The first problem of the media is posed
by what does not get translated,
or even published in the dominant political languages.
(Jacques Derrida)
Prinsip nilai demokrasi salah satunya adalah nilai penghargaan atas ekspresi dan aktualisasi kebebasan berpendapat warga negara. Kebebasan bahkan menjadi term paling sentral perbincangan berkaitan dengan demokrasi. Setiap warga negara telah dijamin secara penuh untuk mengekspresikan prinsip itu. Tentu saja makna kebebasan itu tak semata hanya sebagai perkara ‘asal bebas’. Ada berbagai rambu dan instrumen negara yang telah mengaturnya. Jauh dari pandangan logika awam, nilai kebebasan sejatinya mengandung dimensi lebih dalam dan filosofis. Tidak dipungkiri, seringkali banyak kekeliruan dalam upaya memahami dan mempraktikan apa itu hakikat nilai kebebasan.
Demokrasi dan kebebasan memang tak luput membawa residu dalam artikulasi praktiknya. Salah satu yang tidak bisa dibendung tentu saja yakni ruang kebebasan bermedia dengan ragam ekspresi dan artikulasi yang terus berkembang. Tak jarang citra dan makna kebebasan menjadi diperburuk dengan berbagai diskursus yang sudah melampui batas norma dan etika hukum bermedia itu sendiri. Inilah salah satu bentuk dlema residu dan paradox nilai kebebasan. Utopia kebebasan bisa saja justru menjadi kerangka kuasa bagi pelemahan dan diskriminasi kebebasan orang lain.
Ujaran kebencian (hate specch) salah satu yang menggejala saat ini terutama dalam praktik masyarakat termediasi. Dinamika diskursus media telah mengalami transformasi begitu luar biasa. Kemunculan beraneka ragam jenis teknologi media sosial baru ikut menyumbang warna interaksi sosial masyarakat. Teknologi media sosial satu sisi telah memberi ruang terbuka bagi ekspresi, pendapat, sharing informasi, interaksi on line ataupun jenis-jenis komunikasi termediasi lainnya. Tak lupat pula, sisi yang lain mediasi media juga memberi banyak dialektika perdebatan, interaksi diskusi dan atau bahkan sampai bertebarnya ujaran-uajaran kebencian yang makin meresahkan.
Hate Speech memang menjadi ancaman dari prinsip moralitas, etika, hukum dan juga relasi antar masyarakat. Banyak peristiwa konflik besar dunia yang seringkali diawali dan diprovokasi oleh tindakan ujaran kebencian. Kegelisahn tentang Hate Speech juga direspon oleh negara, salah satunya mendorong institusi Kepolisian memberikan surat edaran resmi untuk mengatasi semakin berkembangnya Hate Speech. Pokok2 yang ada dalam surat edaran tersebut diantaranya adalah menyebut beberap tindakan yang bisa dikatagorikan Hate Specch adalah: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak meyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Poin dasar tindakan ini sejatinya juga sudah diatur dalam poun-poin KUHP. Ditambahkan bahwa seluruh tindakan tersebut di atas bisa akan berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan ata konflik sosial.
Pada surat edaran Kapolri nomor SE/06/X/2016 tersebut juga menyebutkan bahwa ujaran kebencian tersebut bisa menyangkut berbagai aspek, diantaranya dimensi suku, agama, aliran keagamaan, kepercayaan ata keyakinan, ras, antar glongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual. Ruang dan media apa saja yang bisa digunakan untuk membangun Hate Speech? Pada surat edaran dicontohkan eksplisit seperti orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, cerma keagamaan, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.
Menimbang beberapa item pasal di KUHP terutama pasal 156, 157, 311, 312 KUHP maka berbagai tindakan yang disebutkasn sebagai Hate Specch bisa dikenakan sanksi pemidanaan. Ditambah lagi kepolisan juga mempertimbangkan peran UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama pasal Pasal 28 jis pasal 45 UU ITE. Undang-undang yang juga terkait dengan kepentingan ini adalah Undang-undang No. 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis serta Undang-undang No. 07 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Secara legal hukum, sejatinya sudah banyak instrumen yang bisa dipaai untuk membaca dan memahami apa yang sejatinya difahami sebagai ujaran kebencian.
