(Pusham UII, 11/12/2024) – Diskusi publik di Fakultas Hukum UII menyoroti ancaman terhadap demokrasi dan HAM di Indonesia, mulai dari pengabaian penyelesaian pelanggaran HAM “yang berat masa lalu” hingga dampak menguatnya militerisme dalam pembangunan. Kegiatan diskusi publik ini diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) bekerja sama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII).
Diskusi Publik dengan tema “Gerakan Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi: Tantangan dan Strategi” menghadirkan narasumber akademisi dan praktisi dalam gerakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Jalannya acara diskusi ini dipandu oleh Fatma Reza, peneliti PUSHAM UII selaku MC. Dimulai pada pukul 09.15, diskusi publik diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat dengan antusias.
Dalam sambutannya, Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Elsam, menyampaikan beberapa hal, salah satunya yakni kekhawatiran baru dari hasil Pemilu 2024 yang berpotensi memberikan tekanan besar bagi penikmatan HAM. Selain itu, Indonesia masih belum mampu mengaplikasikan kewajiban dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi dalam peraturan perundang-undangan dan birokrasi. Keberadaan diskusi seperti yang dilaksanakan ini merupakan bagian dari jejaring komunitas akademik untuk mencetuskan strategis baru menghadapi tantangan HAM.
Diskusi ini juga melakukan peluncuran dua (2) buku Elsam yaitu “Negara Pelindung Hak Asasi Manusia” dan “Suara Keadilan”. Kedua buku tersebut memotret kisah dari perjalanan Abdul Hakim Nusantara dalam gerakan hak asasi manusia. Stanley Adi Prasetyo, editor buku, menerangkan bahwa buku ini merupakan refleksi atas perjuangan Abdul Hakim Garuda Nusantara, seorang tokoh HAM yang humoris, konsisten, dan memiliki jejaring luas. “Abdul Hakim adalah tokoh penting dalam gerakan HAM di Indonesia,” tegasnya. Eko Riyadi, Direktur PUSHAM UII, selaku moderator mengungkapkan bahwa buku ini tidak hanya menjadi arsip sejarah perjuangan Abdul Hakim, tetapi juga panduan untuk menata strategi HAM ke depan.
Sebagai narasumber pertama, Suparman Marzuki menyoroti gagasan besar demokrasi dan HAM sebagai poin penting dari kebebasan dan persamaan. Perjalanan Indonesia telah melakukan transisi dari rezim otoritarian menuju demokrasi. Namun, tantangan besar dalam menghadapi pelanggaran HAM masa lalu menciptakan kondisi bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Suparman mengkritisi istilah “mengkriminalkan orang”, di mana negara memanfaatkan aparat hukum untuk menekan gerakan HAM yang semakin terasing dari masyarakat.
Selanjutnya, Ita Fatia Nadia memaparkan pertama dengan berbagi kenangan tentang sosok Abdul Hakim Garuda Nusantara, seorang tokoh penting dalam advokasi HAM yang humoris, cerdas, dan berkomitmen tinggi terhadap perjuangan HAM. Ita juga menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia, terutama dengan menguatnya militerisme dalam kehidupan sosial dan politik. “Saya gelisah saat Prabowo membawa seluruh menterinya retret di Magelang dengan cara-cara militer”, ungkapnya. Sebagai seorang sejarawan, Ita menekankan pentingnya mendokumentasikan gerakan sosial dan politik agar perjuangan masa lalu menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.
Narasumber ketiga yaitu Amalinda Savirani, memilih diksi lain dari “kemunduran demokrasi” yakni dengan “musim dingin otoritarianisme,” di mana pemerintah tidak hanya bersikap represif, tetapi juga menggunakan strategi politik pecah belah untuk meminggirkan masyarakat sipil. Amalinda menegaskan pentingnya integrasi perjuangan dari kelompok masyarakat sipil dalam gerakan HAM. Selain itu, ia mendorong refleksi kritis atas strategi perjuangan HAM, mengingat tantangan demokrasi saat ini membutuhkan pendekatan yang lebih solid dan terorganisasi untuk mendorong perubahan yang nyata.
Wasingatu Zakiyah, narasumber berikutnya, mengkritik keberadaan proyek-proyek pembangunan besar yang kerap meminggirkan masyarakat adat dan kelompok rentan. Pembayaran pajak dari rakyat justru digunakan untuk melawan kepentingan rakyat melalui proyek-proyek besar. Ia juga menggarisbawahi vitalnya peran mahasiswa dan akademisi untuk mendampingi masyarakat dalam membangun kesadaran kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil.
Terakhir, Stanley Adi Prasetyo menekankan bahwa kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia yang semakin terancam. Hal tersebut diperburuk dengan kondisi parlemen yang didominasi oleh pengusaha sehingga regulasi cenderung berpihak pada kepentingan elite ekonomi bukan kepentingan rakyat. “Jadi mau bikin undang-undang apapun, kalau komposisinya pengusaha maka akan ditolak,” tandasnya. Selain itu, ia juga menyoroti tentang masyarakat sipil saat ini menghadapi tantangan besar sehingga penting membangun jaringan kerja yang kuat di antara organisasi masyarakat sipil.
Diskusi publik ini telah membahas isu tergerusnya demokrasi dan HAM oleh militerisme, oligarki, dan fundamentalisme pasar. Penekanannya terletak pada masih lemahnya dukungan dan komitmen negara dalam penikmatan HAM seperti dengan pengabaian pelanggaran HAM “yang berat masa lalu”, menormalisasi kekerasan aparat, dan pembangunan yang meminggirkan masyarakat. Oleh karena itu, adalah penting bagi masyarakat sipil untuk melakukan konsolidasi lintas sektor, mengembangkan strategi berbasis hukum, dan meningkatkan keterlibatan generasi muda untuk melawan ketidakadilan dan menjaga nilai-nilai demokrasi.