BERITA

Daftar Berita Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia

Secara normatif, konstitusi dasar negara, secara eksplisit memberikan jaminan kuat perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Agama dan keyakinan diletakkan menjadi satu dimensi penting yang harus dihormati, dijaga dan dirawat secara tepat dan benar. Dalam upaya memberikan ruang dan tempat yang berharga agar kehidupan beragama dan berkeyakinan bisa hidup secara harmonis dalam dunia hidup masyarakat, maka institusi negara memiliki kewajiban peran yang besar untuk menjaganya.  Pasal 28I UUD 1945, secara eksplisit menyatakan bahwa hak beragama, sebagaimana hak untuk hidup, adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Betapa krusial dan mendasarnya entitas hak dasar ini, maka tugas untuk menjaga harmoni, aktualisasi dan ekspresi keagamaan dan berkeyakinan menjadi bukan sesuatu yang mudah dan sederhana.

Pelembagaan atas beberapa prinsip normatif yang sudah dibentuk dan menjadi prinsip konsesus bersama itu, diwujudkan dalam berbagai jenis rupa kebijakan pelembagaan yang ada. Setidaknya sudah ada beberapa produk aturan kebijakan dasar Negara, terutama dari pemerintah untuk usaha pemeliharaan kerukunan umat beragama. Diantara kebijakan itu adalah pemberdayaan umat beragama dan pemberian aturan rambu-rambu bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama.   Peraturan Bersama Menetri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan satu dan dua diantara beberapa kebijakan yang sudah ada.

Pembentukan dasar hukum itu sekaligus menjadi pijakan penting dibentuknya berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di hampir seluruh propinsi dan kabupaten/kota yang ada. Ada setidaknya beberapa fungsi dan peran yang bias dilakukan oleh FKUB dari fungsi dialog, menampung dan penyaluran aspirasi, sosialisasi dan juga rekomendasi. Kecuali itu FKUB juga dilengkapi dengan peran-peran fungsi seperti tugas deteksi dini dan pemetaan gangguan kerukunan umat beragama, tugas meredam dan mencari solusi terhadap gangguan kerukunan umat beragama serta tugas mengidentifikasi dan merevitalisasi kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan antar umat beragama.

Jika dilihat dari aspek normatif yang sudah ada, maka FKUB sejatinya juga menjadi ruang kelembagaan yang sangat berperan penting, terutama karena FKUB bias menggambarkan representasi dari berbagai komunitas keagamaan dan keyakinan yang ada. Namun dalam berbagai pengalaman kongkrit lapangan dan terutama meminjam beberapa hasil riset tentang efektifitas peran dan fungsi FKUB, maka ada beberapa persoalan yang masih cukup menarik untuk dibaca, dikaji dan dielaborasi. Riset internal pemerintah dari Kementrian Agama tahun 2015 mencatat ditemukannya ada kekurangan dalam persoalan peran kelembagaan terutama dalam menjangkau berbagai representasi lembaga-lembaga keagamaan yang ada di dalam FKUB. Tapi jauh yang lebih penting dari itu adalah setidaknya ditemukan  beberapa persoalan terutama pada aspek political will pemerintah di tiap daerah setempat dan juga problem-problem struktural lainnya.

Dalam kasus terutama berhadapan dengan berbagai konflik dan kekerasan yang berdimensi agama yang sering muncul, FKUB dalam temuan riset Pusham UII tahun 2017 di lima daerah (Riau, NTB, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Kalimantan Barat) masih belum  berjalan dengan semsetinya yang diharapkan. Kordinasi dan sinergitas kerjasama antara FKUB dan lembaga yang lain sering juga hanya bersifat formal dan instrumental sehingga aktifitas dan kegiatan yang seharusnya bisa dikembangkan tidak berjalan dengan baik. Aspek pendanaan kelembagaan yang terbatas diberikan oleh pemerintah juga sering menjadi satu argumentasi alasan tidak optimalnya peran FKUB. Secara mendasar, masih banyak ruang kosong yang belum terisi dan dikembangkan dengan baik untuk memperkuat peran kapasitas FKUB terutama untuk menghadapi berbagai perkembangan persalan toleransi, demokrasi dan kebangsaan yang semakin mendapat tantangan besar hari-hari ini.

