Ilusi Negara Islam

Dewasa ini kapitalisme dan demokrasi liberal sedang dipertanyakan. Di banyak negara Amerika latin, paling tidak sekitar 13 negara, dipipimpin oleh pemimpin sosialis yang gemar mencemooh, menghujat bahkan menyerang Amerika serikat sebagai biang dari kemiskinan banyak negara di Dunia, juga di Amerika latin. Kesadaran akan keburukan kapitalisme yang disanggah dengan kukuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya lahir dari sejumlah gerakan sosial yang berkerja terus menerus untuk memberikan pemahaman tentang buruknya kapitalisme dan demokrasi liberal. Diantara gerakan yang ada misalnya zapatista, munculnya tokoh-tokoh politik populis yang mengusung sosialisme, dan sejumlah aktifis gerakan gerilya yang memilih untuk menghentikan cara kekerasan demi merebut kepemimpinan rakyat. Wal hasil, di Amerika Latin, di daerah yang sangan dekat dengan Amerika Serikat, pusat kapitalisme, tumbuh keraguan atas kapitalisme dan sejumlah cara dan kampanyenya untuk mengentaskan kemiskinan dalam sebuah negara miskin menjadi kesejahteraan. ‘Gelombang merah jambu’ ini begitu dahsyat menyapu satu persatu negara yang masih terjebak ilusi kebebasan dan kapitalisme yang semu. Akhirnya terobosan sejumlah gerakan di Amerika Latin berhasil memukul telak kapitalisme hingga sekarang harus kembali berhitung kekuatan. Ada sejumlah analisis menganggap bahwa akar dari gerakan ini sebagaian besar lahir dari teologi pembebasan katolik yang mengawinkan anatara doktrin katolik dengan tradisi kritik marxian.

Di belahan dunia yang lain, dalam dunia Islam khususnya, sejak masih era penjajahan fisik lahir sejumlah organisasi yang sudah sejak awal mencurigai demokrasi. Mulai dari Ikhwanul Muslimin, hingga munculnya kemudian Hamas, HTI, dan sejumlah Gerakan Islam di negara Islam. Ichwanul Muslimin sejak semula mecita-citakan sebuah negara Islam yang konstitusi dan semua undang-undang serta nilai yang lahir di dalamnya bersumber dari Islam. HTI bercita-cita mendirikan sebuah kekhalifahan islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Mereka mencita-citakan bentuk khilafah islamiyah yang memang pernah terbukti berjalan sebagai sebuah sistem negara. Mereka membenci demokrasi, bukan hanya karena sistem ini bisa dengan mudah ditumpangiu oleh negara dan kaum modal yang sudah berkuasa, namun mereka beranggapan bahwa Tuhan, melalui perkataannya, adalah sumber hukum yang pasti, yang tentu jauh lebih baik dari demokrasi yang dengan mudah selalu dimanfaatkan oleh kaum modal, negara-negara imperial untuk mengkampanyekan kembali kolonialisme di negara-negara bekas jajahannya. Di Iran misalnya, pasca pemilu Iran yang kembali dimenangkan oleh Ahmadinejad, menegaskan kembali bahwa demokrasi memiliki celah, sehingga, tidak seperti

negara-negara Islam lain yang gemar menyusu kekuasaan barat, Iran mengukuhkan apa yang disebut teodemokrasi atau bahkan teokrasi dimana Tuhan melalui ‘wakilnya’ -imam dalam tradisi syi’ah- adalah yang berhak menentukan keputusan yang berkaitan dengan rakyat dan negara. Kasus lain misalnya munculnya sejumlah gerakan bawah tanah yang dengan terang mengumumkan visinya untuk menentang amerika dimanapun dia berada. Bagi gerakan ini melawan Amerika, dan tentu kapitalisme dan demokrasi liberalnya, lebih baik ketimbang diam dan ikut mengiakan penjajahan kapitalisme terhadap ummat Islam di seluruh belahan dunia. Mereka memiliki keyakinan bahwa manusia hanya ada dua. Yang radikal dan yang liberal. Bila dunia ini dianggap sebagai kereta yang sedang berjalan menyusuri jalan menuju tujuan yang sudah ditetapkan oleh kapitalisme dan liberalisme maka jalan satu- satunya adalah mengambil langkah radikal dengan mencoba menghentikan laju roda, menginjak remnya, menurunkan masinisnya atau dengan langkah lain. Yang pasti harus ada yang dilakukan untuk mengerem laju eksploitasi kapitalisme. Orang moderat, yang merasa tidak pada pilihan kedua-duanya, bagi gerakan ini, sesungguhnya memihak pada kapitalisme yang sedang mengarahkan kereta.

