OPINI & RESENSI
Renungan dan Analisis Singkat Pengurus
Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
Mengutip pendapat Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang bertujuan mengupayakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Maka kepentingan umum harus dileatakan lebih utama dari kepentingan pribadi dan ketika kepentingan pribadi yang utama maka sesungguhnya para pemegang kekuasaan telah menyalhgunakan wewenangnya. Sama halnya dengan fenomena korupsi yang telah melanda hampir semua negara di dunia merupakan bentuk peletakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.
Persoalan-persoalan korupsi selalu mengiringi dinamika kehidupan masyarakat dengan intensitas yang berbeda-beda tiap masanya. Catatan kuno tentang hal tersebut telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, dimana korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam bentuk suap menyuap, di Mesir, Babylonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno merupakan bentuk-bentuk korupsi yang ditemukan pada masa-masa itu. Namun seiring dengan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru perbuatan korupsi juga terjadi. Prilaku korupsi terdapat di dalam negara demokrasi, dalam negara diktator militer, disetiap tahap pembangunan dan segala jenis sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti yang terdapat di bekas Uni Soviet.
Oleh karena itu korupsi tidak saja ada di negara maju, tetapi juga terdapat di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di Negara-negara miskin korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi, dan mengerogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik.
Di negara maju akan menurunkan standar kehidupan dan mengerogoti keabsahan politik, di negara yang sedang mengalami masa transisi dapat mengerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Di negara berkembang akan mengalienasikan kepemimpinan politik dan semakin mempersukar adanya pemerintahan yang efektif. Pendeknya perbuatan korupsi dapat menjatuhkan suatu pemerintahan
Memahami Korupsi Politik
Dalam tulisannya dengan mengutip beberapa sumber penulis buku ini mengatakan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan politik baik karena dipilih maupun ditunjuk. Kedudukan politik para pelaku dapat sebagai presiden, kepala pemerintahan, para menteri, anggota parlemen yang seringkali mengunakan fasilitas dan kemudahan politis yang melekat dalam diri mereka. Korupsi politik dapat berbentuk tirani, penghianatan atau subversi, lobbyism, pembelian suara, kecurangan dalam pemilu, patronage dan favoritisme. Selain itu pelaku korupsi politik dapat bersifat individual, kelompok, kroni, keluarga, maupun rezim suatu pemerintahan.
Penyebab korupsi politik tentu bermacam-macam, dari yang bersifat sistemik hingga yang berisfat perilaku, yang kemudian menyatu dalam kekuasaan yang tanpa kontrol dari hukum, etika dan hati nurani. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini bahwa, nafsu politik kekuasaan yang buas, sarana dan prasarana ekonomi yang tidak transpasan, kontrol yang lemah, krisis moral para pemimpin, dan penegakan hukum yang lemah dimanfaatkan oleh pemegang kakusaan politik untuk melakukan tindakan-tidakan korupsi.
Dari sini terlihat bahwa korupsi politik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan etika. Kedua hal ini kemudian tidak mampu menjadi alat kontrol dalam proses-proses politik dan kekuasaan dalam suatu negara modern. Padahal dalam negara moderen kepatuhan terhadap hukum dan etika merupakan nilai moral tertinggi yang dapat memperkuat legitimasi kekuasaan di mata masyarakat.
Hukum dan etika akhirnya digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka bahkan tidak jarang digunakan sebagai instrumen untuk tindakan represif terhadap lawan-lawan politik. Seperti yang ditulis dalam buku ini bahwa intimidasi, ancaman, atau digiring ke penegak hukum merupakan suatu yang sering terjadi pada masa orde baru ketika masyarakat melakukan kontrol kritis terhadap prilaku para penguasa ketika itu sehingga hukum dan etika hanya menjadi simbol yang tidak bermakna.
Dalam konteks Islam penanggulangan korupsi politik telah dilakukan pada jaman Rasulullah, seperti diriwayatkan Abu Hamis As Sa’idi bahwa Rasulullah pernah memecat Ibnul Attabiyah pejabat pengumpul zakat dari kafillah Bani Sulaiman gara-gara menerima hadiah. Nabi juga melarang seorang pejabat menerima suap maupun hadiah. Di Jaman Kalifah Umar pernah ia memerintahkan Maslamah membagi dua kekayaan pejabat yang tidak wajar. Yang tercatat misalnya Gubernur Bahrain Abu Hurairah, Gubernur Mesir Amru Bin Ash, Gubernur Iraq Nu’man bin Ady, Gubernur Makkah Nafi’ bin Ammar Al Khuzai’i, Gubernur Yaman Ya’la bin Munabbib, Gubernur Kufah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Gubernur Syam Khalid bin Walid. Hal ini dilakukan karena Umar menduga bahwa penguasa berpeluang mendapatkan rejeki di luar kewajaran. Jika tak terbukti melakukan KKN, di akhir masa jabatan harta mantan pejabat itu di bagi dua, separuh diambil negara dan separuh di kembalikan tetapi jika harta itu terbukti di dapat dair KKN seluruh harta di sita negara (h.92-93)
Dampak Korupsi Politik
Praktek-praktek korupsi politik di banyak negara telah menempatkan pemegang kekuasan tertinggi sebagai pelakunya. Pemimpin Uganda Idi Amin; Mobutu Sese Seko dari Konggo; Jean Claude Duvalier dari Haiti; Jean Bodel Bokassa pemimpin Afrika Tengah; Zulfiqar Ali Bhutto pemimpin Pakistan; Augusto Pinochet pemimpin Chilie; Chun Do Hwan pemimpin Korea Selatan. Ini semua adalah gambaran tentang pelaku korupsi politk yang saat berkuasa adalah pemimpin negara tertinggi masing-masing.
Praktek-praktek korupsi para pejabat ini telah mengikis kredibilitas, mendelegitimasi kelangsungan kehidupan politik pemerintah serta menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi politik berimplikasi terhadap menurunnya kredibilitas pemerintahan baik secara nasional maupun internasional yang telah merugikan kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang menurut James C. Scott, adalah negara yang salah urus, dimana dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan yang merupakan akibat dari maraknya korupsi oleh pejabat negara . Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).
Membaca buku ini kita mendapatkan banyak informasi tentang korupsi politik yang terjadi di dunia internasional. Namun dibeberapa paragraf terjadi ketidak konsistenan yang dilakukan oleh penulis, salah satunya adalah dengan memasukan tentang pelanggaran berat HAM dalam buku ini, padahal sejak awal buku ini hanya membahas tentang korupsi politik dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran berat HAM. Selain itu ide yang melompat-lompat membuat kesulitan sendiri untuk memahami alur berpikir dari buku ini sehingga di butuhkan ketelitian dalam membacanya. Sebagai satu karya ilmiah yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor, buka ini mampu memberikan prespektif baru dari beragam soal tentang korupsi yang terjadi di banyak negara.
Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.
Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.
Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.
Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan
pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya,
“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)
Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.
Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260).
Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.
Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79).
Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.
Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.
Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan
“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip- prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.
Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber- sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.
Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158).
Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.
Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa ,
“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)
Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)
“dasar dari asas syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)
Berbagai polemik seputar konflik antara negara Palestina dan Israel seolah tak berujung. Sedemikian besar pengaruh konflik ini, sehingga berbagai negara merasa berkepentingan untuk turut campur dalam pertikaian ini. Bahkan, beberapa kali Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba tampil untuk menengahi persoalan tersebut. Namun, hal ini tak jua terselesaikan. Sebaliknya, konflik seolah semakin tak berujung dan Israel semakin sering melakukan penghancuran terhadap rumah-rumah milik warga Palestina. Berbagai protes dari negara lain ternyata tak diindahkan oleh Israel. Dengan dukungan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, tentara Israel semakin tegas menancapkan kukunya di Palestina.
Penderitaan masyarakat Palestina memang patut mendapatkan simpati. Ketidakadilan yang mereka alami sangat kasat mata, namun, mengapa ini tak juga terselesaikan? Jika memang tidak segera diselesaikan, korban akan semakin bertambah banyak, terutama dari kalangan sipil warga Palestina. Selain itu, kebencian terhadap Israel akan semakin menjadi-jadi. Hal ini sangat dirasakan oleh anak-anak Palestina yang semenjak kecil sudah harus berurusan dengan kebengisan tentara Israel.
Secara tematis, buku dengan rujukan antar konflik Irael dan Palestina sudah ribuan jumlahnya. Meski begitu, hadirnya buku karya Haris Priyatna ini membawa referensi baru bagi kita yang peduli terhadap konflik ini. Dengan teliti, Haris melakukan studi literatur dan menemukan banyak sekali sisi lain dari konflik bersenjata ini. “Sisi lain” inilah yang ia hadirkan. Buku ini menghadirkan beberapa tokoh yang boleh dikatakan berada dalam ambiguitas. Mengapa bisa dikatakan demikian?
Haris menemukan kenyataan, bahwa tidak semua bangsa Yahudi setuju dengan pendudukan Israel di tanah Palestina. Mereka yang notabene memang lahir sebagai seoranng Yahudi, secara terang-terangan malah membela warga Palestina. Mereka terdiri atas berbagai macam profesi. Selain para rabbi dari agama Yahudi ortodoks, mereka juga terdiri atas berbagai ilmuwan, diantaranya adalah Noam Chomsky yang dikenal berkecimpung dalam ilmu budaya dan masyarakat. Selain itu terdapat pula Amira Haas, seorang jurnalis, Illan Pappe, ahli politik dan masih banyak lagi yang lain. Mereka tergerak hatinya untuk membela warga Palestina karena ketidakadilan yang mereka hadapi.
Meskipun alasan yang mereka kemukakan berbeda-beda, namun pada intinya mereka sama. Mereka menolak intervensi yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Para Rabbi Yahudi yang masih memegang teguh pada kitab Taurat, menyatakan bahwa apa yang dilakukan Israel merupakan sebuah bentuk bid’ah. Para Rabbi agama Yahudi ortodoks ini menyimpulkan bahwa bangsa Israel yang
mencoba menduduki wilayah Palestina tidak sabar dalam menjalani ketentuan Tuhan. Oleh karenanya mereka menolak dengan tegas tindakan yang tidak berprikemanusiaan ini. Mereka juga menyeru kepada umat Muslim di dunia, bahwa orang Yahudi sebenarnya tidak memusuhi Islam.
Antara Yahudi dan Islam tidak berbeda jauh karena sama-sama percaya pada satu Tuhan. Adapun yang dilakukan bangsa Israel merupakan tindakan yang sama sekali di luar akal sehat manusia. Dengan sikap tersebut, mereka menolak stigma bahwa yang menduduki Palestina adalah kaum Yahudi. Bangsa Yahudi yang benar tidak melakukan tindakan semena-mena seperti itu. Mereka menyebut bangsa Israel yang menduduki paksa wilayah Palestina sebagai Zionis. Rabbi Yahudi Ortodoks yang berseberangan dengan kebijakan Israel ini banyak tersebar di saentero dunia, termasuk di Inggris, Amerika bahkan di Israel sendiri.
Lain halnya dengan para jurnalis, sebutlah seorang wanita bernama Amira Haas. Perempuan Yahudi ini rela hidup bersama dengan warga Palestina di wilayah Gaza. Ia prihatin dengan apa yang menimpa rakyat Palestina, yang hampir tiap hari disuguhi oleh tindakan kekerasan. Sebagai seorang jurnalis, tulisannya banyak tersebar di koran-koran terkemukan di dunia. Selain dimuat di koran Turki, ia juga menulis kesaksian di koran The Independent, Inggris. Kebetulan The Independent mau memuat tulisan Amira Haas, karena koran ini memang dikenal beraliran liberal dan tidak terlalu sepaham dengan kekuasaan kerajaan Inggris. Kepedulian yang luar biasa terhadap rakyat Palestina membuat wartawati warga negara Israel ini mendapatkan berbagai kehormatan. Diantara penghargaan yang disematkan kepadanya adalah Press Freedom Hero dari International Press Institute pada tahun 2000, penghargaan HAM Bruno Kreisky pada 2002, hadiah UNESCO/Gullermo Cano World Press Freedom pada 2003, dan penghargaan pengukuhan dari Anna Lindh Memorial Fund pada tahun 2004.
Selain Amira Haas, ada pria bernama Illan Pappe. Ia adalah pemikir di bidang politik warga negara Israel yang juga bersimpati kepada perjuangan rakyat Palestina. Ia dikenal sebagai dosen senior di Haifa University. Keberaniannya untuk menyuarakan pemboikotan terhadap tindakan Israel di Palestina membuatnya diusir dari kampus. Telepon yang berisikan ancaman selalu mengusiknya tiap hari. Pandangannya memang dikenal dengan slogan anti Zionis. Ia sangat menentang pendudukan Israel ke wilayah Palestina. Pandangan awalnya yang menyebabkan ia dituduh penghianat bangsa Israel adalah saat ia mengungkapkan sebuah kebenaran.
Menurutnya, pada tahun 1948, tentara Israel melakukan pembantaian di Desa Tantura, yang menjadi wilayah Palestina. Pembantaian itu menyebabkan ribuan orang meninggal dan belum ada satu orang ahli sejarahpun yang melakukan penelitian terhadap pembantaian tersebut. Boleh dikatakan bahwa, ia merupakan orang pertama yang mengatakannya di depan publik. Pandangan awal inilah yang membuat ia menjadi bahan cemoohan dimana-mana dan dicap tidak nasionalis. Namun, ia bergeming. Pendiriannya tetap bahwa sepahit apapun sebuah realitas, harus diungkapkan di hadapan publik agar sejarah mencatatnya sebagai sebuah kebenaran.
Tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Noam Chomsky. Ia merupakan intelektual paling kontroversial sejagat. Kiprahnya sebagai aktivis dan kritikus dimulai ketika ia giat mencela perang Amerika di Vietnam pada tahun 60-an. Setelah Vietnam, ia merambah ke balahan dunia yang lain. Ia mengecam keterlibatan Amerika Serikat di Guatemala atau El Salvador. Konflik Timur Tengah juga menjadi bahan kajiannya. Meski dirinya orang Yahudi, ia adalah seorang yang paling konfrontatif mempersoalkan pencaplokan tanah Palestina oleh bangsa Israel.
Apa yang dilakukan oleh Noam Chomsky mendapat tantangan dari banyak pihak, terutama dari Amerika Serikat dan Israel. Bahkan, Presiden Richard Nixon kala itu, secara terang-terangan memasukkan Noam Chomsky pada “daftar hitam” musuh negara. Dialah satu-satunya aktivis dan kritikus kebijakan Amerika Serikat yang masuk dalam daftar tersebut. Selain itu, ia kerap diserang secara langsung oleh pejabat tinggi di negara Amerika.
Selain Noam Chomsky, ada pula nama Sara Roy. Sara Roy merupakan seorang ilmuwan peneliti di Center for Middle Eastern Studies di Harvard University. Terlatih sebagai seorang ahli ekonomi politik, Sara Roy telah bekerja di jalur Gaza dan Tepi Barat sejak tahun 1985. Ia melakukan riset berkaitan dengan pembangunan ekonomi, sosial dan politik jalur Gaza dan tentang bantuan asing Amerika Serikat kepada wilayah itu. Walaupun kajiannya tentang ekonomi, Sara Roy sangat tajam melakukan kritik terhadap Israel.
Sara Roy menulis secara luas tentang ekonomi Palestina, terutama di Gaza, dan telah mendokumentasikan perkembangannya selama tiga dekade yang lampau. Penelitian terbarunya, yang
didanai oleh John D. And Catherine T. MacArthur Foundation, mengkaji sektor-sektor sosial dan ekonomi dari pergerakan Islam Palestina dan hubungan mereka dengan lembaga-lembaga politik Islam, dan perubahan-perubahan kritis terhadap pergerakan Islam yang telah terjadi selama tujuh tahun terakhir ini.
Sara Roy mengatakan bahwa perusakan ekonomi Palestina di bawah pendudukan Israel melebihi yang dialami wilayah jajahan lainnya. Hal ini karena tujuan dasar Israel bukanlah sekedar mengeksploitasi, melainkan untuk mencabut hak milik bangsa Palestina, mengosongkan sebanyak mungkin bagian dari wilayah pendudukan untuk permukiman khusus Yahudi.* * *
IDENTITAS BUKU :

JUDUL : Hegemoni Rezim Intelejen : Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad
PENULIS : DR. M. Busyro Muqaddas, SH. M.HUM
PENERBIT : PUSHAM UII (Cetakan Pertama Mei 2011)
TEBAL : 472 hlm.
Awalnya Komando Jihad adalah misteri. Penamaan, pembentukan sampai pada rekruetmen anggotanya penuh dengan pertanyaan yang sukar untuk dijawab. Dalam kurun waktu yang panjang, Komando Jihad seakan terbonsai dalam kabut misteri yang tak terungkap. Sampai kemudian muncul intelektual-intelektual yang terpanggil untuk melakukan penelitian yang investigatif. Pelan tapi pasti, misteri Komando Jihad itu mulai terbongkar dan menciptakan titik simpul yang meyakinkan tentang adanya rekayasa politik kekuasaan rezim orde baru. Umat Islam dijadikan kambing hitam demi membangun dinasti kekuasaan orde baru yang kuat, keras, dan monolitik. Ideologi pembangunan era Orde Baru meniscayakan stabilitas politik, keamanan, stabilitas ekonomi, sosial dan budaya. Karena itu, penting menciptakan dramatisasi yang mengubur sumber penentang dan penghalang kebijakan.
Rezim Orde Baru dalam membangun dinasti kekuasaannya sebagaimana Budiman dan Tornquist ungkapkan terbangun dalam empat kategori. Pertama, negara menjelma menjadi kekuasaan teror (state terorisme), dimana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif yang bersifat fisik (state sponsored). Kedua, negara menjelma sebagai kekuatan korporasi (state corporatisme), dimana negara tidak hanya melakukan penundukan lewat kekerasan fisik tetapi juga melalui penciptaan jejaring institusi yang tujuannya memperkuat, mengamankan dan mengokohkan negara dalam mengeksekusi kebijakan dan hasrat politiknya. Ketiga, negara menjadi penguasa opini publik (state discourse). Keempat, negara klien (state clientilisme), dimana negara awalnya berusaha melakukan penundukan terhadap pasar. Negara mendominasi kehidupan perekonomian yang menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi seperti proteksi, subsidi dan lainnya. Tetapi perkembangannya negara terbangun dengan pola hubungan patron-client, dimana negara tidak jarang bertindak sebagai patron, sedangkan pengusaha-pengusaha tertentu yang dekat dengan kekuasaan bertindak sebagai client-nya.
Komando Jihad adalah bagian kecil dari sebuah drama bagaimana kekuasaan monolitik Orde Baru akan dibangun dan diciptakan. Penciptaan Komando Jihad ialah strategi awal dari dinasti kekuasaan refresif Orde Baru dijalankan. Sebagaimana sebuah drama, Komando Jihad awalnya adalah sebuah kisah yang tersembunyi dan publik mempercayainya sebagai satu kebenaran yang tak tersangkal. Salah seorang intelektual yang terpanggil untuk membongkar selubung drama Komando Jihad itu ialah Dr. M. Busyro Muqaddas, SH. M.Hum. Beliau melakukan penelitiannya yang berani dan kemudian membukukannya dengan judul “Hegemoni Intelejen : Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad”.
Secara kronologis Busyro mengatakan, setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden RI pada tahun 1968 dan berhasil melakukan pembersihan jaringan komunis, kekuasaannya berusaha menambah kekuatan pendukungnya melalui kelompok Islam. Salah satu caranya ialah membebaskan tokoh-tokoh Islam yang dipenjara pada pemerintahan Soekarno dan memberikan mereka ruang politik untuk mengikuti pemilu. Namun, kelompok Islam menilai bahwa Soeharto bukanlah sosok pemimpin idaman yang selama ini diharapkan, dan menginginkan adanya pergantian pimpinan nasional. Sejak saat itulah pemerintahan Soeharto menilai kelompok Islam dianggap sebagai pesaing utama dalam mempertahankan kekuasaan dan haluan politik terhadap umat umat Islam berubah setelah gelombang massa yang menuntut Soeharto untuk tidak diterima pencalonannya sebagai Presiden oleh MPRS. Pada saat sidang MPRS antara tahun 1966-1967, umat Islam menggulirkan tuntutan agar presiden adalah orang Islam dan dasar negara juga Islam. Karena itu, Soeharto menilai bahwa Islam adalah ancaman setelah komunis dikikis habis. Semenjak Februari 1968, Soeharto mulai membatasi langkah gerak umat Islam.