Namun jika dibaca lebih kritis, dimensi mendasar berkait dengan isu ujaran kebencian sejatinya tidak semata hanya bisa ditangkap dalam kaca mata legal formal. Berbagai praktik ujaran justru kian hari kian berkembang. Jikapun sudah ada tindakan hukum, justru dirasakan lebih tajam ke bawah. Bagi nalar kekuasaan, kebebasan ekspresi, tuntutan gagasan perubahan atau ide-ide kreatif untuk mengkritisi negara, malah sering disikapi sebagai ujaran provokasi kebencian. Apa yang dimengertin sebagai ‘pendapat kritis’ dan juga ‘ujaran kebencian’ batasnya menjadi tipis dan kabur.
Negara kerab menggunakan standar ganda dalam penanganan tentang ujaran kebencian. Provokasi kelompok-kelompok yang kerab melakukan represi, terror, diskriminasi dan intoleransi justru kerab dibiarkan, sementara kelompok minoritas yang terancam justru selalu tidak mendapat perlindungan yang memadahi. Satu sisi, gagasan kritis justru mudah dicurigai subversif dan mengancam status quo dan kerab diantisipasi dengan tindakan represif negara. Inilah problem mendasar dari kekacauan nalar perspektif dalam memaknai isu kebebasan dan eskpresi kebebasan di Indonesia. Penegak hukum juga seringkali lebih berorientasi pada nalar kekuasaan ketimbang prinsip penegakan hyukum yang berkeadilan.
Dari uraian di atas, ada tantangan penting untuk bisa merumuskan kembali berbagai topik menarik yang harus diperbaiki dan dikembangkan. Pertama, soal penterjemaham langkah menghadapi berbagai ihwal perekmabngan ujaran kebencian yang mengancam nilai toleransi dan demokrasi; kedua, tantangan terhadap prinsip openegakan etika dan hukum media yang menjadi sat instrument penting membaca persoalan isu ini; Ketiga, adalah menemukan tawaran-tawaran analisis kunci yang berharga bagi pembangunan iklim demokrasi dan interaksi sosial yang termediasi. Output besarnya tentu mengajak kita untuk bersama-sama bisa menjawab problem dan tantangan gejala krisis demokrasi media yang saat ini makin mersehakan. Tantangan praktisnya tentu kita diajak bisa merespon secara kritis dan membangun langkah strategis untuk bisa mengatasi gejalamaraknya uajaran kebencian dalam masyarakat kita.
Tujuan Gagasan Diskusi :
Mendiskusikan secara kritis tentang gejala maraknya tradisi ujaran kebencian (hate specch) dan tantangan terhadap dinamika ruang publik dan pengembangan masyarakat yang toleran dan demokratis.
Mendiskusikan secara kritis berbagai tantangan Etika, Hukum dan Prinsip-prinsip demokratisasi media berhadapan dengan merebaknya kultur ujuaran kebencian (hate specch) dalam pola-pola komunikasi masyarakat yang semakin termediasioleh teknologi media;
Mendiskusikan dan mengurai secara kritis topik perbincangan mendasar tentang isu-isu kebebasan, demokrasi dan masa depan media yang hari ini berjalan;
Merefleksikan dan menemukan rumusan dan rekomendasi berharga untuk menjawab ancaman kultur uajaran kebencian;
Pelaksanaan Acara :
Hari/Tanggal : Rabu, 17 Maret 2016
Waktu : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar Pusham UII Yogyakarta
Narasumber:
- Dr. Iqbal Ahnaf (Dosen dan Peneliti CRCS UGM)
- Eko Riyadi, MH (Direktur Pusham UII Yogyakarta)
- Anang Zakaria (Direktur Aji Yogyakarta, Wartawan Tempo)