OPINI & RESENSI

Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia

1 April 2009

Tri Guntur Narwaya, M.Si

IDENTITAS BUKU :

Judul buku                    : Urban Sufisme
Editor                               : Martin Van Bruinessen & Julia Day Howel
Kaya Pengantar         : Azyumardi Azra
Penerbit                          : Rajawali Press, Jakarta
Tahun Terbit                 : 2008
Jumlah Halaman        : xii + 578 hal

“Keberhasilan ‘tarekat’ belakangan ini
dan kehadirannya yang terus meningkat
di kalangan kaum terdidik professional dalam
sektor masyarakat yang ‘modern’ dan
yang tengah melakukan ‘modernisasi’ 
umumnya tidaklah terduga  dan terkira
(John O. Voll)

Dalam mainstream literatur teori sosial, kita dikenalkan dengan ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ sebagai sebuah ekspresi keislaman yang didalamnya terkandung gagasan tentang dunia sebagai sebuah ‘emanasi’ dari Tuhan dan ‘paralelisme’ mikrokosmos dan makrokosmos. Ia juga bisa dimengerti sebagai perkumpulan sukarela yang para anggotanya bergabung dengan tujuan yang terkait dengan konsepsi tentang ‘kemaslahatan umat’. Beberapa kelompok ‘sufi’ membangun dengan pola-pola hirarkhi tarekat yang ketat tetapi tidak sedikit pula yang membangunnya dengan asosiasi yang lebih longgar. Kedekatan diri dengan Allah kerap kali dibangun dengan berbagai praktik seperti zikir, doa, menyebutkan sifat-sifat dan teknik-teknik olah tubuh olah batin lainnya lainnya seperti cara-cara ‘meditasi’ dan ‘kontenplasi’. Memelihara solidaritas, persahabatan dan kedekatan antara ‘syaikh’ atau ‘mursyid’ dan murid-murid  melalui pembelajaran pengutamaan tradisi dan perilaku yang benar merupakan karakteristik yang selalu dipraktikkan dalam kehidupan tarekat mereka. Meskipun batasan pengertian ini tidaklah sesuatu yang baku, minimal gambaran wajah inilah yang oleh awam kerap dipahami.

Tentu tidak terlalu asing untuk mengenal gerakan-gerakan cabang ‘sufisme’ dalam skala global yang popular seperti ‘Naqsabandiyah’, ‘Khalwatiyah’, ‘Tijaniyah’, ‘Qadiriyah’, ‘Ahmadiyah’, ‘Syadziliah’, ‘Mawlawiyah’, dan beberapa gerakan sufisme berpengaruh di tingkat lokal lainnya seperti ‘Syattariyah’ ‘Wahidiyah’ dan ‘Rida’iyah’. Nama-nama besar Syaikh sufi yang cukup terkenal bisa kita dapat seperti Ibnu Arabi, al-Jilli, Ghazali, Ahmad Kuftaru, Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rumi, Inayat Khan dan pemikir pembaharu sufisme lainnya seperti Hamka yang popular di Indonesia. Beberapa aliran besar ‘sufismer’ ini kemudian telah banyak berkembang dan bermetamorfosis ke  anak cabangnya di beberapa negara.

Beberapa komunitas dan gerakan Islam besar di Indonesia seperti Nahdatul Ulama (NU) misalnya, pada beberapa hal lebih toleran terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Garis batas yang dipegang sebagai prinsip penilaian bagi NU terletak pada  apakah tarekat sufi ini tarekat “mu’tabarah” atau tarekat “ghairu mu’tabarah”. Tarekat “mu’tabarah” dengan sendirinya adalah tarekat yang ‘sahih’ (benar)_karena memiliki pertalian hubungan guru-murid sampai nabi Muhammad Saw. Sebaliknya tarekat “ghairu mu’tabarah” dianjurkan untuk tidak diikuti untuk menghindari hal yang salah dalam menjalani hidup kesufian. Perkembangan kontemporer, sufisme baik “mu’tabarah” maupun “ghairu mu’tabarah” berkembang semakin luas terutama jangkaunnya di komunitas urban perkotaan. Ia membentuk format, pola dan relasi yang baru dengan perkembangan kemodernan saat ini. Bisa kita sebut  beberapa nama ‘mursyid’ terkenal dengan tarekat sufi  besarnya di Indonesia seperti KH. A. Shohibul Wafa Tajul Arifin yang memimpin Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawabarat;, KH. Asrori bin Muhammad Usman di TQN Kedinding, Surabaya, KH. Masyhuri Syahid di TQN Jombang Jawa Timur. Kita juga cukup akrab dengan berbagai model praktik sufi yang lebih popular dalam beberapa tahun ini dengan praktik zikir berjamaahnya seperti Majelis Zikir pimpinan Ustad Arifin Ilham, Majelis Zikir pimpinan H. Hariyono, Majelis Zikir As Samawat pimpinan KH. Saadi dan Majelis Zikir  Istirham pimpinan KH. Abdurrahim Rajiun. Neskipun tergolong ghairu mu’tabarah, tetapi para peminat dan pengikutnya cukup lumayan besar.

Namun demikian, tidak sedikit pandangan muslim masih melihat ‘Sufisme’ dengan karakterisasi ‘stereotipe’ dan ‘simplistik’ sebagai sebuah ekspresi keagamaan yang akan mengalami perubahan drastis berhadapan dengan situasi modernitas. Tesis ini sejalan dengan pandangan umum yang masih melihat ‘Sufisme’, ‘Tasawuf’ atau ‘Tarekat’ tidak sejalan dengan rasionalitas perubahan yang membawa pola-pola hidup yang lebih maju dan lebih modern. Tasawuf cenderung diletakkan sebagai yang ‘eksesif’, ‘kuno’, ‘tradisional’, dan sekaligus ‘mistis’. Keyakinan ini sejalan dengan beberapa pemahaman arus besar muslim terhadap ‘sufisme’ yang mengkatagorikan sebagai praktik kepercayaan yang bercampur dengan bid’ah, khurafat dan juga ‘taqlid buta’ terhadap para pemimpin sufi. Dalam laju modernitas, sufisme dianggap akan melenyap.

