OPINI & RESENSI

Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia

14 Mei 2019

Despan Heryansyah  (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Pandemi corona “memaksa” kita untuk merubah seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tentu saja termasuk aspek ketatanegaraan. Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret lalu, Pemilihan Kepala Daerah yang sejatinya akan diselenggarakan pada bulan September 2020 mendatang, sepakat untuk ditunda.

Penundaan Pemilihan Kepala Daerah di tengah pandemi corona ini, memang patut mendapat apresiasi. Keselamatan dan kesehatan masyarakat, saat ini jauh lebih utama untuk menjadi perhatian bersama. Terlebih, pemerintah pusat, meskipun bersikap setengah-setengah, melibatkan peran pemerintah daerah untuk menangani penyebaran virus ini, di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Dengan kata lain, fokus perhatian Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, tentu saja sebaiknya mengutamakan penanganan virus. Namun, bukan berarti perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah kita lepaskan, segala kemungkinan yang akan terjadi harus pula kita pikirkan, karena Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya menyangkut aspek ketatanegaraan, melainkan juga bersentuhan dengan keutuhan NKRI.

Dalam perjalanan legislasi Indonesia, penundaan Pemilihan Kepala Daerah bukanlah kali pertama, karena alasan bencana alam, Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dan Yogyakarta juga pernah mengalami penundaan. Selain itu, sekalipun Pemilihan Kepala Daerah serentak yang sesungguhnya belum pernah terlaksana, namun pada tataran legislasi juga pernah mengalami perubahan jadwal. Gagasan Pemilihan Kepala Daerah langsung serentak nasional pada awalnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pasal 201 ayat (7) menyatakan bahwa, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027”. Gagasan tersebut kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 201 ayat (8) berbunyi, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.

Artinya, dari sisi waktu, ada perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional yang sebelumnya di tahun 2027, menjadi tahun 2024. Oleh karena itu, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang semula pada bulan September 2020 ini, sudah menjadi kebiasaan hukum ketatanegaraan Indonesia. Hanya saja, yang patut menjadi perhatian bersama adalah dampak dari penundaan serta opsi hukum yang dapat diambil oleh pembentuk Undang-Undang.

Secara yuridis-normatif, ada beberapa konsekuensi penundaan Pemilihan Kepala Daerah, konsekuensi itu diantaranya: Pertama, pemunduran Pemilihan Kepala Daerah serentak di atas tahun 2020, akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah terpilih pada pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, secara implisit telah dinyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional akan diselenggarakan di tahun 2024. Artinya, jika seorang kepala daerah dilantik pada tahun 2021, maka praktis masa jabatannya hingga tahun 2024 hanya 2,5 tahun, padahal masa jabatan kepala daerah sebagaimana diatur di dalam UU adalah 5 tahun. Sementara itu, Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional selanjutnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2029 mendatang, sehingga tidak mungkin juga untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut hingga tahun 2029 karena akan terlalu lama.

Kedua, ada banyak kepala daerah yang sudah akan berakhir masa jabatannya di tahun 2020 ini, maka praktis daerah tersebut akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, hingga kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya dilantik. Memang tidak ada yang salah jika daerah dipimpin oleh Pejabat Sementara, namun pilihan ini bukan tanpa resiko sama sekali. Selain berdampak pada keberlansungan penyelenggaraan otonomi di daerah yang bersangkutan, penunjukkan Pejabat Sementara ini juga seringkali sarat dengan kepentingan politik. Baik kepentingan yang menunjuknya, maupun dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Pejabat Sementara.

Beberapa waktu lalu, Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah akan diundur sampai dengan tanggal 9 Desember 2020. Artinya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah hanya diundur selama kurang dari 3 bulan. Dalam keterangannya, Ketua Komisi II DPR RI menyatakan keputusan ini diambil dengan asumsi dasar bahwa pandemi covid-19 akan berakhir pada 29 Mei mendatang.

Pilihan keputusan ini tentu saja memiliki banyak resiko, mulai dari aspek anggaran yang dapat diduga sangat terbatas karena fokus penggunaan anggaran saat ini adalah terhadap penanganan virus. Sehingga dapat dipastikan ketersediaan anggaran baik APBN maupun ABPD akan sulit dipenuhi.  Sisi lain adalah efektivitas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah itu sendiri. Bagaimana mungkin Bawaslu dan DKPP misalnya, dapat efektif melakukan pengawasan Pemilihan ditengah situasi social distancing seperti saat ini, ini akan berdampak pada legitimasi hasil Pemilihan. Belum lagi, berpolitik di tengah rakyat sedang mengalami kesulitan akut, tidaklah etis.

Dari kaca mata ini, rasanya sulit memprediksi Pemilihan Kepala Daerah dapat terlaksana pada bulan Desember nanti. Sekalipun “dipaksakan” tetap terlaksana, akan muncul banyak hambatan melintang. Secara pribadi, penulis berpendapat bahwa sebaiknya saat ini pemerintah pusat dan daerah fokus menangani pandemi covid-19, jika keadaan sudah membaik, rutinitas politik tahunan, dapat kembali dibicarakan.

2 Oktober 2017

Despan Heryansyah

Para pendiri republik ini sempat melakukan kesalahan fatal ketika menolak hak asasi manusia karena menganggapnya sebagai produk Barat yang membawa angin individualisme. Perdebatan dalam sidang BPUPK sempat memanas, yang pada akhirnya mengharuskan konstitusi awal kita begitu minim pengaturannya terkait hak asasi manusia. Padahal keberadaan  konstitusi sejatinya adalah dalam upaya melindungi HAM.

Mengartikan hak asasi manusia sebagai ekspresi Individualisme merupakan salah paham yang demikian fatal, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan HAM justru melindungi dan memberdayakan setiap manusia yang paling lemah dan terancam di dalam masyarakat, dan sekaligus membatasi kesewenang-wenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan HAM bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya yang paling lemah.

Diakui ataupun tidak, HAM hari ini telah menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Terlepas dari perdebatan seputar universalitas ataupun partikularitas hak asasi manusia, tapi HAM telah menjadi komponen utama dalam merumuskan kebijakan negara. Segala sesuatu harus terlebih dahulu dinilai dari perspektif HAM. Bahkan hari ini telah muncul kesadaran universal bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran HAM, maka ia akan menjadi musuh seluruh umat manusia dimanapun berada.

Tidak terkecuali budaya (dalam pengertian sempit disebut adat istiadat), dalam perjalanannya harus bersentuhan dengan Hak Asasi Manusia. Maka pertanyaannya adalah bolehkah HAM membatasi keberadaan budaya? Jawabannya tentu saja bisa, selagi pembatasan itu dilakukan untuk melindungan kemaslahatan dan HAM manusia yang lebih luas. Sebagai contoh misalnya, dalam banyak adat di Indonesia, perempuan di bolehkan menikah di bawah 18 tahun. Namun untuk melindungi masa depan dan hak asasi setiap perempuan, maka hukum membatasi pernikahan perempuan minimal 18 tahun.

Keistimewaan Yogyakarta

Hal yang serupa terjadi di Yogyakarta melalu Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sudah menjadi adat dan sejarah perkembangan kesultanan Yogyakarta bahwa seorang sultan haruslah laki-laki. Belum ada sejarahnya Yogyakarta dipimpin oleh perempuan. Mahkamah Konstitusi lalu membuka peluang perempuan untuk menjadi sultan Yogyakarta, yang tentu saja secara otomatis akan menjadi gubernur Yogyakarta.

Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta dapat menerima putusan tersebut dengan lapang dada. Masih ada sebagian yang beranggapan bahwa Yogyakarta harus dipimpin oleh laki, karena selain belum ada sejarah sultan perempuan juga seorang sultan adalah imam di dalam shalat. Oleh karena itu, jabatan tersebut tidak dapat diduduki oleh perempuan., alasan demikian tentu saja masih dapat di dialogkan.

Masa silam, saat di mana kuasa laki-laki masih begitu dominan atas perempuan, ditambah dengan kondisi perempuan yang belum berpendidikan seperti saat ini, menjadikan laki-laki manusia yang paling berhak atas semua jabatan. Hampir seluruh masyarakat Indonesia (selain Minangkabau) berada di bawah bayang-bayang patrilineal.

Namun hari ini, kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Hak Asasi Manusia telah mengantarkan manusia pada satu pemahaman bahwa setiap manusia tanpa melihat latar belakang jenis kelaminnya memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Keduanya memiliki peluang yang sama untuk menduduki posisi tertentu, bergantung pada siapa yang paling layak. Bahkan terkadang, karena kondisinya yang tidak begitu menguntungkan, perempuan harus mendapatkan afirmatif action. Telah banyak perempuan saat ini, yang kualitasnya sudah menyamai bahkan lebih dari laki-laki, karenanya sudah tidak relevan lagi jika tetap berpegang teguh pada prinsip patrilineal.

