BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Beberapa waktu akhir-akhir ini, isu perbedaan primordial menjadi tantangan bagi tercapainya kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Isu SARA, ujaran kebencian, diskriminasi, konflik dan kekerasan bernuansa perbedaan makin menggejala. Agama, sebagai struktur penyeru kedamaian, seringkali juga malah dilibatkan dalam reproduksi potensi konflik. Beberapa lembaga penting yang konsen pada isu tersebut seperti Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM dan beberapa lembaga riset lainnya telah menyimpulkan hal serupa, ada problem dan tantangan serius pada isu kebebasan beragama ini. Terlebih lagi bahwa tautan faktor berbagai problem tersebut tidak jauh-jauh juga irisannya dengan problem struktural tentang peran dan tanggungjawab negara.

Secara konstitusional, perbedaan agama selayaknya tidak menjadi persoalan karena telah terlindungi secara apik. Pasal 28E, 28I dan 28J, 29 UUD 1945 telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan keberagamaan ini. Pada Pasal 22 dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan ulang akan pentingnya kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan itu. Tidak hanya itu, Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 2005, ayat (1),(2) dan (3) juga telah secara tegas dan jelas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak tersebut.

Beberapa turunan peraturan dibawahnya seperti peraturan bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri dan beberapa peraturan lainnya telah menunjukkan bahwa secara normatif aturan itu telah dirumuskan. Namun, jika berkaca kembali pada intensitas dan maraknya gejala praktik intoleransi, konflik dan kekerasan itu maka refleksi yang lebih jauh perlu kita lakukan. Setidaknya kita bersama dituntut kembali untuk bisa menjawab problem tersebut lebih kritis ketimbang hanya berhenti pada analisis yang normatif dan legal semata.

Dalam beberapa kajian dan analisis, banyak peraturan perundangan dan regulasi mempunyai dimensi yang bertentangan dengan spirit kebebasan beragama (Rizal Pangabean & Ihsan Ali Fauzi, 2011: 25). Untuk masalah ini tentu perlu upaya membaca dan memperbaharui berbagai tata regulasi struktural yang kontraproduktif terhadap semangat penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa perkembangan peraturan daerah terutama berkembangnya peraturan daerah yang mengandung isu sektarianisme agama dan suku telah memberi efek bola salju tersendiri atas munculnya berbagai warna kekerasan dan polemik di daerah terutama yang menyangkut problem keagamaan dan keyakinan (Ahmad Suaedy, dkk, 2007: x)

Mengacu sementara pada berbagai asumsi filosofis dan normatif hukum, negara mempunyai peran utama dalam tugas menjaga, memberi perlindungan serta aspek penegakan hukum terhadap semua hal berkait kebebasan beragama. Negara dalam pemahaman prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah pemangku kewajiban penuh atas kewajiban melindungi, mempromosikan dan juga tugas menegakkan hak asasi manusia setiap warga tanpa pandang bulu dan latar belakangnya. Dalam berbagai orientasi, kebijakan serta kewenangan yang ada, negara sejatinya mempunyai peran sentral dan aktif dalam menjawab kebutuhan tanggung jawab tersebut.

Di Yogyakarta, potensi munculnya perdebatan seru berbalut nuansa ketegangan juga mulai terlihat. Era demokratisasi di satu sisi memberi dampak positif akan dihormatinya ekspresi perbedaan, baik agama dan keyakinan, pandangan politik, dan ekspresi primordial lainnya. Namun di sisi lain, ekspresi tersebut seringkali memunculkan respon negatif atau kontraproduktif dari kelompok lain yang merasa terganggu atas ekspresi lain tersebut. Pada situasi ini, pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk ‘awas’ dan bijak dalam rangka mengelola situasi agar tidak mudah berujung pada konflik sektarian.    

Untuk menjawab pertanyaan itu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia akan menyelenggarakan seminar dan workshop dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi bersama atas situasi yang semakin menggejala tersebut. Capaian akhir dari seminar dan workshop ini diharapkan juga bisa menemukan rumusan-rumusan prinsip dasar dan model panduan penanganan potensi konflik bernuansa keagamaan yang adil dan menjunjung prinsip nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model panduan penanganan ini bisa menjadi standar dasar penanganan yang dipakai oleh pemerintah daerah dan/atau kepolisian. Setidaknya standar model panduan ini akan melengkapi secara teknis operasional dari berbagai prinsip rujukan yang ada dalam payung hukum yang sudah ada.