Pada kontroversi yang lebih keras, ‘Sufisme’ kerap mendapat serangan dan penentangan terutama oleh kelompok-kelompok  ‘salafi’ dan kelompok islam modernis dengan gerakan orientasi pemurnian islamnya. Menguatnya marginalisasi atas eksistensi keberadaan sufisme di Indonesia terjadi terutama pada peralihan abad ke-20 ketika terjadi penguatan gerakan ‘revitalisasi agama’ atas pengaruh kaum pembaharu Islam di Timur Tengah. Pengkarakterisasi ‘sufisme’ sebagai ‘islam yang tidak islam’ pernah cukup menguat pada saat-saat itu. Upaya revitalisasi ini didorong juga oleh spirit untuk membersihkan Islam dari pengaruh nilai-nilai yang dianggap ‘bukan Islam’. Atas semakin luasnya pertentangan ini, beberapa pengamat dan penulis tentang islam memprediksikan atas melenyapnya tradisi ‘Tasawuf’ dan gerakan ‘Sufisme’. Menurut beberapa pengamat tentang Islam, sufisme akan menghilang dan pudar juga seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi. Ruang emosional keislaman akan direbut oleh para ulama dan gerakan islam yang berpusat di kota. Asumsi ini relatif bertahan lama hingga sisa-sisanya masih terasa saat ini.

Jika membaca dan menengok lebih jauh tentang perkembangan ‘Sufisme’ di berbagai wilayah dunia, muncul beberapa keraguan atas kebenaran anggapan-anggapan tesis di atas. Gelombang modernisasi yang dikawatirkan akan melibas setiap ekspresi ‘kekunoan’ yang tidak sejalan dengan logika pikir modern ternyata banyak sisi justru memberi sumbangsih atas kelahiran ekspresi-ekspresi keagamaan baru dalam Islam. Adaptasi dan cara bertahan hidup telah ditunjukan dengan berbagai elaborasi praktik-praktik baru  ‘Sufisme’  yang berkembang semakin beragam.  Ada artikulasi praktik keislaman yang lebih luas dan menarik untuk dikaji lebih jauh ketimbang hanya diletakkan pada pandangan dikotomis semata. Perubahan yang dibawa oleh modernisasi banyak hal bertemu dengan berbagai kesalinghubungan konteks perubahan ekonomi, politik, kultural dan evolusi struktur-struktur kelembagaan lainnya. Dikotomi ‘simplistik’ yang menghadapkan ‘sufisme’ pada bentangan katagori ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’  tidak menarik lagi menjadi kunci analisis. Sebaliknya, sufisme dalam keragaman praktiknya bisa mengambil jarak atas modernitas dan tetepai banyak hal juga bisa adaptif terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.

Buku ‘Urban Sufisme’ merupakan bunga rampai gagasan dari beberapa peneliti tentang ‘Sufisme’ di beberapa negara. Khasanah tentang dinamika dunia ‘tasawuf’  yang  memberi pemetaan menarik. Pertama, Sufisme sebagai entitas keagamaan tidak bisa hanya diletakkan semata pada pemahaman-pemahaman yang ‘a-historis’, ‘homogen’ dan ‘dikotomik’. Ada keragaman ekspresi, ada kekhasan tradisi dan ada multi pandangan yang mendorong ‘Sufisme’ bertumbuh dan berkembang. Fakta kebertahanan ‘Sufisme’ ini satu sisi telah menantang perspektif lama dan sekaligus mengajak semua orang untuk mulai memahami kelangsungan signifikansi ‘sufisme’ di dunia modern dan kontemporer dengan lebih mendalam. Kedua, Sufisme dalam keterkaitan dengan modernisasi tidak harus dibaca secara ‘biner’ dan hadap-berhadapan. Dinamika dan pasang surut kehidupan ‘Sufisme’ tidak hanya disebabkan oleh variabel modernitas. Lahirnya berbagai ‘neo-sufisme’ bisa jadi adalah hasil tarik menarik dan saling pengaruh dari perubahan berbagai struktur dan sistem sosial lain yang ikut berubah. Buku ini sekaligus mau mangajak untuk perlunya konseptualisasi ulang tentang berbagai pandangan tendesnsius dan mapan terhadap watak ‘Sufisme’. Secara etis terlihat upaya mendudukan berbagai keragaman ‘Sufisme’ dengan upaya pembacaan dan pemahaman lebih kritis melampaui perdebatan-perdebatan yang cenderung deterministik. Ketiga, buku ini ingin memahamkan bahwa ‘Sufisme’ dalam ekspresi dan praktiknya tidak memiliki sikap politik yang doktrinal secara kaku. Ia tidak juga dipahami sebagai entitas yang tidak berubah. Ia berkembang dan berevolusi dalam persentuhannya dengan faktor-faktor internal maupun eksternal. ‘Sufisme’ juga tidak hanya mengutup pada satu mode dan keyakinan dasar tertentu. Ia bisa terbentang dari paling ‘puritan’ sampai yang paling ‘perenialis’. Ia juga bisa tumbuh bergerak dari yang paling konnservatif sampai yang paling adaptif dengan arus modernitas. Ia bahkan bisa bergerak melampauio batas ‘yang tradisional’ dan ‘yang modern’