Situasi dinamika kebangsaan dengan semakin maraknya lubang-lubang potensi intoleransi, gesekan antar kelompok keagamaan, kekerasan bernuansa agama, dan arus potensi diskriminasi berdimensi agama yang semakin menguat mendorong sikap kebijakan negara yang semakin dituntut lebih. Ruang pelembagaan seperti FKUB tentu menjadi penting untuk dikaji bersama dan terutama upaya untuk merevitalisasi berbagai potensi peran yang bisa dimaksimalkan. Ada banyak masukan gagasan yang perlu kita berikan untuk menunjang penguatan atas peran FKUB ini dan terutama manfaatnya bagi keberlangsungan toleransi, demokrasi dan juga nilai-nilai kebangsaan yang bersama-sama kita harapkan.

Dengan latar pemikiran dan pertimbangan di atas, PUSHAM UII bermaksud mengadakan Seminar Nasional yang fokus untuk mengkaji persoalan toleransi, demokrasi dan pluralitas keberagamaan secara garis besar dan lebih spesifik untuk mengkaji dan memberi sumbangan masukan pemikiran tentang revitalisasi yang bisa dikembangkan untuk penguatan peran produktif FKUB di Indonesia. Masukan-masukan pemikiran ini sangatlah penting untuk sekaligus menjadi modal besar untuk membangun pilar-pilar yang kokoh dan lebih manusiawi terhadap terwujudnya situasi kerukunan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Tujuan Seminar

  1. Seminar ini untuk mendalami, mengkaji dan merefleksikan perjalanan situasi kebangsaan terutama menyangkut bagaimana wajah kondisi dan kualitas toleransi, demokrasi dan keberagamaan yang berjalan hari-hari ini?
  2. Seminar ini untuk mendialogkan berbagai pemikiran dan perspektif gagasan mengenai bagaimana langkah dan upaya yang lebih produktif dalam mendorong dan memajukan situasi toleransi, demokrasi dan keberagamaan di Indonesia
  3. Seminar ini juga menjadi ruang produktif untuk mencari berbagai solus pemikiran terutama mengenai gagasan untuk merevitalisasi dan memajukan fungsi peran FKUB.

Hari dan Tanggal Pelaksanaan

Selasa, 12 September 2017.

Tempat Seminar

Royal Ambarrukmo Hotel, Jl. Laksda Adisuipto No. 81 Yogyakarta, t. 0274-488488

Narasumber Seminar

  1. Prof. Dr. M. Amin Abdullah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
  2. Dr. Budi Munawarrahman (Akademisi, The Asia Foundation)
  3. Dr. Gregorius Sri Nurhartanto, S.H., LL.M. (Rektor UAJY)
  4. Irjen Arkian Lubis (Kakorbinmas Baharkam POLRI)

Peserta

  1. FKUB seluruh kabupaten dan kota Yogyakarta
  2. Ormas Keagamaan
  3. NGO
  4. Kepolisian
  5. Akademisi dan peneliti
  6. Mahasiswa

Hak asasi manusia termuat dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Pasal 28 UUD 45), sehingga bagi aparatur negara hak asasi manusia adalah mandat konstitusi yang harus dijalankan pemenuhannya. Cakupan esensi hak asasi manusia sangat luas, ia menyentuh seluruh sendi kehidupan warga negara, antara lain hak dalam memperoleh layanan pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan hidup yang bersih, fasilitas publik yang memadai dan seterusnya. Salah satu aspek HAM yang akan menjadi perhatian serius kita adalah hak untuk memperoleh kehidupan yang aman dan tertib, hingga mampu meningkatkan kesejahteraan sosial.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang bertugas untuk memenuhi hak-hak tersebut diatas bagi seluruh warga negara. Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002). Sebagai penjabaran atas perintah undang-undang tersebut, Kapolri menerbitkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Pedoman Implementasi HAM bagi Anggota POLRI, sebagai pegangan serta petunjuk pelaksanaan bagi seluruh anggota Polri di Indonesia.

