BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Korupsi merupakan penyakit serius yang menjangkiti negara Indonesia. Tidak hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga telah menyebar ke daerah-daerah, ke desa-desa. Dalam laporan Transparansi Internasional  tahun 2012, negara Indonesia berada di rangking 118. Indonesia setara dengan Albania, Ethiopia, Guatemala, Nigeria, Timor Leste, Dominican Republic, Ekuador, Egypt dan Madagaskar. Rangking Indonesia ini tentu bukanlah satu yang membanggakan  tetapi sangat memprihatinkan.

Materi di atas mengemuka dalam training pengarusutamaan hak asasi manusia dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bagi hakim yang diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan NCHR bertempat di hotel Ambhara Jakarta pada 28 April-1 Mei 2014 dan pada 6-9 Mei 2014.

Artidjo Alkostar, hakim Agung dari Mahkamah Agung yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sampai dengan tahun 2014 ini semakin merajalela. Korupsi yang dominan ialah berkualifikasi korupsi politik. Korupsi politik berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius. Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak terpenuhi dengan baik. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terlanggar dengan sangat serius. Karena itu, Artidjo Alkostar mengatakan “Penegak hukum mesti berani berprinsip zero tolerance to corruption. Penegak hukum harus berani menghukum seberat-beratnya kepada kepada pelaku korupsi”

Pembicara yang lain, Suparman Marzuki mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan yang keji yang melawan agama, moral, etika, budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum. Tidak ada kejahatan yang paling mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan melebihi korupsi. Secara ekonomi, korupsi merugikan, menghambat, merusak bahkan menghancurkan harapan bagi kehidupan yang lebih baik untuk semua warganegara, termasuk generasi yang belum lahir. Karena itu, yang dibutuhkan pertama-tama bagi hakim adalah pelurusan paradigma, dan kemudian memposisikan kasus korupsi sebagai satu persoalan serius yang menggerogoti negara. Hakim mesti mengerti dampak-dampak korupsi.

Selain Artidjo Alkostar dan Suparman Marzuki, masih terdapat pemateri-pemateri lainnya yang mengupas korupsi dan hak asasi manusia. Dalam forum ini, peserta yang semuanya adalah hakim tindak pidana korupsi (TIPIKOR) terlihat antusias mendengar dan berdiskusi dengan para pembicara. Secara umum para peserta mengamini bahwa korupsi adalah tindak pidana yang terkatagori extra ordinary crime dan pelakunya mesti di hukum berat.(ms)

Indonesia adalah negara hukum. Salah satu prasyarat terpenuhinya prinsip negara hukum adalah adanya peradilan yang fair dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Peradilan yang fair menjadi prasyarat penting mengingat pengadilan merupakan institusi dimana masyarakat dapat menguji apakah hak-haknya telah terpenuhi atau belum. Di pengadilan pulalah masyarakat dapat menuntut jika kepentingan dan haknya dilanggar oleh pihak lain. Sebalikmya, jika pengadilan berbuat hukum yang tidak fair, maka pengadilan telah menghalangi, mengurangi bahkan mencabut hak dan kepentingan warga negara. Pada posisi ini, maka pengadilan telah berubah fungsi bukan lagi sebagai tempat pencari keadilan tetapi justru sebagai institusi pendorong munculnya ketidakadilan. Begitu pentingnya peradilan yang fair ini, maka hampir seluruh konstitusi di seluruh negara di dunia mencantumkan kemandirian peradilan dan kewajiban peradilan untuk bertindak fair menjadi salah satu prasyarat penting berdirinya negara tersebut. Pada tataran internasional, pengakuan pentingnya peradilan yang fair ini tercantum di dalam salah satu peraturan hak asasi internasional yang sangat penting yaitu pada Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia juga menjadi prasyarat penting demi terpenuhinya prinsip negara hukum. Hak asasi manusia adalah sekelompok norma yang mengatur tingkah laku negara, melalui aparaturnya. Hak asasi manusia menjadi patokan mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh negara kepada warga negaranya, dan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh negara kepada warganya. Terpenuhinya hak asasi manusia berarti terpenuhinya kewajiban negara dan juga terpenuhi pula alasan mengapa negara didirikan. Meminjam istilah John Locke, memang negara didirikan untuk memenuhi hak warga negaranya. Jika negara tidak mampu dan tidak mau memenuhi dan melindungi hak asasi manusia warga negaranya, maka negara itu layak untuk dibubarkan.

