OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
13 June 2025
M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis
[Paulo Freire]
Kita terkejut dengan informasi bahwa ada seorang anak yang mengkafirkan temannya gara-gara berbeda agama dan menganggapnya sebagai orang yang berbeda. Informasi itu berkembang luas karena diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat pengaduan dari salah satu wali murid terkait potret intoleransi pelajar yang terjadi di sekolah.
Pengkafiran pelajar ternyata ditopang oleh ragam informasi yang memperlihatkan menguatnya cara pandang eksklusif di kalangan pelajar. Di beberapa sekolah, lewat kegiatan-kegiatan OSIS terlihat kegiatan yang semakin menjauhkan dari semangat kebersamaan antar lintas keyakinan dan bahkan mendiskreditkan terhadap keyakinan yang berbeda. Keyakinan agama di kalangan pelajar semakin dibuat tertutup dan dijauhkan untuk dapat berdialog dengan ragam kepercayaan, keyakinan dan bahkan dengan ragam pilihan madzhab. Dialog lintas agama dicegah, dialog lintas madzhab dan pemikiran tidak dibangun.

Cara pendang ekslusif di kalangan pelajar ternyata berhubungan kuat dengan praktek intoleransi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi yang terlihat : mulai pembubaran diskusi karena terkait perbedaan pemikiran agama, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok yang dituduh syiah dan ahmadiyah, sampai dengan pembakaran tokoh agama di Aceh misalnya karena diduga yang bersangkutan melakukan praktek pengobatan alternatif yang dinilai menyimpang dari akidah.
Apa yang terjadi pada pelajar yang semakin eksklusif dalam beragama di Indonesia memperlihatkan tentang wajah wacana publik keagamaan di Indonesia yang semakin mengalami krisis. Agama seperti kehilangan perannya untuk menghidupkan pesan kemanusiaan, keadaban dan kedamaian di muka bumi. Agama seperti penghidup api pembedaan dan permusuhan di antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Indikasinya adalah penganut agama yang tidak lagi mau untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang dinilai tidak satu keyakinan agama dan kepercayaan. Bahkan, orang dan kelompok yang berbeda dianggap sebagai musuh.
Di tengah situasi yang serba ekslusif, kita berharap pada sistem pendidikan agama yang lebih menggali nilai-nilai emansipatif yang terdapat di jantung agama. Sistem pendidikan agama yang emansipatif sejalan dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu sebuah proses untuk memausiakan manusia (humanizing human being). Sistem pendidikan agama yang memanusiakan tentu tidak mudah. Dibutuhkan guru yang mengerti tentang hakekat agama, kurikulum yang mempertemukan dialog antar agama, kepercayaan dan madzhab, sarana prasarana yang mendukung dan pelajar yang diperkuat untuk menjadi pribadi yang dapat menghargai setiap manusia dengan keragamannya.
Buya Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa pendidikan Islam bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen –menurut beliau—adalah bagaimana nilai moral yang ditelah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pernyataan Buya Syafi’i secara tidak langsung juga mengkritik tentang sistem pendidikan agama selama ini yang masih belum menjadi media pembebas penganutnya untuk lebih terbuka, lebih memahami perbedaan sebagai fitrah, lebih memahami ajaran agama untuk saling menguatkan nilai solidaritas untuk membebaskan negara Indonesia dari lubang kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Ajaran agama yang ekslusif secara tidak langsung sebenarnya memasung penganutnya berada di garis keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah suasana ekslusifisme beragama, kita terus berharap ada ruang pembebasan dari praktek bodoh yang terjadi.
1 June 2025
M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem : A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berfikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, dimana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berfikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.
Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, dimana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja didalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan manafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, dimana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.
Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elit yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarkhi. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.
Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saati ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan-keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.
Gaya pemerintahan saat ini mengkwatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, dimana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.
Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, dimana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme. Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, dimana pemerintahan kemudian menjelma sebagai kekuasaan teror (state terorisme) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pers, dan hak asasi manusia.
Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan akal-akalan pengesahan RUU TNI yang menjadi penanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme
Sumber :
Media Cetak Kedaulatan Rakyat, 20 Maret 2025
1 May 2025
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Kebebasan akademik merupakan instrumen yang sangat fundamental di dalam masyarakat perguruan tinggi dalam rangka memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif dengan gagasan-gagasan barunya. Pada tataran praktis, kebebasan akademik bukan saja menjadi ruang bagi intelektual kampus untuk mengembangkan keilmuannya, tetapi juga menjadi ruang terbuka untuk melakukan kritik sosial. Kritik sosial yang dilakukan oleh intelektual kampus, baik melalui penelitian maupun diskusi, tidaklah sama dengan kritik sosial pada umumnya, hal ini karena kritik sosial intelektual kampus tunduk pada standar-standar ilmiah. Namun, pandangan-pandangan ilmiah objektif yang lahir dari kebebasan akademik itu tidaklah berjalan mulus, bahkan pada orde pasca reformasi dewasa ini. Adakalanya temuan atau pandangan ilmiah yang lahir dari prinsip kebebasan akademik itu tidak sejalan atau bahkan berbenturan dengan kekuatan diluarnya sehingga kebebasan akademik menghadapi tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman terutama apabila pandangan ilmiah itu bertentangan dengan pandangan dan keyakinan penguasa formal termasuk pada pendukungnya. Pada titik ini, relevansi kebebasan akademik dan kritik sosial, hampir selalu menjadi dua instrumen yang berlawanan (Moh. Mafud MD, 1999: 63).
Situasi yang terjadi di Yogyakarta terkait diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Memberhentikan Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” oleh Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, menggambarkan dinamika di atas. Diskusi ini terpaksa dibatalkan, karena panitia dan pembicara mendapatkan teror dari kelompok yang sudah dapat diduga siapa pelakunya. Ada pihak yang menganggap diskusi itu sebagai makar lalu menyebarkannya ke media sosial sehingga menjadi viral.
Banyak pihak yang menyayangkan fenomena ini, diskusi akademik dilingkungan kampus sebagai ruang belajar dan mengembangkan keilmiah sejatinya tidak bisa diintervensi oleh kekuatan lain diluar kampus. Bahkan, kampus sendiri pun tidak boleh mengintervensi ruang kebebasan itu. Harus diketahui, bahwa kebebasan akademik pada umumnya menyangkut dua wilayah perhatian: Pertama, kebebasan yang dimiliki oleh lembaga perguruan tinggi untuk melaksanakan fungsinya tanpa dicampuri oleh kekuasaan diluar; Kedua, Kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri (Achmad Ichsan, 1985:53).
Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial
Dari batasan proporsional tentang kebebasan akademik di atas, ditemukan relevansi atau kaitan antara kebebasan akademik dan kritik sosial. Di sini secara sederhana dapat dikatakan bahwa produk dari kebebasan akademik dapat berupa kritik sosial atau penilaian tentang terjadinya kekurang beresan di dalam masyarakat maupun penyelenggaraan negara. Diskusi di atas misalnya, mungkin saja akan mengarah pada kritik terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi covid-19, atau bahkan terkait peluang pemberhentian presiden karena dianggap gagal mengatasi pandemi, sekalipun hampir tidak mungkin karena pemberhentian presiden ada perkara politik. Namun, batasan kebebasan akademik, hanya sampai pada ruang akademik saja, tidak ada kepentingan politik yang menungganginya, sehingga kekhawatiran berlebih apalagi menuding diskusi itu sebagai tindakan makar adalah juga sangat berlebihan. Harus ditegaskan bahwa dalam konteks kebebasan akademik, cara untuk menolak atau mengadili hasil penelitian dan pandangan akademik, bukanlah dengan melaporkannya kepada pihak kepolisian, bukan pula dengan membatalkan kegiatan apalagi melakukan teror, melainkan dengan membuat penelitian dan pandangan tandingan yang berseberangan, yang juga mengikuti standar-standar akademik. Dengan kata lain, hasil penelitian dan pandangan akademik tidak dapat diproses secara hukum, apapun hasil dari penelitian itu, yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian serupa yang berseberangan dengan penelitian awal.
