BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru. Jauh melebihi substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dinilai lebih dekat dengan konsep ketidak-berdayaan. Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memposisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Ragam paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel  sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.

Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Kegiatan dilaksanakan pada hari kamis hingga sabtu, 20 – 22 Oktober 2016 di Jogjakarta Plaza Hotel yang beralamatkan : Jl. H. Affandi, Gejayan, Komplek Colombo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun jumlah peserta 35 orang yang terdiri dari: 2 orang hakim dari Pengadilan Negeri Wonosari, 2 orang jaksa dari Kejaksaan Negeri Gunungkidul, 13 orang dari Unit PPA dari seluruh Polsek di Gunungkidul, 18 orang Kapolsek dari seluruh Polsek di Gunungkidul

Tujuan dari kegiatan ini adalah :

  1. Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  2. Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  3. Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  4. Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Salah satu tugas dari kerja jurnalistik adalah mampu menyampaikan fakta kebenaran. Sedangkan kita sadari bahwa apa yang disebut ‘fakta’ tidak bisa berbicara pada dirinya sendiri. Setiap ‘fakta’ butuh diartikulasikan melalui medium diskursus teks bahasa. Setiap fakta mampu megungkap dirinya melalui kerja-kerja bahasa dan wacana. Namun demikian harus disadari pula, teks bahasa tidaklah pernah otonom dan netral. Kebermaknaan teks selalu akan berkait dengan dimensi antar teks dan berbagai dimensi konteks yang meliputinya. Maka setiap teks bahasa akan sarat dengan nilai dan kepentingan yang ada. Artinya, setiap teks tidak pernah netral pada dirinya. Selalu akan hadir ketegangan dari setiap kemunculan artikulasi teks bahasa.Di sanalah tersimpan tantangan yang sebenarnya bagi kerja-kerja jurnalistik.

Kerja jurnalistik selalu akan bergelayut dan berkelindan dengan berbagai ketegangan tersebut. Kerja jurnalistik kemudian membutuhkan seperangkat kemampuan dan daya kekritisan dari para penulisnya untuk sebisa mungkin mampu memahami dan menggunakan teks bahasa dengan benar. Asumsinya, kerja jurnalistik tidak sekedar mengambil teks bahasa yang tersedia atau memindahkannya dalam tulisan. Dalam kasus dan fakta yang samapun, akan selalu dibaca dan ditafsir beragam oleh setiap penangkap berita. Apalagi lebih jauh dari itu, setiap subjek penulis juga selalu akan dipengaruhi oleh berbagai kelindan kepentingan nilai yang dibawa. Nilai kepentingan tidak harus difahami sebagai sesuatu yang ‘negatif’.

Sama seperti halnya para aktifis pegiat HAM dan mereka yang bekerja dalam medan lapangan untuk mengadvokasi persoalan-persoalan masyarakat, mereka tidak hanya dituntut kemampuan teknis dalam mengorganisir kerja-kerja lapangan namun juga kerja-kerja riset dan investigasi untuk menjadi bahan landasan praktik dan aktifitas mereka. Kebutuhan membangun media dan sekaligus kerja-kerja penulisan yang berbasis riset amatlah penting. Kerja riset dan jurnalisme penulisan sangat membantu untuk memperkokoh dokumentasi dan juga temuan-temuan fakta bagi kepentiangan pembelaan masyarakat. Dengan begitu akan penting diakui bahwa dimensi jurnalisme dan aktifis HAM bukanlah sesuatu hal yang sama sekali terpisah.

Sayangnya seringkali, dimensi kualitas media dan kerja-kerja jurnalisme ini sering hanya menjadi suplemen dan belum dioptimalkan pada kerja-kerja advokasi HAM. Padahal, setiap pembacaan kasus apapun selalu membutuhkasn temuan fakta dan juga ketajaman narasi dalam mengartikulasikan fakta-fakta masalah yang ditemukan. Kegagalan merumuskan fakta masalah tentu saja juga akan berdampak pada kegagalan kerja selanjutnya. Setiap aktivis dan pegiat HAM tentu saja sangat penting untuk mempunyai kemampuan membangun perspektif dan skill mengorganisasikan temuan-temuan fakta yang didapay untuk membimbing rencana aksi selanjutnya.

Dalam rangka pertimbangan itu pula, maka sebuah proses belajar memahami aspek penting jurnalisme investigasi menjadi sangatlah berharga. Proses belajar jurnalistik ini tidak semata digagas untuk menunjang kemampuan teknis penulisan semata namun lebih jauh itu sebagai pengembangan perspektif lebih tajam untuk kerja-kerja jurnalistik ataupun riset investigas yang akan dilakukan oleh para aktifis dan pegiat HAM. Sebagai langkah awal, pengenalan mengenai sejauh apa yang dimaksud tentang jurnalisme investigasi HAM dan korelasinya terhadap kual;tas perjuangan pembelaan isu-isu HAM sangatlah penting untuk dilakukan.  Untuk itu Pusham UII Yogyakarta amatlah tertarik untuk menggel;ar kursus belajar awal tentang topik tersebut.

Tujuan Acara :

  • Ruang belajar bersama untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kritis tentang aspek-aspek Jurnalistik Investigasi isu-isu HAM bagi kalangan aktifis dan para pejuang HAM;
  • Memberikan perspektif dasar bagaimana praktik dan metodologi yang harus dikembangkan dengan benar oleh para jurnalis, penulis maupun para peneliti isu-isu HAM
  • Memberikan kemampuan skill jurnalistik pada para aktifis dan pegiat HAM untuk kiat-kiat dalam pengembangan kerja-kerja advokasi HAM secara lebih luas.

Adapun pembicaranya adalah : Pito Agustin Rudiana (JurnalisTempo dan Korwil III AJI) dan Osa Budi Santosa (Jurnalis Senior). Dengan Peserta: Mahasiswa, Akademisi, Jurnalis, Aktivis, Pegiat NGO dan masyarakat umum.

Acara dilaksanakan di hari Rabu, 21 September 2016 di Aula Seminar, Kantor Pusham UII, Yogyakarta dengan alamat: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No. 517A Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 55198 No telp. 0274-452032

Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Undang-undang terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel  sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.

Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Waktu dan Tempat Kegiatan

Hari      : Rabu-Jum’at, 7-9 September 2016

Tempat : Griya Limasan Niela Sary, Jl. Pramuka, Gg. Kecubung, Rt. 6 RW 16, Pandansari, Wonosari, Gunungkidul

Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:

  • Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  • Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  • Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  • Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Di pertengahan tahun 2016, Pusham UII melakukan penelitian selama satu bulan dengan isu besar “Pemenuhan Hak Atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas”. Penelitian ini pada dasarnya bukan kali pertama dilakukan oleh Pusham UII. Tahun 2014 penelitian yang serupa pernah dilakukan di Makassar dan Surakarta. Kali ini Gunungkidul dipilih menjadi lokasi penelitian dengan berbagai pertimbangan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan dasar 4 kasus faktual yang terjadi di Gunungkidul. Penelitian pun hanya dibatasi pada kasus-kasus pidana. Mengapa penting untuk mengkaji persoalan penyandang disabilitas dalam sistem peradilan pidana? Setidaknya terdapat 3 alasan yang mendasar. Pertama, penyandang disabilitas ialah orang-orang yang terklasifikasi memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu mereka seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hukum menjadi hal yang sangat urgen untuk dihadirkan sehingga dapat mengambil peran dalam bentuk dipenuhinya hak-hak mereka terutama ketika berhadapan dengan hukum (sistem peradilan pidana). Kedua, sistem peradilan pidana hanya memandang korban suatu tindak pidana, termasuk penyandang disabilitas tak lebih tak kurang hanya dilihat sekedar saksi. Pendefinisian saksi menjadi gap bagi penyandang disabilitas mengakses sistem peradilan itu sendiri. Ketiga, kurangnya kapasitas aparat penegak hukum yang sensitif dan ramah difabel. Maka untuk mewujudkan peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas basisnya ialah mengurai persoalan-persoalan mendasar tersebut.

Hasil yang didapat dalam penelitian selaras dengan persoalan diatas, terkonfirmasi dalam berbagai temuan lapangan. Berbagai temuan-temuan menarik muncul, mulai dari hal-hal yang sifatnya teknis sampai hal-hal yang sifatnya substantif. Misal, ialah bagaimana menjembatani gap komunikasi perempuan korban perkosaan yang notabene penyandang disabilitas mental retardasi ketika menjalani BAP. Atau kasus perempuan korban perkosaan dengan kondisi korban yang menggunakan kursi roda. Apakah gedung-gedung peradilan di setting untuk aksesibel bagi mereka? Dua kasus tersebut hanyalah bagian kecil persoalan ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, padahal kebutuhan penyandang disabilitas berbeda satu sama lain.

Narasi dari berbagai narasumber penelitian makin memperjelas hambatan-hambatan yang dihadapi dari penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Persoalannya, apakah hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas kemudian diatasi demi mendekatkannya pada ruang-ruang keadilan, ataukah didiamkan berdiri kokoh. Seminar “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas di Gunungkidul” ialah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan di Gunungkidul. Dalam seminar hasil penelitian akan dihadirkan pula Kapolres, Kajari dan KPN Gunungkidul untuk merespon dan sharing pengalaman ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai korban, saksi ataupun pelaku.

Waktu dan Tempat
Waktu    : Selasa, 6 September 2016
Tempat : Niela Sary Resto dan Catering, Jl. Wonosari-Jogja Km. 2.5, Siyono, Gunungkidul.

