Beberapa waktu akhir-akhir ini, isu perbedaan primordial menjadi tantangan bagi tercapainya kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Isu SARA, ujaran kebencian, diskriminasi, konflik dan kekerasan bernuansa perbedaan makin menggejala. Agama, sebagai struktur penyeru kedamaian, seringkali juga malah dilibatkan dalam reproduksi potensi konflik. Beberapa lembaga penting yang konsen pada isu tersebut seperti Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM dan beberapa lembaga riset lainnya telah menyimpulkan hal serupa, ada problem dan tantangan serius pada isu kebebasan beragama ini. Terlebih lagi bahwa tautan faktor berbagai problem tersebut tidak jauh-jauh juga irisannya dengan problem struktural tentang peran dan tanggungjawab negara.
Secara konstitusional, perbedaan agama selayaknya tidak menjadi persoalan karena telah terlindungi secara apik. Pasal 28E, 28I dan 28J, 29 UUD 1945 telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan keberagamaan ini. Pada Pasal 22 dan Pasal 55 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan ulang akan pentingnya kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan itu. Tidak hanya itu, Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 2005, ayat (1),(2) dan (3) juga telah secara tegas dan jelas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak tersebut.
Beberapa turunan peraturan di bawahnya seperti peraturan bersama Menteri Agama dan dalam Negeri dan beberapa peraturan lainnya telah menunjukkan bahwa secara normatif aturan itu telah dirumuskan. Namun, jika berkaca kembali pada intensitas dan maraknya gejala praktik intoleransi, konflik dan kekerasan itu maka refleksi yang lebih jauh perlu kita lakukan. Setidaknya kita bersama dituntut kembali untuk bisa menjawab problem tersebut lebih kritis ketimbang hanya berhenti pada analisis yang normatif dan legal semata.
Dalam beberapa kajian dan analisis, banyak peraturan perundangan dan regulasi mempunyai dimensi yang bertentangan dengan spirit kebebasan beragama (Rizal Pangabean & Ihsan Ali Fauzi, 2011: 25). Untuk masalah ini tentu perlu upaya membaca dan memperbaharui berbagai tata regulasi struktural yang kontraproduktif terhadap semangat penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa perkembangan peraturan daerah terutama berkembangnya peraturan daerah yang mengandung isu sektarianisme agama dan suku telah memberi efek bola salju tersendiri atas munculnya berbagai warna kekerasan dan polemic di daerah terutama yang menyangkut problem keagamaan dan keyakinan (Ahmad Suaedy, dkk, 2007: x)
Mengacu sementara pada berbagai asumsi filosofis dan normatif hukum, negara mempunyai peran utama dalam tugas menjaga, memberi perlindungan serta aspek penegakan hukum terhadap semua hal berkait kebebasan beragama. Negara dalam pemahaman prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah pemangku kewajiban penuh atas kewajiban melindungi, mempromosikan dan juga tugas menegakkan hak asasi manusia setiap warga tanpa pandang bulu dan latar belakangnya. Dalam berbagai orientasi, kebijakan serta kewenangan yang ada, negara sejatinya mempunyai peran sentral dan aktif dalam menjawab kebutuhan tanggung jawab tersebut.
Di Yogyakarta, potensi munculnya perdebatan seru berbalut nuansa ketegangan juga mulai terlihat. Era demokratisasi di satu sisi memberi dampak positif akan dihormatinya ekspresi perbedaan, baik agama dan keyakinan, pandangan politik, dan ekspresi primordial lainnya. Namun di sisi lain, ekspresi tersebut seringkali memunculkan respon negatif atau kontraproduktif dari kelompok lain yang merasa terganggu atas ekspresi lain tersebut. Pada situasi ini, pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk ‘awas’ dan bijak dalam rangka mengelola situasi agar tidak mudah berujung pada konflik sektarian.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia akan menyelenggarakan seminar dan workshop dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi bersama atas situasi yang semakin menggejala tersebut. Capaian akhir dari seminar dan workshop ini diharapkan juga bisa menemukan rumusan-rumusan prinsip dasar dan model panduan penanganan potensi konflik bernuansa keagamaan yang adil dan menjunjung prinsip nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model panduan penanganan ini bisa menjadi standar dasar penanganan yang dipakai oleh pemerintah daerah dan/atau kepolisian. Setidaknya standar model panduan ini akan melengkapi secara teknis operasional dari berbagai prinsip rujukan yang ada dalam payung hukum yang sudah ada.
Tujuan Seminar dan Workshop
- Mendiskusikan dan merespon secara kritis tentang fenomena isu dan maraknya berbagai ketegangan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan dan keyakinan yang berkembang saat ini terutama berkaitan dengan prinsip dasar kebebasan beragama dan tanggungjawab negara.
- Mendiskusikan dan menggali latar belakang potensi kekerasan, khususnya di dunia pendidikan dan merumuskan langkah antisipasinya.
- Mendiskusikan dan memberi masukan berharga untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan institusi kepolisian dalam rangka meningkatkan peran dan tanggungjawabnya untuk memenuhi tugas perlindungan dan penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan.
- Merumuskan dan menyusun model dan standar panduan dasar penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang memenuhi prinsip keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Materi :
a) Intoleransi : Masalah Perkembangan Paham Intoleransi di Lembaga Pendidikan dan Solusi Bagi Keindonesiaan
Narasumber : Listia, Pegiat Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligisu (PaPPIRus)
b) Menggelar Kebhinekaan, Merajut Kebersamaan: Respon Kaum Muda Atas Menguatnya Politik Identitas
Narasumber : Najib Kailani, S.Fil.I., M.A. Ph.D (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
c) Mengeja Arah Pilihan Identitas Politik dan Politik Identitas Kaum Muda
Narasumber : Ikmal Yasir (Ketua Himpunan Mahasiswa Islam MPO Cabang Yogyakarta)
Waktu dan Tempat
Hari, Tanggal : Selasa-Rabu, 6-7 Juni 2017
Waktu : 12.00-18.00 WIB
Tempat : Hotel Santika Premiere
Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta
Peserta
- Kepala Dinas Pendidikan Propinsi DIY
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Bantul
- Kepala Dinasi Pendidikan Kota Yogyakarta
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Kulon Progo
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Gunung Kidul
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Gajah Mada
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Atmajaya
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Sanata Dharma
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Ahmad Dahlan
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Kristen Duta Wacana
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Janabadra
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
- Kepala Sekolah SMAN 1 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 3 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 8 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 6 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 2 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 3 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 4 Bantul (MAN Lab UIN Sunan Kalijaga)
- Kepada Madrasah Mu’allimin Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Sunan Pandanaran Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta
- Ketua IPNU DIY
- Ketua IPPNU DIY
- Ketua IRM DIY
- Ketua Pemuda Muhammadiyah DIY
- Ketua Ansor DIY
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UGM
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UMY
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UAD
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UKDW
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Atmajaya
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UNY