Tak ada satu pemimpin politik yang bisa mengakhiri suatu demokrasi;
demikian juga, tak satu pemimpin yang bisa menyelamatkan suatu demokrasi.
Demokrasi adalah usaha bersama. Nasibnya tergantung pada kita semua
(Steven Levitsky & Daniel Ziblatt)
Levitsky & Ziblatt telah memberikan peringatan bahwa terdapat pemimpin yang dilahirkan melalui mekanisme demokratis, tetapi kemudian menjadi pihak yang membunuh demokrasi. Namun, sebagian besar pemimpin membunuh demokrasi secara perlahan. Pemilu masih diselenggarakan, parlemen kritis masih ada, media massa masih aktif, bahkan nafsu kekuasaan politik dilegalkan dan disetujui oleh parlemen dan dianggap konstitusional oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan judicial review, seperti Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, 2023, hlm. 60).
Peringatan di atas nampak jelas telah terjadi di Indonesia pada akhir periode pertama dan di sepanjang periode kedua Presiden Joko Widodo, kira-kira tahun 2018-2024. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan Undang-Undang Pertambangan, Omnibus Law, Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden, dan terakhir walaupun gagal adalah putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi penanda rusaknya tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. Seluruh perubahan ini nampak legal secara prosedural, bahkan dikukuhkan oleh lembaga peradilan. Namun, semua perubahan itu terjadi sesungguhnya bukan didasarkan pada kebutuhan konstitusional demi kepentingan terbaik rakyat dan bangsa Indonesia, tetapi lebih sebagai jalur untuk kepentingan politik dan ekonomi sekelompok elite
dan anak-anak Presiden Joko Widodo.
Di tengah situasi yang semakin genting serta diamnya kekuatan politik dan organisasi sosial kemasyarakatan termasuk keagamaan, komunitas akademik mengambil peran untuk melantangkan suara nyaring spirit republik dan demokrasi, walaupun ada yang suaranya parau. Pernyataan publik yang telah disuarakan menandai masih adanya cendekiawan yang berpijak pada nilai, walaupun
ada juga yang mencari aman dan mengirimkan sinyal dukungan kepada rezim. Buku ini merekam suara publik yang tajam sekaligus yang parau. Dipersilakan kepada pembaca untuk menikmati sikap komunitas akademik dan masyarakat sipil di dalam buku ini.
Buku ini merekam 76 (tujuh puluh enam) pernyataan publik yang dibacakan oleh komunitas akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Secara teknis, pernyataan publik dikumpulkan dan dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu suara perguruan tinggi, asosiasi perguruan tinggi, komunitas alumni lembaga pendidikan, dan koalisi masyarakat sipil. Suara perguruan tinggi termasuk di dalamnya pernyataan resmi perguruan tinggi, pernyataan komunitas dosen, dan komunitas mahasiswa.
Pernyataan publik yang direkam di dalam buku ini telah mendapatkan persetujuan dari para pihak
yang menyatakan sikap publiknya. Penyunting telah mengirimkan surat persetujuan kepada semua pihak yang mengeluarkan rilis dan memberi waktu selama 7 (tujuh) hari untuk membalasnya. Di dalam surat persetujuan telah diinformasikan bahwa jika dalam waktu 7 (tujuh) hari, pihak yang merilis tidak menyampaikan keberatan, maka hal itu dianggap sebagai persetujuan untuk rilis. Di luar 76 (tujuhpuluh enam) pernyataan publik yang direkam dalam buku ini, terdapat beberapa rilis yang tidak dimasukkan karena ketiadaan persetujuan dari pihak yang membuatnya.