Buku ini mengangkat beberapa hasil kajian riset penting dan menarik tentang ‘Sufisme kontemporer’ di beberapa negara seperti Mali, Mesir, India, Indonesia dan negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam beberapa aspek, buku ini mengajukan satu model pendekatan baru untuk melihat kembali hubungan yang lebih dinamis antara ‘Sufisme’, label-label ‘non sufi’, dan kondisi modernitas. Tidak hanya menjangkau komunitas-komunitas sufi lokal dan domestik, beberapa hasil riset lebih mengembangakan pada skala yang lebih luas yakni gerakan sufisme dalam skala internasional. Kuatnya perubahan eksternal dan penentangan yang bertubi-tubi atas eksistensi sufisme bukan menghentikan ekspresi keagamaan ini melenyap, ia dengan berbagai keunikan, kekhasan dan juga keragaman tradisi justru berkembang pesat. Di beberapa kehadirannya justru dimaknai sebagai cara-cara lebih stratagis untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dari gempuran budaya ‘non Islami’ yang semakin kuat. Sebagai halnya melakat pada konteks sosial historis, keberadaanya selalu berartikulasi dan bersentuhan dengan dinamika perubahan tersebut. Tesis tentang sekularisasi karena dampak modernitas dari beberapa pemikir tentang islam semakin terbantahkan dengan kemunculan wujud dan wajah ‘kebangkitan agama’. Sufisme bisa menjadi salah satu bagian entitas  penting dalam upaya ‘desekuralisasi’ dan penjagaan nilai-nilai keislaman yang termasuk sangat penting. Para sufi pasca-kolonial, seperti yang ditunjukan John O. Voll dalam halaman akhir buku ini menunjukan sebuah kecenderungan perubahan baru wajah dan pola ‘pemasaran agama’ yang lebih ditentukan oleh situasi objektif lingkungan sufisme berada.

Sumber :
Majalah Cetak ISRA PUSHAM UII. Edisi 06. Maret 2009

30 Desember 2008

Tri Guntur Narwaya, M.Si

IDENTITAS BUKU :

Judul Buku : Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia
Pengarang : Katharine McGregor
Penerbit : Syarikat
Tahun terbit : Mei 2008
Jumlah halaman : xxvii + 459 hal

Judul Buku : Sejarah untuk SMA Kelas XII
Pengarang : I Wayan Bradika
Penerbit : Penerbit Erlangga
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : vi + 282

Hitoriografi yang reflektif tidak saja
menguji secara kritis metodologi sejarah,
tetapi juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran
dan menyelidiki terbentuknya klaim kebenaran secara historis

(Henk Schulte Nordholt)

“Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam
dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian
dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu”.

(Paul Ricoeur)

Barangkali sedikit benar apa yang dilontarkan oleh Michael Sturner,  bahwa kepentingan mencipta “sejarah” bagi setiap penguasa adalah lebih menggambarkan betapa penulisan sejarah dan cerita-cerita yang dibangun merupakan salah satu cara penguasaan “ingatan kolektif” massa rakyat. Bagi Michael Sturner “Di negeri tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu”. Mereka yang dimaksud di sini tentu saja setiap penguasa yang memerlukan bentuk ‘legitimasi kekuasaan’ yang kuat dan permanen  yang mengandaikan setiap dukungan pendapat umum untuk proses kelanggengan kekuasaan.

Mengetengahkan cerita-cerita dan gambaran-gambaran sejarah masa lalu bagi penguasa adalah penting untuk membangun wacana  ‘ikatan relasioanal’ antara ‘yang silam’ dengan ‘yang kini’. Legitimasi ‘masa kini’ akan sangat ditentukan bagaimana ‘masa lalu’ kemudian dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Tidaklah mengherankan jika kemudian di mana-mana, penguasaan terhadap gambaran masa lampau dijadikan sebagai sarana pembenaran sistem yang dipakai sekarang. Sedikitnya ada 2 (dua) cara pengendalian narasi dalam sejarah yang juga berkait dengan modus kerja ‘narativasi’ dalam ideologi. Pertama, dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah, ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan-kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang selalu menyertainya. Kedua, bisa dilakukan dengan ‘kebisuan sejarah’ ini sangat menyangkut dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk negara. Ada banyak rahasia sejarah yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tersebut. Sering kali penguasa harus menggunakan payung aturan hukum yang resmi untuk mengontrol setiap usaha pembongkaran tersebut. Jika saja kekeliruan-kekeliruan dan manipulasi sejarah sampai terbongkar maka akan mengganggu legitimasi bagi penguasa.

Siapa yang mampu mengontrol dan mengatur wacana sejarah, dialah yang akan mampu membangun opini dan pendapat umum bagi masyarakat. Untuk kasus metode pertama  pengendalian sejarah maka penguasa benar-benar akan sangat teliti dan jeli bagaimana narasi-narasi dalam sejarah itu disusun dan diolah. ‘penipuan’ (dissimulation) adalah salah satu modus operandi ideologi di mana relasi dominasi dapat dibangun dan dipelihara dengan cara disembunyikan, diingkari atau dikaburkan, atau dihadirkan dengan cara mengalihkan perhatian dari atau memberikan penjelasan terhadap relasi atau proses yang sedang berlangsung.

Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung dibuat berang dengan hadirnya perubahan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan.

Buku “Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor tepat kiranya menjadi salah satu kajian yang amat penting untuk melihat historiografi sejarah Indonesia yang masih sarat dengan kekuasaan terutama kepentingan militer. Dalam berbagai catatan yang terbukukan sejak kekuasaan Orde Baru sampai sekarang, peran militer tetap masih  selalu hadir dominan dalam panggung sejarah nasional Indonesia. Di dalam genggaman kekuasaan, sejarah bisa menjadi sesuatu sarana ideologisasi yang amat strategis. Dalam tangan besi kekuasaan, sejarah bisa akan menjadi sosok yang mempunyai dua wajah sekaligus. Wajah yang satu mendewakan fakta yang dianggap akan mendukung berjalannya kekuasaan dan wajah yang lain telah membenamkan fakta-fakta yang dianggap mengganggu legitimasi status quo. Akhirnya sejarah bagi kekuasaan tidak jauh dengan prinsip “pelanggengan” dan “pelenyapan”.

Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor dengan jeli telah berupaya untuk mengungkapkan motif-motif dan kisah-kisah di belakang proyek-proyek sejarah yang diabngun militer. Bagaimana militer mampu dengan cerdik mengkonstruksi “masa lampau” adalah gagasan besar dalam buku ini. Buku ini sekaligus menggambarkan beberapa fakta perilaku politik di belakang “representasi” beberapa periode panggung sejarah yang penting di indonesia. Lebih jauh dari sekedar untuk menelisik dan sekaligus mengajak membaca “ingatan kolektif” tentang perjalanan sejarah Indoensia, McGregor justru sangat jeli untuk mengatakan bahwa sejarah indonesia selama ini tidak luput dari ketegangan-ketegangan dan proses-proses persaingan, dan dalam beberapa kasus adalah proses pembinasaan “sejarah yang lain”. Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya karena kekuasaan mampu melekatkan upaya ini dengan berbagai kebijakan seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, kurangnya kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan “militer” untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan  “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel.