Tujuan Seminar dan Workshop

  1. Mendiskusikan dan merespon secara kritis tentang fenomena isu dan maraknya berbagai ketegangan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan dan keyakinan yang berkembang saat ini terutama berkaitan dengan prinsip dasar kebebasan beragama dan tanggungjawab negara.
  2. Mendiskusikan dan menggali problem mendasar ekonomi, politik, budaya dan berbagai akar konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang berkembang lima tahun terakhir di Indonesia.
  3. Mendiskusikan dan memberi masukan berharga untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan institusi kepolisian dalam rangka meningkatkan peran dan tanggungjawabnya untuk memenuhi tugas perlindungan dan penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan.
  4. Merumuskan dan menyusun model dan standar panduan dasar penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang memenuhi prinsip keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Waktu dan Tempat

Hari, tanggal      : Rabu-Kamis, 14-15 Juni 2017

Waktu                : 12.00-18.00 WIB

Tempat              : Hotel Santika Premiere Yogyakarta

                             Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta

Narasumber :

  • Intoleransi dan Penghormatan Hak Asasi Manusia : Sebuah Data Pemantauan

Narasumber : Dr. M. Imdadun Rahmat, M.Si (Komisioner KOMNAS HAM)  

  • Yogyakarta, The City of Tolerance: Membaca Peluang dan Tantangan

Narasumber : Agung Supriyono, S.H. (Kepala KESBANGPOL DIY)

  • Peran Polisi dalam Merawat Keindonesiaan yang Nir Kekerasan

Narasumber : AKBP. Sinungwati, S.H. (KASUBDITBINTIBLUH DITBINMAS POLDA DIY)

Peserta

  1. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Propinsi DIY
  2. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Sleman
  3. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul
  4. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Yogyakarta
  5. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
  6. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul
  7. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Propinsi DIY
  8. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Sleman
  9. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bantul
  10. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kota Yogyakarta
  11. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kulon Progo
  12. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gunung Kidul
  13. Direktur Binmas Polda DIY
  14. Kepala Satuan Binmas Polres Bantul
  15. Kepala Satuan Binmas Polres Kulon Progo
  16. Kepala Satuan Binmas Polres Sleman
  17. Kepala Satuan Binmas Polres Gunung Kidul
  18. Kepala Satuan Binmas Polrestabes Yogyalarta
  19. Kepala Bagian Perlindungan Agama Kanwil Kementrian Agama DIY
  20. Kepala Bagian Hukum Hak Asasi Manusia Kanwil Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY
  21. Direktur LBH Yogyakarta
  22. Direktur PUKAT UGM
  23. Direktur ICM Yogyakarta
  24. Ketua LKIS Yogyakarta
  25. Direktur Rifka Annisa Yogyakarta
  26. Ketua Dian Interfidei Yogyakarta
  27. Ketua Bagian Hukum Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama Yogyakarta
  28. Ketua Bagian Hukum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Yogyakarta
  29. Ketua Sigab Yogyakarta
  30. Direktur Pusat Studi Islam UII
  31. Direktur DPPAI UII
  32. Ketua FKUB Profinsi DIY
  33. Ketua FKUB Kabupaten Sleman
  34. Ketua FKUB Kabupaten Kulon Progo
  35. Ketua FKUB Kabupaten Gunung Kidul
  36. Ketua FKUB Kabupaten Bantul
  37. Ketua FKUB Kota Yogyakarta

Dalam acara yang bertajuk “Merajut Kebersamaan, Mengikat Kebhinekaan” yang diselenggarakan di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada 14 Juni 2017, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia  (KOMNAS HAM RI). Kegiatan itu di selenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), yang juga bertindak sebagai inisiator sekaligus eksekutor MoU.  MoU tersebut diadakan dalam rangka memperkuat peran Pusham UII dan Komnas HAM RI dalam mewujudkan perlindungan, pemenuhan,dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia. Secara khusus, kerja sama ke depan adalah pada aspek perlindungan terhadap hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), yang akhir-akhir ini tengah berada pada kondisi yang memprihatinkan di Indonesia. Wacana pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan bukanlah hal yang baru di Indonesia termasuk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meskipun Yogyakarta di juluki sebagai the city of tolerance, namun potensi tejadinya konflik antar umat beragama maupun inter umat beragama bukan tidak mungkin, mengingat beberapa tahun belakangan di beberapa kabupaten termasuk kota Yogyakarta sendiri, percikan-percikan kecil yang mengarah para pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami peningkatan. Oleh karena itu, kerjasama ke depan adalah untuk menekan sekecil mungkin potensi-potensi yang mengarah pada pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara di Yogyakarta.