Menurut Busyro, siasat politik untuk menekan kekuatan Islam, rezim Soeharto menerapkan tiga strategi, pertama, Soeharto melakukan diskriminasi politik. Salah satu kebijakan yang diskriminatif itu ialah penentuan calon wakil rakyat dari kelompok muslim yang bermaksud mengikuti Pemilihan Umum harus melalui proses seleksi Intelejen Militer. Bagi rezim Soeharto, kelompok Islam yang menolak maka dianggap tidak loyal terhadap pemerintahannya yang sah. Kebijakan diskriminatif itu berdampak banyaknya calon wakil rakyat dari Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang dianggap simpatisan Masyumi tidak diikutkan dalam pemilu. Sekitar 75% calon rakyat dari Parmusi diskrening dan tidak ditolak oleh pemerintah.
Kedua, Soeharto mendekati kelompok Islam dengan mulai menghidupkan jaringan Darul Islam melalui Ali Moertopo, seorang kepercayaan Soeharto yang ditempatkan di Operasi Khusus (OPSUS). Lewat operasi khususnya, Ali Moertopo memecah belah Permusi sebagai wadah politik golongan Islam modernis dengan basis massa dari bekas-bekas Partai Masyumi dan Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) yang merupakan organisasi masssa Islam tradisional. Soeharto menilai bahwa umat Islam sangatlah potensial untuk menjadi kantorng penyumbang suara pada Pemilu 1971.
Ketiga, strategi lain yang digunakan lewat OPSUS ialah memanfaatkan mantan DI/TII dengan memunculkan teror yang identik dengan kekerasan berlatar belakang agama. Demi kepentingan untuk menarik dukungan mantan DI/TII, OPSUS mengembangkan isu perkembangan komunis yang berniat kembali menguasai Indonesia. Kekalahan Amerika di Vietnam akan berdampak menjalarnya pengaruh komunis ke Malaysia dan juga Indonesia. Dari ketiga strategi di atas, akhirnya Golkar mampu meraih dukungan besar yaitu 62, 80% dan kembali mengantarkan Soeharto menjadi Presiden.
Dari pemetaan di atas, dimulailah drama tragis Komando Jihad. Ali Murtopo yang menjadi Komandan OPSUS dibantu oleh Kolonel Pitut Soeharto, Kolonial Ngaeran, Kolonel Giyanto dan Kolonel Sumardan menggerakkan penyusupan kepada kelompok eks anggota DI/NII, yaitu Danu Muhammad Hasan dan Ismail Pranoto. Danu Muhammad merupakan bagian struktur jaringan intelejen/BAKIN dan merupakan pintu masuk bagi mantan pejuang DI/NII. Dari penyusupan itulah dimulailah konsolidasi dan reuni mantan DI/TII. Mereka yang sudah insyaf dibangkitkan kembali semangat perlawanannya untuk mendirikan negara Islam.
Sidney Jones mengatakan bahwa pada tahun 1976 dimulai tahap kekerasan yang baru pada gerakan DI dengan terbentuknya Komando Jihad (ciptaan Ali Moertopo). Langkah pertama yang dilakukan oleh salah satu aktor lapangan Gaos Taufik dalam rangka revolusi melancarkan Komando Jihad adalah menyelenggarakan rapat strategi di Sukabumi pada awal 1976. Saat itu dirancang bendera – pedang tunggal diatas latar belakang hitam dengan kata-kata “La illah ha ilallah”, dengan huruf Arab dibawahnya. Pada pertemuan tersebut juga memutuskan pembentukan pasukan khusus dalam rangka kampanye militer. Selanjutnya dilalukanlah rekruetmen orang-orang yang telah dikenalnya sejak awal 1950-an, maupun yang baru masuk kedalam lingkungan DI di Medan pada tahun 1970-an.
Dari berbagai setting dan drama tersebut terjadilah operasi yang disebut sebagai Komando Jihad di banyak tempat. Pertama, di Sumatra. Serangan pertama dilancarkan pada Mei 1976 yaitu ketika sebuah granat yang tidak berhasil meledak dilemparkan ditengah-tengah acara musabaqoh tilawatil Quran yang diselenggarakan pemerintah di kota Pematang Siantar, Sumatra Utara, pada Oktober 1976 terjadi pemboman di Rumah Sakit Baptis Immanuel di Bukitinggi, Sumatra Barat, dan di masjid Nurul Iman di Padang. Operasi tersebut tidak menimbulkan korban parah dan dilakukan oleh pengikut Timsar Zubil yang ketika itu menjadi asisten pertama komandan DI Sumatra Utara, Agus Sulaeman Lubis. Peristiwa bom lainnya terjadi di Medan, termasuk yang di Bar Apollo, bisokop Riang, serta gereja Metodis,. Timsar dan beberapa orang lainnya termasuk Gaos Taufik berhasil diringkus.
Kedua, Jawa Timur. Hispran yang terpilih sebagai komando Komandemen Wilayah Jawa dan Madura yang juga menjadi penanggungjawab Jawa Tengah, mendatangi para calon korban pada akhir-akhir tahun 1976. Hispran mendatangi tokoh-tokoh masyarakat satu persatu tokoh Islam baik dari kalangan Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama (NU). Beberapa wilayah yang menjadi operasi Hispran yang disusul dengan penangkapan-penangkapan adalah Paciran (Lamongan), Bojonegoro, Ponorogo, Blitar, Kediri, Nganjuk, Madiun, Magetan, Termas (Pacitan), Tuban, Tulung Agung, Trenggalek, dan beberapa wilayah lain di Surabaya.
Ketiga, Jawa Tengah. Korban yang juga di datangangi Hispran ialah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Abdullah Sungkar. Mereka berdua didatangi Hispran dan kemudian keduanya juga tidak akan dijemput paksa tentara pada 21 November 1978. Selama 4 tahun mereka mendekam dalam penjara Laksusda di Semarang dan baru menjalani persidangan 17 Maret 1982 di Pengadilan Negeri Sukoharjo. Peristiwa serupa juga terjadi di Yogyakarta dan Jawa Barat dengan korban atas tuduhan Komando Jihad yang tidak sedikit. Banyak tokoh masyarakat yang tidak bersalah dan keluarga yang tidak tahu menahu, juga menjadi korban kebengisan aparat rezim orde baru.
Potret Peradilan Sesat Komando Jihad
Dalam buku Busyro Muqaddas, setelah diuraikan dengan panjang lebar tentang kronologi peristiwa Komando Jihad yang terbentuk atas rekayasa intelejen, mulai awal mula keberadaan Komando Jihad, operasi intelejen, agen-agen intelejen yang terlibat, modus penyusupan sampai dengan operasi Komando Jihad yang berlangsusng secara serentak di berbagai wilayah di Indonesia. Buku ini juga membongkar tentang praktek peradilan Komando Jihad yang berlangsung dalam mikanisme yang menyesatkan. Praktek sesat tersebut berlangsung mulai ketika penangkapan, penyidikan, penahanan dan proses yang di ruang pengadilan.
