BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Institusi Kepolisian adalah salah satunya lembaga hukum yang mempunyai kewenangan sangat besar dalam tugas perlindungan HAM masyarakat. Mengapa bisa demikian? Karena Kepolisian adalah lembaga yang mempunyai kewenangan lengkap untuk menangkap, menahan dan bahkan menindak tegas persoalan perkara hukum masyarakat.  Institusi ini dilengkapi dengan berbagai perangkat pokok (senjata) yang berfungsi untuk mengamankan, melumpuhkan bahkan hingga mematikan (membunuh) seseorang jika seseorang dianggap pantas untuk menerima tindakan tersebut.

Dengan sekian poin kelimpahan wewenang itu pula, institusi kepolisian menjadi lembaga yang juga rentan terhadap penyalahgunaan, penyelewengan serta penyimpangan-penyimpangan yang lain yang berkorelasi dengan tindakan pelanggaran HAM terhadap subjek masyarakat. Kewenangan dan tugas yang besar selalu akan mengandung peluang lubang penyimpangan dan penyalahgunaan jika sistem kontrol dan sistem pengawasan tidak berjalan dengan baik. Dalam dimensi politik, sama persis dengan pepatah penting bahwa kekuasaan selalu menyimpan peluang benih penyimpangan jika tidak ada sistem yang baik untuk mengawasinya.

Untuk membangun aturan, sistem kontrol dan juga mekanisme pelaksanaan tugas maka banyak dibentuk berbagai aturan baik undang-undang sampai tingkat perkap dan pelaksanaan aturan sampai SOP di tingkat operasional teknisnya. Semua mekanisme dan tata aturan itu secara ontologis dimaknai dan dipakai sebagai sistem kerja kepolisian. Tanpanya tentu, secara praktek kerja-kerja kepolisian tidak akan berjalan dengan baik dan benar sesuai mandat utama yakni melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum di masyarakat.

Pada perkembangannya, kepolisian dihadapkan pada sekian persoalan tantangan yang ada yang semakin kompleks. Realitas perubahan sosial politik ekonomi yang semakin kompleks dan juga ekses-ekses persoalan yang ditimbulkannya juga semakin besar dan rumit. Disadari dalam perkembangan itu, institusi kepolisian terus berbenah dan selalu memperbaiki diri untuk bisa beradaptasi dengan kebutuhan kongkrit masyarakat. Institusi kepolisian juga tidak memungkiri bahwa dalam rentang perjalanan itu juga mengalami proses dinamika jatuh bangun dan menemui berbagai problem baik internal maupun persoalan dengan tantangan kepolisian.

Dalam berbagai temuan data baik peristiwa yang terekam dalam berbagai media atau juga hasil temuan riset tentang institusi kepolisian, masih banyak ditemukan problem persoalan yang cukup krusial. Salah satunya adalah tingkat kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi Kepolisian. Bahkan dalam berbagai survey yang ada, institusi Kepolisian ditempatkan sebagai institusi negara yang paling rentan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM itu tersebar dari berbagai kasus dan juga dimensi kerja kepolisian. Ia bisa merentang pada kerja pelayanan, tugas perlindungan sampai penanganan kasus-kasus perkara yang ditangani oleh kepolisian. Tentu hasil rekam media dan juga temuan riset berbagai lembaga sosial tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.

Mencari akar dan jantung persoalan dari faktor-faktor mengapa fenomena itu masih berlangsung tentu tugas yang sangat penting. Tentu saja ada banyak dimensi variabel yang perlu dibaca. Salah satu dimensi yang perlu diurai adalah persoalan input pelatihan untuk para lulusan taruna kepolisian. Apakah input pendidikan dan latihan tentang praktek kerja kepolisian yang sensitif terhadap prinsip HAM sudah dilakukan dengan benar? Seorang oknum kepolisian terbiasa melakukan tindakan yang jauh dari spirit HAM bisa jadi karena ia sama sekali tidak mendapatkan pendidikan yang memadai tentang teknis, cara dan berbagai pengetahuan dasar tentang HAM. Kekurangan asupan pelatihan kerja kepolsian yang berperspektif HAM dengan sendirinya bisa berimbas ketika para taruna sudah berpraktek di lapangan. Membangun isi pendidikan pelatihan HAM menjadi relevan untuk diberikan secara serius kepada taruna.

Oleh sebab itu, untuk merespon kebutuhan ini, Pusham UII Yogyakarta bekerjasama dengan Akpol Semarang berniat akan menyelenggarakan Workshop Pelatihan terkhusus untuk tenaga pelatih Akpol dalam isu dan tema ‘Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pendidik Akpol Semarang’. Setidaknya workshop ini diharapkan bisa menjawab dan mempersiapkan tenaga kepolisian yang tidak hanya mengetahui HAM secara normatif tetapi bisa menerapkan pada berbagai aplikasi kerja di lapangan. Kegiatan dilaksanakan di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada hari Rabu–Jumat , 7 – 9 Desember 2016

Tujuan Workshop

  1. Memberikan pengetahuan, pemahaman dan juga teknik penerapan tentang prinsip nilai-nilai HAM dalam tugas kerja kepolisian;
  2. Memberikan pengetahuan, pemahaman dan juga teknik penerapan langsung pada teknik penanganan perkara yang menghormati perspektif dan prinsip aturan nilai HAM;
  3. Memberikan klinik pelatihan langsung berbagai metode penanganan perkara yang lebih berdimensi HAM.

Konstitusi Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini merupakan penegasan normatif akan pentingnya hukum dijadikan sebagai dasar pengelolaan negara. Pernyataan ini juga sekaligus menjadi penanda utama untuk membedakannya dengan model pemerintahan sebuah negara yang didasarkan pada kekuasaan semata, baik itu kekuasaan monarki ataupun kekuasaan tirani.

Konsekuensi dari pilihan di atas adalah bahwa secara normatif, hukum haruslah dijadikan panglima. Secara normatif, prinsip negara hukum berarti bahwa warga negara dan mereka yang memerintah harus sepatutnya mematuhi hukum. Prinsip negara hukum berlaku dalam hubungan antara cabang-cabang kekuasaan seperti pemerintah (executive), dewan perwakilan rakyat (parliament), dan kekuasaan kehakiman (judicative). Prinsip negara hukum juga mengatur bagaimana antar warga negara dan aktor privat saling berinteraksi.

Kewenangan cabang-cabang kekuasaan negara, bagaimana menggunakan dan melaksanakan kewenangan tersebut, bagaimana cara penyelesaian jika terjadi perselisihan antar cabang kekuasaan negara, seluruhnya diatur dan harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Pemerintah yang akan mengeluarkan anggaran demi melaksanakan program kerja, dewan perwakilan rakyat yang akan menyusun ketentuan perundang-undangan, kekuasaan peradilan yang akan menjatuhkan hukuman atas perilaku pelanggaran hukum harus seluruhnya didasarkan pada jaminan hukum yang memadai.

Di sisi lain, ketika antar warga negara hendak melakukan kontrak jual beli, ketentuan kopensasi atas tindakan wan prestasi oleh sebuah perusahaan, perlindungan hukum bagi seseorang pasca putusnya hubungan keluarga, semuanya dilakukan berdasarkan hukum. Singkatnya, prinsip negara hukum berlaku bagi hubungan antara pihak yang berada pada dan di bawah suatu pemerintahan dan mereka yang memerintah, dan hubungan antara entitas privat, baik itu orang secara fisik atau secara hukum, seperti asosiasi dan perusahaan. Hal ini perlu ditekankan, karena kadang ada orang-orang yang berpendapat bahwa supremasi hukum secara eksklusif mencurahkan perhatian pembatasan penggunaan kekuasaan pemerintah.

Berangkat dari penjelasan di atas, prinsip negara hukum sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas menyangkut seluruh aspek kehidupan sebuah negara. Jamuan ilmiah yang akan dilaksanakan ini hanya akan mengambil satu aspek dari substansi prinsip negara hukum yaitu aspek kekuasaan yudikatif.  Kekuasaan peradilan menjadi factor penentu dari aspek yang lain. Kekuasaan peradilan akan menjadi penjaga utama agar seluruh tindakan negara dan juga warga negara selalu sesuai dengan standar hukum dan setiap pelanggaran akan mendapatkan hukuman yang sesuai. Kekuasaan peradilan menjadi benteng terakhir dari jalannya sebuah sistem hukum di suatu negara. Pada konteks ini, integritas, profesionalisme dan independensi kekuasaan peradilan menjadi prasyarat mutlak. Di dalam kerangka inilah Jamuan Ilmiah tentang Rule 0f Law/Rechtsstaat: Peluang dan Tantangan dalam Penegakan Hukum dan Keadilan Di Indonesia perlu diselenggarakan.

