada yang non-Islam masing-masing mereka memiliki laku puasa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing, yang kesemua itu diharapkan akan menciptakan individu-individu tercerahkan dan peduli terhadap penderitaan manusia yang lain.

Makna Penting Puasa

Puasa secara bahasa dartikan dengan menahan diri, sedangkan secara terminologi diartikan dengan menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Definisi ini memberi makna bahwa puasa menjadi media berlatih seseorang agar mampu untuk menahan diri terhadap banyak hal yang nanti akan merusak pengabdian tulus kepada Tuhannya, dan pada dimensi yang lain puasa mengajarkan agar seseorang bisa menyerap prinsip timbal balik dalam hubungannya dengan manusia yang lain.

Puasa sebagai pengabdian kepada Tuhan tidak diragukan lagi pesannya. Hampir semua umat beragama berpuasa karena memang ada firman Tuhan yang mewajibkan dengan harapan umat beragama akan menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Tuhan, dirinya sendiri, dan hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpuasa, maka otomatis pengabdian dan ketulusannya akan dihitung di sisi Tuhan. Sebaliknya, pengabaian terhadap puasa akan dihitung sebagai pengingkaran terhadap pesan Tuhan.

Secara personal, puasa sangat bagus bagi kesehatan. Dalam beberapa studi disebutkan bahwa ketika berpuasa sistem pencernaan akan beristirahat dan sisa-sisa energi akan digunakan untuk perbaikan, pemulihan, dan peremajaan sel-sel tubuh. Di dunia medis, kesehatan memiliki manfaat untuk menjaga berat badan, menjaga kesehatan jantung, meningkatkan metabolisme tubuh, mengendalikan nafsu makan, meningkatkan fungsi kesadaran, mengaktifkan detoksifikasi, menjaga kesehatan kulit, mengurangi resiko diabetes, dan menjaga kesehatan mental.

Manfaat puasa secara kesehatan penting dipelajari mengingat tren terbaru dunia menyebutkan bahwa kematian banyak orang saat ini disebabkan oleh pola makan yang tidak terkendali. Mungkin karena itu, puasa telah menjadi kebiasaan umat terdahulu. Misalnya Pythagoras (580-500 SM) yang biasa berpuasa selama 40 hari karena meyakini akan memperbaiki persepsi mental dan kreatifitas, serta Hippocrates (460-357 SM) yang menjadikan puasa sebagai obat bagi pasiennya.

Prinsip Resiprositas

Manfaat yang tidak kalah penting dari puasa adalah kontribusi sosialnya. Puasa mengajarkan pemaknaan terhadap kehidupan, interaksi sosial, dan kemanusiaan. Puasa yang didalamnya melarang makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan dosa seperti ghibah mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu. Larangan-larangan ini adalah sesatu yang sulit dikerjakan, mengingat setiap orang sudah terbiasa melakukannya, tetapi semua itu kemudian dilarang dan bahkan menjadi faktor yang membatalkan ibadah puasa.

Larangan makan dan minum misalnya membuat orang lapar, haus dan dahaga. Setiap orang yang berpuasa akan merasakannya sehingga pada kondisi tersebut harapannya ada kesadaran betapa nestapanya orang-orang miskin mencari makan di tengah kesulitan mencari pekerjaan. Pada saat yang sama betapa menyedihkannhya mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja di tengah beban ekonomi keluarga yang tidak sedikit.

Larangan membicarakan orang lain misalnya, dimana didalamnya ada praktik bullying berupa tindakan agresif perundungan yang melukai orang lain, atau body shaming berupa perilaku menjelek-jelekkan atau mongomentari penampilan fisik seseorang.  Pelaku bullying dan body shaming cukup besar di Indonesia, utamanya komentar-komentar menyudutkan yang tersebar di media sosial. Akibat perbuatan tersebut ada dampak serius terhadap kesehatan fisik, mental, dan bahkan mendorong bunuh diri korbannya.

Puasa telah mengajarkan prinsip perilaku timbal balik atau prinsip resiprositas dalam hubungannya antar manusia. Abdullah An-Na’im menyebut bahwa prinsip resiprositas adalah salah satu landasan normatif prinsip kesetaraan dan non diskriminasi dalam pemikiran HAM. Prinsip ini mengajarkan bahwa perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan; atau cintailah manusia lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri. Karena itu, cukup beralasan berharap bahwa puasa Ramadhan tahun ini dapat berkontribusi terhadap perbaikan hubungan antar manusia yang beragam, dan khususnya hubungan penguasa dan rakyat, dimana penguasa harapannya dapat berkesadaran sehingga menjauhi membuat aturan dan kebijakan yang berdampak menyengsarakan rakyatnya.

