WORKSHOP DAN SEMINAR TENAGA PENGASUH AKPOL “Democratic Policing: Penerapan Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia Dalam Pengasuhan Taruna”

Polisi demokratis memiliki makna sebagai Polisi yang menghargai hak-hak sipil, tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan good governance serta melakukan pemolisian modern (community policing). Demikianlah prinsip dasar dari pemahaman Pemolisian Demokratik (Democratic Policing) yang menjadi konsen dari pengembangan institusi kepolisian modern ke depan. Dalam beberapa kesempatan konsep dan bagaimana pemolisian demokratik harus dilakukan, telah disampaikan oleh pimpinan Polri. Gagasan ‘Pemolisian Demokratis” memang selaras dengan cita-cita reformasi kepolisian terutama membentuk polisi yang lebih menghargai prinsip-prinsip demokratis yang bisa bisa selaras dengan pengembangan polisi masa depan yang lebih modern.

Beberapa refleksi terhadap grand strtategi reformasi kepolisian memang masih banyak ditemukan problem mendasar yang dialami kepolisian. Tingkat kepercayaan masyarakat atas tindakan dan perlakukan pelayanan kepolisian memang masih rendah. Beberapa hal sering berpusat pada berbagai kasus tindakan kepolisian yang dirasa masih jauh dari sipirit dan cita-cita polisi demokratis yang menghargai martabat manusia. Ada tugas yang cukup besar bagi tubuh institusi kepolisian untuk menggarap polisi demokratis. Ada beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan, yakni prioritas pelayanan, bertindak sesuai ketentuan hukum, melaksanakan tugas dengan prinsip akuntabilitas, serta melindungi hak asasi dan transparan.

Dari beberapa hasil riset seringkali ditemukan kecenderungan yang sama yang menyebutkan bahwa kualitas penyajian layanan (quality of service delivery) masih belum optimal. Dalam beberapa kecenderungan didapatkan temuan seperti tinggi rasa tidak aman masyarakat, pelayanan dipersepsi oleh masyarakat justru mempersulit, kehadiran anggota polisi dirasakan oleh masyarakat berkesan mengancam, kecenderungan ‘dark number’ yang cukup besar, tingginya pelanggaran hukum dan etika oleh anggota Polri, dan citra anggota Polri yang masih dianggap negatif di mata masyarakat.

Transformasi dari karakter pemolisian yang konvensional ke yang modern menjadi sangat penting. Poin perubahan tersebut memang harus diakui masih dalam proses pembentukan. Pemolisian demokratik akan lebih menawarkan sebuah wajah karakter kepolisian yang mampu berdiri dalam tugas dan perannya tanpa menghilangkan prinsip besar penghargaan martabat manusia yang dijunjung dalam Hak Asasi Manusia.  Beberapa perilaku buruk seperti tindakan represi, kekerasan dan perilaku ketidakprofesionalan kepolisian adalah wajah dari polisi konvensional yang segera harus ditinggalkan. Karena sejauh apapun tindakan kepolisian tanpa mengindahkan tingkat simpati dan kedekatan masyarakat, maka polisi akan mengalami berbagai kesulitan besar dalam kerja-kerjanya, Ditegaskan oleh Oegroseno bahwa pemolisian demokratis secara otomatis juga menempatkan hak asasi manusia (HAM) di tempat terhormat. Dalam mewujudkan tertib hukum dan keadilan hukum, HAM menjadi penjuru setiap upaya Polri dalam menjalankan tugasnya.

Hadirnya kebutuhan transformasi ke arah ‘Pemolisian Demokratik’ memang diakui juga karena ada tantangan konteks dimensi luar yang mendorong polisi harus mengalami pembaharuan. Tentu saja tantangan itu bisa berasal dari berbagai dinamika sosial politik, ekonomi, perkembangan teknologi, hubungan internasional, perkembangan bentuk-bentuk kejahatan dan juga nilai-nilai konvensi internasional yang semakin berkembang dan mempengaruhi Indonesia. Bahkan dimensi perubahan kecil yang sekiranya dahulu dianggap sepele bisa saja mempengaruhi dimensi tugas kepolisian secara keseluruhan. Perubahan iklim misalnya, akan berdampak pada kehidupan dasar petani sehingga mengalami kesulitan pertanian. Saat gagal panen misalnya maka akan mendorong sebuah kondisi kemiskinan penduduk yang akan menjadi salah satu pemicu dari situasi keamanan dan konflik sosial. Cara baca semacam di atas tentu saja menjadi kewajiban mutlak bagi institusi kepolisian dan seluruh jajaran personilnya untuk dipakai sebagai kunci atas seluruh nalar tindakan mereka. Jika tidak, maka bisa dipastikan institusi kepolisian akan gagap dan ketinggalan jaman dan selalu akan hidup dalam nalar konvensional yang jauh dari tuntutan jaman.


