Surakarta ibarat api kecil yang siap meletup dan membesar. Sejarah mencatat berbagai peristiwa kekerasan dan kerusuhan pernah terjadi di wilayah ini. Kerusuhan terbesar terakhir terjadi pada Mei 1998, persis pada saat masa transisi kekuasaan kepemimpinan Soeharto penguasa Orde Baru ketika itu. Sempat pula terjadi peristiwa kerusuhan dengan skala yang lebih kecil sesudahnya, sesaat Megawati Soekarnoputri tak terpilih sebagai presiden pada 1999.
Bagaimana menjelaskan Surakarta – sebagai sebuah ruang sejarah – yang seolah-olah memiliki “tradisi” radikalisme ini ? Sebuah catatan yang dibuat oleh seorang sejarawan, mencatat bahwa setidaknya telah terjadi 14 kali peristiwa kekerasan bernuansa rasialis (khususnya berkaitan dengan relasi Cina-Jawa) di kota ini. Catatan itu bahkan dianggap semacam sebagai sebuah siklus waktu tertentu.
Lepas dari benar tidaknya keyakinan atas siklus tersebut, menarik untuk melihat bagaimana Surakarta memiliki jejak-jejak dinamis politik pergerakan rakyat dalam konteks kolonial. Buku karya Takashi Shiraishi ini merupakan kajian penting dan berharga tentang tema tersebut. Melalui buku ini Takashi mencoba menjelaskan bagaimana pergerakan rakyat di Surakarta pada rentang tahun 1912-1926 melalui berbagai cara dan bentuk seperti surat kabar, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, karya sastra, ataupun lagu-lagu, merupakan momen yang menandai saat orang Indonesia mulai memandang dunia mereka dengan cara yang baru. Cara yang baru itu merepresentasikan cikal bakal politik Indonesia modern, juga cikal bakal nasionalisme Indonesia, Islamisme, serta Komunisme sebagai gerakan politik. Sebuah masa baru, seiring pula dengan munculnya para kaum terdidik dan terpelajar bumiputera sampai dengan seperempat pertama abad ke-20, buah munculnya politik etis.
Titik Berangkat
Historiografi ortodoks tentang Indonesia biasanya berkisah tentang Indonesia merdeka, dan masa sebelumnya sebagai masa-masa benih nasionalisme yang sedang membentuk. Satu catatan penting dari Takashi adalah soal kritiknya terhadap historiografi ortodoks ini, terutama yang bersumber dari sejarawan J.Th. Petrus Blumberger, seorang mantan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang dianggap sebagai pelopor pandangan ini.
Karya Blumberger dianggap merupakan karya klasik dengan karya triloginya – De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie (gerakan Komunis di Hindia Belanda), De Nationalistiche Beweging in Nederlandsch-Indie (Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-Indie (Gerakan Indo-Eropa di Hindia Belanda). Karya tersebut kemudian yang berpengaruh terhadap cara pandang umum dan sistem-sistem klasifikasi yang digunakan oleh pemerintah kolonial, semisal penggolongan masyarakat Hindia menjadi “eropa”, “Indo Eropa”, “Timur Asing”, dan “Bumiputra”. Juga dengan penggolongan organisasi secara ideologis – yang kemudian terus berlanjut – sampai dengan sesudah Indonesia merdeka : nasionalis, agama, dan komunis.
Menurut Takashi, setidaknya terdapat dua kelemahan mendasar dalam penulisan sejarah ortodoks ini. Pertama, bahwa mereka yang bergerak pada masa itu (seperempat awal abad ke-20), berpikir, berbicara, dan bertindak sebagai orang pertama, dan baru pada dekade 1920-an partai-partai mulai mengambil alih suara orang pertama ini atas nama organisasi dan disiplin. Sesuatu hal yang mungkin tersederhanakan oleh arsip sejarah kolonial yang hanya mengatur berkas arsipnya berdasarkan organisasi. Hal ini jelas mereduksi kenyataan aktor atau orang pertama dalam konteks sejarah pergerakan ini.
Kedua, dengan melihat pergerakan pada dekade 1910-an dan paro pertama 1920-an sebagai transisi, historiografi ortodoks tidak menghadirkan satu rangkaian pertanyaan yang penting : Bagaimana orang saat itu berhadapan dengan realitas? Seperti apa realitas itu? Pikiran dan gagasan apa yang menuntun mereka? Dan yang paling penting : bentuk dan bahasa seperti apa yang digunakan untuk menampilkan kesadaran baru mereka? (hal.xv).