Pada perkembangannya, hak asasi manusia kemudian menjadi rezim hukum sendiri yang memiliki sistem dan mekanisme yang cukup rigid dalam implementasinya. Baik pada tataran internasional, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan juga pada tataran nasional, melalui mekanisme domestik seperti komisi nasional hak asasi manusia dan peradilan umum, hak asasi manusia telah menjadi bagian penting dari norma yang mengatur negara moderen. Pemenuhan hak asasi manusia juga menjadi prasyarat bagi sebuah negara untuk bergaul secara beradab di dunia internasional.

Khusus berkaitan dengan pelatihan yang akan diselenggarakan kali ini, isu pemenuhan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas telah menjadi isu internasional. Pada tataran tertentu, isu pemenuhan hak penyandang disabilitas telah menyamai isu pemenuhan hak perempuan, hak anak dan hak masyarakat adat. Artinya, isu pemenuhan hak penyandang disabilitas telah menjadi isu utama pada tataran masyarakat internasional. Secara normatif, pengakuan hak-hak penyandang disabilitas telah dikukuhkan di dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional melalui disahkannya Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bermakna dua hal, yaitu pertama, Indonesia telah mengikatkan diri dan masuk pada tataran konsep masyarakat internasional. Pada konteks ini, Indonesia harus sanggup dan siap ketika komunitas internasional bakal mengintervensi (secara legal) terhadap kondisi pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia. Kedua, pada konteks internal, Pemerintah Indonesia wajib memastikan bahwa sejak diratifikasinya Konvensi, Pemerintah Indonesia akan bersungguh-sungguh berusaha memenuhi prestasi Konvensi. Pemenuhan prestasi Konvensi ini dapat dilakukan melalui upaya legislasi, perencanaan kerja pada tataran eksekutif, dan juga pemenuhan hak melalui pendekatan yudikatif.

Pendekatan yudikatif inilah yang menjadi fokus pada pelatihan yang akan dilakukan kali ini. Dunia peradilan Indonesia memiliki kewajiban untuk mengembangkan skema dan peta pemenuhan hak penyandang disabilitas di peradilan. Tidak hanya berkaitan dengan pengakuan penyandang disabilitas sebagai subyek hukum secara penuh, tetapi juga sarana prasarana yang dibutuhkan demi memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.

Training yang akan diselenggarakan ini baru seputar pada diseminasi pemahaman mengenai penyandang disabilitas dan konsep pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas.             

Tujuan Kegiatan

  1. Memberikan pemahaman kepada para hakim tentang disabilitas, hak penyandang disabilitas dan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas.
  2. Mendorong pengadilan untuk bekerja dengan perspektif perlindungan bagi penyandang disabilitas.
  3. Mendorong pengadilan untuk mengembangkan inisiatif demi aksesibilitas peradilan bagi penyandang disabilitas.

Waktu dan Tempat

Waktu               : Senin-Kamis, 14-17 April 2014

Tempat             : Jogjakarta Plaza Hotel, Jl. Affandi-Complex Colombo, Yogyakarta

Peserta

  1. Peserta berjumlah sebanyak 30 orang
  2. Peserta berasal dari Pengadilan Negeri di Nusa Tenggara Timur, Pengadilan Negeri di Nusa Tenggara Barat, Pengadilan Negeri di Sulawesi Selatan, Pengadilan Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, Pengadilan Negeri di Jawa Barat dan Pengadilan Negeri di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.  

Materi Traning

Kebijakan Komisi Yudisial pada Pengembangan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Pengadilan. Oleh: Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia

Konsep Hukum Hak Asasi Manusia. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. dan M. Syafi’ie, S.H.

Konsep Disabilitas. Oleh: Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Konsep Disabilitas Kategori Intelektual. Oleh: Hari Kurniawan, S.H. dan Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Konsep Disabilitas Kategori Mobilitas. Oleh:Hari Kurniawan, S.H. dan Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Konsep Disabilitas Kategori Psiko Sosial. Oleh:Hari Kurniawan, S.H. dan Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Konsep Disabilitas Kategori Sensorik. Oleh:Hari Kurniawan, S.H. dan Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Konsep Disabilitas Kategori Komunikasi dan Multiple. Oleh:Hari Kurniawan, S.H. dan Dra. V.L. Mimi Mariani Lusli, M.Si., M.A.