10 Juni 2024

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Pada bulan Maret 2020 lalu, Mahkamah Agung telah membatalkan ketentuan mengenai kenaikan iuran BPJS, melalui judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Mengacu pada putusan MA tersebut, pemerintah kemudian menurunkan tarif iuran BPJS seperti semula, terhitung sejak bulan April 2020 lalu.

Namun, hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Nominal kenaikan sama dengan kenaikan sebelumnya, bedanya hanya untuk golongan Kelas III, kenaikan ditunda sampai dengan tahun 2021 mendatang. Tentu saja, Perpres ini memicu banyak protes di tengah masa pandemi seperti saat ini. Pemerintah, tidak saja dianggap nir empati terhadap rakyat, namun muncul pula tudingan bahwa presiden telah melanggar konstitusi.

Melanggar Kostitusi

Pasal 24A ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Salah satu kewenangan MA yang diamanatkan oleh UUD pasca amandemen adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adanya macamnya, termasuk salah satunya adalah Peraturan Presiden. Artinya, pengujian yang dilakukan oleh MA terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, pada bulan April lalu, merupakan salah satu pelaksanaan amanat konstitusi. Sehingga, kebijakan Presiden Jokowi yang melanggar Putusan MA dengan mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, juga dapat dikategorikan melanggar konstitusi. Terlebih, dasar pembatalan Perpres dalam Putusan MA bukanlah aspek prosedural melainkan aspek substansial.

Sekalipun memang, karena yang dilanggar adalah konstitusi, maka tidak ada sanksi yuridis yang dapat dikenakan kepada presiden. Yang dapat dilakukan hanyalah kembali mengajukan judicial review Perpes tersebut kepada MA agar dibatalkan. Meski ada ruang impeachment yang dapat ditempuh jika presiden dianggap telah melanggar konstitusi, namun impeachment merupakan mekanisme politik yang hampir tidak mungkin sama sekali dapat terjadi dalam situasi seperti saat ini, di mana parlemen sepenuhnya dikuasai oleh koalisi pemerintah.

Namun demikian, terlepas dari apapun dinamika yang muncul atas lahirnya Perpres ini, tindakan Presiden Jokowi tidaklah terpuji. Hukum, baik melalui undang-undang maupun putusan hakim, adalah rel yang menuntun arah jalannya kereta Indonesia. Hukum tidak saja memungkinkan ketertiban muncul, namun juga menjadi legitimasi kuat adanya suatu pemerintahan. Terlebih, dalam konsepsi yang lebih teoritis, Presiden dan MA berada pada dua cabangan kekuasaan berbeda yang memiliki sejarah panjang. Presiden adalah rumpun cabang kekuasaan eksekutif, sedangkan MA adalah rumpun cabang kekuasaan yudikatif. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun tidak dipisahkan secara kaku. Dalam sejarah panjang negara, munculnya cabang kekuasaan yudikatif ini, adalah respon terhadap kesewenang-wenangan eksekutif dalam memerintah. Sehingga lahirnya yudikatif, sejatinya tidak lain untuk membatasi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif.

Dulu, kita sering kali mendengar orang berseloroh, biarlah saja jika ada suatu keputusan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), toh pemerintah dapat membuat keputusan serupa setelahnya. Hal ini dapat terjadi karena putusan PTUN, memiliki daya ikat dan daya paksa yang lemah, sehingga jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi yang dapat dikenakan. Ini adalah preseden buruk dalam berhukum, padahal tegaknya republik ini sangat bergantung pada tegaknya hukum kita sendiri. Dengan kata lain, menjunjung tinggi hukum, sama artinya dengan menjunjung tinggi NKRI. Biarlah ini menjadi sejarah kelam masa lalu Indonesia, jangan sampai menjadi kebiasaan yang terus terulang sampai hari ini, apalagi jika dilakukan oleh seorang presiden.

