Membaca dinamika sosial saat ini, radikalisme keberagamaan dan sikap intolerasi semakin subur berkembang. Banyak kalangan bahkan melihatnya sebagai bahaya serius terhadap pluralisme, kebhinekaan dan kultur demokrasi. Beberapa kelompok dan komunitas keagamaan, dengan keyakinan prinsip tertentu gemar dan mudah menggunakan perilaku kekerasan dan sikap menebar kebencian. Sikap sentimen dan gemar mengkafirkan satu dengan yang lain rasanya semakin digemari. Pada skala tertentu. Ia bahkan mampu membangun keresahan dan percikan-percikan konflik di masyarakat.
Dalam banyak aspek, kultur dan etos kekerasan ini tentu bukan hadir tiba-tiba. Hadirnya kegemaran menebarkan rasa kebencian dan permusuhan bukan sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Sangat penting kiranya untuk mampu membaca dan memahami potret dari hidup berkembangnya kultur intoleransini. Pembacaan dan analisis yang kritis dan tepat, tentu saja akan memberi bukan semata hasil jawaban yang memuaskan, namun bisa produktif memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah yang ada.
Secara teoritik, tentu perlu dijawab akar masalah yang melatarbelakangi dan berbagai kelindan nalar yang bekerja dari lahirnya habitus radikalisme, intoleransi dan etos kekerasan yang berdimensi agama tersebut. Potret bingkai ekonomi politik, sosiologis, psikososial dan kultural tentu akan memberi warna perspektif yang beragam dan saling menggenapi. Sebagai sebuah rumus pemecahan masalah, tak ada rumus dan teori tunggal yang bisa fasih menjawab problem mendasar tersebut. Perlu penggalian berbagai aspek dan dimensi yang menyertainya.
Institusi Kepolisian dan tentunya juga AKPOL sebagai lembaga penting pendidikan Polri, mempunyai kewajiban serius untuk selalu mengembangkan diri dalam upaya menemukan berbagai metode pemecahan masalah yang lebih tepat dan benar. Kemampuan analisis sosial, mapping persoalan dan juga perumusan metodologi pemecahan masalah ini, tentu harus ditingkatkan terus menerus. Jika tidak alih-alih akan bisa menemukan rumusan problem solving yang brilliant, yang terjadi justru akan mendorong problem baru yang kontraproduktif.
Secara prinsip, radikalisme dan budaya kekerasan tentu sebuah problem harus bisa diatasi dan dihilangkan. Namun pertanyaan yang jauh lebih penting adalah bagaimana rumusan strategi yang harus dibangun Kepolisian sehingga rute dan langkah yang dikerjakan bisa benar, tepat, berkeadilan dan juga menghargai prinsip dan nilai-nilai HAM. Institusi Kepolisian mempunyai mandat dan kewajiban besar untuk bisa menemukan itu.
Demikian juga dengan AKPOL, institusi penting ini harus mampu bisa merumuskan sebuah kerangka besar nilai pendidikan dan juga model strategi pendidikan yang mampu menyiapkan produk taruna yang berkualitas dan mendalami sejak awal akan prinsip-prinsip nalar yang benar. Oleh sebab itu kiranya penting dalam workshop dan evaluasi kerjasama Pusham UII Yogyakarta dan Akpol Semarang ini, bersama-sama mendiskusikan problem ini dengan lebih mendalam.
Tujuan Materi :
- Memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam tentang akar dan mata rantai kekerasan berdimensi agama dengan seluruh nalar dan berkelindannya praktik-praktik tersebut dalam masyarakat;
- Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang faktor sosiologis, ekonomi politis dan juga kultural yang berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya problem intoleransi, radikalisme dan kekerasan tersebut:
- Memberikan temuan-temuan penting dalam aspek metodologi dan strategi yang lebih tepat bagi institusi kepolisian dalam rangka menjawab dan merespon problem radikalisme, intoleransi dan kultur kekerasan tersebut;
- Memberikan masukan-masukan yang berharga bagi pembenahan sistem, konten dan metodologi pendidikan di Akpol berkait dengan problem penanganan isu intoleransi, radikalisme dan kultur kekerasan berdimensin agama di Indonesia.
Waktu dan Tempat :
Hari, Tanggal : Rabu, 20 Januari 2016
Waktu : Jam 10.00 – 12.00 WIB
Tempat : Hotel Crown Semarang, Jl. Pemuda No. 118 Semarang
Telp. 024 – 86579111