Pemenuhan Hak Penyandang Disabiltas Kategori Intelektual. Oleh: Mahrus Ali, S.H., M.H.

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Kategori Mobilitas. Oleh: Mahrus Ali, S.H., M.H.

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Kategori Psiko Sosial. Oleh: Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H., LLM.

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Kategori Sensorik. Oleh: Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H., LLM.

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Kategori Komunikasi dan Multiple. Oleh: Mahrus Ali, S.H., M.H. dan Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H., LLM.

Penyelenggara

Pelatihan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dan di dukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Tantangan kerja institusi kepolisian semakin membutuhkan kesiapan lebih dalam menghadapi perkembangan situasi masyarakat yang semakin maju. Kebutuhan untuk mempersiapkan sumber daya kepolisian yang lebih terampil, kritis dan responsif terhadap berbagai problem masyarakat yang muncul menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Tidak hanya dalam kesiapan fisik, melainkan juga kesiapan nalar dan tradisi pemikiran yang lebih kuat. Pengembangan fisik selalu harus ditunjang dengan pengembangan kapasitas intelektualitas.

Barangkali tuntutan atas pengembangan kapasitas intelektualitas pada sumber daya kepolisian merupakan strategi penting yang tak boleh diremehkan. Kemampuan gagasan, pemikiran dan kerja-kerja penulisan kini tidak hanya tugas komunitas sipil non kepolisian, namun juga lembaga pendidikan kepolisian dan polisinya juga. Era keterbukaan informasi dan semakin meningkatnya tantangan atasnya, jelas-jelas harus disikapi dengan lebih kritis. Kerja-kerja pemikiran dan gagasan menjadi alat strategis dalam menunjang visi kerja institusi kepolisian.

Pengembangan tradisi ilmiah dan kerja-kerja penalaran yang bisa dituangkan dalam beberapa karya tulisan semakin menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Perubahan sistem pendidikan Akademi Kepolisian ke arah strata yang lebih tinggi harus ditunjang dengan pengembangan satu sistem yang memadahi bagi berkembangbiaknya kebudayaan ilmiah. Tak hanya sebagai syarat yang memang wajib, tetapi juga merupakan tuntutan serius dalam usaha peningkatan profesionalitas kepolisian ke masa depan. Secara taktis, status akreditasi A yang disematkan kepada Akademi Kepolisian menjadi tantangan yang serius untuk terus dipertahankan dan dikembangkan. Pola pengembangan yang musti dilakukan adalah membangun tradisi dan budaya ilmiah di lembaga pendidikan kepolisian. Tradisi dan budaya ilmiah tersebut nantinya akan sangat berguna untuk menunjang kerja-kerja teknis kepolisian. Tradisi dan budaya ilmiah juga sangat berguna untuk menyusun dasar kebijakan yang nanti akan digunakan oleh kepolisian. 

Di dalam kerangka di atas, PUSHAM UII dan Akademi Kepolisian telah mengadakan workshop penulisan bagi Perwira Siswa Akademi Kepolisian yang berakhir dengan penugasan kepada beberapa Perwira Siswa untuk menulis naskah akademik. Menindaklanjuti hasil workshop tersebut, maka naskah bunga rampai penulisan itu akan dipresentasikan di hadapan berbagai civitas akademik di dalam dan di luar Akpol. Kecuali sebagai bagian dari pertanggungjawaban hasil kerja workshop, maka seminar nasional ini bisa menjadi ajang promosi dan uji kapasitas kemampuan penulisan yang dilakukan oleh Perwira Siswa. Acara ini akan menjadi langkah awal yang bagus bagi pembudayaan tradisi ilmiah dan sekaligus peningkatan kualitas pendidikan Akademi Kepolisian secara umum.

Demikian yang menjadi latar pertimbangan mengapa seminar nasional ini digelar. Setidaknya acara ini menjadi pintu penting untuk membuka ketertarikan dan sekaligus budaya penulisan di lembaga pendidikan kepolisian. Hasil akhirnya, tentu saja hasil karya penulisan Perwira Siswa ini akan dijadikan buku yang berharga bagi contoh karya awal yang bisa diteruskan dalam generasi Perwira Siswa dan/atau Taruna setelahnya. Karya buku ini bisa jadi juga menjadi bagian penting mendorong kapasitas pertanggungjawaban ilmiah yang bisa dikembangkan dan dikerjakan oleh institusi Akademi Kepolisian.