Secara teknis, kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendorong perbaikan sistem hukum di Indonesia. Juga untuk mendorong kerja sinergis antar tingkatan pengadilan dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Kegiatan ini akan diikuti oleh ketua pengadilan negeri dari berbagai daerah di Indonesia.

Waktu dan Tempat :

Hari                 : Selasa – Kamis

Tanggal           : 29 November – 1 Desember 2016

Tempat            : Hotel Grand Mercure Harmony, Jl. Hayam Wuruk 36/37, Jakarta

Kegiatan ini diselenggarakan kerjasama antara Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, Latihan, Hukum dan Keadilan Mahkamah Agung (BALITBANGDIKLATKUMDIL MA) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan dukungan dari Norwegian Center for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, Norwegia.

Peserta :

  1. Ketua Pengadilan Negeri Balikpapan
  2. Ketua Pengadilan Negeri Nunukan
  3. Ketua Pengadilan Negeri Banjarmasin
  4. Ketua Pengadilan Negeri Kupang
  5. Ketua Pengadilan Negeri Manggarai
  6. Ketua Pengadilan Negeri Sikka
  7. Ketua Pengadilan Negeri Mataram
  8. Ketua Pengadilan Negeri Bima
  9. Ketua Pengadilan Negeri Lombok Tengah
  10. Ketua Pengadilan Negeri Makasar
  11. Ketua Pengadilan Negeri Bone
  12. Ketua Pengadilan Negeri Maros
  13. Ketua Pengadilan Negeri Majene
  14. Ketua Pengadilan Negeri Polewali Mandar
  15. Ketua Pengadilan Negeri Sorolangun
  16. Ketua Pengadilan Negeri Jambi
  17. Ketua Pengadilan Negeri Kota Bengkulu
  18. Ketua Pengadilan Negeri Medan
  19. Ketua Pengadilan Negeri Batam
  20. Ketua Pengadilan Negeri Bintan
  21. Ketua Pengadilan Negeri Palalawan
  22. Ketua Pengadilan Negeri Bengkalis
  23. Ketua Pengadilan Negeri Pekan Baru
  24. Ketua Pengadilan Negeri Padang
  25. Ketua Pengadilan Negeri Bukit Tinggi
  26. Ketua Pengadilan Negeri Musi Banyuasin
  27. Ketua Pengadilan Negeri Muara Enim
  28. Ketua Pengadilan Negeri Lampung Selatan
  29. Ketua Pengadilan Negeri Lampung Barat
  30. Ketua Pengadilan Negeri Lampung Timur

Kenyamanan memeluk agama dan beribadah merupakan hak setiap umat beragama, apapun agamanya. Hal yang seringkali masih dimaknai salah kaprah oleh publik, terutama penyelenggara negara (Akademisi wajib meluruskan dengan hasil riset) bahwa Indonesia hanya mengesahkan 6 agama sebagai agama resmi. Pandangan yang salah ini (bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945)berimbas pada dimensi pelayanan hak dasar warga negara, diantaranya pengakuan atas agamnya, seolah-olah selain 6 agama tidak sah, sehingga keberadaan sealin 6 agama dinafikan meskipun kewajiban sebagai warga negara dituntut untu di[penuhi, seperti wajib bayar pajak dan ketentuan hukum lainnya.

Proses diskriminasi dan perlakuan tidak adil ini salah satunya diderita oleh umat pemeluk agama Baha’i, sebuah nama yang tentu masih asing ditelinga publik. Agama Baha’I berdasarkan surat Sekjen Kemenag No.SJ/B. VII/1/HM.00/675/2014 tanggal 24 Februari 2014.menyatakan bahwa Baha’I adalah suatu agama, bukan aliran dan suatu agama, dapat hidup di Indonesia dan siapa saja WNI berhak memeluk agama Baha’I serta beribadat menurut ajaran Baha’i. mendapat jaminan penuh dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar perundangan, dan berhak mendapatklan pelayanan kependudukan.

Hasil riset yang telah dibukukan oleh Dr. Moh Rosyid, dengan judul ‘Agama Baha’I : dalam Lintasan Sejaran di Jawa Tengah’ menemukan berbagai kesenjangan pelayanan negara pada umat pemeluk Baha’I tidak sebagaimana sesuai surat Kemenag yang sudah dikeluarkan. Kesenjangan itu perlu didiskusikan untuk mendapatkan jalan bijaksana agar perlindungan dan pelayanannya dipenuhi dan negara tidak berlarut-larut menjadi pelaku pelanggaran HAM. Di sisi lain, umat Baha’I sebagai minoritas tetap teguh mentaati segala peraturan pemerintah RI dengan setulus hati. Mendiskusikan berbagai problem persoalan ini adalah menjadi tanggung jawab etis semua akademisi.

Tujuan Diskusi :

  1. Mempresentasikan hasil riset kajian mendalam yang telah dilakkan oleh Dr. Moh Rosyid yang telah dibukukan dalam karya : Agama Baha’I : Dalam Lintasan SejarahDi Jawa tengah.
  2. Memberikan gambaran tentang sejarah dan lintasan pergulatan hidup agama Baha’I di Indonesias
  3. Mendiskusikan tentan berbagai bentuk kesenjangan dan tindakan diskriminatif yang masih sering terjadi pada umat pemeluk agama Baha’I di Indonesia.

Narasumber :

  1. Dr. Moh Rosyid (Penulis Buku : Agama Bahai dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah)
  2. Amanah Nurish, MA (Kandidat Doktor di ICRS UGM dan Peneliti sekaligus Konsultan di USAID))

Tempat Acara :
Aula Diskusio dan Budaya Kantor Pusham UII Yogyakarta Alamat : Jeruk Legi Rt. 13. Rw. 35 Gang Bakung No 517A Banguntapan Bantul Yogyakarta, 55198, Telp  0274-452032.

Waktu dan Jam Pelaksanaan :
Hari Jumat, 11 November 2016
Pukul : 13.00 sampai 17.30 WIB

Sebaga tuntutan mendasar dari visi peningkatan kualitas kelembagaan pendidikan Akpol, pengembangan kapasitas keahlian riset dan penulisan adalah dimensi penting yang tidak boleh diabaikan. Dalam khasanah dasar Tri Darma Perguruan Tinggi, Riset penelitian bahkan ditempatkan menjadi bagian pilar yang wajib untuk dikerjakan. Secara institusional, lembaga pendidikan tinggi seperti Akpol juga mempunyai kewajiban mengembangkan tradisi riset dan penulisan sebagai fitrah eksistensi yang tidak bisa ditinggalkan.

Riset dan penulisan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Riset dan penulisan mengandaikan kemampuan manusia dalam mencari kedalaman fakta kebenaran. Apa yan dicari oleh riset dan dituangkan dalam narasi tulisan adalah upaya untuk menyampaikan dan mengungkapkan fakta-fakta kebenaran dalam tulisan. Prinsip besar dalam tradisi ilmiah sendiri tentu berusaha untuk menghindari kerja-kerja kebohongan dan pemalsuan fakta.

Apa relasinya dengan tugas-tugas pokok kepolisan? Institusi pendidikan kepolisian bertugas menpersiapkan anak didiknya untuk mampu dan fasih mrmbaca setiap realitas sosial yang ada. Nalar riset tentu saja sangat membantu dalam pengembangan perspektif, logika dan juga tradisi berpikir yang lebih maju bagi kepolisian. Problem sosial dalam hamparan realitas yang kompleks tentu hanya bisa ditangkap dan difahami oleh mereka yang mempunyai kemampuan membaca, melihat dan menganalisis situasi kompleksitas tersebut.  Perspektif riset adalah alat bantu yang cukup kuat untuk mendukung kerja-kerja praksis kep9olisian.

Untuk menyiapkan anak didik Taruna yang bisa terampil dan ahli dalam dunia penelitian dan penulisan tentu saja Akpol juga harus menyiapkan sistem tradisi dan juga sumber daya pengajar yang berpengalaman. Kemampuan dan kapasitas keahlian riset dan menulis tidak byurun dari langit atau bawaan biologis. Kemampuan riset dan menulis bisa didapat melalui proses belajar dan ketekunan pengalaman. Melalui penguatan pembelajaran terus-menerus, maka sistem tradisi riset dan kapasitas tenaga pendidiknya juga akan bisa berkembang.

