BERITA
Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia
- 28 Desember 2016
Perjalanan rencana proyek Bandara di wilayah Temon Kulonprogo telah banyak menyisakan problem serius bagi situasi HAM di Yogyakarta khusunya bagi semua warga terdampak. Rezim infrastruktur pembangunan berusaha meletakkan proyek ini menjadi bagian nilai strategis bagi spektrum pembangunan jangka panjang. Setidaknya dalih dan alasan besar itu yang terus didorong untuk meyakinkan bahwa proyek bandara harus diterima dan disetujui sebagai keniscayaan yang harus diambil dan dikerjakan. Kehendak pembangunan terus melegitimasi diri dengan janji-janji tentang proses pengembangan kesejahteraan warga secara menyeluruh. Bagi nalar pengembangan pembangunan, penyediaan infrastruktur strategis seperti bandara dianggap sebagai mekanisme penunjang yang bermanfaat besar bagi masa depan kemakmuran.
Sejak awal dimulainya pembangunan 25 Januari 2011, gagasan besar proyek ini seolah kian dipaksakan terus berjalan. Padahal banyak catatan serius dan cacat bawaan yang bisa kita dapatkan dari rencana proyek tersebut. Dampak awal kasat mata yang jelas nampak adalah konsekuensi akan terjadinya penggusuran bear-besaran yang akan menimpa beberapa wilayah yakni 6 desa (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo dan Temon Kulon). Tidak semata dampak penggusuran, rencana besar proyek juga secara sosiologis, ekologis maupun budaya akan memberi dampak yang tidak kalah seriusnya..
Menimbang catatan itu, pada September 2012, atas berbaga inisiatif dan partisi[patif respon kritis masyarakat, berbagai warga di 6 dusun tersebut mendirikan organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT). Kepentingan dasar dari pembentukan organ ini adalah untuk memperkuat konsolidasi warga sebagai upaya untuk merespon proyek bandara yang tentu saja akan berdampak pada mereka. Sebagian besar warga secara berani menolak rencana proyek yang akan menyebabkan berbagai perubahan nasib warga. Proyek bandara dirasa bukan menjadi pilihan yang tepat dan bermanfaat bagi kawasan tersebut.
Sampai tahun 2016 ini, berbagai usaha penolakan terus dilakukan warga terdampak. Tak jarang berbagai proses intimidasi, ancaman, pemecahbelahan antar warga hingga kriminalisasi juga harus dihadapi. Beberapa warga dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan telah dipanggil dan berlanjut pada proses pengadilan. Bagi sebagai warga, proses kriminalisasi warga menjadi agenda penting negara untuk melemahkan gerakan warga sipil yang terus gencar melakukan aksi dan kerja-kerja penolakan. Secara ideal dan semestinya, harusnya proyek ini harus benar-benar wajib mendengarkan aspirasi warga. Namun jika menbaca fakta historisnya, negara (pemerintah) dan pihak-pihak yang berkepnetingan akan hadirnya bandara menutup mata dan bahkan tidak mengindahkan tuntuan warga.
Kasus sengketa tanah Bandara Kulonprogo menjadi partikel bagian dari situasi besar yang bisa menggambarkan nalar rezim infrastruktur yang sedang digalakkan. Apa yang sedang dikerjakan melalui berbagai pendirian instalasi proyek tersebut adalah asumsi akan terciptanya wajah percepatan pembangunan yang dengan sendirinya akan bisa dianggap mampu memenuhi aspek upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Alih-alih akan memberi ruang terbukanya akses kemakmuran warga, di banyak kasus proyek pembangunan ini sejak awal telah menjadi pemicu utama terjadinya peminggiran waga dan sekaligus berbagai situasi kekerasan konflik yang ada.
Dampak serius yang juga nampak jelas pada pemaksaan nalar infrastruktur ini adalah sebuah kerja-kerja politik ‘kuasa eksklusi’ yang kemudian meminggirkan dan mencerabut warga dari hak akses dasar asasi yang ia miliki, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan soal-soal sosial budaya yang lain. Atas nama pembangunan, negara seringkali abai dan seakan tuna moral untuk bisa melatakkan kebijakan yang peduli dan menghargai hak asasi manusia setiap warga yang rentan terdampak. Saat hak asasi dasar ini tercerabut maka akan melahirkan rangkaian lingkaran krisis pelanggaran HAM berikutnya yang lebih sistemik.