Tujuan dari penerbitan peraturan ini antara lain;

  1. untuk menjamin pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran Polri agar dalam melaksanakan tugasnya senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip HAM;
  2. untuk memastikan adanya perubahan dalam pola berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan prinsip dasar HAM;
  3. untuk memastikan penerapan prinsip dan standar HAM dalam segala pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri tidak ragu-ragu dalam melakukan tindakan; dan
  4. untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar selalu mendasari prinsip dan standar HAM.

Penerbitan Perkap (Peraturan Kapolri) HAM, belum sepenuhnya menjamin bahwa pemahaman anggota POLRI tentang HAM sudah tuntas. Falsafah dan intisari hak asasi manusia sering disalahpahami baik oleh Polisi maupun warga masyarakat. Pemahaman mereka tentang hal-hal yang sangat mendasar seperti konsep HAM, Komnas HAM, pelanggaran HAM, pelanggaran HAM berat, RAN-HAM, masih sangat rancu. Frasa HAM dipahami dengan sederhana dan keliru, HAM adalah kekerasan yang dilakukan oleh dan antar polisi-warga, sehingga HAM berkonotasi negatif, bahkan menjadi momok menakutkan bagi sebagian anggota Polisi sehingga mereka antipati terhadap HAM. Sungguh ini kekeliruan yang sangat serius, Anggota POLRI seharusnya menyadari, bahwa tugas utama mereka sebagai anggota kepolisian adalah untuk memenuhi hak asasi warga negara Indonesia terkait dengan hak akan rasa aman dan tertib, sehingga warga mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Amanah Undang-Undang No 2 Tahun 2002 kepada seluruh anggota POLRI secara jelas menyebutkan bahwa anggota Polri tidak cukup hanya memahami HAM tetapi juga harus terpraktekkan dalam sikap dan perilaku keseharian mereka. Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4, UU No 2 /2002).

Untuk mewujudkan amanah ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia (LEMDIKLATPOLRI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) telah menyusun sebuah modul berjudul “Pengembangan Perspektif Hak Asasi Manusia untuk Pendidikan dan Pelatihan POLRI” yang diterbitkan  pada tanggal 10 Januari 2016.

Buku tersebut telah diterbitkan dan juga telah dilaksanakan training bagi para dosen pendidik di seluruh Sekolah Polisi Negara se Indonesia pada Senin 21 s/d Kamis 24 Maret 2016 bertempat di Yogyakarta.

Modul yang telah disusun oleh LEMDIKLATPOLRI dan PUSHAM UII diharapkan telah menjadi bagian dari pendidikan di seluruh SPN se-Indonesia. Setelah pelaksanaan dan pemnafaatan modul yang ada, PUSHAM UII bermaksud mengadakan worshop dalam rangka evaluasi substansi, metodologi, dan kendala pemanfaatan modul yang ada.

Tema Kegiatan

Kegiatan ini berupa workshop dalam rangka “Evaluasi Modul ‘Pengembangan Perspektif Hak Asasi Manusia untuk Pendidikan dan Pelatihan POLRI’”.

Tujuan Kegiatan

Tujuan kegiatan ini antara lain:

  1. Untuk mengevaluasi substansi modul dan merumuskan masukan pengembangan dan perbaikan.
  2. Untuk mengevaluasi metodologi yang digunakan dalam modul dan merumuskan masukan pengembangan dan perbaikan.
  3. Untuk merumuskan kendala-kendala yang dihadapi oleh SPN dan Pusdik di bawah LEMDIKLATPOLRI dalam rangka pendidikan dan pengembangan materi hak asasi manusia di lingkungan POLRI.

