Kalau kita perhatikan dengan seksama, ada perbaikan kuantitas menulis dari para penulis Indonesia pasca reformasi tahun 1998. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, bagaimanapun layak mendapatkan apresiasi. Perjuangan keras dan panjang para aktivis HAM, membuahkan hasil yang kita semua dapat memetiknya lalu menikmatinya. Tak terbayang bagaimana sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, yang dihargai, dihormati bahkan dipuja di negeri orang, tapi diburu, dipenjara, dan diperlakukan secara tidak manusiawi di negeri sendiri. Itu semua adalah harga mahal atas apa yang dapat kita nikmati hari ini. Kita barangkali beruntung karena terlahir pada era dimana menulis apapun, dimanapun, dan kapanpun sudah tidak menjadi persoalan. Namun disadari atau tidak, kondisi itu berdampak simetris dengan kualitas tulisan yang kita buat.
Dalam tulisannya di Memori Bung Hatta, Bung Hatta menjelaskan tentang keheranan pelajar luar negeri melihat pelajar Indonesia yang dengan usia begitu muda namun sudah dibebani dengan perjuangan meraih kemerdekaan, memikirkan apa yang belum dipikirkan oleh pemuda di usianya. Kata Bung Hatta, “penindasan dan pemiskinan terhadap rakyat Indonesia, adalah alasan mereka lebih cepat dewasa dari yang semestinya”. Barang kali itu relevan dengan apa yang di rasakan oleh penulis-penulis pendahulu kita, sebut saja Pramoedya, Rendra, dan Buya Hamka, yang hidup dalam kekangan kebebasan sehingga apa yang mereka tuliskan merefleksikan penderitaan yang benar-benar mereka rasakan sendiri, lihat sendiri, atau dengar sendiri. Membaca tulisan Pramoedya mengantarkan kita seolah merasakan sendiri sakitnya hidup jaman penjajahan dan jaman penindasan. Lebih dari itu, juga membangun kesadaran kita atas kemanusiaan, keadilan, kebenaran, juga ke-Indonesiaan.
Apa yang kita dapatkan dari tulisan Pram, hampir tak dapat kita rasakan lagi dari tulisan-tulisan masa kini. Tulisan hari ini lebih merefleksikan keinginan dari seorang pengarang. Terlebih yang paling memilukan dan memalukan adalah munculnya banyak sekali penulis bayaran yang rela menuliskan apa saja asal seimbang dengan bayarannya. Hal ini dilakukan dengan berbagai modus, bisa dengan mengupah seorang penulis agar menuliskan landasan ilmiah sesuai dengan pesanan, atau bisa juga dengan mengupah orang lain menulis sesuatu atas nama si pemberi upah. Keduanya sama-sama mengencingi etika sebagai seorang penulis.
Rendah Keberpihakan
Kita tengah berada pada masyarakat yang sedang berjuang mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, oleh karena itu, rasanya telah jelas kepada siapa keberpihakan harus ditujukan. Ya, kita berpihak pada orang-orang yang tertindas dalam kemiskinan, yang terbuang dalam persaingan, yang kalah dalam permodalan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hak atas republik ini, hak tidak saja atas untuk hidup di atasnya namun juga hak untuk menikmati kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sejak semula kita sudah memaknai bahwa demokrasi tidak hanya mengikatkan akarnya dalam bidang politik, tapi juga mengakar pada aspek ekonomi. Hak memilih pemimpin, tidak memiliki arti apa-apa jika kemudian setelahnya rakyat dibiarkan terjebak dalam jurang persaingan yang memiskinkan.
Oleh karena itu, pada aspek filosofis, menulis adalah mengabdi pada kemanusiaan dengan makna membebaskan manusia dari penindasan, memerdekakan manusia dari perbudakan hingga pada akhirnya mengeluarkan manusia dari kubangan kemiskinan. Logika ini telah dengan sangat indah dicantumkan dalam nilai yang terkandung pada Pancasila sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak diturunkan dari langit, ia harus diperjuangkan. Oleh karenanya, menulis adalah cara yang paling bernas untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan. Menusia bisa saja mati, tapi karyanya adalah kenangan sepanjang masa.