Teologi Buruh

Ketika Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang perburuhan diketukpalukan tahun ini, serentak ribuan barisan buruh dari berbagai organisasi buruh di Indonesia marah dan lantang melakukan protes. Keputusan pemerintah ini tentu saja dianggap sangat arogan, tidak manusiawi dan dianggap akan mematikan nasib buruh. Protes massa buruh tidak hanya memberi kita cerminan bahwa problem buruh sampai detik ini kian tidak membaik tetapi juga menggambarkan bahwa sistem ekonomi politik mainstream tetap saja selalu tidak berpihak pada kelas-kelas pinggiran semacam kaum buruh. Nasib terpuruknya buruh tidak sampai di sini. Krisis ekonomi global yang saat ini terjadi lagi-lagi akan menenggelamkan harapan sekian banyak buruh karena ancaman PHK massal. Kelas buruh yang akhirnya banyak menanggung dampak paling buruk. Inilah gambaran nafsu kapitalisme yang amat mengerikan. Atas nama efektifitas dan roda bertahannya industri, “buruh” selalu ditempatkan sebagai halnya mesin berjalan. Inilah “metafora mesin” yang kini selalu dimapankan oleh logika industri. Apalagi sistem kontrak kerja (outsourching) telah meletakan buruh pada situasi yang paling rentan. Nasibnya telah dibatasi oleh berbagai klausul atiran memaksa yang samasekali tidak memihak. Nasib jutaan kaum pekerja (buruh) ada di ujung tanduk. Bersiap sewaktu-eaktu harus dipangkas dalam ikatan kerja tanpa jaminan kompensasi apapun. Kalau dilihat dalam logika ini, maka ‘buruh’ bisa saja mewakili citra sebuah gambaran “perbudakan modern”. Perbudakan yang kian membentuk dalam wujud yang semakin ekstrim dan modern. Inilah sistem dan warisan kebudayaan penghisapan yang detik ini justru oleh para penguasa masih dilestraikan dengan begitu angkuhnya.

Makna “budak” tentu dalam kamus umum dimengerti sebagai seseorang yang diposisikan menjadi pembantu, abdi, atau sesorang yang diletakkan sebagai layaknya setengah manusia (subhuman). Sebagai sebuah sistem kebudayaan dalam epos sejarah masayarakat, “perbudakan” memberi pengertian sebagai sistem sosial dimana ada orang dan sekelompok orang merampas hak dan kepentingan manusia yang lain. Probloemnya, mainstream kebudayaan mapan tidak meletakan buruh ini hakikatnya sebagai budak. Diskursus kekuasaan bahkan mampu mensublimkan dan menghaluskan ini menjadi bukan persoalan yang rawan. Parahnya lagi, diskursus tentang apapaun yang menyinggung “buruh” masih selalu dianggap sebagai kegiatan “subversif” kekiri-kirian yang “haram” dibincangkan. Apakah wacana tentang nasib buruh hanyalah menjadi tradisi dan kecenderungan sikap gerakan-gerakan yang ada dalam jalur ideologi “kiri”? Apakah Islam mempunyai khasanah tersendiri tentang problem buruh ini? Jika saja Islam merupakan entitas maha besar dari kesatuan utuh sejarah poeradaban ini, bukankah persentuhan dengan dinamika buruh semakin dimungkinkan terjadi? Bagamaina kemudian diskursus tentang buruh ini diterjemahkan oleh Islam?

Islam sangat diharapkan mampu serius berbicara mengenai “teologi buruh” yang tidak mengasingkan diri untuk ikut membicarakan berbagai relasi modal, buruh dan negara dan terutama peduli terhadap sekian problem buruh yang semakin memprihatikan. Spirit inilah yang tertangkap dalam gagasan buku Teologi Buruh karya Abdul Jalil. Tentu gagasan ini sekaligus juga berangkat dari keprihatinan bahwa dalam konteks Indonesia yang memiliki mayoritas warga muslim, tetapi kenyataannya sekian waktu gerakan Islam masih cenderung tiarap untuk merespon problem buruh yang semakin tragis. Tidak jarang pula bahwa sekian roda ekonomi yang dikelola oleh komunitas dan institusi muslim masih juga larut dalam prinsip kapitalistik yang justru jauh dari spirit keperpihakan umat. Bisnis-bisnis muslim tidak ubahnya sama dengan bisnis lainnya yang lebih beriktiar untuk kepentingan keuntungan modal ketimbang pemenuhan rasa keadilan bagi sekian warga muslim.

