OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Pertarungan politik sepertinya sedang memasuki masa panas-panasnya. Kampanye terbuka telah dilakukan di beberapa tempat, dan semua orang sedang kasak-kusuk tentang kandidat pilihannya. Di arena persaingan para politisi ini, hadir para agamawan yang biasa membawa dalil-dalil agama untuk mendukung kandidatnya, dan dalam banyak kasus merendahkan kandidat yang lain dengan dasar informasi yang salah.
Di satu daerah, ibu-ibu yang datang dari pengajian tiba-tiba bercerita tentang isi pengajian tokoh agama yang isinya menjelek-jelekkan salah satu kandidat Presiden dan Wakil Presiden, di mana jika kandidat tersebut terpilih PKI akan muncul di mana-mana, pernikahan sejenis akan disahkan, dan suara adzan akan dilarang. Pada saat yang lain, Bapak-bapak yang selesai pengajian cerita bahwa ada kandidat Presiden yang beragama non Islam dan berasal dari keturunan Cina sehingga tidak boleh dipilih. Pada kesempatan yang sama, agamawan tersebut meminta jemaahnya agar memilih kandidat tertentu dengan dasar pikiran yang tidak detail.
Cerita beberapa Jemaah pengajian membuat hati miris karena apa yang dikatakan para tokoh agama sumbernya adalah berita hoax dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral untuk disampaikan kepada khalayak umum, khususnya para jemaah pengajian yang notabene hadir dengan kesucian hati dan pikiran untuk mempelajari pesan-pesan agama yang lurus dan mencerahkan. Informasi hoax yang dijadikan sumber ceramah memperlihatkan betapa agamawan bukanlah sosok yang bersih virus berita bohong yang saat ini bertebaran di media sosial, seperti facebook, whatsapp, dan youtube.
Pada sisi yang lain, dukungan politik agamawan pada kandidat tertentu semestinya juga ditopang oleh informasi yang detail dan utuh, utamanya terkait visi misi, tawaran program dan pertimbangan yang bersifat substantif, yakni pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas yang harapannya dapat membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan, makmur, dan terbebas dari sistem yang koruptif.
Politik Agamawan
Agamawan tidak bisa dipisahkan dari suara agama, apa pun yang dilakukan agamawan, baik perkataan dan tindakannya selalu akan dikaitkan dengan ekspresi keagamaan. Karena itu, mandat penting agar pemeluk agama tidak berprilaku kacau merupakan tanggungjawab utama para agamawan. Ketika terjadi kekacauan di internal pemeluk agama, maka yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku para agamawannya yang kita tahu sangat rutin memberikan doktrin keyakinan agama.
Konteks kontestasi politik juga demikian, kisruh pemeluk agama karena adanya perbedaan preferensi politik, yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku politik agamawannya. Pertanyaannya, apakah para agamawan sudah memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada jemaahnya? Atau, yang mereka lakukan adalah menyebarkan politik kebencian dan adu domba yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong disharmoni sosial dan retaknya relasi bernegara kedepannya.
Disinilah letak penting mengapa para agamawan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang paripurna, di mana ada keniscayaan agar mereka secara utuh memahami ajaran agama dalam konteks hubungan sosial masyarakat (muamalah), bernegara (siyasah), dan dalam hal bagaimana agama semestinya menjadi penguat persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah) dan persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah). Dalam hal ini, agamawan dituntut tidak hanya ahli dalam hal ceramah dan pengetahuan agama yang bersifat ritual, tetapi lebih jauh memahami ajaran agama secara holistik.
Politik agamawan dengan demikian tidak bisa dimaknai secara sempit sekedar dukung mendukung, atau sekedar mengeluarkan dalil-dalil agama untuk mendukung kandidat tertentu, lebih jauh para agamawan punya tanggungjawab agar berpolitik sesuai dengan tuntunan agama yang luhur, terhormat, dan mulia. Saat politik luhur ini dijalankan, maka ajaran agama tetap akan berada di posisinya yang suci, dan para pemeluk agama akan memahami kontestasi politik bukan lagi sebagai ruang permusuhan dan perang antar sesama anak bangsa, tetapi lebih substantif menjadi ruang untuk secara sungguh-sungguh mencari pemimpin yang berkualitas.