Menuju Reformasi Kepolisian Yang Lebih Maju

Sudah lebih dari satu dasa warsa sejak reformasi bangsa ini bergulir, harapan terhadap perubahan citra, reformasi dan praktik kinerja di tubuh kepolisian masih amatlah tinggi. Tidak dipungkiri seiring perkembangan dan dinamika republik yang makin kompleks, tugas kepolisian amatlah besar. Sebagai salah satu tiang penting penyangga hukum, ketertiban dan pelayan masyarakat, institusi kepolisian tidak hanya dihadapkan pada tugas fungsional yang diformat dalam aturan-aturan normatif belaka. Kepolisian  juga mengemban mandat besar untuk menjadi mitra masyarakat dalam menghadapi problem-problem di sekitar masyarakat yang semakin besar.

Fungsi kerja kepolisian meliputi juga ‘mandat sosial kultural’ yang kompleks untuk menjawab pekerjaan kemanusiaan yang lebih luas. Pengayoman yang menjadi jargon harus benar-benar terimplementasi dalam praktik bukan sekedar norma-norma rujukan yang kering kenyataan. Dalam menjalankan pekerjaannya polisi tidak hanya dapat berlindung di belakang ketentuan tugas yang harus dilaksanakannya, melainkan juga diharapkan kepada persoalan tentang bagaimana tugas itu dijalankan secara benar.

Sesuai grand strategi Polri 2005-2025 dengan tekanan membangun kepercayaan masyarakat pada 2005-2010, menjalin kemitraan 2010-2015, serta pelayanan prima 2015-2025, maka seluruh personel dan lembaga Polri perlu benar-benar harus mampu mengaktualisasikan reformasi instrumen, reformasi struktur, dan reformasi kultur Polri. Tentu saja sebagai sebuah proses berbagai persoalan tantangan dan hambatan masih selalu bisa dirasakan. Tantangan terberat justru lebih hadir pada kondisi perubahan sistem dan struktural dalam kepolisian sendiri. Masih banyak yang menganggap bahwa ‘pemolisian demokratik’ masih merupakan angan-angan utopis di atas kertas. Namun  tidak sebagian dari para petiunggi kepolisian dan juga masyarakat sangat optimis bahwa reformasi perubahan ini bisa dilakukan.

Dilema-dilema dalam tataran konsep dan praktik memang kadang menggelayut menjadi satu pertanyaan-pertanyaan kecil yang perlu diluruskan. Pada praktik penerapan pemolisian sipil atau pemolisian demokratik seringkali selalu akan menyentuh proses pertanyaan tentang bagaimana dengan tindakan tegas (beberapa kasus harus menempatkan tindakan kekerasan) dikaitkan dengan  pemolisian demokratik yang memang harus jauh dengan watak kekerasan? Kebingungan-kebingungan ini masih bisa dirasakan pada tingkatan operasionalisasi. Dalam konteks aktualisasi hak demokrasi, posisi dan tugas polisi acap kali memang sulit. Kesulitan itu merupakan problem ilmiah kongkrit yang menjadi tantangan, meskipun pada aspek-aspek tertentu sering menjadi pembenaran atas kemalasan para oknum kkepolisian untuk penerapan pemolisian yang lebih demokratik.

Dalam gagasan konsepsi tentang ‘Pemolisian Demokratik’ yang dikembangkan oleh Travis (1998), ada beberapa item catatan penting mengenai karakteristik dari cita-cita pemolisian demokratik tersebut. Diantara hal-hal yang penting itu adalah : Pertama, polisi harus harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; Kedua, polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan; Ketiga, polisi harus mempunyai prioritas utama dalam mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat; Keempat, polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat; Kelima, bahwa perlindungan yang diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari operasi polisi yang lain; keenam, tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia serta Hak Asasi Manusia; Ketujuh, dalam pelaksanaan tugasnya polisi hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.