Melalui penelusuran aspek historis perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, buku ini mau eksplisit mengatakan bahwa problem buruh saat ini tidak ubahnya merupakan cerminan sistem perbudakan yang masih diwariskan ribuan tahun yang lalu. Budak hanyalah manusia kelas pinggiran yang nasib hidupnya ditentukan oleh kemahakuasaan para pemilik budak. Fakta tragis ini nyatanya pernah ada di Indonesia. Tahun 1877, di wilayah Sumba, kematian raja harus diikuti oleh kematian seratus orang budak demi kehidupan baka sang raja. Di beberapa perjalanan kehidupan suku Indonesia fenomena perbudakan juga cukup masih berkembang. Dengan seiring perkembangan peadaban sistem perbudsakan juga mengalami transformasi luar biasa. Kolonialisasi asing atas bangsa Indonesia juga semakin memposisikan sistem perbudakan dalam wujud yang lebih modern. Walaupun ada beberapa kebijakan peraturan yang dikeluarkan untuk menata sistem perbudakan ini, pada prinsipnya sistem ini relatif belum menghilang. Memang pada tahun 1817, pemerintah kolonial Belanda telah memberi peraturan larangan untuk jual beli budak. Dalam Regeringsreglement, semacam Undang-undang Hindia Belanda (1818) melarang jual beli budak, termasuk larangan mendatangkan/memasukan budak dari luar Indonesia.

Atas berbagai masukan dan perkembangan kritik memang ada perkembangan dan perubahan dalam pengelolaan sistem perbudakan. Sejarah mencatat bahwa Regeringsreglement sampai tahun 1827, 1830 dan tahun 1836 memang belum ada perubahan berarti tentang niat penghapusan sistem perbudakan. Baru pada tahun 1854 dengan eksplisit memang menghendaki sistem perbudakan. Namun perubahan inipun belum cukup hakikat sistem eksploitasi yang lebih mengeras. Sistem kerja rodi salah satunya masih tetap dipertahankan sebagai cara massalisasi akumulasi modal kolonial sampai dihapuskannya pada tahun 1930 dan berganti dengan sistem kerja “kapitalistik”. Hadirnya sistem ini, mengangkat hakikat perbudakan menjadi berwajah lebih modern. Walaupun telah diatur posisi yang lebih terbuka pada kesempatan buruh tetapi pada kenyataannya nasib buruh masih selalu terpinggirkan. Kondisi masih belum beranjak baik, karena pada prinsipnya sistem kapitalistik masih sangat menempatkan kekuasaan korporasi melalui pemilik modal dengan tidak terbatas. Pemutusan hubungan kerja bisa saja tiba-tiba dilakukan hanya oleh beberapa alasan yang bisa sasja tidak adil bagi buruh. Penentuan jumlah gaji yang harus diterima oleh para buruh juga relatif ditentukan oleh kekuasaan para pengusaha. Telah terjadi dominasi kapitalis dan relasi hubungan industrial yang timpang. Demikianlah, Bab 4 buku ini mau melihat lebih jauh relasi ketimpangan kerja industrial tersebut.

Kerakusan kapitalisme industri dirasakan menjadi sebab terutama dari peminggiran buruh. Kapitralisme industri begitu banyak telah membuahkan mesin pemerasan keringat buruh hanya demi penumpukan keuntungan ketimbang rasa keadilan. Hasil yang diraih sebagi keuntungan tidak kembali pada apa yang sejarusnya menjadi hak kesejahteraan buruh. Negara yang dianggap mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membantu problem ini justru menjadi bagian utuh dari adanya relasi ketimpangan itu. Alih-alih memberi kompensasi yang adil bagi hak hidup buruh, negara justru kerap kali menjadi sarana ideologis dan sekaligus represif untuk mempertahankan sistem ketimpangan ini. Apa yang kemudian harus dilakukan? Apakah Islam juga mampu memberi jawaban memadahi dari sekian problem ini ketika Indonesia yang ralatif berpenduduk mayoritas muslim, nasib buruh juga masih terus ditelantarkan?