Tantangan
Menghadirkan perilaku politik agamawan yang luhur tentu tidaklah mudah, mengingat ada begitu banyak tantangan di negari ini, utamanya terjadinya tarik menarik yang terus menerus antara politik dan agama, dan para agamawan pada sisi yang lain. Agamawan yang mejadi bagian kekuasaan biasanya akan selalu membela perilaku kekuuasaan, sebaliknya agamawan yang berada di luar kekuasaan umumnya akan mengkritik kekuasaan.
Di tengah tarik menarik tersebut, agamawan dimana pun posisinya idealnya dituntut untuk menjadi manusia yang harapannya dapat melampaui kepentingan diri sendiri, kelompok dan menghindari pertarungan politik yang bersifat sesaat. Agamawan dituntut untuk lebih mengamalkan pesan-pesan agung agama yang suci dengan selalu mendorong kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah umat manusia yang beragam.
Sumber :
Media Cetak Jawa Pos, Kamis 28 Maret 2019
1 March 2021
Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Menghadapi Pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia dan dunia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan dua paket kebijakan. Pertama, Menkumham mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kedua, Sandingan dari Kepmen tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Kebijakan pertama, berupa Kepmen tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, pada pokoknya berisi ketentuan bahwa narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat pembebasan pada akhir tahun 2020 ini, dapat dibebaskan lebih awal. Sedangkan kebijakan kedua, berupa Permen tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, pada pokoknya berisi kemudahan syarat pembebasan bagi narapidana dan anak. Satu hal yang cukup menarik adalah ketentuan Pasal 4 yang meniadakan Litmas dan diganti dengan Laporan Perkembangan Pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas, sebagai syarat pembebasan narapidana dan anak.
Terkait dengan dua paket kebijakan itu, ada beberapa catatan yang patut menjadi perhatian bersama. Pertama, telah menjadi rahasia umum bahwa hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (99%) mengalami over kapasitas yang rata-rata nasionalnya mencapai 103%, bahkan tidak sedikit Lapas mencapai 200%. Ini adalah masalah klasik lembaga pemasyarakatan sebagai akibat dari pendekatan sistem peradilan pidana yang terfokus pada pemenjaraan. Oleh karena itu, selama kebijakan penal dan kriminalisasinya tidak diperbaharui, over kapasitas tidak akan pernah bisa diatasi. Kedua, kondisi di atas tentu sangat beresiko di tengah pandemi covid-19 saat ini. Dengan sumber daya yang ada, dokter dan obat-obatan yang terbatas, dapat dipastikan Lapas tidak akan mampu menghadapi penyebaran virus jika sudah terpapar di dalam Lapas. Belum lagi, sempitnya area lapas dengan penghuni yang begitu banyak akan sangat sulit menanggulangi penyebaran, tidak saja terhadap narapidana namun juga petugas Lapas. Sampai disini, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan covid-19 ini mutlak dibutuhkan.
Harus dipahami bahwa bebas bersyarat adalah hak narapidana dan anak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan, sepanjang persyaratan telah terpenuhi. Kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang membebaskan lebih awal narapidana dan anak, sesungguhnya sudah lebih dulu dilakukan oleh negara-negara lain, juga sebagai upaya penanggulangan penyebaran covid-19 ini. Afganistan, Iran, Amerika sudah lebih dulu melakukan, bahkan Jerman sudah membebaskan 1.000 narapidana (CDS, 2020). Namun, ada dua kritik terhadap dua paket kebijakan ini, yang patut menjadi perhatian kita bersama agar tidak disalahgunakan. Pertama, pembebasan narapidana dan anak dalam konteks covid-19 ini sejatinya harus pula mempertahikan faktor resiko, sehingga mekanisme lebih terkontrol. Misalnya, narapidana yang beresiko rendah tertular covid-19 dan narapidana yang beresiko besar mengulangi tindak pidana, tidak perlu mendapatkan pembebasan awal. Catatan resiko ini sejatinya tidak terlalu sulit diperoleh dengan memanfaatkan kerja Balai Pemasyarakatan (Bapas). Selain itu, seharusnya pula ditentukan bahwa tidak semua narapidana dapat memperoleh pembebasan awal atau tidak diprioritaskan mendapat pembebasan, misalnya narapidana dengan tindak pidana korupsi, bandar narkoba, teroris transnasional, pembunuhan, dan kekerasan seksual terutama pada anak. Narapidana dalam klaster ini, jika dipaksakan tetap dibebaskan justeru akan berdampak negatif bagi citra Kemenkumham karena dianggap menciderai nilai keadilan.