Tujuan Kegiatan

  1. Menjadi sarana penting dalam pengembangan habitus dan tradisi ilmiah dalam institusi pendidikan di Akademi Kepolisian.
  2. Mendorong kapasitas kemampuan Perwira Siswa untuk merumuskan gagasan dan sekaligus menorehkan dalam karya penulisan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
  3. Menjadi wadah akademis untuk mengelaborasi peta konsep pengembangan lembaga pendidikan kepolisian untuk memperkokoh paradigma kepolisian serta menjawab kebutuhan-kebutuhan riil sesuai tuntutan perubahan zaman.

Bentuk Acara

  1. Seminar Hasil Karya Penulisan Perwira Siswa
  2. Seminar Nasional

Hari dan Tempat Pelaksanaan

Hari      : Kamis, 13 Februari 2014

Tempat : Akademi Kepolisian Semarang

Narasumber

  1. Nur Kholis, S.H., MA. (KOORDINATOR SUB KOMISI MEDIASI KOMNAS HAM)
  2. Prof. Dr. Adrianus Meliala (KOMPOLNAS)
  3. Irjen. Pol. Drs. Eko Hadi Sutejo, M.Si. (Gubernur AKPOL)

Peserta Undangan

400 orang yang terdiri dari Tenaga Didik Akpol, Perwira Siswa Akpol, Mahasiswa, NGO dan Undangan Lainnya.

Hak asasi manusia telah menjadi bahasa internasional dan menjadi rujukan peradaban modern. Suatu negara dianggap beradab jika negara tersebut telah mengadopsi dan menjadikan hak asasi manusia sebagai basis penyelenggaraan pemerintahannya. Salah satu indikator negara yang beradab adalah tatkala tidak ada diskriminasi dan pembedaan apapun, baik atas nama agama, kepercayaan, warna kulit, haluan politik, ideologi dan atau perbedaan lainnya. Sebagai satu sandaran peradaban modern, dunia internasional telah mensepakati DUHAM  (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) sebagai pijakan basis normatifitasnya.

Secara umum, tidak ada gugatan yang berarti dari negara-negara di dunia terhadap normatifitas hak asasi manusia internasional, utamanya terhadap rumusan DUHAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Salah satu ukurannya, mayoritas negara-negara di dunia saat ini telah meratifikasi instrumen-instrumen internasional, termasuk di antaranya adalah negara Indonesia. Saat ini sebagian besar instrumen internasional telah diratifikasi negara Indonesia, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik (KIHSP), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB), Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan beberapa instrumen hukum hak asasi manusia lainnya. Dampaknya, pemerintah Indonesia otomatis mengikatkan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Tiap beberapa tahun, pemerintah Indonesia dievaluasi bentuk tanggungjawabnya terhadap beberapa isu hak asasi manusia yang telah diratifikasinya.

Salah satu tanggungjawab pemerintah yang sering dievaluasi di dunia internasional adalah terkait tanggungjawabnya terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas. Di dunia internasional, dikenal beberapa kelompok minoritas seperti perempuan, anak, difabel, masyarakat adat, buruh migran, kelompok minoritas etnis, agama dan kepercayaan, lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Orang-orang yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas sangat rentan diberlakukan secara diskriminatif, sewenang-wenang, serta tidak sedikit dari mereka yang harus terusir dari tempat tinggalnya, terbunuh dan hidup dengan suasana kekerasan dan ancaman.

Pada beberapa kondisi, aparat negara yang selalu ditimpakan kesalahan dalam perlindungan kelompok minoritas adalah institusi kepolisian. Mengapa? Sebab institusi kepolisian adalah satu-satunya institusi yang diberi amanah oleh konstitusi untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas rasa aman masyarakat, dalam hal ini khususnya adalah kelompok minoritas. Kelompok minoritas ini disebut sebagai kelompok rentan karena kelompok minoritas tentu memiliki perbedaan pandangan bahkan keyakinan dengan kelompok masyarakat yang mayoritas. Karenanya, kelompok minoritas rentan diberlakukan sewenang-wenang oleh kelompok mayoritas. Aparat kepolisian dalam kondisi itu harus berada di garda terdepan untuk menjaga hak hidup dan keamanan kelompok minoritas. Polisi tidak dibenarkan sedikit pun membiarkan praktek kekerasan, ancaman, apalagi pembunuhan terjadi. Polisi juga sangat terlarang terlibat dan menjadi bagian yang mendorong terjadinya tindakan tidak manusiawi tersebut.

