Seminar Hasil Penelitian “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas di Gunungkidul”

Di pertengahan tahun 2016, Pusham UII melakukan penelitian selama satu bulan dengan isu besar “Pemenuhan Hak Atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas”. Penelitian ini pada dasarnya bukan kali pertama dilakukan oleh Pusham UII. Tahun 2014 penelitian yang serupa pernah dilakukan di Makassar dan Surakarta. Kali ini Gunungkidul dipilih menjadi lokasi penelitian dengan berbagai pertimbangan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan dasar 4 kasus faktual yang terjadi di Gunungkidul. Penelitian pun hanya dibatasi pada kasus-kasus pidana. Mengapa penting untuk mengkaji persoalan penyandang disabilitas dalam sistem peradilan pidana? Setidaknya terdapat 3 alasan yang mendasar. Pertama, penyandang disabilitas ialah orang-orang yang terklasifikasi memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu mereka seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hukum menjadi hal yang sangat urgen untuk dihadirkan sehingga dapat mengambil peran dalam bentuk dipenuhinya hak-hak mereka terutama ketika berhadapan dengan hukum (sistem peradilan pidana). Kedua, sistem peradilan pidana hanya memandang korban suatu tindak pidana, termasuk penyandang disabilitas tak lebih tak kurang hanya dilihat sekedar saksi. Pendefinisian saksi menjadi gap bagi penyandang disabilitas mengakses sistem peradilan itu sendiri. Ketiga, kurangnya kapasitas aparat penegak hukum yang sensitif dan ramah difabel. Maka untuk mewujudkan peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas basisnya ialah mengurai persoalan-persoalan mendasar tersebut.

Hasil yang didapat dalam penelitian selaras dengan persoalan diatas, terkonfirmasi dalam berbagai temuan lapangan. Berbagai temuan-temuan menarik muncul, mulai dari hal-hal yang sifatnya teknis sampai hal-hal yang sifatnya substantif. Misal, ialah bagaimana menjembatani gap komunikasi perempuan korban perkosaan yang notabene penyandang disabilitas mental retardasi ketika menjalani BAP. Atau kasus perempuan korban perkosaan dengan kondisi korban yang menggunakan kursi roda. Apakah gedung-gedung peradilan di setting untuk aksesibel bagi mereka? Dua kasus tersebut hanyalah bagian kecil persoalan ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, padahal kebutuhan penyandang disabilitas berbeda satu sama lain.

Narasi dari berbagai narasumber penelitian makin memperjelas hambatan-hambatan yang dihadapi dari penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Persoalannya, apakah hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas kemudian diatasi demi mendekatkannya pada ruang-ruang keadilan, ataukah didiamkan berdiri kokoh. Seminar “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas di Gunungkidul” ialah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan di Gunungkidul. Dalam seminar hasil penelitian akan dihadirkan pula Kapolres, Kajari dan KPN Gunungkidul untuk merespon dan sharing pengalaman ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai korban, saksi ataupun pelaku.

Waktu dan Tempat
Waktu    : Selasa, 6 September 2016
Tempat : Niela Sary Resto dan Catering, Jl. Wonosari-Jogja Km. 2.5, Siyono, Gunungkidul.

Peserta terdiri dari berbagai elemen: polisi; jaksa; hakim; BAPAS/Balai Pemasyarakatan Klas II Wonosari; P2TP2A Gunungkidul; Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gunungkidul; Dinas Kesehatan Gunungkidul, Guru-Guru SLB di Gunungkidul, FKDG (Forum Komunikasi Difabel Gunungkidul), PD Muhammadiyah Gunungkidul, PC NU Gunungkidul, SIGAB, SAPDA, Ciqal, Handicap International, PKBI Gunung Kidul.

Tujuan Kegiatan

  • Pemaparan hasil penelitian “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair di Gunungkidul”.
  • Berbagi pengalaman atau Best Practices Aparat Penegak Hukum ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku.
id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top