Melalui dasar nalar pertimbangn ini, maka Pusham UII Yogyakarta bekerja sama dengan Akpol Semarang akan menyelenggarakan Workshop Pelatihan Riset dan Penulisan bagi Tenaga Pendidika Akpol Semarang. Hadirnya workshop pelatihan ini semoga biosa menjadi ruang bermanfaat bagi upaya peningkatan kapasitas tenaga pendidik Akpol. Workshop secara prinsip diharapka bisa menjawab dasar kepentingan untuk meningkatkan kemampuan riset dan penulisan dalam iklim pendidikan Akpol secara lebih luas.

Proses pembelajaran dalam workshop pelatihan ini akan dikembangkan dengan penggabungan pendekatan pemberian pengetahuan materi oleh narasumber, pendalaman perspektif dengan analisis kasus, dan klinik menulis yang didampingi oleh fasilitator.

Narasumber yang akan dihadirkan adalah dari penulis dan peneliti yang kompeten dan berpengalaman dalam khasanah dunia riset dan penulisan. Fasilitator aka dikerjakan oleh para peneliti dan penulis yang didampingi juga oleh fasilitator Akpol Semarang. Workshop Pelatihan akan dilaksanakan pada hari Selasa sampai Kamis, 25 -27 Oktober 2016. Bertempat di Hotel Santika premiere Jogja.

Adapun tujuan dari Workshop ini adalah :

  1. Menjadi sarana pembelajaran dan penguatan pemahaman, kemampuan dan keahlian riset dan penulisan bagi Tenaga Pendidik Akpol Semarang.
  2. Sebagai sarana untuk ikut memberi masukan bergharga bagi pengembangan dan peningkatan tradisi akademis terutama kerja-kerja kemampuan riset dan penulisan
  3. Menjadi sarana penguatan kapasitas kelembagaan Akpol yakni peningkatan kualitas sistem pendidikan dan pembangunan tradisi ilmiah sebagai tuntutan wajib dari posisi dan kedudukan Akpol yang meluluskan Taruna setingkat strata 1 (S1).

Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru. Jauh melebihi substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dinilai lebih dekat dengan konsep ketidak-berdayaan. Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memposisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Ragam paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel  sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.

Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Kegiatan dilaksanakan pada hari kamis hingga sabtu, 20 – 22 Oktober 2016 di Jogjakarta Plaza Hotel yang beralamatkan : Jl. H. Affandi, Gejayan, Komplek Colombo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun jumlah peserta 35 orang yang terdiri dari: 2 orang hakim dari Pengadilan Negeri Wonosari, 2 orang jaksa dari Kejaksaan Negeri Gunungkidul, 13 orang dari Unit PPA dari seluruh Polsek di Gunungkidul, 18 orang Kapolsek dari seluruh Polsek di Gunungkidul

Tujuan dari kegiatan ini adalah :

  1. Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  2. Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  3. Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
  4. Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.

Salah satu tugas dari kerja jurnalistik adalah mampu menyampaikan fakta kebenaran. Sedangkan kita sadari bahwa apa yang disebut ‘fakta’ tidak bisa berbicara pada dirinya sendiri. Setiap ‘fakta’ butuh diartikulasikan melalui medium diskursus teks bahasa. Setiap fakta mampu megungkap dirinya melalui kerja-kerja bahasa dan wacana. Namun demikian harus disadari pula, teks bahasa tidaklah pernah otonom dan netral. Kebermaknaan teks selalu akan berkait dengan dimensi antar teks dan berbagai dimensi konteks yang meliputinya. Maka setiap teks bahasa akan sarat dengan nilai dan kepentingan yang ada. Artinya, setiap teks tidak pernah netral pada dirinya. Selalu akan hadir ketegangan dari setiap kemunculan artikulasi teks bahasa.Di sanalah tersimpan tantangan yang sebenarnya bagi kerja-kerja jurnalistik.