Ketika “Sejarah” Tidak berpihak ke “Korban”


Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling ”primitif” yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ”dominasi wacana” tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang ingin diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar justru hanya akan menjadi biang bumerang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.


Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun ”interpretasi”. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapun yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.


Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi atas kepentingan ’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kepentingan itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.


Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.


Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat



Dialektika Sejarah : “Pelupaan” dan “Pengingatan”


Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.


Sejarah kembali lagi bisa menjadi medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepentingan tersebut. Sejarah yang kalah kemudian akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.


Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.


Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalananya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yang lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.

Harapan besar bagi upaya merekonstruksi sejarah secara lebih benar tentu paling kongkritnya adalah bagaimana kemudian “sejarah” ditempatkan secara lebih benar.  Dalam istilah yang lebih tepat seperti yang digagas oleh Heather Sutherland sebagai “historizing history” yakni menempatkan sejarah dalam konteksnya.  Tentu upaya ini terkesan sangat utopis melihat bahwa negara sekaligus adalah ”medan” dan ”ruang” ketegangan yang detik ini belum menunjukan upaya keperpihakan pada berbagai kepingan sejarah pinggiran yang sekian waktu dibenamkan.  Buku pendidikan sejarah pada umumnya juga masih menunjukan bias ideologis yang sangat kentara. Apa yang telah dipaparkan olej McGregor barangkali masih relevan, pendidikan sejarah dalam sekolah-sekolah masih lebih manampakan sebagai proyek ideologisasi ketimbang proyek pencerahan kesadaran kritis bagi siswa untuk memahami realitas hidup seharahnya secara lebih benar. Meskipun beberapa catatan metodologi pemaparan seharah mengalami perkembangan, pendidikan sejarah tetap saja cukup hati-hati dan bahkan menghindar untuk mengangkat “fakta-fakta kontroversial” yang detik ini masih belum. Dalam beberapa kasus seperti yang sepintas terlihat dalam buku pendidikan sejarah untuk SMA, sejarah-sejarah kontroversial yang seharusnya dilihat dan dibaca lebih proposional tetap saja diterabas sesuai dengan logika alur yang dominan dipakai dalam sejarah resmi sejak Orde baru. Ada fakta-fakta lain yang terus-menerus “disembunyikan” dengan berbagai pertimbangan yang lebih politis dan ideologis ketimbang alasan yang lebih  objektif dan rasional. Sejarah masih tidak mendekat pada sejarah mereka yang pinggiran dan mereka yang selama ini dihilangkan dan historiografi indonesia. Sejarah lebih menjadi catatan peristiwa yang tidak dirasakan hidup oleh rakyat. Sejarah menjadi mengasingkan diri dari jantung cita-cita kesadaran sejarah sebenarnya.  Satu faktor yang amat kentara adalah bahwa sejarah cenderung asyik berbincang hanya pada ”sejarah elite negara” dan sering berpaling pada ”catatan-catatan arus bawah” yang sebenarnya begitu amat kaya untuk dipaparkan. Sekali lagi, bukannya  sejarah bukan semestinya hadir hanya untuk para pemenang..!!!

Sumber :
Majalah ISRA PUSHAM UII
Edisi 2, November 2008

IDENTITAS BUKU :

1. Sepotong Surga di Andalusia
Penulis      : Maria Rosa Menocal
Penerbit   : Mizan, 2006
Halaman  : xix + 409 halaman

2. History of the Arabs
Penulis      : Philip K Hitti
Penerbit   : Serambi 2005
Halaman  : XII +  965

Ini adalah kisah yang diambil dari sebuah buku yang mengaggumkan. Judulnya menarik: Sepotong Surga di Andalusia (Kisah Peradaban Muslim, Yahudi, Kristen Spanyol Pertengahan…750-1482M) Buku ini ditulis oleh Maria Rosa Menocal. Seorang Profesor bahasa Spanyol dan Portugis di Yale University. Kenapa buku ini jadi memikat karena terdapat kisah sejarah yang mengaggumkan. Tentang bagaimana Islam tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang majemuk. Tentu ini bukan sekedar cerita mengenai buku ini melainkan juga bagaimana Andalusia jadi potongan sejarah yang pantas dipelajari. Masa silam  yang sekarang ini banyak dirindukan oleh sejumlah Gerakan Islam untuk dihidupkan kembali. Di samping jamuan utama buku ini, tulisan ini dilengkapi dengan tambahan data, dokumen dan artikel yang mengetengahkan Andalusia. Terutama karya besar Philip K Hitti, History of The Arabs. Bab tentang Spanyol dan keruntuhanya. Sebuah karya besar yang membedah sejarah Arab yang intinya ada dalam penyebar-luasan pengaruh Islam. Pujian berhamburan atas karya ini, selain kronologis, detail juga disampaikan dalam tutur kisah yang mirip dengan novel bersambung. Kedua karya ini menjadi panduan utama bagaimana melihat Islam di Spanyol. Masa keemasan yang telah membawa Islam sebagai ajaran yang terbuka, toleran dan melindungi minoritas. Masa gemilang yang membawa Islam dalam budaya pengetahuan yang mengaggumkan sekaligus mempengaruhi abad-abad berikutnya. Ini adalah pintu dimana Eropa menemukan kekayaan pengetahuan sebenarnya. Semangat yang kini menjadi penting untuk dihidupkan kembali dan menjadi relevan untuk ditengok. Setelah banyak kecaman, tuduhan bahkan segala bentuk kesangsian atas Islam. Juga perlu dilihat setelah banyak gerakan Islam selalu membaca masa lampau hanya dalam sudut pandang ’syariah’ dan ’khilafah’. Masa lampau ternyata lebih kaya ketimbang itu. Andalusia membuktikan masa lampau yang toleran, maju, terbuka dan penuh dengan karya-karya agung.