Kedua, kebijakan dalam Permen yang meniadakan Litmas sebagai syarat pembebasan dan diganti dengan Laporan Perkembangan Pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas, menjadikan syarat pembebasan sangat subjektif. Bahayanya, jika tidak mendapatkan kontrol yang ketat, ini berpotensi dimanfaatkan sebagai “ladang bisnis” baru di lembaga pemasyarakatan. Karena kebijakan sudah dikeluarkan, maka Menteri Hukum dan HAM harus memastikan kewenangan ini tidak disalahgunakan, tentu saja kontrol media dan masyarakat sangat dibutuhkan.
Di samping dua paket kebijakan itu, ada pula wacana Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan narapidana koruptor dan narkotika tidak dapat menikmati pembebasan awal di dua paket kebijakan sebelumnya. PP mengharuskan adanya syarat tambahan bagi narapidana korupsi dan narkotika untuk mendapat pembebasan. Tentu kebijakan ini tidak tepat, jika presiden tetap merevisi PP, penolakan dari masyarakat akan sangat besar dan memperburuk citra presiden sendiri. Belum lepas stigma pro koruptor karena dinilai melemahkan KPK, sekarang akan disusul oleh kebijakan baru dengan substansi yang tidak jauh berbeda. Covid-19 memang mengkhawatirkan, namun membebaskan karoptor, selain tidak relevan juga menciderai keadilan hukum.
1 February 2021
M. Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Beberapa minggu yang lalu terjadi kegaduhan di masyarakat terkait sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sistem ini merupakan realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Karena begitu derasnya kritik orang tua di beberapa tempat, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru dan mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2019.
Seperti dilansir banyak media, permasalahan yang muncul akibat penerapan sistem zonasi, pertama, daya sekolah dan jumlah siswa tidak seimbang di beberapa tempat. Ada sekolah yang berlebih muridnya, dan ada ada sekolah yang kekurang murid. Kedua, belum adanya pertimbangaan yang jelas terkait jumlah anak didik dan keberadaan sekolah di beberapa tempat. Ketiga, infrastruktur, fasilitas dan sarana prasarana sekolah belum merata. Keempat, berkurangnya kompetisi antar siswa untuk masuk sekolah negeri terbaik. Kelima, nilai ujian nasional tidak penting lagi, karena yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak rumah atau zonasi peserta didik ke sekolah.
Sedangkan alasan pemerintah dan dalam banyak hal juga bisa dimengerti, pertama, sistem zonasi akan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Anak didik tidak perlu sekolah jauh dari rumahnya. Kedua, akses pendidikan akan lebih merata. Ketiga, kondisi kelas yang heterogen sehingga akan mendorong siswa untuk bekerjasama di level yang berbasis lokal. Keempat, sistem zonasi akan mengurangi praktik jual beli kursi. Kelima, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru. Keenam, memudahkan identifikasi persoalan sistem pendidikan sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berpijak pada plus minus dan polemik sistem zonasi, satu hal yang juga mesti dipikirkan oleh pemangku kebijakan adalah nasib anak-anak difabel yang hingga saat ini masih banyak ditolak ketika mendaftar di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan. Padahal, secara zonasi, tempat tinggal anak difabel tersebut dekat dengan sekolah umum di daerahnya.
Pertanyaannya, apakah sistem zonasi saat ini akan memberi akses bagi anak difabel untuk sekolah di dekat rumahnya dan secara otomatis sekolah tersebut menjadi sebuah sekolah inklusi? Atau, kondisinya masih sama dengan kisah pilu terdahulu, di mana anak-anak difabel tetap akan mengalami kesulitan saat mendaftar di sekolah umum dan orang tua difabel akan kesulitan kembali untuk antar jemput anaknya yang difabel karena akses sekolah yang jauh. Dalam banyak hal, anak-anak difabel tidak bisa bersekolah karena adanya hambatan-hambatan struktural yang secara langsung dan tidak langsung memutus hak-hak anak difabel atas di dunia pendidikan.