10 Mei 2024

Despan Heryansyah

Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan KPU telah menetapkan penundaan jadwal penyelenggaraan pesta demokrasi daerah menjadi bulan Desember 2020 mendatang. Keputusan bersama ini lalu direspon oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini yang kemudian menjadi payung hukum penundaan pemilukada, karena sebelumnya, belum ada norma yang dapat menjadi payung hukum penundaan tersebut. Tulisan ini, mencoba untuk menganalisis lebih jauh salah satu pasal dalam Perppu ini, yaitu penetapan jadwal penyelenggaraan pemilukada pada bulan Desember 2020. Secara substansial, tentu keberadaan norma yang sudah sangat konkret dan jelas ini menyalahi tata aturan perundang-undangan di Indonesia, karena sejatinya sebuah norma dalam undang-undang termasuk Perppu haruslah bersifat abstrak dan umum. Namun di luar itu, ada masalah lain yang harus menjadi pertimbangan kita bersama menyikapi ketentuan ini, yaitu tantangan yang akan dihadapi jika pemilukada tetap diselenggarakan pada bulan Desember mendatang.

KPU di Masa Pandemi

Pihak yang akan sangat terdampak dengan pelaksanaan pemilukada adalah para penyelenggara pemilukada, khususnya KPU. Jika pemilukada diselenggarakan pada bulan Desember, maka sejak bulan Juli proses atau tahapan pemilukada sudah harus dimulai. Mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan, penetapan calon, gugatan, kampanye, dan lain sebagainya. Pertama, jika melihat situasi dan kondisi saat ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada bulan Juli mendatang, pandemi covid-19 ini belum akan benar-benar hilang dari Indonesia. Pemerintah sendiri dalam laporan terakhirnya memperkirakan penyebaran virus baru terselesaikan pada bulan September 2020, dengan asumsi kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini berhasil. Dengan demikian ini akan berdampak pada kinerja KPU dan penyelenggara pemilu yang lainnya. Bekerja dengan pekerjaan teknis seperti KPU, akan sangat beresiko di tengah pandemi saat ini. Optimalisasi kinerja penyelenggara pemilukada ini penting karena ia akan menjadi legitimasi berhasil atau tidaknya dan demokratis atau tidaknya pemilukada.

 Kedua, akan ada masalah yang sangat besar terkait dengan data. Saat ini, sebagian besar penduduk telah berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, sehingga ada pengurangan penduduk yang sangat besar pada satu daerah, sebaliknya ada penambahan penduduk yang sangat signifikan pula pada daerah yang lain. Dalam negara yang mengkategorikan memilih sebagai hak seperti Indonesia, besar dan kecilnya kuantitas pemilih dalam pemilu memang tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pemilu. Namun, karena memilih adalah hak konstitusional, tetap saja KPU dan pemerintah wajib menjamin pemenuhannya. Dengan kata lain, jika ada warga negara yang tidak memiliki hak pilih, dan pemerintah membiarkannya begitu saja, maka telah terjadi pelanggaran hak konstitusional. Artinya, mobilitas penduduk yang tak terkendali pada masa pandemi ini, akan  menyulitkan KPU dalam mendata daftar pemilih sementara melakukan pandataan ulang, akan sangat sulit dilakukan.

Ketiga, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah terkait dengan anggaran. Selama ini, politik anggaran pemilukada selalu saja menimbulkan masalah, ada tolak-tarik antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga anggaran biasanya baru tersedia menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilukada. Tahapan pemilukada yang sudah harus dimulai sejak bulan Juli mendatang, tentu saja sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terlebih pada tahun 2020 ini akan diselenggarakan pemilukada serentak di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah sedang memfokuskan anggaran pada penanganan covid-19 dan ini rasional. Sehingga, sangat kecil kemungkinan akan ada sisa anggaran yang cukup untuk tetap menyelenggarakan pemilukada di tahun 2020 ini.

Penundaan Pemilukada

Tiga masalah diatas hanyalah sekelumit tantangan kecil yang dihadapi oleh KPU, masih banyak masalah lain yang jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, pilihan rasional saat ini adalah segera memutuskan penundaan pemilukada, agar seluruh lapisan pemerintah dapat berfokus pada penanganan covid-19. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme yang cukup bebas untuk menunda proses penyelenggaraan pemilukada, sehingga tidak ada lagi problem yuridis untuk mengambil kebijakan penundaan. Sebaiknya, penundaan Pemilukada ini tidak ditentukan dengan batas waktu yang pasti, melainkan menunggu sampai pemerintah berhasil menangani pandemi covid-19. Setelah pandemi covid-19 berhasil diatasi, maka pemerintah, KPU dan DPR dapat kembali membahas dan menentukan penyelenggaraan pemilukada. Pelihan kebijakan ini tentu saja bukan tanpa masalah, namun dilihat dari berbagai sisi, masalah yang akan timbul jauh lebih kecil dari pada tetap memaksakan pemilukada di bulan Desember mendatang.