Beberapa waktu akhir-akhir ini, isu perbedaan primordial menjadi tantangan bagi tercapainya kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Isu SARA, ujaran kebencian, diskriminasi, konflik dan kekerasan bernuansa perbedaan makin menggejala. Agama, sebagai struktur penyeru kedamaian, seringkali juga malah dilibatkan dalam reproduksi potensi konflik. Beberapa lembaga penting yang konsen pada isu tersebut seperti Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM dan beberapa lembaga riset lainnya telah menyimpulkan hal serupa, ada problem dan tantangan serius pada isu kebebasan beragama ini. Terlebih lagi bahwa tautan faktor berbagai problem tersebut tidak jauh-jauh juga irisannya dengan problem struktural tentang peran dan tanggungjawab negara.

Secara konstitusional, perbedaan agama selayaknya tidak menjadi persoalan karena telah terlindungi secara apik. Pasal 28E, 28I dan 28J, 29 UUD 1945 telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan keberagamaan ini. Pada Pasal 22 dan Pasal 55 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan ulang akan pentingnya kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan itu. Tidak hanya itu, Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 2005, ayat (1),(2) dan (3) juga telah secara tegas dan jelas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak tersebut.

Beberapa turunan peraturan di bawahnya seperti peraturan bersama Menteri Agama dan dalam Negeri dan beberapa peraturan lainnya telah menunjukkan bahwa secara normatif aturan itu telah dirumuskan. Namun, jika berkaca kembali pada intensitas dan maraknya gejala praktik intoleransi, konflik dan kekerasan itu maka refleksi yang lebih jauh perlu kita lakukan. Setidaknya kita bersama dituntut kembali untuk bisa menjawab problem tersebut lebih kritis ketimbang hanya berhenti pada analisis yang normatif dan legal semata.

Dalam beberapa kajian dan analisis, banyak peraturan perundangan dan regulasi mempunyai dimensi yang bertentangan dengan spirit kebebasan beragama (Rizal Pangabean & Ihsan Ali Fauzi, 2011: 25). Untuk masalah ini tentu perlu upaya membaca dan memperbaharui berbagai tata regulasi struktural yang kontraproduktif terhadap semangat penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa perkembangan peraturan daerah terutama berkembangnya peraturan daerah yang mengandung isu sektarianisme agama dan suku telah memberi efek bola salju tersendiri atas munculnya berbagai warna kekerasan dan polemic di daerah terutama yang menyangkut problem keagamaan dan keyakinan (Ahmad Suaedy, dkk, 2007: x)

Mengacu sementara pada berbagai asumsi filosofis dan normatif hukum, negara mempunyai peran utama dalam tugas menjaga, memberi perlindungan serta aspek penegakan hukum terhadap semua hal berkait kebebasan beragama. Negara dalam pemahaman prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah pemangku kewajiban penuh atas kewajiban melindungi, mempromosikan dan juga tugas menegakkan hak asasi manusia setiap warga tanpa pandang bulu dan latar belakangnya. Dalam berbagai orientasi, kebijakan serta kewenangan yang ada, negara sejatinya mempunyai peran sentral dan aktif dalam menjawab kebutuhan tanggung jawab tersebut.

Di Yogyakarta, potensi munculnya perdebatan seru berbalut nuansa ketegangan juga mulai terlihat. Era demokratisasi di satu sisi memberi dampak positif akan dihormatinya ekspresi perbedaan, baik agama dan keyakinan, pandangan politik, dan ekspresi primordial lainnya. Namun di sisi lain, ekspresi tersebut seringkali memunculkan respon negatif atau kontraproduktif dari kelompok lain yang merasa terganggu atas ekspresi lain tersebut. Pada situasi ini, pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk ‘awas’ dan bijak dalam rangka mengelola situasi agar tidak mudah berujung pada konflik sektarian.    

Untuk menjawab pertanyaan itu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia akan menyelenggarakan seminar dan workshop dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi bersama atas situasi yang semakin menggejala tersebut. Capaian akhir dari seminar dan workshop ini diharapkan juga bisa menemukan rumusan-rumusan prinsip dasar dan model panduan penanganan potensi konflik bernuansa keagamaan yang adil dan menjunjung prinsip nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model panduan penanganan ini bisa menjadi standar dasar penanganan yang dipakai oleh pemerintah daerah dan/atau kepolisian. Setidaknya standar model panduan ini akan melengkapi secara teknis operasional dari berbagai prinsip rujukan yang ada dalam payung hukum yang sudah ada.