Waktu dan Tempat

Hari, tanggal    : Selasa – Rabu, 5 – 6 September 2017

Tempat            : Hotel Santika Premiere Yogyakarta

                          Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta  

Narasumber

  1. Kalemdiklatpolri
  2. Direktur PUSHAM UII
  3. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. (Universitas Negeri Yogyakarta)

Peserta

  1. 10 pejabat LEMDIKLATPOL yang memiliki tugas terkait kurikulum pendidikan hak asasi manusia.
  2. 5 orang Fasilitator LEMDIKLATPOL
  3. Kepala Sekolah Polisi Negara Selopamioro, POLDA DIY
  4. Kepala Sekolah Polisi Wanita
  5. Kepala Sekolah Polisi Negara POLDA JATIM
  6. Kepala Pusat Pendidikan Pembinaan Masyarakat, Banyubiru
  7. Kepala Pusat Pendidikan Reserse Kriminal
  8. Kepala Pusat Pendidikan Lalu Lintas
  9. Kepala Pusat Pendidikan Intelejen
  10. Kepala Pusat Pendidikan Brimob
  11. Dosen Peserta Training PUSHAM tahun 2017 dari PUSDIK BINMAS BANYUBIRU (Kompol Julijati, SH)
  12. Dosen Peserta Training PUSHAM tahun 2017 dari SPN SELOPAMIORO (AKBP. Pipit Pitasari, SH)
  13. Dosen Peserta Training PUSHAM tahun 2017 dari SEPOLWAN ( AKBP. Ratna Setiawati, SH)
  14. 5 orang dari PUSHAM UII

Kerjasama Pusham UII dan Akademi Kepolisian (Akpol) telah berlangsung relatif lama. Program-program yang harapannya membangun kesadaran akan arti penting kemanusiaan, urgensi kemitraan polisi dan masyakat dan bagaimana lulusan kepolisian mesti merespon tantangan-tantangan kekinian, telah dilangsungkan dengan cukup baik. Sedikit banyak program kemitraan Pusham UII dan Akpol telah memberi kontribusi bangunan kesadaran hak asasi manusia dan sistem pendidikan yang mengarahkan pada cara berfikir kepolisian sipil.

Selama tahun 2017, program kemitraan Pusham UII dan Akpol masih terus terjalin, baik dalam bentuk penguatan kapasitas hak asasi manusia, perumusan sistem pendidikan dan pengasuhan, pendampingan penulisan, publikasi karya ilmiah dan beberapa bentuk program lain yang secara umum telah melibatkan stakeholder kunci di lembaga Akpol, yakni tenaga pendidik, pengasuh, pelatih dan para taruna. Dari program yang telah dilaksanakan, secara umum aktivitas telah berjalan dengan baik. Komunikasi dan koordinasi antar pihak baik Pusham UII dan Akpol berlangsung dengan lancar. Namun demikian, dari segi aktivitas program, pasti terdapat catatan yang menarik untuk didiskusikan, khususnya terkait dengan sejauhmana program telah berkontribusi pada penguatan kapasitas, munculnya kesadaran baru tentang polisi sipil dan penghargaan pada hak manusia, dan adanya sistem pendidikan kepolisian yang harapannya menjawab tantangan-tantangan kepolisian di masa depan.

Berangkat dari pemikiran di atas, Pusham UII dan Akpol bersepakat untuk melakukan evaluasi program, refleksi dan merumuskan rencana-rencana tindak lanjut yang harapannya semakin memberi kontribusi pengetahuan tentang hak asasi manusia, menumbuhkan kesadaran kemanusiaan dan mendorong sistem pendidikan kepolisian sipil lewat program yang lebih terencana dan berkualitas.

Maksud dan Tujuan

  1. Diskusi dan curah pendapat tentang urgensi pendidikan yang menghargai kemanusiaan, kebhinekaan dan konteksnya dengan tanggungjawab kepolisian
  2. Evaluasi dan refleksi kritis program kemitraan selama 2017 yang telah dilakukan Pusham UII dan Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang
  3. Merumuskan rekomendasi dan rencana tindak lanjut program kemitraan yang lebih kontributif untuk mewujudkan dunia pendidikan kepolisian yang lebih menghargai hak asasi manusia dan kebhinekaan
  4. Menjaga silaturahmi dan ikatan kerjasama programatik yang telah terjalin cukup lama antara Pusham UII dan Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang

Waktu dan Tempat

Kegiatan ini akan diselanggarakan pada hari Selasa-Rabu, 29-30 Agustus 2017, bertempat di Hotel Santika Premiere Yogyakarta, Jl. Jendral Sudirman No. 19 Yogyakarta.