Menjadi tugas penting untuk merespon kasus ini dengan lebih kritis. Banyak fakta objektif yang juga harus dibaca dengan lebih cermat terutama untuk meletakan penangana kasus sengketa tanah bandara ini lebih bermartabat dan menghargai hak asasi warga terdampak. Untuk itu Pusham UII Yogyakarta melalui Linkar Reboan bekerja sama dengan LBH Yogyakarta berminat untuk mendiskusikan isu ini dengan berbagai kajian perkembangan yang terupdate (baru). Sekiranyanya hasil diskusi bisa memberi sumbangan berharga untuk upaya membantu memberikan spektrum yang lebih kritis terutama perjuangan untuk pemenuhan hak warga terdampak yang banyak tertimpa konsekuensi besar adanya proyek infrastrktur bandara.
Tujuan Diskusi :
- Mengkaji dan mengelaborasi secara kritis problem perkembangan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo dengan berbagai potret dampak seriusnya bagi hak asasi warga terdampak.
- Mengurai berbagai alternatif perspektif pembacaan untuk bisa memberikan sumbangsih bagi penanganan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo
- Memberikan catatan-catatan dan sekaligus rekomendasi penting yang bisa diberikan (disumbangkan) pada berbagai pihak yang terkait, baik pemerntah, stakeholder kelembagaan negara yang lain dan juga warga terdampak dalam usaha untuk memperjuangkan pemenuhan akses hak-hak dasarnya.
Tempat dan waktu :
Hari Rabu, 21 Desember 2016.
Pukul : 13.00 – 17.00 WIB
Tempat: Kantor Pusham UII Yogyakarta
Narasumber/Pembicara :
- Yogi Zul Fadhli (Divisi Advokasi LBH Yogyajarta)
- Martono (Wahana Tri Tunggal, Kulonprogo)
- Roy Murtadho (Direktur PKPD Tebuireng dan Editor ‘Islam Begerak’)
- 10 Desember 2016
Institusi Kepolisian adalah salah satunya lembaga hukum yang mempunyai kewenangan sangat besar dalam tugas perlindungan HAM masyarakat. Mengapa bisa demikian? Karena Kepolisian adalah lembaga yang mempunyai kewenangan lengkap untuk menangkap, menahan dan bahkan menindak tegas persoalan perkara hukum masyarakat. Institusi ini dilengkapi dengan berbagai perangkat pokok (senjata) yang berfungsi untuk mengamankan, melumpuhkan bahkan hingga mematikan (membunuh) seseorang jika seseorang dianggap pantas untuk menerima tindakan tersebut.
Dengan sekian poin kelimpahan wewenang itu pula, institusi kepolisian menjadi lembaga yang juga rentan terhadap penyalahgunaan, penyelewengan serta penyimpangan-penyimpangan yang lain yang berkorelasi dengan tindakan pelanggaran HAM terhadap subjek masyarakat. Kewenangan dan tugas yang besar selalu akan mengandung peluang lubang penyimpangan dan penyalahgunaan jika sistem kontrol dan sistem pengawasan tidak berjalan dengan baik. Dalam dimensi politik, sama persis dengan pepatah penting bahwa kekuasaan selalu menyimpan peluang benih penyimpangan jika tidak ada sistem yang baik untuk mengawasinya.
Untuk membangun aturan, sistem kontrol dan juga mekanisme pelaksanaan tugas maka banyak dibentuk berbagai aturan baik undang-undang sampai tingkat perkap dan pelaksanaan aturan sampai SOP di tingkat operasional teknisnya. Semua mekanisme dan tata aturan itu secara ontologis dimaknai dan dipakai sebagai sistem kerja kepolisian. Tanpanya tentu, secara praktek kerja-kerja kepolisian tidak akan berjalan dengan baik dan benar sesuai mandat utama yakni melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum di masyarakat.
Pada perkembangannya, kepolisian dihadapkan pada sekian persoalan tantangan yang ada yang semakin kompleks. Realitas perubahan sosial politik ekonomi yang semakin kompleks dan juga ekses-ekses persoalan yang ditimbulkannya juga semakin besar dan rumit. Disadari dalam perkembangan itu, institusi kepolisian terus berbenah dan selalu memperbaiki diri untuk bisa beradaptasi dengan kebutuhan kongkrit masyarakat. Institusi kepolisian juga tidak memungkiri bahwa dalam rentang perjalanan itu juga mengalami proses dinamika jatuh bangun dan menemui berbagai problem baik internal maupun persoalan dengan tantangan kepolisian.