Surakarta dan Lahirnya Pergerakan
Bagian awal buku ini berbicara tentang latar sejarah Surakarta sebagai sebuah arena. Sebuah wilayah yang mengalami pasang surut dalam konteks tarik-menarik kekuatan kolonial dan kraton. Dua kekuatan yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan struktur sosial dan tata politik yang berjalan di wilayah tersebut. Pada bagian ini pula kita bisa melihat awal muncul dan berkembangnya pula industri batik sebagai kekuatan ekonomi di wilayah Surakarta. Industri ini muncul pada ”zaman modal kedua” dan terus berkembang hingga menguasai pasar nasional sampai dekade awal abad ke-20.
Awal abad XX juga dianggap sebagai masa babak baru dalam perkembangan Surakarta. Masa yang dianggap sebagai ”zaman modern” dengan diiringi politik etis dari pemerintah Belanda dan merupakan penanda penting bagi muncul dan berkembangnya pendidikan. Pendidikan ini pula yang kemudian dianggap menjadi bentuk modernitas. Berbagai sekolah (dasar) dibuka di Surakarta pada masa-masa ini. Sebagian kaum bumiputera akhirnya mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Kaum muda ”generasi baru” ini – meskipun dianggap mengalami mobilitas, namun tetap dalam struktur rasial kolonial – tetaplah menjadi kekuatan baru dan nantinya menjadi tulang punggung pergerakan di Surakarta.
Sarekat Islam (SI) merupakan organisasi awal yang cukup mengakar di Surakarta. Organisasi yang bercikal bakal dari sebuah organisasi ronda bagi kepentingan keamanan pengusaha pribumi batik itu (Rekso Rumekso), kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam. Berbagai tokoh yang lahir dalam rahim politik etis kolonial ketika itu tampil sebagai pemimpin-pemimpin SI di Surakarta khususnya, seperti Tjokroaminoto, H. Samanhudi, sampai dengan Marco Kartodikromo.
Gerakan SI di Surakarta khususnya, dan di kota-kota lain secara umum, dianggap telah mengancam pemerintah kolonial. Melalui tulisan di surat kabar dan aksi-aksi protes yang digelar, dengan semangat ”menuntut persamaan hak bumiputera”, berbagai aktivitas SI dan para pendukungnya telah meresahkan penguasa kolonial ketika itu. Digambarkan dalam bab ini, bagaimana terjadinya pasang surut SI sebagai sebuah organisasi bumiputera. Strategi dan taktik dalam menghadapi berbagai pembatasan dari pemerintah Hindia, aksi-aksi persaingannya dengan organisasi yang sama di kalangan Tionghoa, sampai dengan berbagai bentuk perpecahan yang muncul di tubuh dalam organisasinya sendiri.
Seiring dengan situasi sosial ketika itu (1917-1920) dunia berubah dengan cepat, ketika Perang Dunia I memasuki tahap terakhir. Pada masa itu pergerakan mengalami transformasi yang mendalam. Jika zaman awal SI ditandai oleh vergadering-vergadering, pada masa-masa tersebut merupakan zaman pemogokan, di mana pemimpin-pemimpin baru dan pusat-pusat pergerakan bermunculan. Sejak akhir 1918, gerakan SI muncul kembali dengan serikat buruh sebagai pelopornya.
Masa pergerakan sepanjang 1917-1920 yang ditandai dengan dibukanya Volksraad, kebangkitan Semaoen dan SI Semarang, gerakan Djawa Dipa, TNKM, gerakan serikat buruh, kebangkitan PFB dan Soerjopranoto, memang mempengaruhi situasi pergerakan di Surakarta. Namun dalam konteks Surakarta, zaman bergerak itu muncul pertama kali seiring dengan dipulihkannya nama baik Tjipto Mangoenkoesoemo di atas panggung utama pergerakan sebagai anggota Insulinde yang ditunjuk untuk duduk di Volksraad, dan dengan kemunculan Haji Mohammad Misbach sebagai tokoh mubaligh reformis. Kombinasi Tjipto yang nasionalis dan Misbach yang mubaligh inilah yang mendorong Insulinde – bukan SI – menjadi kekuatan pergerakan “revolusioner” utama di Surakarta pada masa-masa itu (hal.159).