Ketentuan Sistem Zonasi
Dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, pertama, jalur zonasi, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah.
Dalam peraturan terbaru, Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 % (delapan puluh persen) dari tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi paling banyak 15% (lima belas persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Peraturan terbaru dengan demikian tidak banyak mengubah ketentuan pilihan sistem zonasi, hanya sedikit mengubah besaran persentasi penerimaan siswa lewat sistem zonasi dan jalur prestasi.
Bagaimana dengan penerimaan anak didik difabel? Dalam peraturan dinyatakan bahwa kuota dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu; dan/atau anak difabel pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Bahkan dengan alasan yang kurang jelas, Permendikbud akan memberi sanksi berupa pengeluaran bagi orang tua/wali yang terbukti memalsukan keadaaan sehingga seolah-olah peserta didik merupakan seorang anak difabel. Hal ini dalam banyak hal akan membuat takut orang tua, utamanya dari kalangan kaum miskin dan orang tua anak difabel.
Membaca ketentuan Permedikbud terlihat jelas bahwa anak didik difabel tidak cukup mendapatkan afirmasi dalam ketentuan sistem zonasi yang tujuannya notabene ingin mendorong akses layanan pendidikan. Dalam peraturan hanya terbaca anak didik difabel diterima sesuai kuota zonasi jika tersedia sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal, keberadaan sekolah inklusif saat ini masih menjadi catatan sangat serius di berbagai daerah di Indonesia, baik ketersediaan sekolahnya dan atau pun problem ketersediaan guru pendamping dan sarana prasarana yang belum aksesibel.
Pesan Bagi Pemangku Kebijakan
Dalam beberapa forum, keberadaan sistem zonasi sangat diharapkan akan menciptakan akses pendidikan yang lebih adil bagi anak-anak difabel. Selama ini, banyak anak didik difabel ditolak ketika mendaftar di sekolah dekat rumah tinggalnya. Pihak sekolah dengan alasan-alasan yang beragam biasanya menolak pendaftaran anak didik difabel dan mengarahkan agar mendaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jaraknya di banyak tempat ternyata jauh dari tempat tinggal anak didik difabel.
Penolakan anak difabel di sekolah secara umum bertentangan dengan hukum. Pada Pasal 5 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa difabel memiliki hak atas pendidikan. Pada Pasal 10 huruf b dinyatakan bahwa hak pendidikan untuk difabel termasuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi peserta didik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Terkait dengan sistem zonasi, Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang disabilitas juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak difabel untuk bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Zonasi menjadi pertimbangan utama bagi anak didik difabel.
Berangkat dari kegaduhan sistem zonasi dan problem akut yang menimpa anak didik difabel, besar harapan untuk pemangku kebijakan khususnya pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar melakukan evaluasi ulang terhadap tata kelola pendidikan bagi anak-anak difabel. Sistem zonasi lebih jauh harapannya akan menjadi media yang akan membuka ruang terciptanya pendidikan inklusi, akses pendidikan yang lebih manusiawi, dan berharap anak-anak difabel tidak lagi termarginalkan.
Sumber :
Media Online Solider-SIGAP pada 4 Juli 2019
1 January 2021
Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Sengkarut hubungan pusat dan daerah sudah sejak lama mewarnai diskursus politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Sejak penjajahan kolonial Belanda, Jepang, awal kemerdekaan hingga hari ini, hampir selalu menghadapi isu sama yang tak pernah kunjung ditemukan jalan penyelesaiannya, yaitu isu sentralisasi. Undang-undang pemerintahan daerah yang terakhir, UU Nomor 23 Tahun 2014, justeru dianggap sebagai UU yang paling sentralistik sejak reformasi dan amandemen UUD N RI Tahun 1945.
Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara yang berbentuk kesatuan. Padahal argumentasi ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikonsepsikan oleh UUD 1945, terutama UUD pasca amandemen, sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Disamping itu, secara teoritik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen dan kompromi politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.
Kondisi di atas diperparah pula oleh orientasi pembangunan yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi sejak terpilih menjadi presiden pada tahun 2014 silam. Sebernanya tidak ada yang salah dengan paradigma pembangunan itu. Hanya saja, kerap kali pada perjalanannya pemerintah menjadikan pembangunan sebagai peran pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah yang telalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu sistem perencanaan terpusat (cental planning). Kendali pemerintahan dan pembangunan berada di tangan pemerintah pusat. Perencanaan dan pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan, diawasi, dan dievaluasi. Dalam konteks inilah dapat dipahami, mengapa dalam UU 23 Tahun 2014, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, keduanya diposisikan sebagai daerah administrasi dan wakil pusat di daerah.
Memposisikan daerah sebagai daerah administrasi dan wakil pusat telah membebaskan pemerintah daerah dari tanggung jawab politik, baik terhadap DPRD maupun masyarakat daerah. Kondisi ini juga telah menyuburkan korupsi di tingkat daerah, yang berbuah maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, dan berbagai masalah lain sebagai dampak dari penataan hubungan pusat dan daerah yang sentralistik.
Covid-19 dan Sengkarut Hubungan
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pusat berkesempatan untuk memperlajarim memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat, baik untuk meningkatkan kesejahteraan daerah maupun masyarakat daerah.
Kondisi di atas lah yang diharapkan dapat melembaga dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia. Dengan demikian, kondisi covid yang tengah mewabah di Indonesia dan dunia belakangan ini, dapat memacu pemerintah daerah untuk lebih kreatif dan tegas menjadi motor penggerak masyarakat daerah. Kondisi daerah yang beragam, termasuk potensi penyebaran covid-19 juga berbeda antar satu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga, akan lebih baik jika kebijakan pemetaan penyebaran, penanggulangan, dan penyelesaiannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Sayangnya, situasi tersebut dalam konteks saat ini tidak mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah pusat, dengan berbagai kewenangan yuridisnya, memiliki kekuasaan yang begitu besar dalam hampir seluruh bidang pemerintahan. Artinya, peluang daerah untuk memiliki kebijakan sendiri, termasuk dalam penanganan covid-19 ini, tanpa persetujuan dari pemerintah pusat, hampir tidak mungkin. Bahkan, dalam konteks diskresi, yang secara teoritis berarti kewenangan bebas pejabat TUN untuk mengambil kebijakan dalam syarat dan kondisi tertentu, juga harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pusat. Ini berarti, sistem yang saat ini berlaku, telah memunculkan ketergantungan yang begitu besar daerah atas pusat. Kedua, dari aspek pemerintah daerah juga masih ada masalah, desentralisasi mengharuskan adanya kompetensi dan kreativitas kepala daerah untuk menjawab berbagai masalah yang muncul di daerah. Namun, berada di bawah hegemoni pemerintah pusat selama ini, menjadikan pemerintah daerah kalang kabut saat menghadapi pandemi. Mereka dituntut untuk kreatif padahal selama ini terkungkung di bawah pusat, tentu saja harapan menjadi kreatif ini jauh panggang dari api.
Pandemi covid-19 ini menjadi bukti sengkarut penataan hubungan pusat dan daerah. Ada daerah yang ingin bertindak progresif namun khawatir dianggap mendahului pusat, sebaliknya, ada pula daerah yang tidak melakukan apa-apa karena kehilangan kreativitas. Pilihan kita untuk mempertahankan pendekatan sentralistik, mendapatkan tantangan berat saat pandemi, ini meransang kita untuk mempertanyakan kembali penataan hubungan pusat dan daerah di masa depan.
Para wakil rakyat terpilih dalam Pemilu 2019 telah diumumkan. Mereka yang terpilih tentu bergembira, sedangkan wakil rakyat yang tidak terpilih sebagian besar kecewa bahkan ada yang stres, walaupun ada ada sebagian yang secara terbuka menerima kekalahan sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.