Begitu pentingnya perlindungan kelompok minoritas, pengetahuan tentang hak-hak kelompok minoritas menjadi penting untuk dipahami oleh institusi kepolisian, baik terkait eksistensi, kebutuhan, dan persoalan-persoalan yang kerap terjadi pada mereka di Indonesia. Termasuk yang mesti dipahami adalah instrumen hukum hak asasi manusia yang telah melindungi kelompok minoritas, dan termasuk bagaimana polisi mesti bertindak jika berhadapan dengan kelompok minoritas. Institusi kepolisian yang utama mengetahui tentang kelompok minoritas adalah Akademi Kepolisian Semarang, sebab di institusi inilah para pemimpin polisi bakal dilahirkan. Pihak utama yang mesti diberi pelatihan adalah para tenaga pendidiknya. Sebab, merekalah yang akan melakukan transformasi pengetahuan tentang kelompok minoritas kepada peserta didik.

Tujuan

  1. Meningkatkan pengetahuan para tenaga pendidik Akademi Kepolisian Semarang tentang teori dasar hak asasi manusia
  2. Mengantarkan pengetahuan para tenaga pendidik Akademi Kepolisian Semarang tentang kelompok rentan, baik eksistensi dan perlindungan hukumnya
  3. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan kelompok rentan di Indonesia


Peserta
Peserta adalah tenaga pendidik Akademi Kepolisian Semarang yang berjumlah 25 orang

Tempat dan Waktu
Waktu: Selasa-Kamis, 15-17 Januari 2014
Tempat: Hotel Horison Semarang, Jl. K.H. Ahmad Dahlan o. 2 Simpang Lima Semarang

Penyelenggara
Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII dan Akademi Kepolisian (AKPOL) Semarang

Pada tahun 2000, muncul kebijakan penting yaitu memisahkan institusi polisi sebagai aparat keamanan dan penegak hukum dari induk utama sebelumnya yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Setelah itu, institusi yang dikenal adalah Polisi Republik Indonesia sebagai aparat penyelenggara keamanan dan Tentara Republik Indonesia sebagai penjaga kedaulatan negara.

Pada awalnya, institusi kepolisian tergabung menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada kenyataannya, baik secara de facto maupun de jure,  ABRI memiliki fungsi tidak hanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban tetapi juga juga difungsikan sebagai lembaga penegak hukum, bahkan berperan dalam politik praktis. Pada beberapa kasus, kepolisian seringkali menjadi institusi kelas dua pada konteks penjagaan isu keamanan, kedaulatan dan penegakan hukum.

Catatan sejarah kelam tersebut hingga kini masih menimbulkan trauma yang mendalam bagi bangsa dan negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.  Catatan sejarah masa lalu itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan bukan negara hukum. Penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur negara menyebabkan tercederainya prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat.

Atas desakan reformasi 1998, kini peran dan fungsi kepolisian telah mengalami perubahan dan perbaikan demi memenuhi tuntuttan masyarakat yang demokratis. Perubahan tersebut berupa perubahan paradigma kepolisian yang sebelumnya adalah paradigma militer, dengan pendekatan militer, menjadi paradigma polisi sipil dengan semboyan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Perubahan tersebut diharapkan dapat mengubah kinerja kepolisian agar lebih optimal.

Selain perubahan paradigma di atas, institusi kepolisian mulai terbuka dan mengadopsi prinsip, nilai, standar dan norma hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa hak asasi manusia  telahmenjadi standar universal yang harus diikuti oleh semua negara demokratis. Hak asasi manusia dipahami sebaagai hak yang melekat pada dimensi kemanusiaan semua orang.  Hak asasi manusia menjadi tolak ukur atas bekerjanya sistem dan aparatur negara, bahkan institusi prifat seperti keluarga (konteks kekerasan dalam rumah tangga) dan perusahaan (isu hak buruh).

Saat ini, hak asasi manusia telah menjadi hukum posistif yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, hak asasi manusia telah menjadi tuntutan masyarakat terhadap sistem dan kinerja aparatur negara. Pada posisi ini, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang mengalami perkembangan demokrasi yang cukup pesat di dunia.

Posisi Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka seluruh aparatur negara berkewajiban untuk mengerti, memahami dan ahirnya menerapkan nilai dan norma hak asasi manusia. Seluruh aparatur negara, baik yang bekerja pada sektor administrasi sipil maupun yang bekerja pada sektor keamanan dan kedaulatan, wajib menjalankan tugasnya dengan menjunjung tinggi nilai dan norma hak asasi manusia. 

Pada kerangka inilah, Pusat Studi Hak Asasi Manusia  Universitas Islam Indonesia (PUSAHAM UII) dan Akademi Kepolisian (AKPOL) telah bekerjasama cukup panjang untuk mengadakan pelatihan hak asasi manusia bagi taruna-taruni, tenaga pendidik, tenaga pengasuh dan juga instruktur.

Akadami Kepolisian adalah lembaga yang memiliki posisi sangat strategis. Akademi Kepolisian merupakan lembaga pendidikan polisi yang akan mencetak perwira-perwira polisi yang akan bertugas di masa yang akan datang. Saat ini Akademi Kepolisisan mendorong proses pendidikan berbasis pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini dilakukan untuk mendorong munculnya pemimpin di jajaran kepolisian yang memiliki jiwa penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Harapan ini ditujukan kepada Akademi Kepolisian sebagai lembaga, maupun taruna/i sebagai individu yang akan bertugas sebagai polisi nantinya.

Untuk mencapai tujuan di atas, PUSHAM UII dan AKPOL akan menyelenggarakan pelatihan hak asasi manusia bagi tenaga instruktur Akademi Kepolisian. Tenaga instruktur menjadi kelompok strategis untuk menjadi media transformasi hak asasi manusia kepada tarauna/i pada semua proses pelatihan yang diselenggarakan. Pelatihan hak asasi manusia bagi instruktur dilakukan agar mereka memiliki kesamaan cara pandang yang sama dengan tenaga pendidik, pengasuh maupun para taruna/i,  sihingga penghormatan, perlidungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia khususnya oleh aparat kepolisan dapat terwujud dengan lebih baik.

Salah satu dasar penyelenggaraan pelatihan ini adalah Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indoneia Nomor 8 Tahun 2009 yang mengamanatkan pengimplementasian prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam kerja-kerja teknis kepolisian menyebutkan. Secara tegas, di dalam Perkap tersebut dinyatakan bahwa “Polisi Republik Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsinya.

Adapun maksud dan tujuan dari pelatihan ini adalah:

  1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting akan prinsip, nilai dan norma hak asasi manusia bagi tenaga instruksur di AKPOL Semarang;
  2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting mengenai berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan AKPOL Semarang dalam rangka penerapan dan pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia;
  3. Memberikan berbagai bentuk pelatihan dalam merancang dan mempraktikan secara lebih kongkrit bagaimana pola pelatihan di AKPOL agar selaras dengan  harapan dan cita-cita ideal kepolisian.

Materi dan Narasumber :

  1. Spiritualitas Kepolisian: Membangun Pola Pelatihan di Akpol yang berdimensi kemanusiaan.
    Oleh: Ahmad Sobari (Budayawan)
  2. Konsep Hak Asasi Manusia.
    Oleh : Eko Riyadi
  3. Pola Pelatihan Berperspektif Hak Asasi Manusia.
    Oleh : Prof. Adrianus Meliala
  4. Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
    Oleh: Atikah Nuraini
  5. Pendidikan Karakter untuk Pelatih Akpol.
    Oleh: Brigjenpol Drs. Srijono, M.Si (Wagub Akpol)

Waktu dan Tempat Pelaksanaan :

Waktu : Selasa-Jum’at, 17-20 Desember 2013
Tempat : Santika Premiere Hotel Semarang
Alamat  : Jl. Pandanaran No 116-120 Semarang 50241. No Telepon: 62-24-8413115, 8413121

Penyandang disabilitas masih saja dianggap sebagai bagian dari ketidaknormalan dalam suatu masyarakat. Anggapan miring dan perilaku diskriminatif tersebut masih dianggap sebagai suatu kepatutan dalam memperlakukan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat masih menegasikan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas, misal saja dianggap sebagai orang yang tidak produktif, tergantung pada orang lain, dan tidak cakap atas dirinya. Parahnya lagi, hal ini kemudian direduksi menjadi gugusan nilai yang salah kaprah dalam melihat persoalan disabilitas. Alhasil, jangan heran jika sampai saat ini program bagi penyandang disabilitas masih banyak bersifat karitas atau hanya mendudukkan penyandang disabilitas sebagai obyek dan bukan subyek hukum yang utuh.
Persamaan hak dan tersedianya layanan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas (baik fisik maupun non-fisik) menjadi suatu keharusan. Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun selain implementasinya yang lemah, penggunaan istilah “penyandang cacat” dalam undang-undang tersebut mengukuhkan kembali stigma negatif serta persepsi yang tidak tepat terkait dengan kemampuan para penyandang disabilitas. Perundangan ini pun dirasa kurang komprehensif dalam menjawab kebutuhan penyandang disabilitas. Bila kita melihat isinya, perundang-undangan ini memberikan pengaturan terhadap enam isu secara umum, yaitu pendidikan, ketenagakerjaan, aksesibilitas, rehabilitasi, bantuan sosial, dan kesejahteraan sosial. Sedang hak-hak politik dan isu lainnya seperti kesamaan di hadapan hukum, akses terhadap keadilan, budaya, dan olah raga tidak disebut-sebut.
Pada bulan Oktober tahun 2011, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas atau United Nations Convention on the Rights of Persons with Dissabilities (UNCRPD). Ratifikasi UNCRPD oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan yang memberikan pergeseran mendasar dalam melihat persoalan disabilitas, yakni dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia dan menegaskan bahwa penyandang disabilitas menikmati hak asasi manusia yang sama dengan orang-orang lainnya dalam ranah sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial. Dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, dijelaskan bahwa “disabilitas” adalah sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya (Preamble butir e). Pengakuan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa persoalan hambatan berpartisipasi harus menjadi tanggung jawab masyarakat dan Negara juga. Sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah yang mengakomodasi prinsip hak asasi manusia berupa prinsip non-diskriminasi, kesetaraan serta kesempatan yang sama dan mengakui adanya keterbatasan yang dapat diatasi jika diupayakan aksesibilitas fisik dan non-fisik merupakan faktor penting dalam mengatasi kondisi yang disebut “disabilitas”. Peningkatan kesadaran masyarakat dan tanggung jawab Negara untuk mengatasi disabilitas menjadi tugas penting sehingga setiap orang, terlepas dari jenis dan keparahan kecacatan (impairment) yang dimiliki mampu menikmati hak-hak mereka yang paling mendasar.
Kekhawatiran atas perlakuan yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas bukanlah perkara yang mengada-ada. Meskipun UUD 1945 memuat pernyataan yang jelas yang mendorong non-diskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan hak untuk memperoleh perlakukan yang sama di hadapan hukum, peraturan perundang-undangan terkait penyandang disabilitas tidak mewujudkan perlindungan-perlindungan tersebut. Salah satunya ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini membolehkan seorang suami melakukan poligami dalam situasi tertentu, salah satunya ialah bila istrinya memiliki atau menderita kecacatan fisik atau suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ada juga aturan KUHP dan KUHAP yang memandang penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang tak cakap hukum. Belum lagi bangunan-bangunan yang tidak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum, misal Kantor Kepolisian dan Pengadilan yang tidak ramah atas kebutuhan mereka.
Apabila regulasi saja sudah diskriminatif, lalu bagaimana prakteknya?. Padahal aturan-aturan hukum tersebut merupakan harapan munculnya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Persoalan semakin rumit lagi apabila dibenturkan dengan tradisi pendekatan formalistik dalam menafsirkan hukum.