10 April 2024

Despan Heryansyah

Ada yang anomali dalam sistem perwakilan Indonesia. Anomali itu, kalau kita perhatikan dari fenomena yang terjadi belakangan ini, bahkan berada dalam substansi atau jantung dari sistem perwakilan itu sendiri. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam konstitusinya dan juga dalam falsafah negara Pancasila telah memaklumkan bahwa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Oleh karena itu, ada wakil rakyat yang dipilih secara berkala setiap lima tahun sekali, untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan mengimbangi kekuatan eksekutif agar tidak tak terkendali. Sayangnya, konsepsi sistem perwakilan sebagai pengejawantahan daulat rakyat itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan dalam banyak hal keduanya (wakil rakyat dan daulat rakyat) kerap berada pada titik yang berlawanan. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa daulat rakyat adalah kausa dari wakil rakyat, dengan kata lain eksistensi wakil rakyat merupakan derivasi dari daulat rakyat. Maka, saat wakil rakyat tidak lagi sejalan dengan daulat rakyat, sesungguhnya ia telah kehilangan esensinya atau kausanya sebagai wakil rakyat.

Fenomena Covid-19

Apa yang terjadi belakangan ini semakin memperkuat tesis itu, bahwa wakil rakyat kerap kali berhadap-hadapan dengan daulat rakyat. Fenomena wabah covid-19 telah memunculkan keprihatinan bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Efek dari wabah ini berkait kelindan dengan ruang hidup masyarakat yang lain, utamanya terhadap pekerjaan mereka, baik yang bekerja pada sektor barang maupun jasa. Para pedagang harus menutup usaha mereka karena minimnya transaksi, para penjual jasa baik kasar maupun profesional kehilangan pelanggan mereka, perusahaan-perusahaan besar tidak dapat beroperasi sehingga berdampak pada PHK terhadap karyawannya, dan masih banyak sektor terdampak lainnya.

Sayangnya, ditengah situasi itu, kita justeru melihat, mendengar, dan membaca berita yang menyesakkan dada akibat ulah wakil rakyat kita di parlemen. Beberapa hari belakangan ini, parlemen tengah disibukkan dengan pelaksanaan tahapan pembahasan dan pengesahan beberapa Randangan Undang-Undang. Ironinya, RUU  yang dibahas dan akan disahkan itu, sama sekali tidak terkait dengan kondisi yang tengah dihadapi masyarakat saat ini. Justeru RUU yang sangat kontroversial, yang dalam kondisi biasa dapat dipastikan akan memunculkan gelombang protes masa yang besar. Beberapa RUU itu misalnya, RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RKUHP, tiga RUU ini telah berulangkali batal disahkan karena dianggap memiliki cacat substansial dan prosedural. Kini, saat masyarakat dan pemerintah tengah sibuk berjibaku dengan wabah covid-19, parlemen justeru memanfaatkan kesempatan itu secara “diam-diam”.

Barangkali parlemen menilai penanganan wabah covid-19 ini adalah tugas pemerintahan eksekutif, sedangkan parlemen berada pada wilayah yang lain. Padahal, parlemen adalah wakil rakyat, artinya segala derita yang muncul pada rakyat, juga mengikat wakil rakyat. Tesis ini, mewajibkan parlemen mengambil peran aktif dalam setiap keadaan yang menimpa rakyat, termasuk dalam pandemi covid-19 ini.

Demokrasi Sebagai Etos Politis

Realitas di atas, menandakan ada masalah atau bahkan ada yang salah dengan demokrasi sebagai sistem politik di negara kita. Pandangan demokrasi sebagai sistem politik memang banyak dianut dewasa ini. Orang seakan yakin bahwa jika sistem politik sudah tertata secara demokratis, aktornya pun (termasuk masyarakat) menjadi demokratis. Optimisme semacam itu segera mendapat tantangannya dari kenyataan empiris bahwa cukup banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan di Asia (termasuk Indonesia sendiri), memiliki konstitusi demokratis, tetapi konstitusi ini tidak serta merta mewujudkan demokrasi real. Kantong anggur yang baru berisi anggur yang lama. Di sinilah kita meminjam konsepsi dari F. Budi Hardiman, bahwa kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksanan demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian. Itulah mengapa di tengah pandemi covid-19 ini, tidak tampak simpati wakil rakyat atas rakyat, yang terjadi justeru sebaliknya wakil rakyat berhadap-hadapan dengan pemilik daulat.

5 Januari 2020

Ms.Syafi'ie, S.H., M.H.

