Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia

Membangun Peradaban Bangsa dengan Menegakkan Hak Asasi Manusia

Sama seperti halnya keadilan, hak asasi manusia merupakan bahasa universal bagi bangsa manusia dan menjadi kebutuhan pokok rokhaniah bagi bangsa baradab di muka bumi. Keadilan dan hak asasi manusia tidak mengenal batas territorial, bangsa, ras, suku, agama, dan ideologi politik. Keadilan dan hak asasi merupakan faktor determinan dalam proses eksistensi dan pembangunan peradaban umat manusia.

Bukti jejak sejarah kehidupan manusia menunjukkan adanya beberapa guru bangsa manusia, begitu pun adanya dokumen-dokumen hak asasi manusia yang berkorelasi dengan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Piagam-piagam tertulis tentang hak asasi manusia mengabadikan hati nurani dan akal manusia untuk tetap menghargai hak asasi dan martabat kemanusiaan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan selalu mendapat respon moral dan konsekuensi sosial politik sesuai dengan radius dan kompetensi otoritas yang berlaku.

Eksistensi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan merupakan ramuan dasar dalam membangun komunitas bangsa manusia yang memiliki kohesi sosial yang kuat. Betapapun banyak ragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, akan dapat hidup harmonis dalam suatu komunitas anak manusia, jika ada sikap penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan.

Eksistensi HAM berbanding lurus dengan keberadaan bangsa manusia sesuai dengan jangkauan pemikiran dan perkembangan lingkungannya. Untuk itu, setiap kejahatan HAM harus diadili karena kejahatan HAM telah, sedang, dan akan selalu menjadi awan gelap dalam perjalanan peradaban bangsa. Bangsa Jerman menanggung beban moral kejahatan HAM yang dilakukan oleh Hitler, Bangsa Jepang terbebani oleh kejahatan HAM tentara Jepang pada masa lalu, begitu pula kejahatan HAM yang terjadi di negara Kamboja, Bosnia Hersegovina, Rwanda, Indonesia, tindakan Amerika Serikat di Afghanistan, Irak, tahanan Guantanamo, dan lain-lain.

Pemikiran filosof Plato tentang Republic yang membicarakan tentang pemerintahan dan rakyatnya, hukum dan keadilan menunjukkan adanya perkembangan pemikiran yang menyangkut eksistensi dan perlindungan bagi manusia pada tahun 380 SM. Proses perkembangan pemikiran terus berlanjut sesuai dengan perkembangan bangsa manusia seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sirkulasi hukum alam, kejadian tentang revolusi sosial yang kemudian melahirkan dokumen piagam HAM, hukum HAM serta hukum acara pengadilan HAM, menunjukkan tahanan runtut adanya chaos, cosmos, logos, dan teknologos tentang penegakan HAM. Revolusi (chaos) Perang Dunia II melahirkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dalam dominan kosmos yang konsekuensi yuridisnya dilahirkan pula perangkat hukum di badan dunia PBB vang berada dalam domain logos dan teknologos. Revolusi sosial­politik Perang Dunia II karena telah ternyata pula terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan genosida (genocide) memunculkan Pengadilan HAM Internasionai Nuremberg dan Tokyo. Dalam hubungannya dengan Pengadilan Internasional Nuremberg ini, David Luban memaparkan this idea that Nuremberg was to be the Trial to end all the wars seems fantastic and naive forty years (and 150 waaars) later. It has also done much activities the real achievements of the trial, in particular the condemnation of crimes againts humanity (vide, Henry J. Steiner & r hillip Ashton, 2000 : 125)_ Dalam keiahatan terhadap kemanusiaan yang lain di belahan dunia pada tahun 1990-an muncul IC T Y (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia), ICTR (The International Tribunal for Rwanda), Sierra Lione, Kambodia, dan Indonesia.

Dan pengalarnan praktek penerapan international human rights law (Hukum HAM Internasional) dapat memunculkan konsep-konsep hukum HAM. Pelanggaran HAM yang berat termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dikualifkasikan sebagai the most serious crimes (kejahatan yang paling serius) dan merupakan musuh bersama seluruh ummat manusia (hostis humanis geneeris), sehingga menjadi kewajiban masyarakat internasional dan menuntut pertanggungjawaban negara untuk mengadili pelakunya (erga omnes obligation). Begitu pula munculnya wacana penerapan ex post facto law.