Pertama, ketika penangkapan, Busyro berhasil menginvestigasi bahwa proses-proses penangkapan itu dilangsungkan tanpa prosedur hukum yang berlaku : penangkapan yang dilakukan tanpa surat penangkapan, kekerasan dalam interogasi, tuduhan yang dipaksakan penyidik, tidak didampingi pengacara dan penuh intervensi oleh militer. Kedua, proses penyidikan yang dilakukan dengan proses adu domba dan pemaksaan berita acara ketika pemeriksaan dilangsungkan. Ketiga, proses penahanan juga dilakukan tanpa mengindahkan prosedur hukum yang berlaku, meliputi, jangka waktu penahanan yang melamapaui batas, hak-hak dan fasilitas tahanan yang sangat tidak layak, hubungan dengan keluarga yang dibatasi sedemikian rupa, pembatasan waktu pribadi, diintimidasi dan tidak diberikan surat pelepasan. Keempat, proses di pengadilan. Dakwaan, tuntutan sampai dengan putusan hakim pengadilan dipenuhi dengan intervensi militer dan kekuasaan. Hakim tidak lagi memutuskan berdasarkan prinsip-prinsip independensi penegakan hukum yang ada. Ia ditekan dan diinternvensi sedemikian rupa.
Dari rangkaian proses praktek peradilan di atas, Busyro menegaskan bahwa telah terjadi lingkaran pelanggaran HAM dalam kasus Komando Jihad. Pada level Laksusda/Kopkamtib telah terjadi pelanggaran meliputi proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan tanpa surat penangkapan, penyusunan BAP yang dipaksakan dan hak kesehatan tersangka yang sama sekali tidak terpenuhi. Pada level kepolisian (Polri) terlihat terjadi pemandulan penegakan hukum. Pada level kejaksaan nampak dilambatkannya hak pemercepatan pengajuan kasus ke sidang pengadilan, tidak berfungsinya lembaga penangguhan penahanan dan minimnya bantuan hukum. Sedangkan pada level pengadilan sangat jelas tidak dipenuhinya asas-asas penegakan hukum oleh hakim, hak-hak terdakwa diabaikan begitu saja dan pemanggilan saksi –saksi persidangan yang penuh dengan setting kekuasaan.
Problem ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik di atas mempertebal keyakinan teoritik tentang telah terhegemoninya peradilan kasus Komando Jihad dalam operasi rezim intelejen. Dimana kasus Komando Jihad sengaja diciptakan penguasa, aktor-aktor penggeraknya dibangkitkan untuk melakukan tindakan anarkhi dan penegakan hukumnya juga telah ditentukan atas titah penguasa. Hegemoni sebagaimana Antonio Gramsci katakan ialah proses dominasi terhadap kelompok yang lain dan dibangun atas legitimasi moral dan intelektual yang konsensual. Rezim Orde Baru dalam kasus Komando Jihad, sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini berhasil menciptakan drama sosial, politik dan hukum yang berujung terhadap penangkapan, penahanan dan proses peradilan yang sewenang-wenang. Proses-proses ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terlegitimasi secara struktural dan kultural masyarakat. Hegemoni drama kuasa itu begitu kuat menancap dalam pikiran publik.
Tawaran Paradigma Hukum Profetik
Kritik penting buku ini terhadap kasus Komando Jihad ialah dasar putusan hakim yang terdramatisasi sedemikian rupa dan menyatakan bersalah semua perkara kasus Komando Jihad dengan dakwaan melakukan kejahatan subversif. Hukuman terhadap aktor yang dituduh melakukan Komando Jihad beragam, beberapa terdakwa dihukum mati. Busyro menilai putusan hakim terhadap kasus Komando Jihad tidak mencerminkan keadilan dan kemanusiaan sama sekali. Proses peradilan yang berlangsung belum memenuhi standar-standar profesionalitas dan transparansi yang merupakan bagian penting dalam filsafat hukum. Berangkat dari kerisauan tersebut, penulis buku ini menawarkan pentingan paradigma filsafat profetik bagi para penegak hukum, khususnya para hakim.
Penegakan hukum tidak akan lepas dari relasi antara hakim, putusan hakim, hukum, perubahan-perubahan sosial yang berlangsung cepat dan fakta-fakta hukum yang terjadi. Pertama, hukum dalam wujudnya yang kongkrit merupakan produk politik yang diwarnai oleh konfigurasi politik yang ril. Konflik kepentingan begitu kental melatarbelakanginya. Kedua, hukum tidak tertulis yang sifatnya berkembang dinamis, abstrak, tersembunyi dan kasat mata, sehingga memerluk an aktifitas ilmiah untuk penemuan hukum. Ketiga, hukum memerlukan model putusan hakim yag mengkonstruksikan dimensi teks, konteks, rasio legis (illat hukum/causa hukum), muatan moral dan relasi antar semua dimensi.
Dimensi penegakan hukum di atas meniscayakan konstruksi putusan hakim harus mengelaborasi kerja-kerja filsafat hukum meliputi aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi. Pertama, secara ontologis, hakim penting untuk mempertanyakan secara jeli, cermat, mendalam dan luas kaitan antara berbagai unsur sebagai fakta hukum dengan pertanyaan ”apa” yang ada dibalik semua fakta?, untuk difungsikan menjawab pertanyaan ”bagaimana cara kita hendak membicarakan kenyataan?”. Pendekatan ontologi dengan memahami realitas dengan menggali ”apa” dibalik realitas, akan memperkuat model berfikir kontemplatif dan reflektif sebagaimana tercermin dalam perintah Al-Qur’an antaranya, Qs. Ali Imron 190-191 dan Qs. Al-Jatsiyah : 13. Pendekatan kritis dan reflektif ini akan mendorong penciptaan kriteria antara nilai yang benar atau salah, adil atau dzalim, progresif atau konservatif, otoriter atau demokratis, relatifis atau absolut, baik atau buruk, dana mudharat atau maslahat.
Kedua, secara epistimologis, hakim dituntut untuk menteorikan pengetahuan berdasarkan fakta untuk diolah berdasarkan rasio. Begitu cepatnya gerak ilmu pengetahuan dan menimbulkan kritik ke dalam sebagai akibat perubahan-perubahan luar yang berlangsung dan menandakan terdapatnya context of discovery. Pemikir muslim menawarkan pentingnya epistimologi Islam sebagai kritik atas krisis. Hakim dalam konteks ini dituntut harus mampu menggunakan paradigma bayani, irfani dan burhani. Paradigma bayani ialah kemampuan menafsirkan teks-teks sehingga konteks. Paradigma irfani ialah menekankan pada pengalaman melalui penyinaran hakekat oleh Allah yang bersumber dari pengalaman batin yang mendalam, otentik, fitri dan hampir tidak terungkap dalam ruang logika. Sedangkan paradigma burhani ialah menekankan pada penggunaan prinsip logika yang dapat melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang pasti.