Sampai hari ini, aku tidak menemukan penghibur kesedihanku setelah kehilangan dirinya….
Aku tidak pernah dapat melupakan kenangan tentangnya
(Ibn Hazm)

Ketahuilah, tuanku, bahwa tanah kami disebut Sefarad dalam
Bahasa suci, sementara warga keturunan Ismail menamakanya Al-Andalus
Dan kerajaanya dinamakan Kordoba
(Hasdai ibn Shaprut)

Andalusia diibaratkan sepotong surga. Kota yang dipimpin oleh salah satu keturunan Bani Umayyah. Bersinar, melimpah dan memiliki kekayaan pengetahuan. Padahal kota itu tegak dari tangan seorang pelarian. Abd Al-Rahman masih muda dan nekat. Keturunan terakhir Dinasti Umayyah. Cucu Hisyam, khalifah kesepuluh Damaskus. Ditembusnya gunung pasir Afrika untuk menghindar dari pembantaian ganas dinasti Abbasiyah. Semua keluarganya musnah. Kala itu Abd Al-Rahman masih berusia awal dua puluhan tahun. Berlari ke arah barat menuju perbatasan yang sangat jauh. Menembus Palestina, Mesir dan Afrika Utara. Kebetulan ibunya salah satu keturunan suku Barber. Salah satu suku dari daerah yang kini populer dengan nama Maroko. Kesanalah Abd Al-rahman berlari. Di daerah yang disebut oleh kaum muslim sebagai ’Maghrib’ (Barat Jauh) kekuasaan Ummayah yang telah roboh coba ditegakkan.

Bukan seperti sebuah kisah persilatan yang pekat dengan adegan duel. Kekuasaan itu tegak memang lewat duel dengan penguasa lokal. Silih berganti terjadi peperangan. Tapi yang paling memukau adalah cara Abd al-rahman dalam menegakkan sekaligus memperluas kekuasaanya. Andalusia negeri yang bertahan tidak saja lewat serdadu. Lebih banyak oleh pertemuan kebudayaan. Lebih banyak oleh kemampuan untuk saling belajar. Anak muda pelarian itu bukan saja membuktikan sebagai penguasa. Dirinya membawa kecerdasan yang sempurna. F Scott Fitzgeralds, menyatakan kalau ’tes kecerdasan paling unggul adalah kemampuan untuk menyimpan dua ide yang bertentangan di dalam pikiran pada saat yang bersamaan’. Abd Al-rahman yang dijuluki sebagai ’elang Quraisy’ mampu meramu kedua kekuatan itu. Anak muda yang hidup dalam zaman pertengahan itu memilih untuk menjadi jembatan atas arus kebudayaan yang beragam. Disitu terdapat kaum Yahudi, Kristen dan Muslim yang hidup berdampingan. Abd Al-Rahman berada di titik temu beragam keyakinan itu. Dan sebagai penguasa pintar diramunya keberagaman itu menjadi kekayaan tak ternilai yang hingga sekarang dikenang oleh sejarah.

Kordoba salah satu kekayaan paling bernilai dari penguasa Ummayah. Salah satu kota Andalusia yang agung. Pameran kemakmuran dilukis dalam frase pemandangan di kota itu. Disana, terdapat: sembilan ratus kamar mandi umum dan puluhan ribu toko; ratusan atau mungkin ribuan masjid; air yang mengalir dari saluran air; jalan-jalan yang mulus dan penuh dengan penerangan……perpustakaan khalifah mengoleksi sekitar empat ratus ribu buku dan itu hanya salah satu dari tujuh puluh perpustakaan di Kordoba. Khalifah ini begitu sangat mencintai buku. Katalog perpustakaan Khalifah berjumlah 44 jilid dan katalog itu berisikan informasi tentang segala macam buku yang mencapai sekitar 600.000 judul. Dengan dasar budaya pengetahuan seperti itu tentu Andalusia mendapat julukan Hiasan Dunia (Ornament of The World)

Tanpa harus ada dakwah, propaganda dan bujukan terjadilah lonjakan pemeluk Islam secara besar-besaran. Bahasa Arab menjadi bahasa yang dikagumi dan bahkan melebihi kekuatan bahasa latin. Jika bahasa latin hanya digunakan untuk bahasa Kitab suci maka bahasa Arab jauh berdaya jangkau. Mereka menggunakanya untuk karya puisi. Mereka memanfaatkanya untuk menulis kajian filsafat. Dan tentu untuk mengetahui kandungan Qur’an. Kitab puitik yang menyimpan keindahan luar biasa. Ada julukan menggelikan pada penduduk Kristen yang tinggal di bawah pemerintahan Ummayah di Andalusia. Mereka menyebutnya ’Mozarab’ yang asalnya berarti ’aku ingin menjadi orang Arab’. Julukan yang menjadi simbol bagaimana terlindunginya orang Kristen di bawah penguasa muslim. Kedigdayaan bahasa Arab itu karena bahasa itu telah membawa bersama semua ilmu pengetahuan, mulai dari puisi hingga filfasat, yang memuaskan dahaga para pecinta pengetahuan.

Situasi ini juga memikat warga Yahudi. Mereka juga tinggal di Andalusia. Mereka memilih untuk berbaur dengan kebudayaan Arab-Islam Umayyah sekaligus tetap menjadi anggota komunitas Yahudi. Jaminan praktek beribadat yang mengaggumkan. Di Andalusia mereka tetap diperbolehkan menjalankan agamanya dengan menggunakan bahasa asli. Bahasa Ibrani. Tanpa diganggu, dianiaya apalagi dituduh sesat. Bahkan salah satu tokoh Yahudi, Hasdai, bisa menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri.Ingat, Perdana Menteri! Sebuah keadaan yang tidak begitu saja hadir, tanpa tangan toleransi dan sikap terbuka. Jabatan Hasdai yang juga seorang ulama Yahudi dan dipercaya sebagai editor beberapa karya pengetahuan membawa Andalusia dalam kemajuan yang berarti. Hingga akhirnya pada 929 M Abd Al-Rahman III yang juga merupakan cucu ketiga memproklamirkan diri sebagai pemimpin orang beriman (amir al-muminin) dengan dibantu perdana menteri orang Yahudi, Hasdai ibn Shaprut. Puncak pengaruh yang bisa dikatakan sebagai cara untuk menyatakan bahwa Andalusia tidak lagi tunduk pada Dinasti Abbasiyyah yang ada di Baqdad.