Keberadaan pegadilan HAM di Indonesia dengan alas hukum Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tidak lepas dari adanva pengaruh opini internasional. Kenyataan ini menyadarkan negara Indonesia untuk tidak lagi mempergunakan watak pemerintahan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru yang alergi terhadap demokrasi dan HAM. Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, negara Indonesia terihat melakukan perubahan sikap dalam merespon fenomena HAM. Hal ini ditunjukkan dengan mencabut beberapa undang-­undang yang kehilangan relevansi sosial-politiknya dan membuat undang-­undang yang menghargai serta menjamin nilai-nilai demokrasi dan HAM. Selain mengamandemen UUD 1945 dengan memberi jaminan ketentuan tentang HAM, negara Indonesia juga memberlakukan beberapa undang-undang yang berhubungan dengan HAM seperti antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahuri 2000 tentang Pengadilan HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional yang menyangkut HAM.

Penegakan HAM dan keadilan merupakan tiang utama dari tegaknya bangunan peradaban bangsa, sehingga bagi negara yang tidak menegakkan HAM dan keadilan akan menanggung konsekuensi logis yaitu teralienasi dari komunitas bangsa beradab dunia Internasional. Lebih dari itu, biasanya harus menanggung sanksi politis atau ekonomis sesuai dengan respon negara yang menilainya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kemanusiaan bersifat universal, apalagi era globalisasi dewasa ini. Secara yuridis, hukum HAM Internasional menentukan adanya Jus Cogen yang dikualifikasikan sebagai a peremtory norm of general international law. A norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by subsequent norm of general international law having the same character (vide Thomas Bueergental & Harold G. Maieer, 1990: 108).

Jadi ada kepribadian pokok dalam hukum HAM Internasional yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh komunitas negara-­negara beradab yang menyangkut nilai-nilai HAM, misalnya undang-undang suatu negara tidak boleh bertentangan dengan larangan hukum Internasional yang melarang perbudakan. Untuk itu menjadi kewajiban moral dan tugas dan perguruan tinggi, LSM, ormas, media massa, dan sejenisnya untuk selalu berteriak dan mengontrol jalannya pemerintahan dan lembaga Negara lainnya agar tidak melanggar HAM. Setiap kekuasaan pemerintah adalah sesuatu yang cenderung jahat dan melanggar HAM, tetapi pada saat yang sama diperlukan. Untuk itu siapapun yang memegang kekuasaan politik, apapun suku atau rasnya, apapun agamanya, apapun keyakinan politikny, wajib untuk dikontrol oleh rakyat.

Dalam era globalisassi, penegakan HAM dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan faktor perkembangan teknologi, terutama dalam hal yang menyangkut proses dan alat pembuktian dalam pengadilan HAM. Beberapa norma Internasional dalam proses pengadilan HAM telah diikuti dalam proses pengadilan HAM antara lain tentang adanya Disenting Opinion dalam putusan pengadilan. Keberadaan lembaga Pre-Trial akan dapat mendukung proses peradilan yang tidak menyita waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Lebih dari itu, perlu dihindari adanya proses peradilan yang dapat menimbulkan kecurigaan public nasional maupun internasional tentang adanya kesan proses peradilan yang melindungi pelaku kejahatan HAM.

Tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang pengadilan (courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu mengundang respon baik secara sosial, moral, maupun yuridis. Menjaga integritas Pengadilan HAM merupakan prasyarat untuk adanya respon positif terhadap penegakan HAM di masa mendatang. Eksistensi peran dan yurisdiksi pengadilan berkorelasi dengan perubahan dan perkembangan ideologi hukum yang hidup dalam masyarakat. Misalnya Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa ketentuan mengenai kewenangan atasan yang berhak menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1977 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran HAM yang berat menurut undang-undang.

Bunga rampai tulisan tentang hak asasi manusia dalam buku ini yang ditulis oleh para pemikir, pengamat dan pegiat HAM terlihat sebagai susunan pemikiran yang informatif dan analitis sehingga perlu dibaca oleh akademisi, praktisi dan masyarakat banyak.

Artidjo Alkostar

Mantan Direktur LBH Yogyakarta

Staf Ahli PUSHAM UII

Dosen Fakultas Hukum UII

Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top