Abdul Jalil dan bab 5 buku ini mau sedikit menengok dan merefleksikan dalam kacamata perspektif pengalaman Islam beserta beberapa pisau tafsir yang ada di dalamnya. Proposisi keyakinan buku ini mau memberi sugesti optimistis bahwa Islam harusnya mampu menawarkan alternatif dari problem perburuhan ini. Sebagaimana agama yang komprehensif dan universal, Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif di luar dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme. Islam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk “fiqh” (hukum Islam) yang bersifat operatif operasional diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontenporer. Selain itu juga berbekal konsep dasar Al-Qur’an, diharapkan bisa memberi tekanan terhadap sistem agar penanganan masalah buruh tetap mengacu pada koridor fitrah kemanusian yang sejatinya. Meskipun konsep yang utuh tentang sistem perburuhan belum ada secara komprehensif dalam definitif hukum islam karena refrensi tekstual dan historis memang belum ada, namun bahwa nilai-nilai yang mengacu pada hakikat dasar perburuhan sebenarnya bisa ditemukan dan bisa menjadi bahan acuan tafsir teologis yang berharga dengan segenap mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” yang selalu berdinamika dan berkembang.

Dalam beberapa catatan, buku ini mau memberikan penegasan menarik bahwa Islam memberikan refleksi berharga bagi pembacaan problem buruh. Berangkat dari awal tafsir tentang hak, Abdul Jalil dalam catatan buku ini kembali memaparkan hak-hak buruh yang sebenarnya banyak tersirat ditampilkan dalam Islam. Islsm sangat mendambakan kompetensi dan produkstifitas manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an (Qs : al-Mulk (67) : 2) bahwa “kehidupan” adalah ujian bagi manusia di dalam berbuat dan beramal. Jika kita letakan dalam konteks riil ekonomi maka bisa dikatakan bahwa yang lebih baik perbuatannya adalah mereka yang memang produktif. Dalam Islam jelas tegas mengingatkan bahwa penghargaan dan pemberian upah bagi buruh dengan selayaknya adalah merupakan poin mendasar yang harus diperhatikan. Dalam sebuah hadist telah dinyatakan bahwa “Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering”. (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Hadist no. 2434.) Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian upah yang selayaknya secara eksplisit dilarang dalam Islam.

“Tiga kelompok orang yang akan saya musuhi di hari kiamat, yakni orang yang bersumpah atas nama-Ku dan kemudian dia ingkar; orang yang menjual orang lain yang berstatus merdeka kemudian hasilnya dimakan; dan orang yang tidak membayar upah pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya”, (Shahih al-Bukhari, hadist no. 2075).

Beberapa hak yang mendasar yang selama ini juga santer diperjuangkan oleh buruh seperti hak mendapatkan keselmatan, kesehatan dan perlindungan juga telah ditegaskan juga dalam nilai-nilai Islam. Dengan begitu, Islam memberi penegasan bahwa para majikan pada hakikatnya harus bertanggungjawab penuh atas berbagai hal yang menjadi kebutuhan buruh seperti kesehatan, perlindungan, dan keselamatan kerja. Menelantarkan buruh merupakan hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam dengan gamblang mengajarkan untuk tidak boleh mentelantarkan dan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai fitrah kemanusiannya.

“Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barangsiapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa ia harus dibantu”. (al Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadist no. 559)

Penekanan terhadap penghargaan martabat kemanusian sudah menjadi kewajiban bagi semua orang Muslim. Dalam konteks relasi kerja industrial, Islam jelas mengajarkan bahwa hal yang paling dinistakan bila sistem ini menempatkan manusia sebagai “mesin”. Manusia adalah entitas yang harus dihormati dan mendapat penghidupan yang layak. Menjadi sebuah hak bagi para buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak tersebut. Apa yang diujarkan oleh Nabi sangat gamblang dan lugas bahwa seorang majikan yang yang tidak mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi para buruhnya maka sebenarnya dia adalah seorang “pembunuh

“…saya mendengar Nabi bersabda : barang siapa mengangkat buruh, jika ia tidak mempu mempunyai rumah maka harus dibikinkan rumah; Jika ia belum menikah maka harus dinikahkan; Jika ia tidak mempunyai pembantu maka harus dicarikan pembantu; jika ia tidak mempunyai kendaraan maka harus diberikan kendaraan. Jika majikan tidak memberikan hal tersebut. Ia adalah seorang pembunuh”. ( Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, hadist no. 17329)

Yang lebih menarik dari pemaparan beberapa fakta tersebut, buku ini juga mampu memberi sedikit gugahan pembaca bahwa secara hostoris seperti nilai-nilai yang menyoal tentang perbutuhan juga pernah terangkat dalam dinamika sejarah Islam seperti persoalan-persoalan tumbuh berkembangnya sarikat-sarikat buruh sesuai dengan perkembangan peradaban Islam. Dari buku ini meminjam hasil penelitian yang dilakukan oleh Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), Serikat Buruh dalam Islam bahkan telah tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Utsmaniyah, tepatnya di Turki Anatolia pada abad XIV Masehi yang dalam catatan sejarah lebih akrab disebut sebagai “Akhi” dan “Fityan”. Bahkan dalam literatur lain, Andre Raymod menyebutkan beberapa catatan berharga mengenai munculnya berbagai sarikat buruh dalam sejarah Islam. Seperti adanya serikat-serikat buruh di sektor-sektor pekerjaan seperti tukang cukur, pembawa panji-panji, mu’azhzhin, dan juga buruh pekerja di kebun kopi. Sejak abad XVI hingga XIX Masehi, serikat-serikat buruh telah terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan, Mereka hidup di pasar kota. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecilpun mempunyai serikat buruh. Dalam catatan seharah di atas telah banyak yang disumbangkan oleh hadirnya serikat-serikat buruh ini. Serikat buruh telah memberikan andil luar biaa bagi perjalanan peradaban Islam.

Tentu ada beberapa catatan yang menarik dan perlu untuk dikembangkan lagi sebagai usaha pendalaman dan pengembangan tulisan ini. Secara prinsip problem buruh adalah problem yang harus dibaca secara lebih utuh karena akan banyak menyeret persoalan yang lain. Beberapa usaha Abdul Jalil untuk serius memberikaan alasan perlunya sikap kritis dan maju dalam membaca persoalan buruh perlu harus diberi apresiasi mengingat minimnya kajian dan riset yang serius untuk mengamati problem perburuhan di Indonesia. Ada catatan yang perlu ditambahkan, pertama, tulisan ini masih terbatas menjangkau fakta-fakta yang masih umum dan masih terbatas pada cuilan-cuilan fragmentasi pengalaman peristiwa yang tertekskan dalam literatur-literatur yang sudah mapan seperti teks Kitab Suci. Maka ruh atas gambaran ini belum terasa menjangkau epos konteks jaman yang lebih mendalam dengan segala polemik di dalamnya. Kedua, problem perburuhan juga belum memberi gambaran yang lebih banyak tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam sendiri membangun perspektif dan epistemologi gerakan terutama berkaitan dengan permasalahan buruh. Jika ini diangkat maka tentu saja ada berbagai problem menarik tentang subjektifitas gerakan yang khas yang bisa kita baca terutama dalam konteks gerakan buruh di Indonesia berkait juga dengan gerakan islam. Ketiga, apa yang diangkat Abdul Jalil memang masih akan terbaca sebagai gagasan normatif ideal. Apa yang sebenarnya menarik untuk dikerjakan lebih lanjut adalah menjawab tesis penting mengapa detik ini pula gerakan Islam belum cukup mampu untuk menjawab tantangan nasib buruh lebih komprehensif. Problem politik, ekonomi , sosiologi dan juga kebudayaan gerakan tentu menjadi penting untuk digali bersama dengan usaha penelusuran aspek teologis secara lebih kontekstual.

Peresensi
Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Pemerhati politik dan Budaya tinggal di Yogyakarta)

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top