Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-Undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan berkat kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Senin-Kamis, 23-26 Maret 2015
Tempat : Hotel Santika Mataram, Jl. Pejanggik No. 32, Mataram, Lombok, NTB
Jumlah peserta 30 orang yang terdiri dari 10 orang penyidik polisi, 10 orang jaksa dan 10 orang adalah hakim dengan masa kerja maksimal 10 tahun. Seluruh peserta berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan pembagian sebagai berikut: 8 orang hakim dari pengadilan negeri di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang hakim dari pengadilan negeri wilayah Nusa Tenggara Timur. 8 orang jaksa dari kejaksaan negeri di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang jaksa dari kejaksaan negeri wilayah Nusa Tenggara Timur. 8 orang penyidik polisi dari kepolisian resor di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang penyidik polisi dari kepolisian resor wilayah Nusa Tenggara Timur.
Pelatihan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI).