BERITA
Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia
- 10 Juni 2015
Berbagai persoalan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa sistem hukum belum bekerja dengan baik. Kisruh antar lembaga negara, perebutan kasus dan saling sikut antara lembaga penegak hukum, korupsi yang menggila, ketidakadilan dalam penegakan hukum, diparitas pemidanaan, penumpukan perkara di Mahkamah Agung, dan berbagai persoalan hukum lain menunjukkan bahwa hukum belum bekerja pada rel yang sesungguhnya. Hal ini juga mendorong munculnya ketidakpastian dalam hukum. Banyak data menunjukkan bahwa kasus yang sama diputus dengan cara dan hukuman berbeda.
Persoalan di atas terjadi salah satunya karena ketidak patuhan penyelenggara negara dan aparat penegak hukum pada aturan hukum yang telah disepakati bersama. Penyelenggara negara dan/atau penegak hukum mengedepankan kepentingan dan penafsirannya sendiri. Dari sisi akademis, para pegiat ilmu hukum lebih tertarik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan spesifik dan berpandangan bahwa satu kategori hukum tidak perlu dikembangkan dengan kategori hukum yang lain. Pandangan sempit seperti ini terjadi cukup lama dan memunculkan berbagai persoalan hukum.
Berangkat dari latar belakang di atas, PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights, Universitas Oslo, Norwegia akan menyelenggarakan pelatihan bagi dosen dengan tema Prinsip Negara Hukum (rule of law/reechtstaat) dan Hak Asasi Manusia.
Kegiatan ini akan menggabungkan model seminar dan training. Seminar dilaksanakan dengan mengundang beberapa narasumber pada hari pertama, training akan dilaksanakan dengan menggunapan metode active learning. Peserta akan menjadi narasumber bagi peserta lain dengan difasilitasi oleh fasilitator.
Tujuan:
- Menfasilitasi para dosen untuk belajar bersama mengenai pentingnya prinsip rule of law dan hak asasi manusia.
- Memberi ruang kepada para dosen untuk saling tukar perspektif tentang pentingnya rule of law dan hak asasi manusia bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
- Memberikan perspektif komparatif antara hukum hak asasi manusia dan kategori hukum yang lain dan urgensinya dengan pembangunan sistem hukum di Indonesia.
Peserta kegiatan ini adalah 40 orang dosen yang berasal dari berbagai kampus di seluruh Indonesia.
Waktu dan Tempat
Waktu : 3-6 Juni 2006
Tempat : Hotel Ambhara Jakarta.
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-Undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Senin-Kamis, 18-21 Mei 2015
Tempat : Grand Clarion Hotel and Convention, Jl. A.P. Pettarani No. 3 Makassar
Jumlah peserta 30 orang yang terdiri dari 10 orang penyidik polisi, 10 orang jaksa dan 10 orang adalah hakim dengan masa kerja maksimal 10 tahun. Seluruh peserta berasal dari Sulawesi Selatan dengan pembagian sebagai berikut: 10 orang hakim dari pengadilan negeri di wilayah Sulawesi Selatan, 10 orang jaksa dari kejaksaan negeri di wilayah Sulawesi Selatan, 10 orang penyidik polisi dari kepolisian resor di wilayah Sulawesi Selatan.
Pelatihan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta.
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-Undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan berkat kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Senin-Kamis, 23-26 Maret 2015
Tempat : Hotel Santika Mataram, Jl. Pejanggik No. 32, Mataram, Lombok, NTB
Jumlah peserta 30 orang yang terdiri dari 10 orang penyidik polisi, 10 orang jaksa dan 10 orang adalah hakim dengan masa kerja maksimal 10 tahun. Seluruh peserta berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan pembagian sebagai berikut: 8 orang hakim dari pengadilan negeri di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang hakim dari pengadilan negeri wilayah Nusa Tenggara Timur. 8 orang jaksa dari kejaksaan negeri di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang jaksa dari kejaksaan negeri wilayah Nusa Tenggara Timur. 8 orang penyidik polisi dari kepolisian resor di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 2 orang penyidik polisi dari kepolisian resor wilayah Nusa Tenggara Timur.
Pelatihan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI).
- 2 Januari 2015
Pelatihan HAM kali ini adalah pelatihan lanjutan bagi para Dosen yang sudah mendapatkan training HAM selama 5 kali sebelumnya, sehingga mereka dapat dibilang sudah mahir dalam hal ilmu pengetahuan tentang HAM. Ini adalah merupakan training terakhir bagi mereka dengan harapan mereka dapat menggunakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari pelatihan sebelumnya sebagai bekal untuk menganalisis materi dalam training HAM kali ini. Training yang diselenggarakan pada tanggal 8-11 Desember 2014 di Hotel Arya Duta Jakarta ini menitik beratkan pada materi analisis kasus-kasus HAM dengan instrument – instrumen HAM internasional dan nasional. Juga dilengkapi dengan peradilan Semu yang menggambarkan bagaimana peradilan HAM internasional menyidangkan suatu kasus yang diajukan oleh warga Negara kepada mahkamah peradilan HAM Internasional.
Pelatihan ini dihadiri oleh 36 peserta Aktif yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi antara lain Universitas Negeri Medan, STAIN KUDUS, Universitas Narotama Surabaya, STIPI Khadijah Surabaya, Universitas Islam Riau, Universitas Borneo Tarakan, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Universitas Pasundan Bandung, Universitas Sains Al Quran Wonosobo, Universitas Islam Indragiri Riau, Universitas Lampung, Universitas Pembangunan Indonesia Manado, Universitas Borneo Tarakan, Universitas Sam Ratulangi Manado, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Universitas Islam Madura, Undaris, Universitas Tadulako Palu, Universitas 19 November Kolaka Sulawesi Tenggara, STIH Sumpah Pemuda Palembang, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan Genggong Probolinggo.
- 1 Januari 2015
Pelatihan HAM kali ini adalah pelatihan lanjutan bagi para Dosen yang sudah mendapatkan training HAM selama 5 kali sebelumnya, sehingga mereka dapat dibilang sudah mahir dalam hal ilmu pengetahuan tentang HAM. Ini adalah merupakan training terakhir bagi mereka dengan harapan mereka dapat menggunakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari pelatihan sebelumnya sebagai bekal untuk menganalisis materi dalam training HAM kali ini. Training yang diselenggarakan pada tanggal 3-6 Desember 2014 di Hotel Arya Duta Jakarta ini menitik beratkan pada materi analisis kasus-kasus HAM dengan instrument – instrumen HAM internasional dan nasional. Juga dilengkapi dengan peradilan Semu yang menggambarkan bagaimana peradilan HAM internasional menyidangkan suatu kasus yang diajukan oleh warga Negara kepada mahkamah peradilan HAM Internasional.
Pelatihan ini dihadiri oleh 34 peserta Aktif yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi antara lain UNILA, IAIN Walisongo Semarang, , Universitas Jambi, UII Yogyakarta, Unimed, Unifersitas Negeri Bandung, Sekolah Tinngi ilmu Hukum Sumpah Pemuda, Akpol Semarang, Undip Semarang, Undaris Ungaran, Unirsitas Lambung Mangkurat Banjarmain, Universitas Balikpapan, Universitas Mataram, universitas Negeri Makasar, Universitas Tadulako palu, Universitas Udayana Bali, Universitas Padjajaran Bandung, Univrsitas Janabadra Yogya, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Trisakti Jakarta, Universitas Borneo tarakan Kaltim, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Nusa Cendana Kupang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Univesitas Widya Mataram Yogya, Universitas Sam Ratulangi manado, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Narotama Surabaya, UAD Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Palembang, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Universitas Haluoleo Kendari, Universitas hasanuddin Makassar, dan Universitas Brawijaya malang.
Korupsi merupakan penyakit serius yang menjangkiti negara Indonesia. Tidak hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga telah menyebar ke daerah-daerah, ke desa-desa. Dalam laporan Transparansi Internasional tahun 2012, negara Indonesia berada di rangking 118. Indonesia setara dengan Albania, Ethiopia, Guatemala, Nigeria, Timor Leste, Dominican Republic, Ekuador, Egypt dan Madagaskar. Rangking Indonesia ini tentu bukanlah satu yang membanggakan tetapi sangat memprihatinkan.
Materi di atas mengemuka dalam training pengarusutamaan hak asasi manusia dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bagi hakim yang diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan NCHR bertempat di hotel Ambhara Jakarta pada 28 April-1 Mei 2014 dan pada 6-9 Mei 2014.
Artidjo Alkostar, hakim Agung dari Mahkamah Agung yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sampai dengan tahun 2014 ini semakin merajalela. Korupsi yang dominan ialah berkualifikasi korupsi politik. Korupsi politik berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius. Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak terpenuhi dengan baik. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terlanggar dengan sangat serius. Karena itu, Artidjo Alkostar mengatakan “Penegak hukum mesti berani berprinsip zero tolerance to corruption. Penegak hukum harus berani menghukum seberat-beratnya kepada kepada pelaku korupsi”
Pembicara yang lain, Suparman Marzuki mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan yang keji yang melawan agama, moral, etika, budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum. Tidak ada kejahatan yang paling mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan melebihi korupsi. Secara ekonomi, korupsi merugikan, menghambat, merusak bahkan menghancurkan harapan bagi kehidupan yang lebih baik untuk semua warganegara, termasuk generasi yang belum lahir. Karena itu, yang dibutuhkan pertama-tama bagi hakim adalah pelurusan paradigma, dan kemudian memposisikan kasus korupsi sebagai satu persoalan serius yang menggerogoti negara. Hakim mesti mengerti dampak-dampak korupsi.
Selain Artidjo Alkostar dan Suparman Marzuki, masih terdapat pemateri-pemateri lainnya yang mengupas korupsi dan hak asasi manusia. Dalam forum ini, peserta yang semuanya adalah hakim tindak pidana korupsi (TIPIKOR) terlihat antusias mendengar dan berdiskusi dengan para pembicara. Secara umum para peserta mengamini bahwa korupsi adalah tindak pidana yang terkatagori extra ordinary crime dan pelakunya mesti di hukum berat.(ms)