Proklamasi kekuasaan memberi sinyal dan tugas. Bagi Abd Rahman III, bukan deklarasi yang utama, melainkan bagaimana orang sepenuhnya mengerti bahwa memang layak Andalusia dijadikan sebagai kiblat dunia. Cita-cita yang kemudian didasari dengan curahan kebijakan yang dipusatkan pada pengembangan estetika, materi dan intelektual. Program kemajuan yang didanai dan didukung sepenuhnya oleh kerajaan. Salah satu perhatian utama adalah pembangunan kastil yang dinamai Madinah Al-Zahrah (Kota Al-Zahrah) Bukan sekedar istana tapi kota yang dikelilingi istana dan taman. Kota yang didirikan untuk mengenang seorang selir yang dicintai raja. Ekspresi cinta yang mahal sekaligus fantastis. Philip K Hitti menuliskan panorama istana itu:

’…istana al-Zahra. Dimana untuk mempercantik istananya, ia mendatangkan marmer dari Numidia dan Kartago; tiang-tiang dan kolam dengan patung emas diimpor atau diperoleh sebagai hadiah dari Konstatinopel; 10.000 pekerja dan 1.500 binatang pengangkut bekerja menyelesaikan bangunan itu selama bertahun-tahun…..’

Maria Rosa Menocal mengandaikan tentang daya tarik kota Madinah Al-Zahrah ketika dirubuhkan di suatu hari pada 1009 M. Ia melukiskan sebuah pertanyaan yang begitu nyeri:

’orang pasti bertanya, manakah…yang paling memabukkan ketika rombongan tentara meruntuhkan tembok kota? Apakah gedung pertemuan dengan langit-langit yang terbuat dari emas dan perak, yang di tengah-tengahnya bergantung hiasan mutiara yang besar? Kolam air raksasa yang memantulkan kilau sinar matahri ke seluruh penjuru? Kebun binatang yang dihuni hewan-hewan buas dan langka dengan parit di sekelilingnya? Ratusan jenis kolam lainnya di setiap halaman gedung atau bangunan? Atau, mungkin, air mancur yang di tengah-tengahnya terdapat patung singa berwarna kuning kehitaman yang dihiasi mutiara?…

Begitu mengaggumkan kota itu hingga Philip K Hitti menyebut periode ini adalah masa terbaik. Andalusia kemudian disebut sebagai salah satu dari tiga pusat kebudayaan dunia, selain Konstatinopel dan Bagdad. Coba andaikan kita tinggal di salah satu kota yang dilukis oleh Philip K Hitti sebagai:

’…kota dengan 130.000 rumah, 21 kota pinggiran, 73 perpustakaan dan sejumlah toko buku, masjid dan istana…kota ini memiliki bermil-mil jalan yang rata yang disinari lampu-lampu dari rumah-rumah di pinggirnya, padahal, ’tujuh abad setelah periode ini, kota London hanya memiliki satu lampu umum…di Andalusia terdapat 27 sekolah gratis di Ibu Kota dan memiliki perguruan tinggi Universitas Kordova yang mendahului al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah Baghdad

…dan penguasa disana mengundang banyak Profesor untuk menjadi pengajar dengan diberi imbalan tinggi…sehingga para sarjana menyebut di Andalusia ’hampir semua orang bisa membaca dan menulis…’

Tidak hanya keindahan bangunan kota tapi juga bagaimana budaya pengetahuan hidup. Spanyol seperti pintu yang menghubungkan tradisi intelektual Yunani dan Barat. Melalui tangan para cendekiawan Islam melejit berbagai penemuan yang hingga sekarang masih berpengaruh. Para penguasa bukan hanya pintar di ladang pertempuran tapi juga pecinta seni dan pengetahuan. Abd Al Rahman selain pemuda pelarian yang nekad dan pintar juga seorang penyair. Tradisi berpuisi dirawatnya dan terdapat banyak seniman tinggal di Andalusia. Begitu juga Al Hakam penggantinya adalah khalifah yang begitu rakus pada buku. Para punggawa istana-kalau sekarang adalah PNS-punya pekerjaan utama: menjelajahi semua toko buku di Iskandariyah, Damaskus dan Baghdad. Mereka ditugaskan untuk membeli dan menyalin naskah. Khalifah sendiri membaca dan menelaah karya-karya itu. Bayangkan kekuasaan yang pejabatnya cinta pengetahuan dan rajanya rakus membaca.

Jika diringkas dalam kalimat sederhana memang wajar jika kekuasaan semacam ini kemudian melahirkan banyak penduduk pintar. Hampir kalau tidak dikatakan seluruhnya penemuan pengetahuan berhutang pada kehidupan Andalusia. Bidang apapun! Sekali lagi, di bidang pengetahuan apa saja!

Ali ibn Hazm adalah penulis terkenal dan memiliki keluasan pengetahuan. Tahu berapa banyak buku yang sudah ditulisnya? Banyak sejarawan menyebut tak kurang dari 400 buku tentang sejarah, teologi, hadis, logika dan puisi ditulisnya. Menariknya dari 400 karya,  yang paling populer adalah buku The Neck-Ring of the Dove, satubuku yang banyak bertutur tentang cinta. Ada 30 bab singkat yang masing-masing membahas suatu masalah atau tema, seperti :’Tentang orang-orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama’ ’Tentang Sinyal-Sinyal yang Terpancar dari Mata’ dan ’Tentang Pengkhianatan’. Wakh! Buku yang ditulis oleh seorang yang pernah ditunjuk sebagai Perdana Menteri dan kepercayaan Khalifah. Dalam artian sekarang, pejabat yang romantik dan pintar. Kelak semua kisah cinta dunia berhutang besar pada dasar-dasar kisah yang ditulis oleh para penyair, penulis dan sastrawan Andalusia Ali ibn Hazm.

Universitas Kordova salah satu tonggak arca pengetahuan memiliki semboyan yang populer hingga saat ini. Bunyinya: ’Dunia hanya terdiri atas empat unsur, pengetahuan orang bijak, keadilan penguasa, doa orang saleh dan keberanian ksatria’ Jurusan yang ada di kampus itu: astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan hukum. Semuanya gratis. Dari jurusan itulah muncul pasukan ilmuwan yang hingga hari temuanya masih kita pakai. Soal paling sepele sekaligus dasar pengetahuan adalah penemuan kertas. Diawali temuan dari Maroko kemudian menyebar ke Timur dan puncaknya di Spanyol. Industri kertas pertama di dunia ada di Kordova.

Kajian geografi yang mengilhami Columbus untuk melakukan petualangan banyak dipengaruhi oleh ilmu astronomi yang tumbuh dari Andalusia. Abu Ubayd in Abd al-Aziz al-Bakri yang karya geografinya berjilid-jilid berjudul al-Masalik wa al-Mamalik (Buku Mengenai Jalan dan kerajaan) telah mendorong lahirnya banyak catatan perjalanan. Juga kemajuan dalam bidang astronomi yang diedit, ditulis ulang dan mengkritik pengetahuan astronomi kerabat Muslim mereka di Timur. Salah satu tokoh terkemuka adalah Abu al-Qasim Maslamah al-Majriti yang menyunting dan mengoreksi astronomi yang disusun oleh al-Khawarizmi. Nama terakhir ini adalah pelopor pertama penggunaan angka. Kemajuan serupa ada di matematika, ilmu pengetahuan alam, botani, farmasi dan ilmu bedah. Tak habis-habis lembaran ini jika mau meringkas pesatnya kemajuan Andalusia. Singkatnya pengetahuan modern bertumpu pada dasar penemuan Andalusia.

Salah satu ilmuwan besar yang menulis sejarah sekaligus ilmu Kedokteran adalah Ibn al-Khatib. Salah satu teorinya yang ditulis dan berpengaruh hingga saat ini adalah teori penularan. Gagasan abad ke -14 yang di Barat masih misteri. Barat masih beranggapan penyakit yang mewabah adalah sihir dan kutukan. Pengandaian yang dibantah oleh Ibn al-Khatib. Ia menulis:

“Kepada orang yang berkata, ”Bagaimana kita bisa menerima kemungkinan penularan, sementara hukum agama menyangkalnya? Kami menjawab bahwa keberadaan penularan telah dibuktikan oleh sejumlah percobaan, penelitian, bukti-bukti inderawi, dan laporan-laporan terpecaya. Fakta-fakta ini menegaskan argumen yang nyata kebenaranya. Fakta penularan menjadi jelas bagi para peneliti yang memperhatikan bahwa seseorang yang menjalin kontak dengan seorang penderita akan menderita penyakit yang sama, sedangkan orang yang tidak menjalin kontak akan tetap sehat, dan bahwa penularan bisa terjadi lewat pakaian, gelas minum, dan anting-anting.”

Mohon diingat ini ditulis ketika masih abad 14. Saat fakultas kedokteran dan pengobatan alternatif belum menjamur seperti sekarang. Bukan teori penularan melainkan juga ilmu bedah. Ilmuwan yang bernama Khalaf ibn Abbas al-Zahrawi, menulis sebuah karya al-tashrif li Man ’Ajaz ’an al-Ta’lif (Pertolongan bagi Yang Merasa Kesulitan Memahami Risalah Besar) yang memperkenalkan dan menekankan ide-ide, seperti, membakar luka, menghancurkan batu dalam kandung kemih, serta kemestian vivisecton dan pembedahan. Tentu ilmu kedokteran berhutang besar pada karya ini.

Tidak itu saja, tetapi peninggalan paling berkesan dan berpengaruh ada di seni arsitektur. Tapak-kuda adalah arsitektur muslim-barat yang menjadi dasar bangunan-bangunan masjid maupun gereja. Juga yang fantastis adalah produksi tekstil dan pakaian mewah. Tenunan Spanyol yang merupakan peninggalan Andalusia dikonsumsi oleh bangunan gereja untuk menutupi patung para Santo. Sekaligus jubah kebesaran bangsawan Eropa berasal dari motif tenunan Andalusia. Namun yang tak kalah hebohnya adalah perkembangan seni musik. Model lirik Spanyol hingga hari ini menjadi dasar bagi musik pop daratan Eropa Barat. Malahan beberapa alat musik menjadi peninggalan terpenting saat ini. Rebab yang menjadi cikal bakal biola. Juga trompet kuno, tamborin, bahkan memperkenalkan gitar ke Eropa (bahasa arabnya qitarah, melalui bahasa Spanyol guitarra, asalnya dari bahasa Yunani) terompet (bahasa spanyolnya albaque, dari bahasa Arab al Buq) timbal (bahasa Spanyol atambal, dari bahasa Aranb al-thabl) dan kanoon (dari bahasa Arab qanun)

Mengapa ada kemajuan sehebat ini? Mengapa ada negeri yang begitu menjiplak utuh tatanan firdaus? Hingga seorang biarawati Hroswista mengungkapkan periode Andalusia sebagai ’Perhiasan Dunia’? apa yang membuat kemajuan dan kejayaan negeri yang begitu padat penduduknya dengan ilmuwan, budayawan dan tenaga medik unggulan?

Maria Rosa Menocal sang peneliti menyebut sebagai bertahanya kebaikan, atau toleransi yang produktif dan liberal. Jangan berprasangka dengan kata ini. Jawaban ini bukan kebetulan tapi melihat sejarah ’biografis’ pendiri awal dinasti ini. Abd Al Rahman datang dan menetap di Spanyol yang sudah dihuni oleh orang Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiganya berbaur, saling menghormati dan menyerap budaya unggulan masing-masing. Perbauran ini bukan semata-mata taktik politik tapi jalan masuk akal meraih kemajuan. Dengan antusias dikembangkan iklim kebebasan intelektual dengan memacu gerakan terjemahan besar-besaran. Sudah barang tentu ada polemik, kesangsian dan kekuatiran. Tapi itu semua roboh di bawah kekuasaan yang memuliakan kebebasan dan jaminan politik terhadap tradisi berfikir bebas.