Dalam berbagai temuan data baik peristiwa yang terekam dalam berbagai media atau juga hasil temuan riset tentang institusi kepolisian, masih banyak ditemukan problem persoalan yang cukup krusial. Salah satunya adalah tingkat kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi Kepolisian. Bahkan dalam berbagai survey yang ada, institusi Kepolisian ditempatkan sebagai institusi negara yang paling rentan terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM itu tersebar dari berbagai kasus dan juga dimensi kerja kepolisian. Ia bisa merentang pada kerja pelayanan, tugas perlindungan sampai penanganan kasus-kasus perkara yang ditangani oleh kepolisian. Tentu hasil rekam media dan juga temuan riset berbagai lembaga sosial tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mencari akar dan jantung persoalan dari faktor-faktor mengapa fenomena itu masih berlangsung tentu tugas yang sangat penting. Tentu saja ada banyak dimensi variabel yang perlu dibaca. Salah satu dimensi yang perlu diurai adalah persoalan input pelatihan untuk para lulusan taruna kepolisian. Apakah input pendidikan dan latihan tentang praktek kerja kepolisian yang sensitif terhadap prinsip HAM sudah dilakukan dengan benar? Seorang oknum kepolisian terbiasa melakukan tindakan yang jauh dari spirit HAM bisa jadi karena ia sama sekali tidak mendapatkan pendidikan yang memadai tentang teknis, cara dan berbagai pengetahuan dasar tentang HAM. Kekurangan asupan pelatihan kerja kepolsian yang berperspektif HAM dengan sendirinya bisa berimbas ketika para taruna sudah berpraktek di lapangan. Membangun isi pendidikan pelatihan HAM menjadi relevan untuk diberikan secara serius kepada taruna.
Oleh sebab itu, untuk merespon kebutuhan ini, Pusham UII Yogyakarta bekerjasama dengan Akpol Semarang berniat akan menyelenggarakan Workshop Pelatihan terkhusus untuk tenaga pelatih Akpol dalam isu dan tema ‘Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pendidik Akpol Semarang’. Setidaknya workshop ini diharapkan bisa menjawab dan mempersiapkan tenaga kepolisian yang tidak hanya mengetahui HAM secara normatif tetapi bisa menerapkan pada berbagai aplikasi kerja di lapangan. Kegiatan dilaksanakan di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada hari Rabu–Jumat , 7 – 9 Desember 2016
Tujuan Workshop
- Memberikan pengetahuan, pemahaman dan juga teknik penerapan tentang prinsip nilai-nilai HAM dalam tugas kerja kepolisian;
- Memberikan pengetahuan, pemahaman dan juga teknik penerapan langsung pada teknik penanganan perkara yang menghormati perspektif dan prinsip aturan nilai HAM;
- Memberikan klinik pelatihan langsung berbagai metode penanganan perkara yang lebih berdimensi HAM.
- 2 Desember 2016
Konstitusi Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini merupakan penegasan normatif akan pentingnya hukum dijadikan sebagai dasar pengelolaan negara. Pernyataan ini juga sekaligus menjadi penanda utama untuk membedakannya dengan model pemerintahan sebuah negara yang didasarkan pada kekuasaan semata, baik itu kekuasaan monarki ataupun kekuasaan tirani.
Konsekuensi dari pilihan di atas adalah bahwa secara normatif, hukum haruslah dijadikan panglima. Secara normatif, prinsip negara hukum berarti bahwa warga negara dan mereka yang memerintah harus sepatutnya mematuhi hukum. Prinsip negara hukum berlaku dalam hubungan antara cabang-cabang kekuasaan seperti pemerintah (executive), dewan perwakilan rakyat (parliament), dan kekuasaan kehakiman (judicative). Prinsip negara hukum juga mengatur bagaimana antar warga negara dan aktor privat saling berinteraksi.
Kewenangan cabang-cabang kekuasaan negara, bagaimana menggunakan dan melaksanakan kewenangan tersebut, bagaimana cara penyelesaian jika terjadi perselisihan antar cabang kekuasaan negara, seluruhnya diatur dan harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Pemerintah yang akan mengeluarkan anggaran demi melaksanakan program kerja, dewan perwakilan rakyat yang akan menyusun ketentuan perundang-undangan, kekuasaan peradilan yang akan menjatuhkan hukuman atas perilaku pelanggaran hukum harus seluruhnya didasarkan pada jaminan hukum yang memadai.