Peserta Workshop

Peserta workshop ini berjumlah 35 orang, yakni 25 perwakilan pejabat Akpol (tenaga pendidik, pengasuh dan pelatih) dan 10 orang mewakili tim program Pusham UII.

Metode Workshop

Workshop evaluasi program ini akan diselenggarakan dengan pendekatan curah pendapat yang didasarkan pada tema besar program kemitraan Pusham UII dan Akpol, materi dan bentuk-bentuk program, pemangku kepentingan program, dan dimensi lain yang berkaitan dengan kepentingan kemitraan program

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat dalam diri manusia sebagai manusia tidak lahir dengan sendirinya. Seluruh negara di atas bumi ini, memiliki sejarah panjang terkait HAM, kita tahu bagaimana suku aborigin direndahkan, suku Indian dikucilkan, dan bangsa Yahudi dibunuh dan diperbudak tanpa rasa kemanusiaan. Rentetan sejarah panjang Hak Asasi Manusia itu, membawa kesadaran kolektif seluruh negara bahwa hak asasi manusia harus diperjuangkan. Kita beruntung karena terlahir dimana dunia telah mengenal HAM dengan berbagai kemajuannya, namun tidak berarti kita sama sekali lepas dari tanggungjawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati keberadaan HAM. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berbagai varian pelanggaran hak asasi manusia juga mengalami perkembangan. Oleh karena itu, pusat pengkajian terhadap hak asasi manusia tidak dapat berhenti di tengah jalan, to pretect, to respect, and to fullfil, hak asasi manusia juga merupakan tanggung jawab kemanusiaan yang harus diperjuangkan

Dalam konteks nasional, negara Indonesia pun memiliki sejarah panjang yang memalukan sekaligus memilukan terkait hak asasi manusia. Memalukan karena negara yang sejak berdirinya telah berkomitmen untuk menjadikan filsafat “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai landasan bernegara, justru merendahkan derajad manusia hingga ke titik nadir. Memilukan karena sampai hari ini, masih sangat banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tidak jelas arah rimbanya, tidak jelas siapa pelakunya, hingga akhirnya tidak ada yang bertanggung jawab. Segala potensi pelanggaran hak asasi manusia, dibingkai dan dibungkus rapi dalam angan-angan “menjaga keutuhan bangsa” atau integrasi nasional, padahal senyatanya ia hanya merupakan bentuk alienasi dari pembumi hangusan manusia.

Atas komitmen terhadap hak asasi manusia itu, Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) membulatkan tekad untuk menjadi lembaga yang secara khusus melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian serta dakwah pada bidang hak asasi manusia. Komitmen itu dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah amanat nasional sebagai bagian dari NKRI, serta amanat agama sebagai khalifah di muka bumi. PUSHAM UII selalu berupaya mengambil peran aktif dalam seluruh dinamika hak asasi manusia, baik dengan melakukan penelitian lansung atas suatu peristiwa HAM yang terjadi atau melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan.