Ketiga, secara aksiologis, maka seorang hakim dalam memutuskan suatu hukum tidak lagi sekedar menentukan benar atau salah, menghukum atau membebaskan terdakwa semata dengan pendekatan norma-norma hukum yang ketat dan kaku, tetapi semestinya sudah memuat postulat-postulat nilai-nilai akhlak, etika dan moral sebagai dialektika teks dan konteks yang menyuluruh dari sebuah kasus.
Gagasan paradigma hukum profetik yang ditawarkan dalam buku ini secara tegas menolak dari sekedar pendekatan hukum yang semata legistic-positivistic, yang pasti akan menghadirkan penegakan hukum yang tanpa hati nurani dan terjebak pada teks-teks yang mengabdi pada kepentingan kekuasaan. Sebagaimana Kuntowijoyo ungkapkan, Paradigma profetik meniscayakan hadirnya nilai-nilai transedensi (keberimanan) dalam tranformasi kerja-kerja humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahi mungkar) sebaimana termaktub dalam Qs. Ali Imron : 110. Humanisasi dimaksudkan untuk mengangkat dimensi dan potensi positif (ma’ruf) setiap manusia, yaitu satu dorongan emansipasi kepada cahaya (nur) petunjuk ilahi dalam mencapai tingkat fitrah. Dalam bahasa pengilmuan Islam maknanya ialah memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Sedangkan liberasi berarti melarang atau menentang segala tindak kejahatan yang merusak yang dalam makna pengilmuan Islam berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan segala bentuk penindasan.
Tawaran paradigma profetik yang ditulis dalam buku ini secara langsung menjadi kritik keras terhadap penegakan hukum yang dilangsungkan dalam kasus Komando Jihad. Dimana hukum secara telanjang mata ditegakkan semata-mata mengabdi pada kepentingan kekuasaan rezim Orde Baru yang bengis, kejam dan menghalalkan segala cara dalam mencapai segala tujuan politiknya. Kritik itu juga dialamatkan pada hakim-hakim yang beragama Islam, dimana mereka dengan mudah tunduk pada kedzaliman, ketidakadilan, dan skenario hukum yang diciptakan di meja penguasa. Karena itu, karya Busyro Muqaddas ini sangat layak dibaca. Temuan-temuan di dalamnya sangat menakjubkan dan menegangkan. Buku ini penting dijadikan referensi utama untuk membangun struktur negara yang bermartabat, memposisikankan aktor-aktor keamanan negara di tempat yang benar dan bertanggungjawab, serta mendorong penegakan hukum yang etik dan profetik.
SUMBER :
Majalah ISRA’ PUSHAM UII
Edisi 14, Agustus 2011
IDENTITAS BUKU :

Judul Buku : Ketika Sejarah Berseragam : Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia
Pengarang : Katharine McGregor
Penerbit : Syarikat
Tahun terbit : Mei 2008
Jumlah halaman : xxvii + 459 hal

Judul Buku : Sejarah untuk SMA Kelas XII
Pengarang : I Wayan Bradika
Penerbit : Penerbit Erlangga
Tahun terbit : 2006
Jumlah halaman : vi + 282
Hitoriografi yang reflektif tidak saja
menguji secara kritis metodologi sejarah,
tetapi juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran
dan menyelidiki terbentuknya klaim kebenaran secara historis
(Henk Schulte Nordholt)
“Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam
dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian
dan berusaha tidak mengulangi kekeliruan di masa lalu”.
(Paul Ricoeur)
Barangkali sedikit benar apa yang dilontarkan oleh Michael Sturner, bahwa kepentingan mencipta “sejarah” bagi setiap penguasa adalah lebih menggambarkan betapa penulisan sejarah dan cerita-cerita yang dibangun merupakan salah satu cara penguasaan “ingatan kolektif” massa rakyat. Bagi Michael Sturner “Di negeri tanpa sejarah, masa depan dikuasai oleh mereka yang menguasai isi ingatan, yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lalu”. Mereka yang dimaksud di sini tentu saja setiap penguasa yang memerlukan bentuk ‘legitimasi kekuasaan’ yang kuat dan permanen yang mengandaikan setiap dukungan pendapat umum untuk proses kelanggengan kekuasaan.
Mengetengahkan cerita-cerita dan gambaran-gambaran sejarah masa lalu bagi penguasa adalah penting untuk membangun wacana ‘ikatan relasioanal’ antara ‘yang silam’ dengan ‘yang kini’. Legitimasi ‘masa kini’ akan sangat ditentukan bagaimana ‘masa lalu’ kemudian dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Tidaklah mengherankan jika kemudian di mana-mana, penguasaan terhadap gambaran masa lampau dijadikan sebagai sarana pembenaran sistem yang dipakai sekarang. Sedikitnya ada 2 (dua) cara pengendalian narasi dalam sejarah yang juga berkait dengan modus kerja ‘narativasi’ dalam ideologi. Pertama, dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah, ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan-kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang selalu menyertainya. Kedua, bisa dilakukan dengan ‘kebisuan sejarah’ ini sangat menyangkut dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk negara. Ada banyak rahasia sejarah yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tersebut. Sering kali penguasa harus menggunakan payung aturan hukum yang resmi untuk mengontrol setiap usaha pembongkaran tersebut. Jika saja kekeliruan-kekeliruan dan manipulasi sejarah sampai terbongkar maka akan mengganggu legitimasi bagi penguasa.
Siapa yang mampu mengontrol dan mengatur wacana sejarah, dialah yang akan mampu membangun opini dan pendapat umum bagi masyarakat. Untuk kasus metode pertama pengendalian sejarah maka penguasa benar-benar akan sangat teliti dan jeli bagaimana narasi-narasi dalam sejarah itu disusun dan diolah. ‘penipuan’ (dissimulation) adalah salah satu modus operandi ideologi di mana relasi dominasi dapat dibangun dan dipelihara dengan cara disembunyikan, diingkari atau dikaburkan, atau dihadirkan dengan cara mengalihkan perhatian dari atau memberikan penjelasan terhadap relasi atau proses yang sedang berlangsung.
Masih cukup ingat ketika pemerintah melalui kejaksaan agung dibuat berang dengan hadirnya perubahan buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata ”PKI” dalam peristiwa september 1965, pemerintah lagi-lagi dengan kencang mewartakan ’isu kewaspadaan’ akan bangkitnya ’komunisme baru”. Kontroversi itupun kembali muncul di tengah upaya para ahli sejarah dan kaum intelektual untuk membangun dan menata kembali sejarah yang sudah lama hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Polemik itu kembali muncul dan bergulir didorong oleh semakin terbukanya ruang untuk menafsirkan sejarah lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Terutama sejak angin perubahan 1998, banyak komunitas korban memberanikan diri untuk terlibat memberi testimoni terhadap kekacauan sejarah yang kian waktu tunduk pada kontrol kekuasaan.
Buku “Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor tepat kiranya menjadi salah satu kajian yang amat penting untuk melihat historiografi sejarah Indonesia yang masih sarat dengan kekuasaan terutama kepentingan militer. Dalam berbagai catatan yang terbukukan sejak kekuasaan Orde Baru sampai sekarang, peran militer tetap masih selalu hadir dominan dalam panggung sejarah nasional Indonesia. Di dalam genggaman kekuasaan, sejarah bisa menjadi sesuatu sarana ideologisasi yang amat strategis. Dalam tangan besi kekuasaan, sejarah bisa akan menjadi sosok yang mempunyai dua wajah sekaligus. Wajah yang satu mendewakan fakta yang dianggap akan mendukung berjalannya kekuasaan dan wajah yang lain telah membenamkan fakta-fakta yang dianggap mengganggu legitimasi status quo. Akhirnya sejarah bagi kekuasaan tidak jauh dengan prinsip “pelanggengan” dan “pelenyapan”.
“Ketika Sejarah Berseragam” karya Katharine McGregor dengan jeli telah berupaya untuk mengungkapkan motif-motif dan kisah-kisah di belakang proyek-proyek sejarah yang diabngun militer. Bagaimana militer mampu dengan cerdik mengkonstruksi “masa lampau” adalah gagasan besar dalam buku ini. Buku ini sekaligus menggambarkan beberapa fakta perilaku politik di belakang “representasi” beberapa periode panggung sejarah yang penting di indonesia. Lebih jauh dari sekedar untuk menelisik dan sekaligus mengajak membaca “ingatan kolektif” tentang perjalanan sejarah Indoensia, McGregor justru sangat jeli untuk mengatakan bahwa sejarah indonesia selama ini tidak luput dari ketegangan-ketegangan dan proses-proses persaingan, dan dalam beberapa kasus adalah proses pembinasaan “sejarah yang lain”. Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya karena kekuasaan mampu melekatkan upaya ini dengan berbagai kebijakan seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, kurangnya kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan “militer” untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel.
Ketika “Sejarah” Tidak berpihak ke “Korban”
Pembredelan-pembredelan telah menjadi tradisi paling ”primitif” yang kerap harus dilakukan penguasa sejak negeri ini dibangun. Negeri ini katanya memang merdeka, tetapi warisan kolonial dengan ketatnya ”dominasi wacana” tetap disukai bagi rezim siapapun yang saat ini memimpin. Pola ini menjadi mesin berangus yang dianggap paling efektif; Pertama, bukan semata-mata pelarangan, pembredelan dan pembakaran fisik yang dituju melainkan efek teror yang ditimbulkan yang mampu membangun ’kewibawaan’ penguasa. Kedua, hilangnya kesempatan bagi interpretasi lain tentang ’kebenaran’ sejarah akan memudahkan mesin kontrol ’kaca mata kuda’ penguasa bekerja. Ketiga, penguasa semakin sadar bahwa ruang pengetahuan adalah modal dan amunisi paling menakutkan yang akan menjadi perintang mesin-mesin dominasi bekerja. Logikanya sederhana, seperti kembali pada jaman masa perbudakan bahwa yang dibutuhkan kelas pemenang bukanlah masyarakat budak yang pintar dan tahu posisi dirinya namun cukup mereka yang patuh dan loyal pada kekuasaan. Budak tidak perlu pendidikan apalagi harus menerima asupan gizi untuk berkembang. Ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas buta adalah harga mati bagi siapapun yang ingin diperintah. Tentu saja, membuat masyarakat pintar justru hanya akan menjadi biang bumerang dan sumber kerepotan kelak. Sejarah tidak perlu dibuat warna-warni. Cukup dengan sejarah tunggal maka, penguasa bisa tidur nyenyak tanpa harus mengalami mimpi buruk untuk disalahkan masyarakat.
Mungkin saja negeri ini lupa atau tidak utuh membaca sejarahnya sendiri. Aturan dan kontrol represif apapun tidak bisa ’memenjarakan’ apa yang dinamakan gagasan ataupun ”interpretasi”. Seketat apapun penindasan justru akan memupuk lahan subur bagi munculnya benih-benih perlawann. Kalaupun letupan ini belum sebesar ledakan revolusi, ia sendiri akan melahirkan watak laten bagi kemungkinan perlawanan-perlawanan. Kemunculan ’sejarah-sejarah pinggiran’ hanyalah bagian kecil dari cara orang untuk melawan otoritas klaim kebenaran. Percikan-percikan dari ’tutur’ dan ’kesaksian’ para korban tentu saja bisa berpotensi menjadi ’mozaik’ dan ’orkestra’ solidaritas bagi ’suara-suara’ yang sampai saat ini terbungkam. Maka siapapun yang berkuasa akan sangat berhitung dan berhati-hati dengan semakin bergemanya ’sejarah-sejarah’ lain yang diusung oleh para saksi sejarah yang notabene telah lama disingkirkan dalam panggung sejarah.
Tentu saja apa yang menjadi dorongan para ’korban’ untuk menuturkan pengalaman sejarahnya bukan semata mata upaya balas dendam ataupun romatisme semata melainkan sebuah langkah memberikan warna sejarah menjadi berimbang. Tidak ada yang pernah salah dalam sejarah. Yang menjadi pembeda adalah ’keperpihakan sejarah”. Untuk kepentingan siapa sejarah kemudian ditulis dan dituturkan. Sebagaimana yang abadi adalah ’kontradiksi atas kepentingan ’ maka yang selalu akan menjadi abadi dalam setiap sejarah adalah konflik kepentingan itu sendiri. Setiap kelas sosial akan menyusun dan menggambarkan sejarah sesuai dengan basis kepentingan kelasnya sendiri. Bagi kelas yang mapan maka sejarah adalah tak ubahnya upaya membangun narasi-narasi pembenaran untuk mencari klaim keabsahan kekuasaan. Bagi yang kalah dan ada di ruang pinggiran, pentingnya sejarah tidak ubahnya untuk menjadi senjata bagi pembongkaran relasi-relasi yang telah mapan.
Ketika sebagian orang berharap pada proses ’pelurusan sejarah”, yang terpancar dalam harapan mereka tentu saja tidak hanya pada perubahan teks sejarah semata, teapi tentu saja lebih jauh dari itu adalah pembenahan nasib para ’korban’. Menuliskan sejarah bagi para ’korban’ adalah teriakan tuntutan atas pembenahan-pembenahan negeri yang selama ini telah banyak disalahgunakan atas nama kebenaran sejarah. Memang tidak begitu gampang untuk mendorong penguasa yang telah sekian lama menjadi ’narator tunggal’ dan begitu tuli untuk mendengar ’kisah-kisah’ yang lain dengan penuh kearifan. Pelurusan sejarah bisa menjadi ancaman dan sekaligus liang kubur yang sangat menakutkan. Mustahil bagi yang berkuasa untuk dengan sukarela menampilkan watak-watak aslinya bagi masyarakat. Tentu saja ’kebohongan’ akan selalu dihalalkan bila itu tidak kontraproduktif dengan capaian kekuasaan. Sedemikian memahami dan sadar akan ’rumusan’ ini maka segala apapun akan dilakukan walaupun itu harus mengorbankan banyak hal.