Para wakil rakyat terpilih dalam Pemilu 2019 telah diumumkan. Mereka yang terpilih tentu bergembira, sedangkan wakil rakyat yang tidak terpilih sebagian besar kecewa bahkan ada yang stres, walaupun ada ada sebagian yang secara terbuka menerima kekalahan sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.

Di balik hiruk pikuk kemenangan para wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota), satu hal yang selalu muncul setelah musim pemilihan umum : apakah para wakil rakyat itu bisa, dan akan serius memperjuangkan nasib rakyat yang terus terlanggar hak-haknya?

Dalam sistem demokrasi, pertanyaan relasi rakyat dan wakilnya merupakan hal yang sangat umum. Kondisi tersebut muncul karena setiap momen penyelenggaraan pemilu, rakyat kembali disuguhkan dengan janji-janji manis, padahal janji para kandidat sebelumnya belum kunjung dirasakan rakyat.  Lebih jauh, keluhan dan suara rakyat dalam banyak hal cenderung tidak dihiraukan.

Krisis Lembaga Perwakilan

Krisis aktor dan sistem lembaga perwakilan cukup banyak kalau kita bedah satu persatu. Kritik terbaru muncul dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang mengkritik DPR karena menggelar rapat dan pertemuan tertutup dengan mitra kerjanya di masa sidang ke-III dan IV tahun 2018 dan 2019. Padahal rapat-rapat tersebut membahas sesuatu yang bukan menjadi rahasia negara. Tidak adanya transparansi dan akses pengawasan tentu berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, krisis menahun yang terjadi di lembaga perwakilan adalah keseriusan para wakil rakyat dalam menghadiri rapat yang membahas isu-isu publik. Formappi mencatatat bahwa sidang paripurna DPR yang dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019, Anggota Dewan yang hadir hanya 281 orang, padahal Anggota DPR RI keseluruhannya berjumlah 560 orang. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat para wakil rakyat dipilih dan dibayar di atas keringat rakyat, ditambah catatan ketidakseriusan Anggota Dewan untuk mendiskusikan dan memecahkan secara tuntas akar persoalan struktural pelanggaran hak yang menimpa masyarakat.

Fakta tidak kalah menyedihkan dinyatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa ada 254 Anggota Dewan yang telah menjadi tersangka korupsi sepanjang periode 2014-2019. Dari ratusan angka pelaku tersebut, 20 orang diantaranya anggota DPR RI dimana pelakunya tersebar di berbagai partai dan sebagian besar merupakan pimpinan di lembaga perwakilan rakyat dan partai politik.

Melihat problem di atas, muncul kecemasan sangat serius, apakah para wakil rakyat yang baru terpilih akan berprilaku serupa dengan dengan perilaku para wakil rakyat yang terdahulu? Kecemasan ini semestinya tidak begitu kuat seandainya ada mekanisme yang lebih sistemik untuk mengkoreksi perilaku para wakil rakyat yang bermasalah.

Wakil Rakyat Baru

Terlepas dari problem yang menggelisahkan, kritik membangun terus terjadi dan selalu ada harapan agar para wakil rakyat terpilih saat ini lebih bertanggungjawab. Secara hukum, tugas dan wewenang wakil rakyat cukup besar, yang secara umum terkait dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta tugas-tugas lain yang secara umum menghimpun, menyerap, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.

Terkait fungsi legislasi, para wakil rakyat terpilih telah ditunggu untuk mendiksusikan secara mendalam program legislasi nasional dan daerah. Para wakil rakyat dituntut membuat aturan-aturan yang berkualitas, dan secara substantif dapat mendorong perwujudan pemenuhan hak-hak yang selama ini belum terjamin dan bahkan secara umum masih banyak yang berjalan di tempat.

Terkait aturan-aturan yang akan diperjuangkan, sudah semestinya para wakil rakyat turun ke komunitas masyarakat dan mendengarkan krisis-krisis sosial yang salah satu faktornya adalah terkait ketidakjelasan jaminan hukum dan belum jelasnya sanksi bagi pemangku kewajiban yang tidak menjalankan tanggungjawabnya. Sedangkan terkait fungsi pengawasan dan anggaran, para wakil terpilih dituntut dapat serius mengawal program-program yang dibuat pemerintah yang harapan besarnya dapat memperbaiki nasib rakyat lemah yang selama ini masih masih tercerabut hak-haknya. Para wakil rakyat dituntut menjalin komunikasi dengan komunitas rakyat yang ada di level bawah, memahami problem strukturalnya, dan memperjuangkan nasib rakyat meja di meja kekuasaan.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top