Salah satu aspek yang tengah menjadi fokus utama PUSHAM UII adalah terkait perlindungan terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang sama usianya dengan HAM itu sendiri. Kebebasan beragama dan keyakinan (freedom of religion and belief) merupakan salah satu bagian dari HAM yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, serta tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak ini selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), terdapat juga dalam berbagai dokumen historis HAM lainnya, seperti dokumen Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of man France (1789), Bill of Rights of USA (1971) dan lain sebagainya juga dengan jelas dan nyata diakui dalam Pancasila khususnya sila pertama. Bagi bangsa Indonesia, dalam konteks aturan mengenai jaminan atas hak kebabasan beragama telah dibuat cukup lengkap. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam UUD 1945 Pasal 28 E juga menyebutkan, “1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; 2) Setiap orang berhak  atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya; dan 3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Tidak hanya itu, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan juga kembali diteguhkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Artinya, kita sebenarnya sudah memiliki  landasan konstitusional dan perundangan bagi terpenuhinya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hanya saja faktanya, amanat konstitusi dan perundangan tersebut sakti di atas kertas, tapi lumpuh dan tak berdaya dalam kenyataan. Dikatakan demikian, sebab masih banyak ditemukan peraturan-peraturan di bawahnya yang restriktif dan bertentangan dengan semangat konstitusi. Bahkan, tidak jarang justru pemerintah yang mengingkari konstitusi itu sendiri. Negara, melalui aparatur pemerintahnya, acapkali terlibat sebagai aktor yang ikut merampas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok-kelompok minoritas, terutama karena tak mampu menghadapi desakan dan tuntutan dari mayoritas. Tak mengherankan, jika kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi dan terjadi terus karena “direstui” dan “disponsori” oleh negara dan pemerintah. Pelanggaran sebagaimana dimaksud tidak hanya dalam konteks negara melakukan tindakan lansung (termasuk dalam hal aturan) yang melanggar hak kebebasan beragama, namun saat negara melakukan pemibiaran terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama yang terjadi, esensinya negara pun telah ikut menyumbang pelanggaran itu.

Oleh karena itu, komitmen PUSHAM UII dalam kasus pelanggaran terhadap HAM dalam bidang kebebasan beragama tersebut, diwujudkan dengan melakukan penelitian pada tahun 2016-2017 dengan tema “Perlindungan Kebebasan Beragama; Potret dan Dinamika Kerja Kepolisian di Daerah”. Penelitian ini dibukukan dan diterbitkan pada tahun 2017. Dalam rangka menambah kualitas dan kapasitas penelitian PUSHAM UII, maka pada tanggal 26 Juli 2017 di adakan acara bedah buku terhadap buku hasil penelitian tersebut. Hadi sebagai pembicara sekaligus pembedah dalam acara ini: Romo Haryatmoko, Busyro Muqoddas, dan Kapolda DIY, Amad Dofiri. Ketiga pembicara memberikan kritik sekaligus saran dan berbagai masukan terhadap hasil penelitian para peneliti PUSHAM. Dari sekian banyak masukan, yang paling ditekankan oleh para pembicara adalah terkait dengan minimnya penggunaan teori, metode yang kurang tepat, dan pengambilan kesimpulan yang kerap kali tidak relevan dengan masalah yang dikemukakan.

Sebagai tindak lanjut dari berbagai masukan pasca acara bedah buku tersebut, lalu pada tanggal 27 Juli acara dilanjutkan dengan pelatihan penelitian yang diikuti oleh para peneliti Pusham UII. Pelatihan ini dilakukan dalam rangka menyatukan frame para peneliti Pusham agar dalam penelitian berikutnya terdapat kesatuan metode. Pada akhir kegiatan, juga disepakti ketentuan terkait dengan kerangka acuan penelitian untuk penelitian-penelitian yang akan datang, dengan harapan dapat menunjang kualitas para peneliti.

Beberapa waktu akhir-akhir ini, isu perbedaan primordial menjadi tantangan bagi tercapainya kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Isu SARA, ujaran kebencian, diskriminasi, konflik dan kekerasan bernuansa perbedaan makin menggejala. Agama, sebagai struktur penyeru kedamaian, seringkali juga malah dilibatkan dalam reproduksi potensi konflik. Beberapa lembaga penting yang konsen pada isu tersebut seperti Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM dan beberapa lembaga riset lainnya telah menyimpulkan hal serupa, ada problem dan tantangan serius pada isu kebebasan beragama ini. Terlebih lagi bahwa tautan faktor berbagai problem tersebut tidak jauh-jauh juga irisannya dengan problem struktural tentang peran dan tanggungjawab negara.

Secara konstitusional, perbedaan agama selayaknya tidak menjadi persoalan karena telah terlindungi secara apik. Pasal 28E, 28I dan 28J, 29 UUD 1945 telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan keberagamaan ini. Pada Pasal 22 dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan ulang akan pentingnya kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan itu. Tidak hanya itu, Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 2005, ayat (1),(2) dan (3) juga telah secara tegas dan jelas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak tersebut.