Dengan demikian, secara sosiologis, ada perubahan kondisi tertentu yang menjadikan perempuan kini berhak atas semua jabatan, termasuk sultan Yogyakarta. Sementara secara yuridis, putusan MK yang sifatnya final dan mengikat harus ditaati oleh seluruh masyarakat Yogyakarta bahwa seorang perempuan dibolehkan menjadi sultan (meski masih terkendala dengan istilah Hamengku Buwono). Namun demikian, tidak berarti bahwa jalan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya telah tertutup, karena di dalam internal keraton, semuanya masih dapat didiskusikan, kita sangat yakin bahwa prioritas keraton Yogya adalah kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Yogya, bukan jabatan praktis semata.

30 Agustus 2017

Despan Heryansyah

Harus kita akui, bahwa sampai hari ini negara kita masih sulit sekali keluar dari pusaran kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa oleh dunia Internasional, setidaknya terhadap Narkoba, Korupsi, dan Terorisme. Untuk kasus korupsi dan terorisme, kita mengapresiasi kinerja KPK dan Densus 88 yang sejauh ini telah bekerja dengan optimal. Tidak sedikit koruptor yang berhasil dijebloskan ke penjara meski kinerja KPK bukan tanpa cacat, begitu pula dengan tidak sedikit terorisme yang berhasil ditangkap yang barangkali berbanding lurus dengan jumlah terduga teroris yang ditembak mati.

Khusus mengenai narkoba, barangkali merupakan bentuk kejahatan yang penanganannya paling buruk dibanding dua kejahatan besar lainnya (Korupsi dan Teroris). Jika analisis kita menggunakan teori  Lawrance Friedman, maka pendekatan terhadap tiga aspek pnegakan hukum penting untuk di kaji yaitu: legas substance, structure substance, and culture substance.

Pada aspek regulasi (legal substance), kita telah memiliki UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah memberikan hukuman maksimal bagi para produsen dan distributor narkoba hingga hukuman mati (death penalty). Artinya masalah tidak terletak pada aspek regulasi, meski perlu ada perbaikan yang sifatnya tidak begitu urgen. Sementara dari aspek budaya masyarakat (culture substance) rasa-rasanya memang perlu ada perbaikan dan penataan ulang khususnya pada generasi muda kita. Kalangan terdidik yang besar dalam lingkungan serba berkecukupan, tidak menjadi jaminan akan tumbuh, besar, dan berkembang dengan sehat sebagaimana mestinya manusia normal. Justru kasus yang menimpa kalangan artis belakangan ini menunjukkan bahwa narkoba dapat meracuni siapa saja. Bicara tentang budaya masyarakat dalam perspektif hukum, maka satu-satunya jalan untuk merubahnya adalah melalui pendidikan moral dan nilai. Pendidikan memang tidak dimaknai kaku dalam bentuk pendidikan resmi di sekolah-sekolah, hal lain yang justru lebih memiliki dampak signifikan terhadap karakter anak adalah lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Hidup dalam masyarakat dan keluarga yang orientasinya nilai-nilai agama tentu akan jauh berbeda dengan orang yang tidak hidup dalam lingkungan serupa. Hal ini sekaligus menggambarkan kepada kita bahwa menjadi modern tidak serta merta menjadikan hidup bernilai. Nilai adalah tentang kesadaran akan makna hidup yang tidak tumbuh dengan sendirinya atau bawaan lahir, ia perlu diperjuangkan.

Di luar dua aspek itu, keberadaan aparat penegak hukum (legal structure) yang sejatinya sebagai garda tedepan dalam memberantas narkoba, justru sekaligus menjadi penyumbang terbesar kagagalan pemberantasan narkoba di negeri ini. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua hal, Pertama, bagaimana mungkin seorang terpidana narkoba dapat mengandalikan bisnis narkobanya dari dalam penjara hingga bertahun-tahun? Mudah terbaca, bagaimana peran pengelola Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam kasus ini, tanpa kerja sama dengan mereka, adalah mustahil seorang terpidana dapat dengan bebas bertemu, berinteraksi, termasuk beraktivitas di dalam penjara. Kondisi penjara yang sesak dan memprihatinkan, ditambah dengan pendapatan pegawai Lapas yang masih tergolong rendah, seakan menambah kesemrawutan pemberantasan narkoba di Indonesia. Kedua, bagaimana mungkin transaksi narkoba dapat dimobilisasikan secara bebas dari satu daerah ke daerah lain bahkan dari suatu negara ke negara lain? Tidak jauh berbeda dengan kasus pertama, sudah menjadi rahasia umum bahwa mobilisasi kejahatan besar berupa narkoba ini melibatkan mafia-mafia besar dilingkungan pejabat negara khususnya kepolisian dan keimigrasian. Namun sampai hari ini, kondisi itu belum tersentuh karena memang sangat sulit untuk membuktikannya. Dan sekali lagi, ini sudah menjadi rahasia umum. Bisnis narkoba, adalah bisnis yang paling menguntungkan bagi seorang pejabat yang menghambakan dirinya untuk kekayaan.