Dalam bahasa Philip K Hitti para pemikir muslim Andalusia selalu menyatakan kalau, Aristoteles dianggap benar, Plato juga, Al Quran juga benar; tapi kebenaran hanya satu. Karenanya, dibutuhkan pengembangan metodologis untuk menyelaraskan ketiganya dan tugas itu dibebankan pada ilmuwan muslim. Tradisi intelektual yang terbuka, toleran dan bersahabat ini yang mampu mengakhiri periode zaman kegelapan Eropa. Hutang budi masyarakat Eropa sangatlah besar pada Andalusia. Maria Rosa Menocal memberi gambaran:

..upaya masyarakat muslim selama dua abad untuk memahami dan mengadaptasi alam pikiran Yunani telah mengintegrasikan kembali pandangan dunia zaman klasik yang vital menjadi suatu kebudayaan yang hidup….karya-karya ilmuwan Andalusia mengandung visi dasar yang dapat dicirikan sebagai upaya pembelaan terhadap kebebasan manusia. Keduanya memusatkan pada paradoks-paradoks agar iman dan akal dapat berkembang dalam domainnya masing-masing. Bukan iman atau akal yang harus menempati posisi lebih tinggi satu sama lain (karena hal ini pasti akan bermuara pada penindasan yang satu atas yang lain), melainkan bahwa akal dan iman memililiki tempat kedudukanya sendiri yang tidak dapat diganggu gugat dan cukup luas di atas satu meja tempat keduanya secara bersama-sama dapat menikmati jamuan kebenaran…’

Sebuah kalimat yang meluncur dari seorang yang terpesona pada keagungan Andalusia. Ilham akan kebebasan dan kerakusan pada pengetahuan. Sesuatu yang kini mulai redup, hilang dan ditanggalkan. Jejak itu kian dipangkas oleh keinginan untuk kembali pada kemurnian dengan menutup semua jejak pengaruh kemajuan. Andalusia tumbang karena gerakan pemurnian itu. Pasukan Muslim sendiri yang merontokkan kekuasaan Andalusia. Pasukan fanatis yang menginginkan gagasan kasar tentang penghentian pembauran. Mereka melihat ada ’kekesatan’ pada dinasti yang berlimpah, maju dan berkuasa. Iklim sekuler dalam kehidupan intelektual Andalusia dinilai sebagai pengkhianatan. Mereka lebih memilih menegakkan kekuasaan tidak dengan pena melainkan pedang. Dinasti Murabitun yang pada awalnya adalah paguyuban militer mengembangkan kekuasaan dengan membuang jauh-jauh tradisi intelektual. Masa itulah buku karya Al Ghazali dibakar habis. Kaum Yahudi bukan dilindungi tapi dimusuhi. Malahan mereka menumbangkan banyak raja kecil Yahudi. Keadaan tanpa kendali dan intrik yang terjadi dimana-mana mempercepat akhir kekuasaan Andalusia.

Ujung kisah ini diakhiri dengan kemenangan total raja Kristen, Ferdinand yang menikahi Isabella. Berada di bawah pengaruh pendeta yang merupakan kepercayaan sang Ratu, Kardinal Ximenez de Cisneros, diawali periode pembersihan yang mengerikan. Granada menjadi kota tempat dikuburnya semua karya-karya Islam. Pembakaran buku jadi kegiatan utama. Dan pemaksaan orang masuk kristen jadi kebijakan pentingnya. Siapa yang menolak akan dihukum mati. Keadaan mengerikan yang berlangsung sejak abad ke -11. Tentu kemudahan hancurnya itu semua karena perpecahan internal, perebutan kekuasaan dan kerakusan antar penguasa Islam sendiri. Lonceng kematian setelah mereka mulai meneguhkan kembali fanatisme dan membuang jauh-jauh iklim toleransi, kebebasan dan penghormatan pada akal sehat.

Andalusia adalah kenangan agung. Mengajak kita untuk memahami betapa beratnya beban kebesaran. Kemajuan pengetahuan, budaya dan ekonomi tidak saja memerlukan kekebasan. Dibutuhkan kekuasaan yang menanggalkan etos fanastisme dan keinginan untuk menyingkirkan yang lain. Kombinasi fanatisme Islam yang diwakili oleh orang Berber dari Afrika Utara-yang kemudian jadi pendiri dinasti Murabitun-bersama dengan pasukan ’salib’ yang keji, tanpa toleransi membawa kepunahan Andalusia. Kekuasaan itu saja tak cukup. Disambung periode fanatisme yang menggebu. Yakni kehadiran kaum al Muwahid-yang meruntuhkan dinasti Murabitun dan sama fanatiknya-yang bersamaan dengan pengaruh Paus Innocent III yang menggunakan kebijakan tangan besi. Sempurna sudahlah fanatisme yang berbalut agama itu hadir. Pedang, agama dan orang tolol berkomplot bersama.

Andalusia memberi pelajaran penting. Kebebasan ternyata memiliki musuhnya sendiri. Andalusia membenarkan dalil kalau fanatisme bisa menyembul tiba-tiba dan meluap begitu saja. Jika fanatisme kemudian merangkul kekuasaan maka yang bubar pertama kali adalah kemajuan pengetahuan. Dasar pengetahuan dianggap tak berguna dan kebebasan dikatakan sebagai kemunduran iman. Kedua buku ini adalah jendela untuk mengingatkan pada kita betapa bahayanya fanatisme dan luar biasanya anugerah kebebasan. Sebuah pelajaran yang begitu besar jika tidak dihiraukan. Karena Andalusia seperti menghidupkan kembali firman Allah:

’kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan kepada sekalian manusia: (karena) kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu beriman kepada Allah’(Qs Al Imran/ 3: 104)

Itulah ’cerita’ sekeping surga, Andalusia namanya!

Sumber :
Majalah ISRA’ PUSHAM UII
Edisi 1, November 2008

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top