Di sisi lain, ketika antar warga negara hendak melakukan kontrak jual beli, ketentuan kopensasi atas tindakan wan prestasi oleh sebuah perusahaan, perlindungan hukum bagi seseorang pasca putusnya hubungan keluarga, semuanya dilakukan berdasarkan hukum. Singkatnya, prinsip negara hukum berlaku bagi hubungan antara pihak yang berada pada dan di bawah suatu pemerintahan dan mereka yang memerintah, dan hubungan antara entitas privat, baik itu orang secara fisik atau secara hukum, seperti asosiasi dan perusahaan. Hal ini perlu ditekankan, karena kadang ada orang-orang yang berpendapat bahwa supremasi hukum secara eksklusif mencurahkan perhatian pembatasan penggunaan kekuasaan pemerintah.
Berangkat dari penjelasan di atas, prinsip negara hukum sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas menyangkut seluruh aspek kehidupan sebuah negara. Jamuan ilmiah yang akan dilaksanakan ini hanya akan mengambil satu aspek dari substansi prinsip negara hukum yaitu aspek kekuasaan yudikatif. Kekuasaan peradilan menjadi factor penentu dari aspek yang lain. Kekuasaan peradilan akan menjadi penjaga utama agar seluruh tindakan negara dan juga warga negara selalu sesuai dengan standar hukum dan setiap pelanggaran akan mendapatkan hukuman yang sesuai. Kekuasaan peradilan menjadi benteng terakhir dari jalannya sebuah sistem hukum di suatu negara. Pada konteks ini, integritas, profesionalisme dan independensi kekuasaan peradilan menjadi prasyarat mutlak. Di dalam kerangka inilah Jamuan Ilmiah tentang Rule 0f Law/Rechtsstaat: Peluang dan Tantangan dalam Penegakan Hukum dan Keadilan Di Indonesia perlu diselenggarakan.
Secara teknis, kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendorong perbaikan sistem hukum di Indonesia. Juga untuk mendorong kerja sinergis antar tingkatan pengadilan dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Kegiatan ini akan diikuti oleh ketua pengadilan negeri dari berbagai daerah di Indonesia.
Waktu dan Tempat :
Hari : Selasa – Kamis
Tanggal : 29 November – 1 Desember 2016
Tempat : Hotel Grand Mercure Harmony, Jl. Hayam Wuruk 36/37, Jakarta
Kegiatan ini diselenggarakan kerjasama antara Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, Latihan, Hukum dan Keadilan Mahkamah Agung (BALITBANGDIKLATKUMDIL MA) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) dengan dukungan dari Norwegian Center for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, Norwegia.
Peserta :
- Ketua Pengadilan Negeri Balikpapan
- Ketua Pengadilan Negeri Nunukan
- Ketua Pengadilan Negeri Banjarmasin
- Ketua Pengadilan Negeri Kupang
- Ketua Pengadilan Negeri Manggarai
- Ketua Pengadilan Negeri Sikka
- Ketua Pengadilan Negeri Mataram
- Ketua Pengadilan Negeri Bima
- Ketua Pengadilan Negeri Lombok Tengah
- Ketua Pengadilan Negeri Makasar
- Ketua Pengadilan Negeri Bone
- Ketua Pengadilan Negeri Maros
- Ketua Pengadilan Negeri Majene
- Ketua Pengadilan Negeri Polewali Mandar
- Ketua Pengadilan Negeri Sorolangun
- Ketua Pengadilan Negeri Jambi
- Ketua Pengadilan Negeri Kota Bengkulu
- Ketua Pengadilan Negeri Medan
- Ketua Pengadilan Negeri Batam
- Ketua Pengadilan Negeri Bintan
- Ketua Pengadilan Negeri Palalawan
- Ketua Pengadilan Negeri Bengkalis
- Ketua Pengadilan Negeri Pekan Baru
- Ketua Pengadilan Negeri Padang
- Ketua Pengadilan Negeri Bukit Tinggi
- Ketua Pengadilan Negeri Musi Banyuasin
- Ketua Pengadilan Negeri Muara Enim
- Ketua Pengadilan Negeri Lampung Selatan
- Ketua Pengadilan Negeri Lampung Barat
- Ketua Pengadilan Negeri Lampung Timur
Kenyamanan memeluk agama dan beribadah merupakan hak setiap umat beragama, apapun agamanya. Hal yang seringkali masih dimaknai salah kaprah oleh publik, terutama penyelenggara negara (Akademisi wajib meluruskan dengan hasil riset) bahwa Indonesia hanya mengesahkan 6 agama sebagai agama resmi. Pandangan yang salah ini (bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945)berimbas pada dimensi pelayanan hak dasar warga negara, diantaranya pengakuan atas agamnya, seolah-olah selain 6 agama tidak sah, sehingga keberadaan sealin 6 agama dinafikan meskipun kewajiban sebagai warga negara dituntut untu di[penuhi, seperti wajib bayar pajak dan ketentuan hukum lainnya.