Tujuan Seminar dan Workshop

  1. Mendiskusikan dan merespon secara kritis tentang fenomena isu dan maraknya berbagai ketegangan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan dan keyakinan yang berkembang saat ini terutama berkaitan dengan prinsip dasar kebebasan beragama dan tanggungjawab negara.
  2. Mendiskusikan dan menggali latar belakang potensi kekerasan, khususnya di dunia pendidikan dan merumuskan langkah antisipasinya.
  3. Mendiskusikan dan memberi masukan berharga untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan institusi kepolisian dalam rangka meningkatkan peran dan tanggungjawabnya untuk memenuhi tugas perlindungan dan penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan.
  4. Merumuskan dan menyusun model dan standar panduan dasar penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang memenuhi prinsip keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Materi :

a)    Intoleransi : Masalah Perkembangan Paham Intoleransi di Lembaga Pendidikan dan Solusi Bagi Keindonesiaan

Narasumber : Listia, Pegiat Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligisu (PaPPIRus)

b)    Menggelar Kebhinekaan, Merajut Kebersamaan: Respon Kaum Muda Atas Menguatnya Politik Identitas 

Narasumber : Najib Kailani, S.Fil.I., M.A. Ph.D (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

c)    Mengeja Arah Pilihan Identitas Politik dan Politik Identitas Kaum Muda

Narasumber : Ikmal Yasir (Ketua Himpunan Mahasiswa Islam MPO Cabang Yogyakarta)

Waktu dan Tempat

Hari, Tanggal                 : Selasa-Rabu, 6-7 Juni 2017

Waktu                            : 12.00-18.00 WIB

Tempat                          : Hotel Santika Premiere

                                         Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta

Peserta

  1. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi DIY
  2. Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Bantul
  3. Kepala Dinasi Pendidikan Kota Yogyakarta
  4. Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Kulon Progo
  5. Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Gunung Kidul
  6. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Gajah Mada
  7. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia
  8. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Atmajaya
  9. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Sanata Dharma
  10. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
  11. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Ahmad Dahlan
  12. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Kristen Duta Wacana
  13. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Janabadra
  14. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta
  15. Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
  16. Kepala Sekolah SMAN 1 Yogyakarta
  17. Kepala Sekolah SMAN 3 Yogyakarta
  18. Kepala Sekolah SMAN 8 Yogyakarta
  19. Kepala Sekolah SMAN 6 Yogyakarta
  20. Kepada Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta
  21. Kepada Madrasah Aliyah Negeri 2 Yogyakarta
  22. Kepada Madrasah Aliyah Negeri 3 Yogyakarta
  23. Kepada Madrasah Aliyah Negeri 4 Bantul (MAN Lab UIN Sunan Kalijaga)
  24. Kepada Madrasah Mu’allimin Yogyakarta
  25. Kepada Madrasah Aliyah Sunan Pandanaran Yogyakarta
  26. Kepada Madrasah Aliyah Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta
  27. Ketua IPNU DIY
  28. Ketua IPPNU DIY
  29. Ketua IRM DIY
  30. Ketua Pemuda Muhammadiyah DIY
  31. Ketua Ansor DIY
  32. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UGM
  33. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII
  34. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UMY
  35. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UAD
  36. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UKDW
  37. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Atmajaya
  38. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
  39. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
  40. Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UNY

Kepolisian sebagai salah satu organ penyelenggara negara memiliki peran yang sangat penting dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Hak asasi manusia akan terlindungi hanya jika polisi berperan dan memberikan perlindungan terhadap seluruh manusia yang ada pada suatu negara. Jika dilihat dari tiga kewajiban negara dalam konteks hak asasi manusia, maka kepolisian merupakan aktor yang paling berperan melaksanakan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Pada konteks ini, polisi merupakan pelindung hak asasi manusia.

Hal ini senada dengan bunyi beberapa pasal dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain sebagai berikut:

(a)   Konsideran Menimbang huruf b

Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

(b)   Pasal 1 angka 6

Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(c)   Pasal 2

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(d)   Pasal 13

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Hal yang sama juga ditegaskan di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 8 Perkap Nomor 8 disebutkan bahwa Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen hak asasi manusia baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional, baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

Berdasarkan beberapa pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa polisi didirikan dengan tujuan menjadi alat negara dalam melindungi hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya akan terpenuhi dan terlindungi ketika polisi hadir untuk melakukannya. Pada konteks ini maka polisi bukanlah musuhnya hak asasi manusia dan sebaliknya polisi juga tidak boleh memusuhi hak asasi manusia. Justru polisi merupakan pelindung hak asasi manusia.