Menarik untuk melihat sosok Haji Misbach ini. Karena sebagai mubaligh, ia memiliki pandangan yang sangat Marxist, seperti tertuang dalam berbagai tulisan-tulisannya di berbagai media ketika itu (Islam Bergerak, dsb). Ia menyoroti ketimpangan dan penghisapan petani oleh kapitalisme, pemerintah, dan kekuasaan kraton ketika itu. Bagi Misbach, melakukan propaganda untuk ”kebebasan kita”, ”kebebasan negeri”, sama seperti melakukan propaganda untuk Islam, dan dalam pengertian itulah ia menunjukkan dirinya sebagai seorang mubaligh sekaligus propagandis Insulinde (hal.204). Sebagai propagandis, akhirnya ia mendorong pemogokan petani. Meskipun akhirnya ditangkap dan dipenjara, posisi Misbach digantikan kemudian oleh Tjipto Mangunkusumo, yang memiliki gaya dan pendekatan yang berbeda dalam melakukan gerakan kritik terhadap penguasa.
Solo di Zaman Pergerakan
Gerakan Tjipto Mangunkusumo yang dikenal sebagai ”anti Raja” dimulai pada sekitar bulan Juni 1919. Tjipto melakukan kampanye mengkritik dan memprotes posisi kraton yang feodal. Kampanye yang dilakukannya antaralain melalui tulisan di Panggoegah dan melalui Volksraad, telah membuat polarisasi di kalangan aktivis pergerakan, antara mereka yang pro Kerajaan dan pro Tjipto. Gerakan yang dilakukan Tjipto ini juga menghantarkannya sebagai pemimpin Insulinde/NIP-SH yang membawa mereka ke kancah ”perjuangan politik” (hal.238).
Ia mengusulkan sunan seharusnya dipensiun saja karena dianggap membebani rakyat, selain itu mereka juga dianggap sebagai budak-budak VOC. Pada intinya ia mengkritik kekuatan kraton sebagai representasi dari feodalisme seperti halnya di abad pertengahan. Kampanye anti Raja ini dalam prosesnya membuat keributan di kalangan pemerintah Hindia, Kasunanan, maupun Mangkunegaran sendiri. Di samping sebenarnya membuat polarisasi pada para aktivis gerakan (dalam konteks Surakarta, Boedi Oetomo dan SI Surakarta adalah pro kerajaan). Bentuk lain yang dikembangkan Tjipto kemudian dalam kampanye anti Rajanya adalah melalui Ketoprak, sebuah teater populer di Jawa. Dengan media ini ia melakukan sindiran dan kritik terhadap kerajaan.
Pada masa ini pula dilakukan rapat umum Sarekat Hindia (SH) di Surakarta yang dihadiri sekitar 2000 orang. Momen ini kian meruncingkan mereka yang pro dan kontra terhadap Kerajaan. Sementara suasana pergerakan lain dirasakan di daerah pedesaan Surakarta, ketika Sarekat Hindia bersama beberapa organisasi buruh lainnya (PFB dan SI Delanggu) melakukan berbagai rapat dan pertemuan untuk melawan dan mengancam rust en orde pemerintah kolonial. Misbach sering tampil dalam rapat-rapat tersebut.
Semakin memanasnya situasi pergerakan yang dimotori Sarekat Hindia nya Tjipto Mangunkusumo, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan sekitar Surakarta, menyebabkan pemerintah kolonial akhirnya bersikap tegas. Tjipto Mangunkusumo, Misbach, dan para tokoh Sarekat Hindia akhirnya ditangkap dan dipenjarakan. Khusus Tjipto, ia kemudian dibuang ke Bandung dan akhirnya ke Banda pada tahun 1921. Sebuah peristiwa yang akhirnya mengakhiri kiprahnya di panggung pergerakan Surakarta.
Islamisme versus Komunisme
Sementara itu kembalinya Misbach setelah dipenjara di Pekalongan ke Surakarta pada 1922, menjadi titik balik baginya kemudian untuk meninggalkan sekutunya Muhamadiyah, dan menjadi propagandis PKI/SI Merah. Ia banyak bicara tentang keselarasan paham yang mendasar antara Islam dan komunisme. Dalam banyak hal, Misbach memiliki kritik dan pandangan yang berbeda dengan Muhamadiyah. Dalam salah satu tulisannya di Medan Moeslimin tahun 1922, ia membedakan antara mukmin dan munafik, sesuatu yang pernah ia ungkapkan sebelumnya dalam kesempatan yang lain sebagai Islam sejati dan Islam lamisan. Dalam banyak kasus kalangan Muhamadiyah ketika itu dianggapnya sebagai mewakili kalangan munafik (hal.335).