Proses diskriminasi dan perlakuan tidak adil ini salah satunya diderita oleh umat pemeluk agama Baha’i, sebuah nama yang tentu masih asing ditelinga publik. Agama Baha’I berdasarkan surat Sekjen Kemenag No.SJ/B. VII/1/HM.00/675/2014 tanggal 24 Februari 2014.menyatakan bahwa Baha’I adalah suatu agama, bukan aliran dan suatu agama, dapat hidup di Indonesia dan siapa saja WNI berhak memeluk agama Baha’I serta beribadat menurut ajaran Baha’i. mendapat jaminan penuh dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar perundangan, dan berhak mendapatklan pelayanan kependudukan.
Hasil riset yang telah dibukukan oleh Dr. Moh Rosyid, dengan judul ‘Agama Baha’I : dalam Lintasan Sejaran di Jawa Tengah’ menemukan berbagai kesenjangan pelayanan negara pada umat pemeluk Baha’I tidak sebagaimana sesuai surat Kemenag yang sudah dikeluarkan. Kesenjangan itu perlu didiskusikan untuk mendapatkan jalan bijaksana agar perlindungan dan pelayanannya dipenuhi dan negara tidak berlarut-larut menjadi pelaku pelanggaran HAM. Di sisi lain, umat Baha’I sebagai minoritas tetap teguh mentaati segala peraturan pemerintah RI dengan setulus hati. Mendiskusikan berbagai problem persoalan ini adalah menjadi tanggung jawab etis semua akademisi.
Tujuan Diskusi :
- Mempresentasikan hasil riset kajian mendalam yang telah dilakkan oleh Dr. Moh Rosyid yang telah dibukukan dalam karya : Agama Baha’I : Dalam Lintasan SejarahDi Jawa tengah.
- Memberikan gambaran tentang sejarah dan lintasan pergulatan hidup agama Baha’I di Indonesias
- Mendiskusikan tentan berbagai bentuk kesenjangan dan tindakan diskriminatif yang masih sering terjadi pada umat pemeluk agama Baha’I di Indonesia.
Narasumber :
- Dr. Moh Rosyid (Penulis Buku : Agama Bahai dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah)
- Amanah Nurish, MA (Kandidat Doktor di ICRS UGM dan Peneliti sekaligus Konsultan di USAID))
Tempat Acara :
Aula Diskusio dan Budaya Kantor Pusham UII Yogyakarta Alamat : Jeruk Legi Rt. 13. Rw. 35 Gang Bakung No 517A Banguntapan Bantul Yogyakarta, 55198, Telp 0274-452032.
Waktu dan Jam Pelaksanaan :
Hari Jumat, 11 November 2016
Pukul : 13.00 sampai 17.30 WIB
Sebaga tuntutan mendasar dari visi peningkatan kualitas kelembagaan pendidikan Akpol, pengembangan kapasitas keahlian riset dan penulisan adalah dimensi penting yang tidak boleh diabaikan. Dalam khasanah dasar Tri Darma Perguruan Tinggi, Riset penelitian bahkan ditempatkan menjadi bagian pilar yang wajib untuk dikerjakan. Secara institusional, lembaga pendidikan tinggi seperti Akpol juga mempunyai kewajiban mengembangkan tradisi riset dan penulisan sebagai fitrah eksistensi yang tidak bisa ditinggalkan.
Riset dan penulisan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Riset dan penulisan mengandaikan kemampuan manusia dalam mencari kedalaman fakta kebenaran. Apa yan dicari oleh riset dan dituangkan dalam narasi tulisan adalah upaya untuk menyampaikan dan mengungkapkan fakta-fakta kebenaran dalam tulisan. Prinsip besar dalam tradisi ilmiah sendiri tentu berusaha untuk menghindari kerja-kerja kebohongan dan pemalsuan fakta.