Beberapa turunan peraturan dibawahnya seperti peraturan bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri dan beberapa peraturan lainnya telah menunjukkan bahwa secara normatif aturan itu telah dirumuskan. Namun, jika berkaca kembali pada intensitas dan maraknya gejala praktik intoleransi, konflik dan kekerasan itu maka refleksi yang lebih jauh perlu kita lakukan. Setidaknya kita bersama dituntut kembali untuk bisa menjawab problem tersebut lebih kritis ketimbang hanya berhenti pada analisis yang normatif dan legal semata.

Dalam beberapa kajian dan analisis, banyak peraturan perundangan dan regulasi mempunyai dimensi yang bertentangan dengan spirit kebebasan beragama (Rizal Pangabean & Ihsan Ali Fauzi, 2011: 25). Untuk masalah ini tentu perlu upaya membaca dan memperbaharui berbagai tata regulasi struktural yang kontraproduktif terhadap semangat penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa perkembangan peraturan daerah terutama berkembangnya peraturan daerah yang mengandung isu sektarianisme agama dan suku telah memberi efek bola salju tersendiri atas munculnya berbagai warna kekerasan dan polemik di daerah terutama yang menyangkut problem keagamaan dan keyakinan (Ahmad Suaedy, dkk, 2007: x)

Mengacu sementara pada berbagai asumsi filosofis dan normatif hukum, negara mempunyai peran utama dalam tugas menjaga, memberi perlindungan serta aspek penegakan hukum terhadap semua hal berkait kebebasan beragama. Negara dalam pemahaman prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah pemangku kewajiban penuh atas kewajiban melindungi, mempromosikan dan juga tugas menegakkan hak asasi manusia setiap warga tanpa pandang bulu dan latar belakangnya. Dalam berbagai orientasi, kebijakan serta kewenangan yang ada, negara sejatinya mempunyai peran sentral dan aktif dalam menjawab kebutuhan tanggung jawab tersebut.

Di Yogyakarta, potensi munculnya perdebatan seru berbalut nuansa ketegangan juga mulai terlihat. Era demokratisasi di satu sisi memberi dampak positif akan dihormatinya ekspresi perbedaan, baik agama dan keyakinan, pandangan politik, dan ekspresi primordial lainnya. Namun di sisi lain, ekspresi tersebut seringkali memunculkan respon negatif atau kontraproduktif dari kelompok lain yang merasa terganggu atas ekspresi lain tersebut. Pada situasi ini, pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk ‘awas’ dan bijak dalam rangka mengelola situasi agar tidak mudah berujung pada konflik sektarian.    

Untuk menjawab pertanyaan itu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia akan menyelenggarakan seminar dan workshop dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi bersama atas situasi yang semakin menggejala tersebut. Capaian akhir dari seminar dan workshop ini diharapkan juga bisa menemukan rumusan-rumusan prinsip dasar dan model panduan penanganan potensi konflik bernuansa keagamaan yang adil dan menjunjung prinsip nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model panduan penanganan ini bisa menjadi standar dasar penanganan yang dipakai oleh pemerintah daerah dan/atau kepolisian. Setidaknya standar model panduan ini akan melengkapi secara teknis operasional dari berbagai prinsip rujukan yang ada dalam payung hukum yang sudah ada.

Tujuan Seminar dan Workshop

  1. Mendiskusikan dan merespon secara kritis tentang fenomena isu dan maraknya berbagai ketegangan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan dan keyakinan yang berkembang saat ini terutama berkaitan dengan prinsip dasar kebebasan beragama dan tanggungjawab negara.
  2. Mendiskusikan dan menggali problem mendasar ekonomi, politik, budaya dan berbagai akar konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang berkembang lima tahun terakhir di Indonesia.
  3. Mendiskusikan dan memberi masukan berharga untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan institusi kepolisian dalam rangka meningkatkan peran dan tanggungjawabnya untuk memenuhi tugas perlindungan dan penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan.
  4. Merumuskan dan menyusun model dan standar panduan dasar penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang memenuhi prinsip keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Waktu dan Tempat