Analogi inilah yang ingin saya gambarkan sebagai relitas dunia Islam saat ini dimana sejumlah orang, ormas, dan partai politik Islam, mengaku moderat sebagai jalan untuk meperbaiki sistem kapitalisme saat ini yang memiskinkan. Padahal dengan menggunakan analogi di atas, kereta ini sudah berjalan dan mengarah pada tujuannya (yang ditetapkan kapitalisme dan liberalisme) dan diam tanpa melakukan apa-apa adalah berpihak pada laju kereta menuju tujuannya. Mungkin analogi sederhana inilah yang menyebabkan sejumlah gerakan Islam dewasa ini meragukan demokrasi. bahkan organisasi yang diklaim transnasional oleh buku yang sedang dibedah dalam ulasan ini.

Buku Ilusi Negara Islam ini berpretensi menjelaskan lika-liku jaringan yang dianggapnya ‘jaringan islam transnasional’ dengan melakukan study atas gejala pemurnian praktek kegamaan islam yang dilakukan oleh ulama yang dianggap penganjur wahabi di Indonesia. Karena itu buku ini lebih dahulu menjelaskan infiltasi gerakan islam transnasional yang diidentifikasi sebagai wahabi dan ikhwanul muslimin.

Definisi Gerakan Islam Transnasional

Ada pertanyaan kritis untuk buku ini. Apakah demokrasi, liberalisme yang diusung oleh buku ini bukan gerakan transnasional? Atau gerakan Islam transnasional? Atau sekumpulan ide-ide yang menyusu secara hirarkis kepada liberalisme yang diusung oleh negara-negara Barat, terutama Amerika juga bukan jaringan transnasional? Jangan-jangan buku ini, yang penuh pretensi lebih terikat secara ideologis dan hierarkis dengan jaringan kapitalisme global yang sekarang ini bertanggungjawab atas kemiskinan sejumlah negara Islam?

Tentang definisi gerakan islam transnasional buku yang melalui penelitian ini hanya mendefinisikan dua definisi Islam. Yang radikal (garis keras) dan yang moderat. Yang radikal didefinisikan sebagai individu atau organisasi yang memutlakkan pandangannya dan tidak toleran terhadap perbedaan dan argumen kelompok lain. Sementara yang moderat didefinisikan sebagai ‘individu yang menghargai perbedaan berkeyakinan sebagai fitrah; tidak mau memaksakan keyakinannya pada yang lain, baik melalui pemerintah atau bukan; menolah cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apapun; menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan yang dijamin konstitusi negara kita; pancasila dan NKRI sebagai konsensus final’ (hlm 48). Sebuah identifikasi yang sejak awal timpang dan tidak berdasar.

Apakah organisasi keagamaan yang menjalankan agamanya dengan pengajian-pengajian komunitas, dengan berupaya mengamalkan apa yang diyakininya sebagai ajaran agamanya adalah garis keras? Pertanyaan ini penting, sebab organisasi yang diklaim melakukan infiltrasi tehadap ‘Islam lokal’ Indonesia versi buku ini hanya sejumlah komunitas yang bergerak secara organisatoris dan kultural untuk melakukan dakwah dan pengajian agama. HTI misalnya, dengan mengkritik amerika dan kapitalisme dianggap sebagai organ transnasional yang menginfiltrasi keyakinan islam lokal. Apa sebenarnya yan diganggu dari keyakinan orang islam Indonesia. Bukankah mereka yang sekarang aktif di dalam organisasi ini juga orang Indonesia, yang juga punya hak untuk menyuarakan apa yang mereka anggap benar? Atau apakah karena yang dikritik adalah pusat kekuasaat thagut saat ini hingga mereka harus dianggap garis keras? Garis keras yang menyipang dari tradisi Islam asli indonesia yang ramah dan toleran.

Apa dasar mengklasifikasi islam moderat dan radikal (garis keras) dengan defenisinya masing- masing dalam studi ini. Bukankah tidak ada organisasi islam yang mengkategorikan dirinya sebagai organisasi garis keras? Apakah dia berjalan tidak dengan demokratis? Dengan cara-cara santun dan anti kekerasan? Belum ada bukti mendasar yang menguatkan kategori ini.

Pengantar buku ini, yang ditulis oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif (hlm. 2) membagi islam fundamental dalam tiga latar belakang lahirnya. Pertama yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat islam untuk menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamental mencari dalil-dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar.