Peserta terdiri dari berbagai elemen: polisi; jaksa; hakim; BAPAS/Balai Pemasyarakatan Klas II Wonosari; P2TP2A Gunungkidul; Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gunungkidul; Dinas Kesehatan Gunungkidul, Guru-Guru SLB di Gunungkidul, FKDG (Forum Komunikasi Difabel Gunungkidul), PD Muhammadiyah Gunungkidul, PC NU Gunungkidul, SIGAB, SAPDA, Ciqal, Handicap International, PKBI Gunung Kidul.

Tujuan Kegiatan

  • Pemaparan hasil penelitian “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair di Gunungkidul”.
  • Berbagi pengalaman atau Best Practices Aparat Penegak Hukum ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku.

Pemerintah Indonesia belum lama ini telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan pada banyak aspek pelayanan publik demi terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas. Pelayanan tersebut terkait pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan dan juga di bidang pelayanan hukum. Pelayanan hukum ini terkait dengan terpenuhinya hak-hak hukum penyandang disabilitas seperti hak atas kewarganegaraan, hak untuk mendapatkan pelayanan akses perbankan dan juga hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, secara umum hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas pada proses peradilan ada dua hal, yaitu hambatan fisik dan hambatan non fisik. Oleh karenanya, pengadilan harus mulai memenuhi aksesibilitas, baik fisik maupun non fisik, dalam rangka memenuhi hak-hak penyandang disabilitas pada proses peradilan. Aksesibilitas fisik berkaitan dengan kewajiban peradilan untuk memastikan bahwa sarana fisik seperti gedung pengadilan, ruang sidang, berkas acara pemeriksaan, surat dakwaan maupun tuntutan, aksesibel bagi penyandang disabilitas. Gedung bertingkat dengan lantai berundak yang tajam pastilah menyulitkan pengguna kursi roda untuk mengakses peradilan. Berkas dakwaan dan tuntutan dalam bentuk hard copy pasti akan menyulitkan bagi penyandang disabilitas netra untuk membacanya. Debat persidangan yang berbahasa rumit pasti akan menyulitkan penyandang disabilitas intelektual untuk memahami dakwaan atau tuntutan bagi mereka.

Sedangkan aksesibilitas non fisik terkait bekerjanya prosedur hukum yang dapat memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini terkait misalnya bagaimana orang tuli dan bisu dapat memberikan keterangan di pengadilan, bagaimana aparat penegak hukum berkomunikasi dengan mereka, dan juga bagaimana substansi hukum mampu memberikan jaminan atas kebutuhan spesifik mereka.

Berangkat dari beberapa alasan di atas, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) bekerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Mahkamah Agung (PUSDIKLAT MA) akan menyelenggarakan workshop dalam rangka menyusun kurikulum pendidikan dan latihan bagi hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung. 

Kegiatan dilaksanakan di Grand Mercure Jakarta Harmoni. Pada hari Kamis hingga Jumat, 1-2 September 2016. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah:

  • Berbagi pengetahuan tentang bagaimana pelayanan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas pada proses peradilan.
  • Merumuskan materi-materi penting yang akan dijadikan kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi hakim.

Sistem pendidikan di Akademi Kepolisian (AKPOL) bertujuan untuk  mewujudkan terciptanya sosok Perwira Polri yang ideal, dilaksanakan melalui aspek kegiatan pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan. Mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Sistem Pendidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengasuhan diartikan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan Gadik pada satu lingkungan belajar untuk membentuk sikap, mental, moral, dan perilaku terpuji. Pengasuhan pada Akademi Kepolisian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pengasuh dan Taruna Senior sesuai lingkup tugas dan tanggungjawabnya dalam bentuk pembinaan, bimbingan, dan pengawasan kepada Taruna secara terencana dan konsisten untuk menjadikan Taruna sebagai pribadi unggul, berilmu ilmiah, beramal amaliah, memiliki kompetensi sebagai anggota Bhayangkara, memahami Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Pedoman Pengasuhan Taruna AKPOL.

Secara umum, pengasuhan memiliki tujuan untuk merubah, membentuk, menumbuhkembangkan, membulatkan, mematangkan, dan mendewasakan sikap perilaku Taruna untuk menuju Perwira Polri yang ideal. Untuk menjamin bahwa pola pengasuhan yang diberikan sesuai dengan tujuannya dan secara efektif dilaksanakan, maka perlu dilakukan evaluasi yang juga merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan di AKPOL.

Sistem evaluasi merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk memberikan umpan balik dan perbaikan terhadap keberhasilan sistem pendidikan di AKPOL. Tenaga ahli kami siap membantu dan mendampingi dalam penyusunan dan penerapan sistem evaluasi pola pengauhan berbasis karakter di AKPOL.Kegiatan Workshop “Penyusunan Kurikulum Pola Pengasuhan Taruna Akademi Kepolisian Berbasis Karakter” dilaksanakan di Hotel Grand Edge Semarang, 23 – 25 Agustus 2016.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top