Pada bulan Maret 2020 lalu, Mahkamah Agung telah membatalkan ketentuan mengenai kenaikan iuran BPJS, melalui judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Mengacu pada putusan MA tersebut, pemerintah kemudian menurunkan tarif iuran BPJS seperti semula, terhitung sejak bulan April 2020 lalu.
Namun, hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Nominal kenaikan sama dengan kenaikan sebelumnya, bedanya hanya untuk golongan Kelas III, kenaikan ditunda sampai dengan tahun 2021 mendatang. Tentu saja, Perpres ini memicu banyak protes di tengah masa pandemi seperti saat ini. Pemerintah, tidak saja dianggap nir empati terhadap rakyat, namun muncul pula tudingan bahwa presiden telah melanggar konstitusi.
Melanggar Kostitusi
Pasal 24A ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Salah satu kewenangan MA yang diamanatkan oleh UUD pasca amandemen adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adanya macamnya, termasuk salah satunya adalah Peraturan Presiden. Artinya, pengujian yang dilakukan oleh MA terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, pada bulan April lalu, merupakan salah satu pelaksanaan amanat konstitusi. Sehingga, kebijakan Presiden Jokowi yang melanggar Putusan MA dengan mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, juga dapat dikategorikan melanggar konstitusi. Terlebih, dasar pembatalan Perpres dalam Putusan MA bukanlah aspek prosedural melainkan aspek substansial.
Sekalipun memang, karena yang dilanggar adalah konstitusi, maka tidak ada sanksi yuridis yang dapat dikenakan kepada presiden. Yang dapat dilakukan hanyalah kembali mengajukan judicial review Perpes tersebut kepada MA agar dibatalkan. Meski ada ruang impeachment yang dapat ditempuh jika presiden dianggap telah melanggar konstitusi, namun impeachment merupakan mekanisme politik yang hampir tidak mungkin sama sekali dapat terjadi dalam situasi seperti saat ini, di mana parlemen sepenuhnya dikuasai oleh koalisi pemerintah.
Namun demikian, terlepas dari apapun dinamika yang muncul atas lahirnya Perpres ini, tindakan Presiden Jokowi tidaklah terpuji. Hukum, baik melalui undang-undang maupun putusan hakim, adalah rel yang menuntun arah jalannya kereta Indonesia. Hukum tidak saja memungkinkan ketertiban muncul, namun juga menjadi legitimasi kuat adanya suatu pemerintahan. Terlebih, dalam konsepsi yang lebih teoritis, Presiden dan MA berada pada dua cabangan kekuasaan berbeda yang memiliki sejarah panjang. Presiden adalah rumpun cabang kekuasaan eksekutif, sedangkan MA adalah rumpun cabang kekuasaan yudikatif. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun tidak dipisahkan secara kaku. Dalam sejarah panjang negara, munculnya cabang kekuasaan yudikatif ini, adalah respon terhadap kesewenang-wenangan eksekutif dalam memerintah. Sehingga lahirnya yudikatif, sejatinya tidak lain untuk membatasi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif.
Dulu, kita sering kali mendengar orang berseloroh, biarlah saja jika ada suatu keputusan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), toh pemerintah dapat membuat keputusan serupa setelahnya. Hal ini dapat terjadi karena putusan PTUN, memiliki daya ikat dan daya paksa yang lemah, sehingga jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi yang dapat dikenakan. Ini adalah preseden buruk dalam berhukum, padahal tegaknya republik ini sangat bergantung pada tegaknya hukum kita sendiri. Dengan kata lain, menjunjung tinggi hukum, sama artinya dengan menjunjung tinggi NKRI. Biarlah ini menjadi sejarah kelam masa lalu Indonesia, jangan sampai menjadi kebiasaan yang terus terulang sampai hari ini, apalagi jika dilakukan oleh seorang presiden.