Begitulah kondisi penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba di negeri kita. Seberapa sering pun UU dirubah, Kapolri dipanggil presiden, termasuk komitmen presiden untuk menghukum tegas pelaku kejahatan narkoba, tidak akan membuahkan hasil maksimal jika pokok masalahnya tidak disentuh hingga ke tararan struktur.

14 Agustus 2017

Despan Heryansyah

Kalau kita perhatikan dengan seksama, ada perbaikan kuantitas menulis dari para penulis Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, bagaimanapun layak mendapatkan apresiasi. Perjuangan keras dan panjang para aktivis HAM, membuahkan hasil yang kita semua dapat memetiknya lalu menikmatinya. Tak terbayang bagaimana sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, yang dihargai, dihormati bahkan dipuja di negeri orang, tapi diburu, dipenjara, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di negeri sendiri. Itu semua adalah harga mahal atas apa yang dapat kita nikmati hari ini. Kita barangkali beruntung karena terlahir pada era dimana menulis apapun, dimanapun, dan kapanpun sudah tidak menjadi persoalan. Namun disadari atau tidak, kondisi itu berdampak simetris dengan kualitas tulisan yang kita buat.

Dalam tulisannya di Memori Bung Hatta, Bung Hatta menjelaskan tentang keheranan pelajar luar negeri melihat pelajar Indonesia yang dengan usia begitu muda namun sudah dibebani dengan perjuangan meraih kemerdekaan, memikirkan apa yang belum dipikirkan oleh pemuda di usianya. Kata Bung Hatta, “penindasan dan pemiskinan terhadap rakyat Indonesia, adalah alasan mereka lebih cepat dewasa dari yang semestinya”. Barang kali itu relevan dengan apa yang di rasakan oleh penulis-penulis pendahulu kita, sebut saja Pramoedya, Rendra, dan Buya Hamka, yang hidup dalam kekangan kebebasan sehingga apa yang mereka tuliskan merefleksikan penderitaan yang benar-benar mereka rasakan sendiri, lihat sendiri, atau dengar sendiri. Membaca tulisan Pramoedya mengantarkan kita seolah merasakan sendiri sakitnya hidup jaman penjajahan dan jaman penindasan. Lebih dari itu, juga membangun kesadaran kita atas kemanusiaan, keadilan, kebenaran, juga ke-Indonesiaan.

Apa yang kita dapatkan dari tulisan Pram, hampir tak dapat kita rasakan lagi dari tulisan-tulisan masa kini. Tulisan hari ini lebih merefleksikan keinginan dari seorang pengarang. Terlebih yang paling memilukan dan memalukan adalah munculnya banyak sekali penulis bayaran yang rela menuliskan apa saja asal seimbang dengan bayarannya. Hal ini dilakukan dengan berbagai modus, bisa dengan mengupah seorang penulis agar menuliskan landasan ilmiah sesuai dengan pesanan, atau bisa juga dengan mengupah orang lain menulis sesuatu atas nama si pemberi upah. Keduanya sama-sama mengencingi etika sebagai seorang penulis.

Rendah Keberpihakan

Kita tengah berada pada masyarakat yang sedang berjuang mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, oleh karena itu, rasanya telah jelas kepada siapa keberpihakan harus ditujukan. Ya, kita berpihak pada orang-orang yang tertindas dalam kemiskinan, yang terbuang dalam persaingan, yang kalah dalam permodalan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hak atas republik ini, hak tidak saja atas untuk hidup di atasnya namun juga hak untuk menikmati kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sejak semula kita sudah memaknai bahwa demokrasi tidak hanya mengikatkan akarnya dalam bidang politik, tapi juga mengakar pada aspek ekonomi. Hak memilih pemimpin, tidak memiliki arti apa-apa jika kemudian setelahnya rakyat dibiarkan terjebak dalam jurang persaingan yang memiskinkan.

Oleh karena itu, pada aspek filosofis, menulis adalah mengabdi pada kemanusiaan dengan makna membebaskan manusia dari penindasan, memerdekakan manusia dari perbudakan hingga pada akhirnya mengeluarkan manusia dari kubangan kemiskinan. Logika ini telah dengan sangat indah dicantumkan dalam nilai yang terkandung pada Pancasila sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak diturunkan dari langit, ia harus diperjuangkan. Oleh karenanya, menulis adalah cara yang paling bernas untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan. Menusia bisa saja mati, tapi karyanya adalah kenangan sepanjang masa.