Pengertian mukmin dan munafik di sini baginya mengacu pada Islam sejati yang ia maksudkan sebagai sikap apa yang harus diambil muslim Hindia terhadap politik dan pergerakan di zaman modal di Hindia yang dijajah oleh orang non-muslim. Dalam penjelasan lebih lanjutnya, bagaimana masyarakat Hindia harus dibebaskan dari kungkungan kekuatan kapitalisme dan imperialisme yang membelenggu. Pada intinya, Misbach ingin mengatakan bahwa sebagai seorang muslim sejati artinya adalah berani melawan penindasan yang dilakukan oleh kapitalisme dan imperialisme yang telah menyengsarakan rakyat banyak di bumi Hindia khususnya. Misbach dalam konteks ini memadukan Islamisme dan komunisme dalam pandangan dan semangat hidup yang akhirnya menggerakkan dia dalam berbagai bentuk aktivitas gerakan. Berbagai aktivitas gerakan yang dilakukan Misbach sepanjang sekitar tahun 1922-1924 di Surakarta khususnya, dianggap terlalu membahayakan stabilitas penguasa. Sampai pada akhirnya ia ditangkap dan dibuang bersama keluarganya ke Manokwari dan meninggal di sana pada 24 Mei 1926.
Suara Rakyat dan Kaburnya Kategori Ideologis
Pasca pembuangan Misbach ke Manokwari, Marco Kartodikromo meneruskan pergerakan komunis di Surakarta. Tahun-tahun terakhir 1926 di Surakarta, seperti halnya terjadi di beberapa kota lain di Jawa, meningkatnya tensi yang akhirnya terjadinya pemberontakan PKI pada 1926. Namun akhirnya pemberontakan di Surakarta bisa dipadamkan, dan kebanyakan pimpinan PKI (termasuk Marco, Mualimin, dsb) ditangkap dan dibuang ke Digul. Marco akhirnya meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria. Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang pergerakan. Istilah pergerakan di sini sebenarnya merupakan sebuah proses ”penerjemahan” dan ”pencomotan” yang kompleks dan dinamis. Istilah-istilah vergadering, voordracht (pidato), accord (pidato), vakbonden (serikat buruh), mogok, communisme, Islamisme, cursussen (kursus), atau debat, tidak punya arti apa-apa dan kedengaran asing di telinga pribumi. Pada saat zaman pergerakan itulah, kata-kata itu menandai bentuk-bentuk baru politik menancapkan akarnya di dalam bahasa Melayu/Indonesia.
Proses dinamis dari upaya penerjemahan itu sebenarnya lebih dari dari sekedar bangkitnya kaum pribumi, bahkan sungguh merupakan suatu peristiwa yang revolusioner, justru karena peristiwa tersebut memberi tempat bagi munculnya berbagai bentuk dan bahasa baru sehingga rakyat dapat ”mengatakan” apa yang tak dapat mereka ”katakan” selama ini. Surat-surat kabar, boikot, rapat-rapat umum, pemogokan, dan bentuk-bentuk lainnya yang muncul dalam pergerakan kemudian memobilisasi segmen-segmen penduduk yang lebih luas lagi dan telah melepaskan gelombang radikalisme rakyat. Gelombang radikalisme inilah yang membuat pergerakan benar-benar milik rakyat.
Hal menarik lainnya dan perlu digarisbawahi dalam buku ini adalah tentang sosok Haji Misbach. Idenya tentang Islamisme dan Komunisme tidak dapat diklasifikasikan ke kategori ideologi yang ada selama ini : nasionalis, Islam, dan komunis. Namun jika ditelusur dari kata-kata dan tindakannya untuk memerangi dunia lingkungan hidupnya, ia bukanlah sosok yang membingungkan lagi. Sosok seorang muslim putihan Jawa yang mencoba membuktikan kemurnian Islamnya dengan berjuang melawan semua fitnah sebagaimana diungkapkan kepadanya oleh Karl Marx. Misbachlah yang mengingatkan kita akan kesalahan klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme, dan memperingatkan kita akan pandangan nasionalis yang serampangan itu.
Buku yang diangkat dari disertasi penulisnya di Universitas Cornell ini menarik dan penting, karena merupakan bentuk historiografi yang berusaha keluar dari historiografi ortodoks yang dianggap memiliki banyak keterbatasan untuk menjelaskan proses dan munculnya kesadaran berorganisasi dan pergerakan, yang pada titik akhirnya memunculkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Proses yang justru dialami dan disuarakan oleh rakyat sebagai orang pertama sebelum munculnya partai pada tahun 1920an. Suara yang diwakili melalui kata-kata, tulisan, dan berbagai bentuk tindakan protes para pelakunya.