Kerangka teoritis dan yuridis di atas menjadi dasar bagi usulan kegiatan jamuan ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang atas kerjasama antara AKPOL Semarang dan PUSHAM UII Yogyakarta.

Tujuan

Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan:

  1. Memberikan pemahaman yang utuh tentang hukum hak asasi manusia.
  2. Meningkatkan kapasitas tenaga pendidik Akademi Kepolisian dalam diskursus hukum hak asasi manusia.
  3. Meningkatkan kapasitas tenaga pendidik dalam ranka memberikan materi hukum hak asasi manusia bagi peserta didik di Akademi Kepolisian.

Rencana Waktu dan Tempat

Hari              : Selasa – Kamis

Tanggal        : 16 – 18 Mei 2017

Tempat         : Yogyakarta

Susuan Materi

  1. Filosofi, Teori, Sejarah, dan Terminologi Hak Asasi Manusia.
  2. Hak Sipil dan Politik, serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
  3. Aktor Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
  4. Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia.
  5. Instrumen Nasional Hak Asasi Manusia.
  6. Mekanisme Pengawasan dan Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Nasional.
  7. Hukum Hak Asasi Manusia dan Ilmu Kepolisian.  

Secara prinsip Negara adalah entitas utama yang bertangungjawab untuk memberikan kehadirannya pada setiap pemenuhan kebutuhan warga negaranya, tak terkecuali perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai keberagaman dan penghargaan atas setiap ekspresi kehidupan beragama, maka negara bertugas menjamin pelaksanaan kehidupan keberagamaan itu dengan baik. Negara kemudian berkewajiban memberikan berbagai instrumennya untuk memenuhi kewajiban tersebut, terutama menyiapkan perangkat aparatus negara yang terlibat wajib untuk menyediakan berbagai akses kebebasan beragama tersebut. Segala upaya serius untuk memenuhi peningkatan kapasitas kemampuan aparat negara termasuk aparat penegak hukum menjadi penting dilakukan.

Kebebasan beragama juga dicatatkan sebagai salah satu hak mendasar dalam poin hak asasi manusia. Menjadi tak terelakkan bahwa dimensi persoalan ini sangatlah penting untuk difahami. Sebagai hak asasi manusia, segala hal tentang upaya baik melindungi, mendorong, membantu mengkampanyekan nilai-nilai sampai pada penegakan hukum adalah sesuatu yang krusial untuk tangungjawab tersebut. Tentu saja tanggugjawab tersebut akan diderivasi dalam porsi tugas yang akan diemban oleh institusi kepolisian.

Institusi kepolisian yang hadir dalam garda depan kedekatannya dengan dinamika masyarakat, adalah salah satu institusi negara yang bertugas dan berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum tentu saja tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak warga negara juga menjadi tanggungjawab penting kepolisian. Dalam mengupakan hal tersebut, tentu saja dibutuhkan kerja serius baik dalam rangka peningkatan kapasitas pemahaman sampai pada dimensi artikulasi praktik di lapangan. Tidak dipungkiri tantangan ke arah tersebut butuh usaha serius dari kepolisian.

Dalam rangka menyiapkan para kader dan personil kepolisian yang bisa memahami dan juga menerapkan ranah paradigma kewajiban perlindungan tersebut. tentu harus menyiapkan sejak dini kepada calon-calon personil kepolisian. Institusi pendidikan Akpol berperan penting untuk membantu menyiapkan kapasitas kemampuan dalam dimensi teoritik maupun praktik ke pada seluruh calon perwira kepolisian. Institusi ini mempunyai kebutuhan untuk memberikan pembekalan yang penuh atas betapa pentingnya kerja dan tanggung jawab atas isu kebutuhan ini. Kelemahan dalam menyiapkan sejak dini pada institusi pendidikan kepolisian, akan bisa dirasakan pada berbagai kelemahan dan kekurangan yang terjadi di lapangan.