Hari, tanggal      : Rabu-Kamis, 14-15 Juni 2017

Waktu                : 12.00-18.00 WIB

Tempat              : Hotel Santika Premiere Yogyakarta

                             Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta

Narasumber :

  • Intoleransi dan Penghormatan Hak Asasi Manusia : Sebuah Data Pemantauan

Narasumber : Dr. M. Imdadun Rahmat, M.Si (Komisioner KOMNAS HAM)  

  • Yogyakarta, The City of Tolerance: Membaca Peluang dan Tantangan

Narasumber : Agung Supriyono, S.H. (Kepala KESBANGPOL DIY)

  • Peran Polisi dalam Merawat Keindonesiaan yang Nir Kekerasan

Narasumber : AKBP. Sinungwati, S.H. (KASUBDITBINTIBLUH DITBINMAS POLDA DIY)

Peserta

  1. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Propinsi DIY
  2. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Sleman
  3. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul
  4. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Yogyakarta
  5. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
  6. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul
  7. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Propinsi DIY
  8. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Sleman
  9. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bantul
  10. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kota Yogyakarta
  11. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kulon Progo
  12. Kepala Bagian Kesatuan Bangsa, Politik, Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gunung Kidul
  13. Direktur Binmas Polda DIY
  14. Kepala Satuan Binmas Polres Bantul
  15. Kepala Satuan Binmas Polres Kulon Progo
  16. Kepala Satuan Binmas Polres Sleman
  17. Kepala Satuan Binmas Polres Gunung Kidul
  18. Kepala Satuan Binmas Polrestabes Yogyalarta
  19. Kepala Bagian Perlindungan Agama Kanwil Kementrian Agama DIY
  20. Kepala Bagian Hukum Hak Asasi Manusia Kanwil Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY
  21. Direktur LBH Yogyakarta
  22. Direktur PUKAT UGM
  23. Direktur ICM Yogyakarta
  24. Ketua LKIS Yogyakarta
  25. Direktur Rifka Annisa Yogyakarta
  26. Ketua Dian Interfidei Yogyakarta
  27. Ketua Bagian Hukum Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama Yogyakarta
  28. Ketua Bagian Hukum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Yogyakarta
  29. Ketua Sigab Yogyakarta
  30. Direktur Pusat Studi Islam UII
  31. Direktur DPPAI UII
  32. Ketua FKUB Profinsi DIY
  33. Ketua FKUB Kabupaten Sleman
  34. Ketua FKUB Kabupaten Kulon Progo
  35. Ketua FKUB Kabupaten Gunung Kidul
  36. Ketua FKUB Kabupaten Bantul
  37. Ketua FKUB Kota Yogyakarta

Dalam acara yang bertajuk “Merajut Kebersamaan, Mengikat Kebhinekaan” yang diselenggarakan di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada 14 Juni 2017, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia  (KOMNAS HAM RI). Kegiatan itu di selenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), yang juga bertindak sebagai inisiator sekaligus eksekutor MoU.  MoU tersebut diadakan dalam rangka memperkuat peran Pusham UII dan Komnas HAM RI dalam mewujudkan perlindungan, pemenuhan,dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia. Secara khusus, kerja sama ke depan adalah pada aspek perlindungan terhadap hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), yang akhir-akhir ini tengah berada pada kondisi yang memprihatinkan di Indonesia. Wacana pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan bukanlah hal yang baru di Indonesia termasuk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meskipun Yogyakarta di juluki sebagai the city of tolerance, namun potensi tejadinya konflik antar umat beragama maupun inter umat beragama bukan tidak mungkin, mengingat beberapa tahun belakangan di beberapa kabupaten termasuk kota Yogyakarta sendiri, percikan-percikan kecil yang mengarah para pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami peningkatan. Oleh karena itu, kerjasama ke depan adalah untuk menekan sekecil mungkin potensi-potensi yang mengarah pada pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara di Yogyakarta.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top