Terutama dalam 4 tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus kepailitan yang signifikan di Indonesia. Berdasarkan data kasus yang diputus di pengadilan, sejak 2022 hingga 2024, tercatat lebih dari 250 kasus kepailitan diputus pengadilan setiap tahunnya. Hingga kuartal ketiga 2025, pengadilan bahkan sudah memutus 150 kasus kepailitan. Peningkatan kasus kepailitan di Indonesia mengindikasikan bahwa, pertama, kreditor menganggap penyelesaian sengketa keperdataan melalui mekanisme kepailitan lebih berkepastian dan bermanfaat untuk pemenuhan haknya atas piutang yang sudah jatuh tempo. Kedua, pelaku usaha tidak benar-benar siap dalam mengelola perusahaannya secara bertanggung jawab.
Namun, riset PUSHAM UII mengungkap sisi lain dari penyelesaian kasus kepailitan, suatu bagian yang belum banyak diberi perhatian. Melalui riset berjudul “BERTAHAN, TANPA TANGAN NEGARA. Masalah Struktural Sistem Kepailitan di Indonesia dan Dampaknya pada Hak Asasi Pekerja,” PUSHAM UII sampai pada kesimpulan bahwa pekerja, selaku kreditor preferen paling utama, justru menjadi korban sesungguhnya dalam penyelesaian kasus kepailitan, khususnya dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Didasarkan pada pengalaman pekerja PT Sinarupjaya Utama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan PT Panamtex di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, riset PUSHAM UII menegaskan bahwa proses pengurusan dan pemberesan harta pailit telah menjadi ruang terbuka untuk pelbagai ketidakadilan bagi pekerja yang terdampak, juga menjadi pintu masuk bagi kerugian hak asasi manusia yang harus ditanggung pekerja dan keluarganya.
Silahkan simak laporan lengkapnya di sini.