Jauh dari itu, secara umum kita menyadari bahwa perubahan dan dinamika masyarakat lokal bahkan sampai global mengalamai perkembangan yang cukup pesat. Banyak gejolak politik ekonomi yang kian membutuhkan kapasitas lebih dari para penegak hukum. Berbagai dinamika politik ekonomi itu juga tak jarang meyeret berbagai isu konflik sosial yang bernuansa SARA termasuk politisasi dan komodifikasi konflik atas nama agama. Bahkan hari-hari ini kita juga sedang disibukan dengan berbagai kekawatiran yang serius akan hadirnya spirit dan gejala fundamentaisme dan radikalisasi agama yang sudah terasa memprihatinkan dan mengganggu dimensi rasa nyaman dan aman warga negara. Berbagai kelindan itu tentu akan juga berdampak pada tarikan sampai tingkat akar rumput. Lagi-lagi institusi kepolisian secara langsung dan tidak langsung selalu berhadapan dengan tugas dan tanggungjawab untuk menyikapi hal tersebut dengan baik dan proposional.

Dalam ragka menjawab tantangan ini, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) dan AKPOL bekerja sama untuk membuat dan menyediakan ruang pelatihan (training) bagi para taruna Akpol untuk bisa memahami sekaligus menerapkan secara baik dan proporsional bagaimana berhadapan dengan tantangan konflik sosial yang semakin kompleks. Untuk itu Pusham UII Yogyakarta bermitra dengan  Akpol Semarang akan memberikan training pelatihan kepada taruna Akpol terutama menjawab tema kewajiban negara terhadap perlindungan hak kebebasan beragama di Indonesia. Acara diselenggarakan di Akademi Kepolisian Semarang pada hari rabu, 19 April 2017.

Tujuan Pelatihan :

  1. Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para taruna Akpol tentang peran dan kewajiban negara dalam rangka kewajibannya untuk melindungi hak kebebasan beragama di Indonesia.
  2. Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para Taruna Akpol tentang pemetaan berbagai konflik sosial yang bernuansa agama di Indonesia beserta pemahaman bagaimana bisa menganalisinya secara baik.
  3. Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para taruna Akpol tentang apa yang difahami tentang kapasitas tugas dan tanggungjawab institusi kepolisian untuk menyikapi dan menghadapi berbagai persoalan konflik social yang bernuansa keagamaan tersebut.
  4. Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas kemampuan praktis operasional bagaimana penanganan masalah berkaitan dengan isu-isu social yang menyeret dimensi keagamaan di Indonesia.

Target Pelatihan :

  1. Taruna meningkat kapasitasnya dalam pengetahuan dan pemahaman apa yang difahami tentang tanggungjawab negara terhadap perlindungan hak kebebasan beragama di Indonesia.
  2. Taruna meningkat kapasitasnya dalam pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang dimengerti sebagai kebebasan beragama beserta seluruh persoalan yang melingkupinya
  3. Taruna meningkat kapasitasnya dalam kemampuan analisis social dan juga tindakan operasionaL praktis penanganan segala bentuk konflik social yang membawa nilai dan dimensi agama di Indonesia.

Pengasuhan pada Akademi Kepolisian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pengasuh dan Taruna Senior sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bentuk pembinaan, bimbingan, dan pengawasan kepada Taruna secara terencana dan konsisten untuk menjadikan Taruna sebagai pribadi unggul, berilmu ilmiah, beramal amaliah, memiliki kompetensi sebagai anggota Bhayangkara, memahami Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Pedoman Pengasuhan Taruna AKPOL. Secara umum, pengasuhan memiliki tujuan untuk merubah, membentuk, menumbuh kembangkan, membulatkan, mematangkan, dan mendewasakan sikap perilaku Taruna untuk menuju Perwira Polri yang ideal.

Untuk menjamin bahwa pola pengasuhan yang diberikan sesuai dengan tujuannya dan secara efektif dilaksanakan,maka perlu dilakukan penyusunan evalusi yang juga merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan di AKPOL.  Penyusunan evaluasi dimaksudkan untuk  dapat memberikan  nilai karakter taruna selama pola pengasuhan berlangsung. PT. Expertindo sebagai lembaga Training dan Consulting  menawarkan kerjasama untuk penyediaan jasa konsultan untuk mendesain rubrik evaluasi   pola pengasuhan dan penyusunan silabus dan bahan ajar   berbasis karakter  di AKPOL.

Sistem evaluasi merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk memberikan umpan balik dan perbaikan terhadap keberhasilan sistem pendidikan di AKPOL. Tenaga Ahli kami siap membantu dan mendampingi dalam penyusunan dan penerapan sistem evaluasi pola pengauhan berbasis karakter di AKPOL. Kegiatan diselenggarakan di Hotel Grand Edge Semarang, 17 – 19 April 2017.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top