Apa relasinya dengan tugas-tugas pokok kepolisan? Institusi pendidikan kepolisian bertugas menpersiapkan anak didiknya untuk mampu dan fasih mrmbaca setiap realitas sosial yang ada. Nalar riset tentu saja sangat membantu dalam pengembangan perspektif, logika dan juga tradisi berpikir yang lebih maju bagi kepolisian. Problem sosial dalam hamparan realitas yang kompleks tentu hanya bisa ditangkap dan difahami oleh mereka yang mempunyai kemampuan membaca, melihat dan menganalisis situasi kompleksitas tersebut. Perspektif riset adalah alat bantu yang cukup kuat untuk mendukung kerja-kerja praksis kep9olisian.
Untuk menyiapkan anak didik Taruna yang bisa terampil dan ahli dalam dunia penelitian dan penulisan tentu saja Akpol juga harus menyiapkan sistem tradisi dan juga sumber daya pengajar yang berpengalaman. Kemampuan dan kapasitas keahlian riset dan menulis tidak byurun dari langit atau bawaan biologis. Kemampuan riset dan menulis bisa didapat melalui proses belajar dan ketekunan pengalaman. Melalui penguatan pembelajaran terus-menerus, maka sistem tradisi riset dan kapasitas tenaga pendidiknya juga akan bisa berkembang.
Melalui dasar nalar pertimbangn ini, maka Pusham UII Yogyakarta bekerja sama dengan Akpol Semarang akan menyelenggarakan Workshop Pelatihan Riset dan Penulisan bagi Tenaga Pendidika Akpol Semarang. Hadirnya workshop pelatihan ini semoga biosa menjadi ruang bermanfaat bagi upaya peningkatan kapasitas tenaga pendidik Akpol. Workshop secara prinsip diharapka bisa menjawab dasar kepentingan untuk meningkatkan kemampuan riset dan penulisan dalam iklim pendidikan Akpol secara lebih luas.
Proses pembelajaran dalam workshop pelatihan ini akan dikembangkan dengan penggabungan pendekatan pemberian pengetahuan materi oleh narasumber, pendalaman perspektif dengan analisis kasus, dan klinik menulis yang didampingi oleh fasilitator.
Narasumber yang akan dihadirkan adalah dari penulis dan peneliti yang kompeten dan berpengalaman dalam khasanah dunia riset dan penulisan. Fasilitator aka dikerjakan oleh para peneliti dan penulis yang didampingi juga oleh fasilitator Akpol Semarang. Workshop Pelatihan akan dilaksanakan pada hari Selasa sampai Kamis, 25 -27 Oktober 2016. Bertempat di Hotel Santika premiere Jogja.
Adapun tujuan dari Workshop ini adalah :
- Menjadi sarana pembelajaran dan penguatan pemahaman, kemampuan dan keahlian riset dan penulisan bagi Tenaga Pendidik Akpol Semarang.
- Sebagai sarana untuk ikut memberi masukan bergharga bagi pengembangan dan peningkatan tradisi akademis terutama kerja-kerja kemampuan riset dan penulisan
- Menjadi sarana penguatan kapasitas kelembagaan Akpol yakni peningkatan kualitas sistem pendidikan dan pembangunan tradisi ilmiah sebagai tuntutan wajib dari posisi dan kedudukan Akpol yang meluluskan Taruna setingkat strata 1 (S1).
- 23 Oktober 2016
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru. Jauh melebihi substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dinilai lebih dekat dengan konsep ketidak-berdayaan. Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat memposisikan penyandang disabilitas sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Ragam paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Kegiatan dilaksanakan pada hari kamis hingga sabtu, 20 – 22 Oktober 2016 di Jogjakarta Plaza Hotel yang beralamatkan : Jl. H. Affandi, Gejayan, Komplek Colombo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun jumlah peserta 35 orang yang terdiri dari: 2 orang hakim dari Pengadilan Negeri Wonosari, 2 orang jaksa dari Kejaksaan Negeri Gunungkidul, 13 orang dari Unit PPA dari seluruh Polsek di Gunungkidul, 18 orang Kapolsek dari seluruh Polsek di Gunungkidul
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.