Teori kedua, menyatakan membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara- saudaranya di Palestina, Kashmir, Afganistan dan Iraq. Yang ketiga, khusus untuk indonesia, beranggapan maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Bila mengikuti ketiga teori ini, posisi gerakan Islam trans nasional ada di ketiga-tiganya dengan melihat gerakan dan cita-citanya. Bila demikian apakah yang salah dari apa yang disebut buku ini sebagai ‘infiltrasi’? untuk sebagian kalangan dalam sejumlah debat di Internet mengungkapkan kesalahan mendasarnya adalah pemujaan buku ini terhadap liberalisme barat.

Gerakan yang dituduh islan transnasional ini misalnya, mengutip pidato Hasan Al Banna pendiri Ichwanul Muslimin, yang dianggap sebagai Islam transnasional itu berpendapat (Ikhwan dan Democracy; DR. Fathi Osman, hlm. 2) ‘(pemerintah itu haruslah mampu memberikan kemerdekaan (kebeban pribadi), syura (musyawarah) juga harus bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya, hak-hak rakyat dan tanggun jawab pemerintah terhadap rakat harus ditetapkan dengan tegas’. Demikianlah cita- cita yang terselip dalam pidato Hasan al Banna mengenai sebuah pemerintahan konstitusional yang Islami dan berpihak pada rakyat. Apakah ini yang buruk dari Islam transnasional seperti yang dicurigai buku ini?

Sejumlah Catatan Untuk Buku Ini

Secara fiqhiah kaidah fiqh yang digunakan untuk meneguhkan argumentasi buku ini ada dua, yang pertama kaidah mashlahah mursalah dan al adh al muhakkamah. Memang benar bahwa kedua kaidah ini bisa digunakan sebagai kaidah untuk mengangkat hukum dalam islam. Mashlahah mursalah adalah kaidah yang beranggapan bahwa apa yang bermaslahat bagi kebanyakan orang adalah hukum. Yang kedua, al adah al muhakkamah, adalah kaidah fiqhiah yang menganggap bahwa adat adalah sumber hukum. Argumentasi inilah yang paling kuat menopang seluruh argumentasi teologis mendasar buku ini. Namun, sayangnya buku ini menghadapi apa yang biasa disebut dalam studi teks sebagai krisis representasi. Bahwa keduanya adalah kaidah fiqh memang benar. Tetapi bukankah kaidah yang disebutkan diatas adalah kaidah yang paling minimal. Ada sujumlah kaidah melakukan istinbat hukum dalam kaidah fiqh. Namun semuanya tidak diangkat dalam buku ini. Secara semiotik buku ini berpretensi menampilkan tafsir secara sempit atas kaidah fiqh yang direpresentasikannya.belumlagi bahwa kaidah mashlahah mursalah juga masih menjadi perdebatan sejumlah ulama, sehingga belum disepakati sepenuhnya sebagai kaidah.

Catatan lain untuk buku ini adalah sejumkah kesalahan tekhnis mendasar dan terkait dengan etika akademik. Misalnya mencantumkan nama peneliti yang sudah sejak awal tidak setuju dimintai oleh libforall sebagai lembaga yang menyelenggarakan proyek penelitian ini. Kemudian yang lainnya, dan ini berkaitan erat dengan etika penelitian dimana buku ini dianggap oleh penelitianya sendiri sebagai bukan hasil penelitian mereka. Ini ditunjukkan dengan lahirnya pernyataan sikap empat penulis Jogja. Keempat penulis tersebut adalah Laode Arham, S.S, Dr. Zuli Qodir, Abdur Rozaki, M.si, Muhammad Kholik Ridwan, S.Ag. di aantara pernyataan sikapnya (www.indonesiaBuku.com). Pertama,. Materi (isi) buku yang disajikan di dalamnya bukanlah hasil riset dan karya kami dan karena itu kami tidak mungkin mengakui sebagai hasil penelitian kami. Padahal di dalam buku tersebut kami disebut sebagai peneliti. Kedua, di dalam proses penerbitan buku tersebut, kami tidak pernah diajak dialog di dalam proses menganalisis data dan membuat laporan penelitian sampai penerbitan menjadi sebuah buku.

Kenyataan ini membuktikan buku ini tidak sesuai dengan standar-standar sebagai karya ilmiah. Data yang manipulatif adalah pelanggaran etika mendasar dari sebuah karya penelitian. Secara ideologis, buku ini menghamba pada kepentingan kapitalisme dan liberalisme barat yang diusung dan dikampanyekan melalui badan-badan resmi internasional seperti PBB, lembaga-lembaga Donor, dll yang dengan giat menatar seluruh negara islam ntuk fasih mempraktekkan demokrasi dan pandai membenci sistem lain selain demokrasi. Untuk sementara, bagi saya, buku ini hanyalah buku politis, bukan buku akademik, yang penuh pretensi ideologis, diskriminatif dan mengumbar kebencian.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top