Di titik ini semakin bisa dibaca, kekuasaan akan selalu membutuhkan cara apapun untuk dilakukan. Kepentingan menguasai sejarah merupakan cara bagaimana bisa menguasai ingatan sosial masyarakat. Langkah inilah yang kemudian disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’ yang kerap bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran. Jika banyak orang sudah percaya buta walau apa yang dituturkan oleh ’sejarah resmi’ jauh dari kebenaran, sudah cukup menjadi modal untuk proses ’penaklukan’. Kekuasaan tidak lagi perlu menunjukan wajah angkernya dengan pelatuk senjata berulang-ulang. Apa yang dibayangkan Michel Foucoult bisa menjadi benar, pengetahuan bisa sangat efektif untuk membangun relasi kepatuhan. Jika sejarah adalah hal pengetahuan maka bagi pemilik kekuasaan rumusnya adalah ’pengetahuan haruslah dikuasai dan dijaga sebagai bentuk cara penjinakan masyarakat
Dialektika Sejarah : “Pelupaan” dan “Pengingatan”
Problemnya saat ini, jika mekanisme kekuasaan juga berjalan tidak selalu determinan seperti garis lurus dan mereproduksi dalam setiap relasi-relasi sosial yang terus dibangun, maka tentu masih banyak peluang untuk mencuri setiap ruang dari medan pertempuran ini guna membangun ’sejarah-sejarah lain’ yang berkontribusi untuk pelurusan sejarah. Maka tentu apa yang dibayangkan sebagai cara ’melawan teks-teks resmi sejarah’ bisa selalu dimungkinkan dimanapun dan kapanpun meskipun ruang dan kesempatan itu sangat sempit. Di sinilah peran ’kata-kata’ dan ’tulisan’ mendapat bumi pijakananya. Ia bisa lincah untuk menyuarakan apa saja yang saat ini dianggap bermasalah. Maka jauh-jauh waktu kekuasaan akan selalu membutuhkan senjata penjaga, penjara dan mesin-mesin pemusnah atas setiap potensi kemunculan ’kata-kata’ dan ’tulisan’ yang berbahaya. Namun apa yang dilantangkan oleh Tan Malaka barangkali benar, ”walau sampai dalam kubur, suara ini akan selalu terdengar”. Setiap gagasan dalam ’kata-kata’ akan mempunyai daya jangkaunya sendiri. Bahkan ia bisa melesat jauh melebihi usia generasi. Inilah kelebihannya.
Sejarah kembali lagi bisa menjadi medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia selalu hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepentingan tersebut. Sejarah yang kalah kemudian akan selalu dipinggirkan dan dibuat untuk dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja-puja dan diperingati dalam setiap upacara-upacara dan menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ bagi mereka yang menjadi objek dan sasaran kekuasaan. Sejarah yang kalah akan selulu ditutupi dan terus disengaja dilupakan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa-bisa mengusik tatanan yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya selalu membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi kuasa akan selalu dikenang dan dingat. Reproduksi fakta sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan tidaknya, itu bukan menjadi barang penting. Bagi dasar kekuasaan, kebohongan sejarah tidak lagi menjadi sesuatu yang diharamkan. Ketundukan dan ketaatan adalah tujuan yang selalu ingin dicapai. Namun sebaliknya fakta-fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak untuk kuasa akan selalu dikubur dan sengaja untuk dilupakan. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ”sejarah lain” adalah hantu yang bisa mengganggu tegaknya tiang-tiang penyangga kekuasaan.
Kebenaran sejarah tidaklah hadir dalam klaim-klaim dan jargon-jargon semata. Kebenaran sejarah tidaklah tunggal ia hidup dalam perjalananya yang lebih kongkrit. Problemnya, sejarah pinggiran kadang selalu tidak diberi tempat, walau kadang banyak kebenaran justru ada di sana. Sepantasnya bahwa membangun kembali sejarah merupakan dinamika kongkrit untuk membangun peradaban yang lebih adil. Rekonsiliasi sejarah selalu membutuhkan ruang-ruang demokratis bagi pengungkapan dan pelurusan sejarah. Walau proses ini selalu berhadapan dengan garis kekuasaan yang kadang bebal, upaya mendorong terciptanya kesempatan luas untuk adanya ’ruang tutur’ bagi pelurusan sejarah merupakan langkah awal yang sudah sangat baik.
Harapan besar bagi upaya merekonstruksi sejarah secara lebih benar tentu paling kongkritnya adalah bagaimana kemudian “sejarah” ditempatkan secara lebih benar. Dalam istilah yang lebih tepat seperti yang digagas oleh Heather Sutherland sebagai “historizing history” yakni menempatkan sejarah dalam konteksnya. Tentu upaya ini terkesan sangat utopis melihat bahwa negara sekaligus adalah ”medan” dan ”ruang” ketegangan yang detik ini belum menunjukan upaya keperpihakan pada berbagai kepingan sejarah pinggiran yang sekian waktu dibenamkan. Buku pendidikan sejarah pada umumnya juga masih menunjukan bias ideologis yang sangat kentara. Apa yang telah dipaparkan olej McGregor barangkali masih relevan, pendidikan sejarah dalam sekolah-sekolah masih lebih manampakan sebagai proyek ideologisasi ketimbang proyek pencerahan kesadaran kritis bagi siswa untuk memahami realitas hidup seharahnya secara lebih benar. Meskipun beberapa catatan metodologi pemaparan seharah mengalami perkembangan, pendidikan sejarah tetap saja cukup hati-hati dan bahkan menghindar untuk mengangkat “fakta-fakta kontroversial” yang detik ini masih belum. Dalam beberapa kasus seperti yang sepintas terlihat dalam buku pendidikan sejarah untuk SMA, sejarah-sejarah kontroversial yang seharusnya dilihat dan dibaca lebih proposional tetap saja diterabas sesuai dengan logika alur yang dominan dipakai dalam sejarah resmi sejak Orde baru. Ada fakta-fakta lain yang terus-menerus “disembunyikan” dengan berbagai pertimbangan yang lebih politis dan ideologis ketimbang alasan yang lebih objektif dan rasional. Sejarah masih tidak mendekat pada sejarah mereka yang pinggiran dan mereka yang selama ini dihilangkan dan historiografi indonesia. Sejarah lebih menjadi catatan peristiwa yang tidak dirasakan hidup oleh rakyat. Sejarah menjadi mengasingkan diri dari jantung cita-cita kesadaran sejarah sebenarnya. Satu faktor yang amat kentara adalah bahwa sejarah cenderung asyik berbincang hanya pada ”sejarah elite negara” dan sering berpaling pada ”catatan-catatan arus bawah” yang sebenarnya begitu amat kaya untuk dipaparkan. Sekali lagi, bukannya sejarah bukan semestinya hadir hanya untuk para pemenang..!!!
Sumber :
Majalah ISRA PUSHAM UII
Edisi 2, November 2008