Aparat penegak hukum di Indonesia, secara umum, lebih sering dan senang menggunakan pendekatan legisme positivistic dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan hukum. Hasilnya adalah hukum dipahami sebagai teks norma yang kaku yang hanya ditafsirkan secara gramatik tanpa memberikan pemihakan yang lebih jelas kepada korban dan kelompok masyarakat rentan termasuk di dalamnya adalah penyandang disabilitas. Pada konteks praktek hukum, penyandang disabilitas dianggap sebagai kelompok rentan lebih karena posisinya yang direntankan oleh teks dan sistem serta aparatur penegak hukum. Penyandang disabilitas seringkali menghadapi pengorbanan ganda (double victimization), di satu sisi telah menjadi korban kejahatan dan disisi lain menjadi korban atas stigma negatif dan ketertutupan akses keadilan akibat pemaknaan dan penafsiran sempit dari aparat penegak hukum.
Pada aspek praktek penegakan hukum, terdapat dua kontroversi penting yang harus diselesaikan. Pertama, kontroversi tersebut berkaitan dengan kasus dimana penyandang disabilitas sebagai korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus mengafirmasi bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum terkesan “malas” dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum untuk mengadili pelaku. Dengan alasan korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, maka proses peradilan perbuatan pidana tersebut tidak diteruskan. Pada kasus ini, aparat penegak hukum lupa bahwa korban, siapapun dia, seperti apapun kondisi fisik dan mentalnya, mereka adalah manusia yang memiliki hak atas perlindungan dari ancaman dan praktek perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. Di sinilah letak kewajiban Negara untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya, siapapun dia.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kesulitan menerapkan hukum manakala terdapat seorang penyandang disabilitas melakukan perbuatan pidana. Sebagai pelaku, maka ‘tersangka’ perbuatan pidana berhak atas berbagai perlindungan prosedural agar hak-hak mereka tidak terlanggar. Kontroversinya adalah apakah disabilitas pelaku dapat digunakan sebagai alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang mereka lakukan. Bagaimana proses peradilan bagi mereka? Apakah harus tertutup atau terbuka? Bagaimana jika pada kasus tersebut terdapat persilangan isu yang rumit. Contoh, terjadi perkosaan yang dilakukan oleh anak laki-laki, mentally retarded yang usia kalendernya sudah dewasa (26 tahun), tetapi usia mentalnya baru 11 tahun dan korban adalah perempuan mentally retarded usia 13 tahun. Bagaimana proses peradilan berjalan, apakah menggunakan sistem peradilan orang dewasa atau anak-anak? Dimana pelaku ditahan? Apakah disamakan dengan pelaku-pelaku lain atau diberi fasilitas yang khusus? Jika ditahan di rutan yang sama dengan pelaku lain, apakah tidak membahayakan untuk dirinya?
Dari sekian banyak persoalan tersebut, pertanyaan utamanya adalah bagaimana kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pelaku dan korban disabilitas pada proses penegakan hukum
Kontroversi kedua, adalah pada perkara-perkara perdata. Bagaimana status hukum penyandang disabilitas (jika tidak semua, misal pada beberapa kategori disabilitas seperti orang dan keterbelakangan mental/mentally retarded). Apakah mereka dapat memiliki legal standing yang sama dengan orang lain dalam perkara-perkara perdata. Apakah mereka dapat menjadi pihak penggugat pada perkara pembagian harta warisan? Apakah mereka dapat menggugat atas penyerobotan tanah miliknya yang dilakukan oleh orang lain dan/atau korporasi? Jika jawabannya bisa, bagaimana prosedur hukum penguasaan haknya kepada pihak lain?  
Berangkat dari berbagai hal diatas, maka dibutuhkan penguatan pengetahuan tentang isu-isu disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Maka Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia dengan dukungan dari Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) akan menyelenggarakan workshop penyusunan buku “Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas”.
Workshop dilaksanakan pada Kamis-Jum’at 12-13 Desember 2013. Bertempat di Hotel Grand Quality Yogyakarta, Jl. Adisucipto No. 48 Yogyakarta. Workshop bertujuan : (1) Memaparkan temuan penelitian pengalaman penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum (penelitian di Makasar, Solo dan Yogyakarta). (2) Penyusunan outline buku tentang “Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas”. (3) Merumuskan silabi pelatihan bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim di Indonesia.

Materi dan Narasumber :

  1. Praktek Peradilan Kasus yang Melibatkan Penyandang Disabilitas, baik Sebagai Pelaku maupun Sebagai Korban.
    Narasumber: Agus Darmanto, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo)
  2. Memahami Tanggungjawab Negara di Bidang Hukum Pasca Ratifikasi Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas.
    Narasumber: Aria Indrawati (Mitra Netra Jakarta)
  3. Memahami Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas.
    Narasumber: Pujiana (Yayasan ATMA Surakarta)
id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top