4 Juli 2017

Despan Heryansyah, SHI., MH.

Model pemidanaan yang terfokus pada pemberatan hukuman terhadap pelaku dengan tujuan agar menimbulkan efek jera adalah model lama yang sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan negara-negara modern. Kini, telah terjadi merit sistem terhadap teori pemidaan melalui infiltrasi keilmuan lain semisal antropologi, sosiologi, psikologi, dan khususnya Hak Asasi Manusia (HAM). Yang terakhir merupakan diskursus yang paling banyak dibicarakan, yaitu perkawinan antara pemidanaan dengan hak asasi manusia. Wacana ini, layak untuk diangkat di Indonesia saat ini karena momentum perubahan UU Terorisme tengah gencar dibicarakan.

Kita semua setuju bahwa teroris dengan alasan apapun adalah kejahatan yang harus ditindak tegas, selain meresahkan masyarakat juga membahayakan keutuhan negara, karena biasanya tindakan teror bermuatan politik. Bela sungkawa yang mendalam senantiasa kita sematkan kepada keluarga korban terorisme yang ditingkalkan oleh anggota keluarga mereka. Namun demikian, tidak berarti kita dapat memperlakukan pelaku teror secara tidak adil dan beradab melanggar hak asasi manusia yang mereka miliki. Sebagai negara hukum yang berlandaskan kepada Pancasila, kita memiliki pedoman dasar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dengan alasan apapun, tindakan yang mengenyampingkan hukum dan Pancasila tidak dapat dibenarkan. Kemanusiaan yang adil dan beradab, setidaknya menjadi cermin bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusia secara adil dan beradab.

Rencana perubahan UU terorisme menginginkan agar peran kepolisian dalam menindak pelaku teror diperkuat, baik dalam aspek penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan berbagai aspek penindakan lainnya. Kebijakan ini nampak progresif dan sah-sah saja jika dilihat hanya dari kerangka normatifnya saja. Namun jika diperhatikan lebih jauh, berangkat dari historis penanganan korupsi di Indonesia hingga implikasi penguatan peran kepolisian, barangkali rencana itu patut kita soroti terlebih dahulu.

Kita sepakat bahwa pelaku teror harus dihukum seberat-beratnya, namun harus dengan proses peradilan yang adil, bersih, dan jujur. Namun selama ini fakta menunjukkan kerapkali polisi menindak di tempat orang yang baru diduga sebagai teroris. Tidak tanggung-tanggung, tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian adalah menembak ditempat, akibatnya mayoritas upaya penangkapan terduga teroris selalu berujung kematian. Padahal statusnya baru sebagai terduga teroris, ironinya kriteria penetapan seseorang sebagai terduga teroris tidak jelas, hanya berdasarkan informasi dari Intelejen negara yang sangat mungkin terjadi kesalahan.

Kesigapan Densus 88 dalam mendeteksi jaringan teror di Indonesia patut kita apresiasi, namun kita juga menyesalkan penanangan terduga teroris selama ini oleh kepolisian kerap memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Sebagai upaya terakhir, penembakan tentu dibenarkan namun tidak dalam rangka menghilangkan nyawa orang lain. Densus 88 tentu lebih mengerti dimana harus mengarahkan peluru jika hanya sekedar untuk melumpuhkan atau mematikan sasaran. Pandangan kita tentu sama bahwa tindakan mereka adalah tindakan kejahatan yang membahayakan negara sekaligus warga negara, namun keberadaan mereka sebagai manusia tidaklah dapat diperlakukan secara tidak beradab dan tidak berkemanusiaan.

Oleh karena itu, arah perubahan UU terorisme harus memperhatikan aspek kemanusiaan para terduga teroris bahkan pelaku teroris. Jangan sampai dendam kita terhadap pelaku teror menjadi kita bertindak diluar nalar dan logika hukum serta Pancasila. Nilai-nilai kemanusiaan harus senantiasa kita tempatkan secara proporsional secara adil dan beradab. Di luar itu, penguatan upaya preventif juga harus diakomodir dalam UU terorisme. Harus kita pahami bersama bahwa mereka tidak pernah mengakui bahwa tindakan teror yang mereka lakukan adalah kejahatan, justru sebaliknya mereka beranggapan yang mereka lakukan adalah perintah agama yang suci. Karenanya, perlakuan tidak manusiawi hanya akan semakin menyulut kemarahan dan kebencian mereka sehingga memancing tindakan teror lain. Masalah terorisme adalah masalah yang bermula dari doktrin, olehkarenanya juga harus dilawan dengan doktrin, tidak cukup hanya tindakan represif.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top