COVID-19 DAN SENGKARUT HUBUNGAN PUSAT-DAERAH

 Sengkarut hubungan pusat dan daerah sudah sejak lama mewarnai diskursus politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Sejak penjajahan kolonial Belanda, Jepang, awal kemerdekaan hingga hari ini, hampir selalu menghadapi isu sama yang tak pernah kunjung ditemukan jalan penyelesaiannya, yaitu isu sentralisasi. Undang-undang pemerintahan daerah yang terakhir, UU Nomor 23 Tahun 2014, justeru dianggap sebagai UU yang paling sentralistik sejak reformasi dan amandemen UUD N RI Tahun 1945.

Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara yang berbentuk kesatuan. Padahal argumentasi ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikonsepsikan oleh UUD 1945, terutama UUD pasca amandemen, sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Disamping itu, secara teoritik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen dan kompromi politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.

Kondisi di atas diperparah pula oleh orientasi pembangunan yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi sejak terpilih menjadi presiden pada tahun 2014 silam. Sebernanya tidak ada yang salah dengan paradigma pembangunan itu. Hanya saja, kerap kali pada perjalanannya pemerintah menjadikan pembangunan sebagai peran pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah yang telalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu sistem perencanaan terpusat (cental planning). Kendali pemerintahan dan pembangunan berada di tangan pemerintah pusat. Perencanaan dan pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan, diawasi, dan dievaluasi. Dalam konteks inilah dapat dipahami, mengapa dalam UU 23 Tahun 2014, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, keduanya diposisikan sebagai daerah administrasi dan wakil pusat di daerah.

Memposisikan daerah sebagai daerah administrasi dan wakil pusat telah membebaskan pemerintah daerah dari tanggung jawab politik, baik terhadap DPRD maupun masyarakat daerah. Kondisi ini juga telah menyuburkan korupsi di tingkat daerah, yang berbuah maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, dan berbagai masalah lain sebagai dampak dari penataan hubungan pusat dan daerah yang sentralistik.

Covid-19 dan Sengkarut Hubungan

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pusat berkesempatan untuk memperlajarim memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat, baik untuk meningkatkan kesejahteraan daerah maupun masyarakat daerah.

Kondisi di atas lah yang diharapkan dapat melembaga dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia. Dengan demikian, kondisi covid yang tengah mewabah di Indonesia dan dunia belakangan ini, dapat memacu pemerintah daerah untuk lebih kreatif dan tegas menjadi motor penggerak masyarakat daerah. Kondisi daerah yang beragam, termasuk potensi penyebaran covid-19 juga berbeda antar satu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga, akan lebih baik jika kebijakan pemetaan penyebaran, penanggulangan, dan penyelesaiannya diberikan kepada pemerintah daerah.

Sayangnya, situasi tersebut dalam konteks saat ini tidak mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah pusat, dengan berbagai kewenangan yuridisnya, memiliki kekuasaan yang begitu besar dalam hampir seluruh bidang pemerintahan. Artinya, peluang daerah untuk memiliki kebijakan sendiri, termasuk dalam penanganan covid-19 ini, tanpa persetujuan dari pemerintah pusat, hampir tidak mungkin. Bahkan, dalam konteks diskresi, yang secara teoritis berarti kewenangan bebas pejabat TUN untuk mengambil kebijakan dalam syarat dan kondisi tertentu, juga harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pusat. Ini berarti, sistem yang saat ini berlaku, telah memunculkan ketergantungan yang begitu besar daerah atas pusat. Kedua, dari aspek pemerintah daerah juga masih ada masalah, desentralisasi mengharuskan adanya kompetensi dan kreativitas kepala daerah untuk menjawab berbagai masalah yang muncul di daerah. Namun, berada di bawah hegemoni pemerintah pusat selama ini, menjadikan pemerintah daerah kalang kabut saat menghadapi pandemi. Mereka dituntut untuk kreatif padahal selama ini terkungkung di bawah pusat, tentu saja harapan menjadi kreatif ini jauh panggang dari api.

Pandemi covid-19 ini menjadi bukti sengkarut penataan hubungan pusat dan daerah. Ada daerah yang ingin bertindak progresif namun khawatir dianggap mendahului pusat, sebaliknya, ada pula daerah yang tidak melakukan apa-apa karena kehilangan kreativitas. Pilihan kita untuk mempertahankan pendekatan sentralistik, mendapatkan tantangan berat saat pandemi, ini meransang kita untuk mempertanyakan kembali penataan hubungan pusat dan daerah di masa depan.

id_IDID
Scroll to Top
Scroll to Top