Kerja jurnalistik selalu akan bergelayut dan berkelindan dengan berbagai ketegangan tersebut. Kerja jurnalistik kemudian membutuhkan seperangkat kemampuan dan daya kekritisan dari para penulisnya untuk sebisa mungkin mampu memahami dan menggunakan teks bahasa dengan benar. Asumsinya, kerja jurnalistik tidak sekedar mengambil teks bahasa yang tersedia atau memindahkannya dalam tulisan. Dalam kasus dan fakta yang samapun, akan selalu dibaca dan ditafsir beragam oleh setiap penangkap berita. Apalagi lebih jauh dari itu, setiap subjek penulis juga selalu akan dipengaruhi oleh berbagai kelindan kepentingan nilai yang dibawa. Nilai kepentingan tidak harus difahami sebagai sesuatu yang ‘negatif’.

Sama seperti halnya para aktifis pegiat HAM dan mereka yang bekerja dalam medan lapangan untuk mengadvokasi persoalan-persoalan masyarakat, mereka tidak hanya dituntut kemampuan teknis dalam mengorganisir kerja-kerja lapangan namun juga kerja-kerja riset dan investigasi untuk menjadi bahan landasan praktik dan aktifitas mereka. Kebutuhan membangun media dan sekaligus kerja-kerja penulisan yang berbasis riset amatlah penting. Kerja riset dan jurnalisme penulisan sangat membantu untuk memperkokoh dokumentasi dan juga temuan-temuan fakta bagi kepentiangan pembelaan masyarakat. Dengan begitu akan penting diakui bahwa dimensi jurnalisme dan aktifis HAM bukanlah sesuatu hal yang sama sekali terpisah.

Sayangnya seringkali, dimensi kualitas media dan kerja-kerja jurnalisme ini sering hanya menjadi suplemen dan belum dioptimalkan pada kerja-kerja advokasi HAM. Padahal, setiap pembacaan kasus apapun selalu membutuhkasn temuan fakta dan juga ketajaman narasi dalam mengartikulasikan fakta-fakta masalah yang ditemukan. Kegagalan merumuskan fakta masalah tentu saja juga akan berdampak pada kegagalan kerja selanjutnya. Setiap aktivis dan pegiat HAM tentu saja sangat penting untuk mempunyai kemampuan membangun perspektif dan skill mengorganisasikan temuan-temuan fakta yang didapay untuk membimbing rencana aksi selanjutnya.

Dalam rangka pertimbangan itu pula, maka sebuah proses belajar memahami aspek penting jurnalisme investigasi menjadi sangatlah berharga. Proses belajar jurnalistik ini tidak semata digagas untuk menunjang kemampuan teknis penulisan semata namun lebih jauh itu sebagai pengembangan perspektif lebih tajam untuk kerja-kerja jurnalistik ataupun riset investigas yang akan dilakukan oleh para aktifis dan pegiat HAM. Sebagai langkah awal, pengenalan mengenai sejauh apa yang dimaksud tentang jurnalisme investigasi HAM dan korelasinya terhadap kual;tas perjuangan pembelaan isu-isu HAM sangatlah penting untuk dilakukan.  Untuk itu Pusham UII Yogyakarta amatlah tertarik untuk menggel;ar kursus belajar awal tentang topik tersebut.

Tujuan Acara :

  • Ruang belajar bersama untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kritis tentang aspek-aspek Jurnalistik Investigasi isu-isu HAM bagi kalangan aktifis dan para pejuang HAM;
  • Memberikan perspektif dasar bagaimana praktik dan metodologi yang harus dikembangkan dengan benar oleh para jurnalis, penulis maupun para peneliti isu-isu HAM
  • Memberikan kemampuan skill jurnalistik pada para aktifis dan pegiat HAM untuk kiat-kiat dalam pengembangan kerja-kerja advokasi HAM secara lebih luas.

Adapun pembicaranya adalah : Pito Agustin Rudiana (JurnalisTempo dan Korwil III AJI) dan Osa Budi Santosa (Jurnalis Senior). Dengan Peserta: Mahasiswa, Akademisi, Jurnalis, Aktivis, Pegiat NGO dan masyarakat umum.

Acara dilaksanakan di hari Rabu, 21 September 2016 di Aula Seminar, Kantor Pusham UII, Yogyakarta dengan alamat: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No. 517A Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, 55198 No telp. 0274-452032

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top