BERITA
Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia
- 15 Oktober 2022
Penyediaan askomodasi yang layak di pengadilan bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum amat bergantung pada adaptasi pengetahuan para hakim terkait pengetahuan-pengetahuan terbaru tentang disabilitas. Adaptasi pengetahuan sendiri merujuk ke pergeseran pengetahuan dan kesadaran hakim. Dalam hal ini, salah satu faktor keberhasilan dalam proses adaptasi tersebut adalah pengembangan rencana pelatihan yang memadai bagi hakim-hakim di bawah Institusi Mahkamah Agung.
Untuk itu, Pusham UII melakukan konsinyering dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Mahkmah Agung untuk merumuskan Rancang Bangun Program Pelatihan dan Rancang Bangun Pembelajaran Mata Pelatihan tentang Peradilan yang Fair (Fair Trial) bagi Penyandang Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum bagi Hakim di Lingkungan Peradilan Umum di Seluruh Indonesia. Konsinyering ini dilakukan pada Jumat, 14 Oktober 2022, di Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh tim Pusham UII, perwakilan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Mahkmah Agung, dan perwakilan pegiat isu disabilitas.
Kegiatan ini merupakan kerja sama Pusham UII – Diklat Hukum dan Peradilan MA – Australia-Indonesia Partership for Justice 2.
Hak atas peradilan yang fair merupakan hak asasi manusia. Sesuai dengan naturnya, hak ini melekat secara setara pada diri setiap orang semata-mata karena kemanusiaannya, terlepas dari apakah seseorang itu merupakan penyandang disabilitas atau bukan. Untuk memastikan kesetaraan dan pemenuhan hak tersebut, satu dari upaya-upaya penting yang dapat dilakukan adalah mendorong adaptasi pengetahuan terkait hak asasi manusia dan disabilitas melalui mekanisme pendidikan di lembaga-lembaga penegak hukum, yaitu di Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia.
Untuk itu, Pusham UII menyelenggarakan diskusi terfokus secara online untuk pengembangan substansi kurikulum pembelajaran, silabus, dan metode evaluasi pendidikan bagi hakim di Mahkamah Agung, jaksa di Kejaksaan Agung, dan penyidik di Kepolisian Republik Indonesia. Secara berturut-turut, (1) diskusi terfokus bersama Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung dilakukan pada Senin, 12 September 2022, dihadiri tim Pusham UII, perwakilan dan tenaga pendidik di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung, dan perwakilan pegiat disabilitas; (2) diskusi terfokus bersama Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung dilakukan pada Rabu, 14 September 2022, dihadiri tim Pusham UII, perwakilan dan tenaga pendidik di Pusdiklat Mahkamah Agung, dan perwakilan pegiat disabilitas; dan (3) diskusi terfokus bersama Diklat Reserse Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia dilkaukan pada Senin, 10 Oktober 2022, dihadiri tim Pusham UII, perwakilan dan tenaga pendidik di Diklat Reserse Lemdiklat Polri, dan perwakilan pegiat disabilitas.
Diskusi terfokus ini menjadi bagian dari aktivitas Pusham UII dalam agenda reformasi peradilan di Indonesia untuk inklusivitas peradilan bagi penyandang disabilitas. Secara spesifik, diskusi terfokus ini merupakan tindak lanjut dari Workshop yang telah dilakukan sebelumnya bersama Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Repbulik Indonesia.
Kegiatan ini merupakan kerja sama Pusham UII – Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung – Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung – Diklat Reserse Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia – Australia-Indonesia Partnership for Justice2.
Argumentasi
- Mekanisme penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi seharusnya dilakukan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel sesuai Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. Kewenangan DPR untuk memilih calon hakim MK bukanlah kewenangan mutlak yang tidak terikat pada asas dan norma perundang-undangan. Selain soal mekanisme pencalonan, terdapat norma tentang masa jabatan yang harus dihormati dan diikuti. Proses pemberhentian Prof. Aswanto dan pengangkatan Prof. Guntur Hamzah telah menciderai prinsip dan mekanisme pemilihan hakim MK dan oleh karenanya harus dinyatakan cacat hukum.
- Pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim MK tanpa melalui proses seleksi telah menghilangkan ruang bagi publik untuk memberikan masukan terkait rekam jejaknya dan publik tidak memiliki akses terhadap gagasan-gagasannya terkait masa depan kelembagaan MK. Pengangkatan tanpa seleksi juga menutup peluang dan kemungkinan warga negara lain yang memenuhi syarat untuk menjadi hakim MK. Tindakan demikian menciderai semangat untuk menjunjung tinggi kesamaan hak di depan hukum dan pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi.
- MK adalah Lembaga Negara yang eksistensinya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK bersifat independen, tidak ada hubungan, dan bukan merupakan bagian dari DPR. Argumentasi bahwa hakim MK harus mewakili kepentingan lembaga pengusul, dalam hal ini DPR, adalah argumentasi yang keliru bahkan sesat.
- Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa setiap Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan (termasuk DPR dan Presiden) wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Keputusan dan Tindakan DPR mencopot Prof. Aswanto merupakan bentuk dan Tindakan yang melampaui kewenangan karena bertentangan dengan UU MK.
Tuntutan:
- DPR membatalkan pencopotan Prof. Aswanto sekaligus menganulir pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
- Jika DPR tetap bersikukuh dengan sikapnya, Presiden harus menganulir pengangkatan Prof. Guntur Hamzah dengan tidak menerbitkan/menolak mengeluarkan Keppres Pemberhentian Prof. Aswanto sebagai Hakim Konstitusi dan Keppres Pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
- Dalam jangka Panjang, masing-masing lembaga baik DPR, Pemerintah, dan MA perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai prinsip transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK.
Saat ini, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan spesifik tentang hak asasi manusia. Indonesia juga telah meratifikasi 9 dari 10 instrumen hukum internasional hak asasi manusia. Namun, substansi dari perundang-undangan itu masih belum sepenuhnya dioperasionalkan dalam praktik-praktik peradilan. Dalam kasus-kasus konkret, pendekatan berbasis hak asasi manusia masih belum secara kuat dan konsisten diterapkan terutama oleh hakim. Akibatnya, persitiwa hukum konkret seolah-olah terpisah dari tumbuh-kembang aspek hak asasi manusia. Padahal, hak asasi manusia amat dekat dengan setiap persitiwa yang terjadi di kehidupan manusia.
Untuk itu, Pusham UII, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan sebuah Worksop pada Sabtu, 1 Oktober 2022, di Yogyakarta. Workhsop ini mendiskusikan kerja-kerja bersama yang dapat dilakukan kedepannya dalam rangka melembagakan metode hukum tentang penerapan HAM di Indonesia, khususnya di bidang peradilan.
Kegiatan ini merupakan kerja sama Pusham UII – LeIP – YLBHI – Norwegian Centre for Human Rights.
- 30 Juli 2022
Jumat, 29 Juli 2022, PUSHAM UII bersama Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung menyelenggarakan sebuah workshop untuk penyusunan kurikulum, silabus, dan metode evaluasi pendidikan bagi hakim. Workshop ini merupakan salah satu aktivitas PUSHAM UII pada agenda reformasi peradilan di Indonesia untuk inklusivitas peradilan bagi penyandang disabilitas. Kegiatan workshop ini diselenggarakan secara online via Zoom. Dalam workshop ini, pesertanya ada 14 orang yang terdiri dari perwakilan PUSHAM UII, perwakilan dan tenaga pendidik dari Pusdiklat Mahkamah Agung, dan perwakilan pegiatan disabilitas.
Dalam kegiatan workshop ini, PUSHAM UII mendiskusikan pembuatan kurikulum, silabus, dan metode evaluasi pengauatan kapasitas aparat penegak hukum terutama hakim terkait peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Di samping itu, melalui workshop ini, para peserta diharapkan untuk memberikan input untuk penyusunan kurikulum, silabus, dan metode evaluasi tersebut. Berdasarkan kegiatan ini, PUSHAM UII dan Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung menyepakat tiga hal, yaitu PUSHAM UII dan Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung bersepakat untuk membentuk tim penyusun, mengadakan workshop lanjutan untuk membahas rancangan yang dibentuk tim penyusun, dan pemaparan draft yang akan disahkan.
- 29 Juli 2022
Kamis, 28 Juli 2022, PUSHAM UII bersama Badiklat Kejaksaan Agung menyelenggarakan sebuah workshop untuk penyusunan kurikulum, silabus, dan metode evaluasi pendidikan bagi aparat penegak hukum di Kejaksaan. Workshop ini merupakan bagian dari aktivitas PUSHAM UII dalam agenda reformasi peradilan di Indonesia untuk inklusivitas peradilan bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini diselenggarakan secara online via Zoom. Dalam workshop ini, pesertanya ada 15 orang yang terdiri dari perwakilan PUSHAM UII, perwakilan Badiklat Kejaksaan Agung beserta pengajar-pengajarnya, dan perwakilan pegiatan disabilitas.
Dalam kegiatan workshop ini, PUSHAM UII mendiskusikan beberapa hal dengan Badiklat Kejaksaaan Agung, di antaranya (a) mendiskusikan pembuatan kurikulum, silabi, dan metode evaluasi terkait penguatan kapasitas aparat penegak hukum tentang peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas dan (b) masukan-masukan terkait substansi dan kerangka kurikulum, silabi, dan metode evaluasi yang tepat di dalam penguatan kapasitas aparat penegak hukum yang berinteraksi dan berhadapan dengan penyandang disabilitas. Berdasarkan workshop ini, PUSHAM UII bersama Badiklat Kejaksaan Agung menyepakati tiga poin penting, yaitu (a) terkait pembentukan tim internal penyusun kurikulum, silabi, dan metode evaluasi, (b) terkait workshop lanjutan untuk pembahasan draft kurikulum, silabi, dan metode evaluasi, dan (c) pemaparan.