(Pusham UII, 21/11/2024) – Bertempat di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Imparsial dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Problematika Hukuman Mati Pasca Pengesahan KUHP Baru di Indonesia.” Acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh dan pakar-pakar untuk membahas isu fundamental terkait hak untuk hidup dan implementasi hukuman mati di Indonesia.
Kegiatan tersebut dipandu oleh Fatma Reza, peneliti PUSHAM UII. Dalam pembukaan kegiatan tersebut, Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, memberikan sambutan dengan menyoroti urgensi penghapusan hukuman mati di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa di tengah sistem hukum yang belum sempurna, risiko salah tangkap dan salah hukum masih tetap tinggi. “Orang yang dihukum seumur hidup masih dapat dipulihkan nama baiknya, tetapi orang yang dihukum mati tidak mungkin dikembalikan nyawanya,” tegasnya. Ia menilai hukuman mati sebagai bentuk penghukuman tidak manusiawi yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Despan Heryansyah, yang bertindak sebagai moderator, mengawali diskusi ini dengan menekankan bahwa upaya judicial review terkait hukuman mati di Mahkamah Konstitusi telah dilakukan sebanyak dua kali, namun ditolak. “Upaya terakhir menggunakan jalan legislasi pada RKUHP, agar hukuman mati dihapuskan. KUHP-nya disahkan, tetapi hukuman mati masih diakomodasi, meski pidana mati menjadi hukuman alternatif, bukan lagi hukuman pokok,” jelasnya.
Sementara itu, Kezia Khatwani menekankan bahwa meskipun hukuman mati kini diklasifikasikan sebagai hukuman alternatif, penggunaannya masih kerap berlebihan di pengadilan. “Pengadilan sering kali tetap memberikan hukuman mati secara tidak proporsional,” ujarnya. Ia menilai perubahan dalam KUHP ini masih jauh dari cukup untuk menciptakan dampak praktis yang signifikan.
Muhammad Fatahillah Akbar menambahkan harapannya agar penghapusan hukuman mati dapat ditegaskan dalam undang-undang, sesuai dengan semangat menuju abolisi de facto. Di samping itu, Eko Prasetyo mengkritisi ketidaksesuaian antara KUHP baru dan aparat penegak hukum yang dianggap belum siap menghadapi perubahan tersebut. “KUHP-nya baru, tapi aparatnya lama,” katanya mengutip pendapat Mudzakkir.
Eko Riyadi, Direktur Pusham UII, menyampaikan pandangan filosofis tentang hak untuk hidup. “Hak untuk hidup itu supra-positif. Mau ada hukum positif atau tidak, hak itu sudah melekat pada setiap manusia. Tidak ada legitimasi moral atau filosofis bagi negara untuk mencabut hak hidup dengan hukuman mati,” tegasnya.
Diskusi ini menegaskan kembali urgensi reformasi hukum di Indonesia, khususnya terkait penghapusan hukuman mati. Para pembicara sepakat bahwa penghormatan terhadap hak hidup merupakan pilar fundamental dari negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (Mzdn)