Mengutip pendapat Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang bertujuan mengupayakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Maka kepentingan umum harus dileatakan lebih utama dari kepentingan pribadi dan ketika kepentingan pribadi yang utama maka sesungguhnya para pemegang kekuasaan telah menyalhgunakan wewenangnya. Sama halnya dengan fenomena korupsi yang telah melanda hampir semua negara di dunia merupakan bentuk peletakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.
Persoalan-persoalan korupsi selalu mengiringi dinamika kehidupan masyarakat dengan intensitas yang berbeda-beda tiap masanya. Catatan kuno tentang hal tersebut telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, dimana korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam bentuk suap menyuap, di Mesir, Babylonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno merupakan bentuk-bentuk korupsi yang ditemukan pada masa-masa itu. Namun seiring dengan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru perbuatan korupsi juga terjadi. Prilaku korupsi terdapat di dalam negara demokrasi, dalam negara diktator militer, disetiap tahap pembangunan dan segala jenis sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti yang terdapat di bekas Uni Soviet.
Oleh karena itu korupsi tidak saja ada di negara maju, tetapi juga terdapat di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di Negara-negara miskin korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi, dan mengerogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik.
Di negara maju akan menurunkan standar kehidupan dan mengerogoti keabsahan politik, di negara yang sedang mengalami masa transisi dapat mengerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Di negara berkembang akan mengalienasikan kepemimpinan politik dan semakin mempersukar adanya pemerintahan yang efektif. Pendeknya perbuatan korupsi dapat menjatuhkan suatu pemerintahan
Memahami Korupsi Politik
Dalam tulisannya dengan mengutip beberapa sumber penulis buku ini mengatakan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan politik baik karena dipilih maupun ditunjuk. Kedudukan politik para pelaku dapat sebagai presiden, kepala pemerintahan, para menteri, anggota parlemen yang seringkali mengunakan fasilitas dan kemudahan politis yang melekat dalam diri mereka. Korupsi politik dapat berbentuk tirani, penghianatan atau subversi, lobbyism, pembelian suara, kecurangan dalam pemilu, patronage dan favoritisme. Selain itu pelaku korupsi politik dapat bersifat individual, kelompok, kroni, keluarga, maupun rezim suatu pemerintahan.
Penyebab korupsi politik tentu bermacam-macam, dari yang bersifat sistemik hingga yang berisfat perilaku, yang kemudian menyatu dalam kekuasaan yang tanpa kontrol dari hukum, etika dan hati nurani. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini bahwa, nafsu politik kekuasaan yang buas, sarana dan prasarana ekonomi yang tidak transpasan, kontrol yang lemah, krisis moral para pemimpin, dan penegakan hukum yang lemah dimanfaatkan oleh pemegang kakusaan politik untuk melakukan tindakan-tidakan korupsi.
Dari sini terlihat bahwa korupsi politik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan etika. Kedua hal ini kemudian tidak mampu menjadi alat kontrol dalam proses-proses politik dan kekuasaan dalam suatu negara modern. Padahal dalam negara moderen kepatuhan terhadap hukum dan etika merupakan nilai moral tertinggi yang dapat memperkuat legitimasi kekuasaan di mata masyarakat.
Hukum dan etika akhirnya digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka bahkan tidak jarang digunakan sebagai instrumen untuk tindakan represif terhadap lawan-lawan politik. Seperti yang ditulis dalam buku ini bahwa intimidasi, ancaman, atau digiring ke penegak hukum merupakan suatu yang sering terjadi pada masa orde baru ketika masyarakat melakukan kontrol kritis terhadap prilaku para penguasa ketika itu sehingga hukum dan etika hanya menjadi simbol yang tidak bermakna.
Dalam konteks Islam penanggulangan korupsi politik telah dilakukan pada jaman Rasulullah, seperti diriwayatkan Abu Hamis As Sa’idi bahwa Rasulullah pernah memecat Ibnul Attabiyah pejabat pengumpul zakat dari kafillah Bani Sulaiman gara-gara menerima hadiah. Nabi juga melarang seorang pejabat menerima suap maupun hadiah. Di Jaman Kalifah Umar pernah ia memerintahkan Maslamah membagi dua kekayaan pejabat yang tidak wajar. Yang tercatat misalnya Gubernur Bahrain Abu Hurairah, Gubernur Mesir Amru Bin Ash, Gubernur Iraq Nu’man bin Ady, Gubernur Makkah Nafi’ bin Ammar Al Khuzai’i, Gubernur Yaman Ya’la bin Munabbib, Gubernur Kufah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Gubernur Syam Khalid bin Walid. Hal ini dilakukan karena Umar menduga bahwa penguasa berpeluang mendapatkan rejeki di luar kewajaran. Jika tak terbukti melakukan KKN, di akhir masa jabatan harta mantan pejabat itu di bagi dua, separuh diambil negara dan separuh di kembalikan tetapi jika harta itu terbukti di dapat dair KKN seluruh harta di sita negara (h.92-93)
Dampak Korupsi Politik
Praktek-praktek korupsi politik di banyak negara telah menempatkan pemegang kekuasan tertinggi sebagai pelakunya. Pemimpin Uganda Idi Amin; Mobutu Sese Seko dari Konggo; Jean Claude Duvalier dari Haiti; Jean Bodel Bokassa pemimpin Afrika Tengah; Zulfiqar Ali Bhutto pemimpin Pakistan; Augusto Pinochet pemimpin Chilie; Chun Do Hwan pemimpin Korea Selatan. Ini semua adalah gambaran tentang pelaku korupsi politk yang saat berkuasa adalah pemimpin negara tertinggi masing-masing.
Praktek-praktek korupsi para pejabat ini telah mengikis kredibilitas, mendelegitimasi kelangsungan kehidupan politik pemerintah serta menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi politik berimplikasi terhadap menurunnya kredibilitas pemerintahan baik secara nasional maupun internasional yang telah merugikan kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang menurut James C. Scott, adalah negara yang salah urus, dimana dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan yang merupakan akibat dari maraknya korupsi oleh pejabat negara . Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).
Membaca buku ini kita mendapatkan banyak informasi tentang korupsi politik yang terjadi di dunia internasional. Namun dibeberapa paragraf terjadi ketidak konsistenan yang dilakukan oleh penulis, salah satunya adalah dengan memasukan tentang pelanggaran berat HAM dalam buku ini, padahal sejak awal buku ini hanya membahas tentang korupsi politik dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran berat HAM. Selain itu ide yang melompat-lompat membuat kesulitan sendiri untuk memahami alur berpikir dari buku ini sehingga di butuhkan ketelitian dalam membacanya. Sebagai satu karya ilmiah yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor, buka ini mampu memberikan prespektif baru dari beragam soal tentang korupsi yang terjadi di banyak negara.