Di balik hiruk pikuk kemenangan para wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota), satu hal yang selalu muncul setelah musim pemilihan umum : apakah para wakil rakyat itu bisa, dan akan serius memperjuangkan nasib rakyat yang terus terlanggar hak-haknya?
Dalam sistem demokrasi, pertanyaan relasi rakyat dan wakilnya merupakan hal yang sangat umum. Kondisi tersebut muncul karena setiap momen penyelenggaraan pemilu, rakyat kembali disuguhkan dengan janji-janji manis, padahal janji para kandidat sebelumnya belum kunjung dirasakan rakyat. Lebih jauh, keluhan dan suara rakyat dalam banyak hal cenderung tidak dihiraukan.
Krisis Lembaga Perwakilan
Krisis aktor dan sistem lembaga perwakilan cukup banyak kalau kita bedah satu persatu. Kritik terbaru muncul dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang mengkritik DPR karena menggelar rapat dan pertemuan tertutup dengan mitra kerjanya di masa sidang ke-III dan IV tahun 2018 dan 2019. Padahal rapat-rapat tersebut membahas sesuatu yang bukan menjadi rahasia negara. Tidak adanya transparansi dan akses pengawasan tentu berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, krisis menahun yang terjadi di lembaga perwakilan adalah keseriusan para wakil rakyat dalam menghadiri rapat yang membahas isu-isu publik. Formappi mencatatat bahwa sidang paripurna DPR yang dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019, Anggota Dewan yang hadir hanya 281 orang, padahal Anggota DPR RI keseluruhannya berjumlah 560 orang. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat para wakil rakyat dipilih dan dibayar di atas keringat rakyat, ditambah catatan ketidakseriusan Anggota Dewan untuk mendiskusikan dan memecahkan secara tuntas akar persoalan struktural pelanggaran hak yang menimpa masyarakat.
Fakta tidak kalah menyedihkan dinyatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa ada 254 Anggota Dewan yang telah menjadi tersangka korupsi sepanjang periode 2014-2019. Dari ratusan angka pelaku tersebut, 20 orang diantaranya anggota DPR RI dimana pelakunya tersebar di berbagai partai dan sebagian besar merupakan pimpinan di lembaga perwakilan rakyat dan partai politik.
Melihat problem di atas, muncul kecemasan sangat serius, apakah para wakil rakyat yang baru terpilih akan berprilaku serupa dengan dengan perilaku para wakil rakyat yang terdahulu? Kecemasan ini semestinya tidak begitu kuat seandainya ada mekanisme yang lebih sistemik untuk mengkoreksi perilaku para wakil rakyat yang bermasalah.
Wakil Rakyat Baru
Terlepas dari problem yang menggelisahkan, kritik membangun terus terjadi dan selalu ada harapan agar para wakil rakyat terpilih saat ini lebih bertanggungjawab. Secara hukum, tugas dan wewenang wakil rakyat cukup besar, yang secara umum terkait dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta tugas-tugas lain yang secara umum menghimpun, menyerap, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Terkait fungsi legislasi, para wakil rakyat terpilih telah ditunggu untuk mendiksusikan secara mendalam program legislasi nasional dan daerah. Para wakil rakyat dituntut membuat aturan-aturan yang berkualitas, dan secara substantif dapat mendorong perwujudan pemenuhan hak-hak yang selama ini belum terjamin dan bahkan secara umum masih banyak yang berjalan di tempat.
Terkait aturan-aturan yang akan diperjuangkan, sudah semestinya para wakil rakyat turun ke komunitas masyarakat dan mendengarkan krisis-krisis sosial yang salah satu faktornya adalah terkait ketidakjelasan jaminan hukum dan belum jelasnya sanksi bagi pemangku kewajiban yang tidak menjalankan tanggungjawabnya. Sedangkan terkait fungsi pengawasan dan anggaran, para wakil terpilih dituntut dapat serius mengawal program-program yang dibuat pemerintah yang harapan besarnya dapat memperbaiki nasib rakyat lemah yang selama ini masih masih tercerabut hak-haknya. Para wakil rakyat dituntut menjalin komunikasi dengan komunitas rakyat yang ada di level bawah, memahami problem strukturalnya, dan memperjuangkan nasib rakyat meja di meja kekuasaan.