Democratic Policing dan Model Pendidikan Akpol

Sekian gagasan dari ‘Pemolisian Demokratik’ seyogyanya juga harus mengikutsertakan pada perubahan pada dimensi yang lain. Dimensi yang sangat penting tentu saja adalah pola dan model pendidikan di Akademi kepolisian. Bagaimana calon pemimpin dan perwira kepolisian bisa menrapkan gagasan ini dalam praktik operasional di lapangan menjadi tugas yang sangat penting. Di Akpol sendiri ada tiga pilar penting yang membawa dampak seperti apa wajah dan karakter polisi yang dihasilkan. Ketiga pilar itu adalah : Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan. Masing-masing dari tiga pilar itu bersinergi untuk saling melengkapi dalam menyiapkan perwira-perwira muda dalam bertugas.  Dalam tiga pilar inilah konsep gagasan dan bentuk-bentuk metodologi bagaimana polisi harus bisa membentuk ‘Pemolisian Demokratik’ sangatlah strategis bisa dikembangkan di institusi pendidikan ini.

Kurikulum Akpol disusun berdasarkan pendekatan kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pendidikan dilaksanakan melalui proses pembelajaran, pelatihan dan pengasuhan dengan tujuan untuk membentuk Taruna menjadi anggota Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum yang profesional, modern dan bermoral. Lulusan Akpol diharapkan menjadi manajer tingkat pertama (first line supervisor). Dari gambaran itu saja, tentu kebutuhan pengembangan reformasi ke raha pemolisian demokratik harus beranjak dan dimulai dari dasar pengembangan pendidikanya.

Pola pengasuhan taruna dalam pendidikan akpol akan menjadi bagian krusial di dalam pembahasan ‘Seminar dan Workshop’ kali ini.  Tak untuk memperkecil pilar yang lain, pola pengasuhan memberi peran penting pada bentuk pengembangan watak dan karakter karena apa yang dikembangkan dalam ‘pola pengasuhan’ tak semata dalam kognisi semata melainkan pada aspek perilaku praktis dan sikap-sikap tertentu yang ingin dikembangkan Akpol. Tentu saja berhadapatn dengan gagasan besar ‘Pemolisian Demokratik’, harus ada sesuatu tekanan-tekanan prinsip dan model pengasuhan yang juga mengikuti prinsip-prinsip pemolisian demokratik tersebut. Poin ini menjadi tantangan dan juga kewajiban penting yang harus dikembangkan oleh pola dan model pengasuhan di Akpol. Bagaimana bentuk-bentuk pengembangan yang harus dikerjakan oleh pilar pengasuhan akan dielaborasi dalam ‘Seminar dan Workshop’ kali ini.


Tujuan Workshop dan Seminar:

  1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting akan prinsip dan nilai startegis bagi para pengasuh di pendidikan AKPOL Semarang dalam praktik pengembangan dan penerapan Pemolisian Demokratik (Democratic Policing);
  2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting mengenai berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan AKPOL Semarang dalam rangka penerapan dan pelaksanaan prinsip Pemolisian Demokratik;
  3. Memberikan berbagai bentuk pelatihan dalam merancang dan mempraktikan secara lebih kongkrit bagaimana pola pengasuhan di AKPOL bisa selaras dengan  harapan dan cita-cita ‘Pemolisian Demokratik’.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan:
Waktu : Rabu-Jumat, 16-18 Oktober 2013
Tempat : Santika Premiere Hotel Semarang.
 
Materi Acara dalam Workshop dan Seminar:

  1. 10 “HINDARI” &  5 ”JANGAN” DALAM PENGASUHAN TARUNA AKPOL (Perspektif Democratic Policing)   
    Pemateri :  Prof. Dr. Adrianus Meliala (Kriminolog Universitas Indonesia)
  2. PEMIMPIN YANG AMANAH
    Pemateri : DR. (HC) Ir. H. SALAHUDDIN WAHID
  3. Pedoman pengasuhan akademi kepolisian semarang
    Pemateri : KBP. Drs. H. ADNAS, MSi.
  4. Pengembangan Praktik dan Pola Pengasuhan AKPOL Menuju Democratic Learning
    Pemateri :  Dr. Mohammad Kemal Dermawan (Kepala Departemen Kriminologi FISIP UI)

Peserta    :      25 orang Tenaga Pengasuh Akademi Kepolisian Semarang

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top