Kebebasan akademik dapat dipandang sebagai sumber kritik sosial yang bermutu, karena darinya dapat diperoleh produk pemikiran yang rasional sebagai bahan yang memungkinkan sebuah kritik sosial lebih dapat diterima oleh masyarakat. Kebebasan akademik memungkinkan warga sivitas akademika kampus melakukan fungsi-fungsi akademisnya secara leluasa tanpa intervensi dari kekuatan luar haruslah mendapat jaminan agar darinya lahir kritik sosial yang rasional dan operasional. Jika jaminan akan kebebasan akademik itu tidak diberikan, maka kritik sosial yang lahir dari sana akan bermutu rendah. Oleh karena itu, penguasa, masyarakat, dan elemen lain sejatinya berterimakasih karena dengan kebebasan akademik, dunia kampus dapat memberikan respon dan kritik terhadap berbagai kebijakan namun tanpa disertai kepentingan lain, ia murni sebagai bentuk kepedulian terhadap negara dan masyarakat. Oleh karena itu, bagi negara dan masyarakat, kebebasan akademik bukanlah lawan, justeru adalah teman.
24 April 2025
M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Penyandang disabilitas, juga dikenal sebagai penyandang difabel yang notabene singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan.[1] Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.
Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya.[2]

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.[3]
Pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2016, terdapat lima ragam penyandang disabilitas, pertama, penyandang disabilitas fisik ialah terganggunya fungsi gerak. Misal, amputasi; lumpuh layuh atau kaku; paraplegi; Celebral palsy (CP); stroke; kusta; dan orang kecil. Kedua, penyandang disabilitas intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: slow learner; difabel grahita; dan down syndrom. Ketiga, peyandang disabilitas mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi: Psikososial (Seperti, skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian); dan difabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (Autis dan Hiperaktif). Keempat, penyandang disabilitas sensorik ialah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, Misal, difabel netra; difabel rungu; dan/atau difabel wicara. Kelima, penyandang disabilitas ganda ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, Misal : difabel rungu-wicara, difabel netra-tuli, difabel daksa dan netra sekaligus
Dalam lingkungan sosial, hambatan-hambatan yang biasa dialami penyandang disabilitas setidaknya ada dua, pertama, aksesibilitas fisik seperti tidak adanya ramp, fasilitas publik yang tidak ada guiding block, tidak disedikanannya informasi braile, video dan audio yang tidak difasilitasi bahasa isyarat, tidak adanya lift dalam bangunan bertingkat dan seterusnya. Kedua, aksesibilitas non fisik seperti petugas layanan publik dan masyarakat yang tidak memahami cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Dalam konteks bernegara, penyandang disabilitas sebenarnya telah dijamin haknya. Setidaknya Indonesia telah memiliki dua aturan pokok, yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Convention on The Rights of Persons With Disabilities, di mana Indonesia telah meratifikasi pada tanggal 10 November 2011. Dalam kedua aturan tersebut diantur hak-hak penyandang disabilitas, yakni : hak untuk hidup, perlndungan dalam situasi yang penuh resiko dan darurat, pengakuan yang setara di depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi, bebas untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, ha katas informasi, penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, kebebasan berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitasi dan habilitasi, dan hak atas pekerjaan.
Problem pemenuhan hak penyandang disablitas semakin kesini semakin tersuarakan. Hal ini tidak terlepas dari data penyandang disabilitas yang relatif besar di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-negara dunia. Di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150. 000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa.[4] Sebelumnya, tahun 2004 penyandang disabilitas Indonesia diperkirakan sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400 (13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti asuhan.[5]
Hak Penyandang Disabilitas atas Informas
Hak atas informasi adalah hak semua orang. Termasuk dalam hal ini adalah penyandang disabilitas. Secara spesifik Pasal 5 ayat 1 huruf t Undang-Undang No. 8 tahun 2016, menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 24 dinyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi meliputi hak (a) memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) mendapatkan informasi dan komunikasi melalui media yang mudah diakses, (c) menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentative dalam interaksi resmi.
Aturan di atas sangat jelas mengatur hak informasi penyadang disabilitas. Namun, dalam prakteknya, penyandang disabilitas tidak mendapatkan haknya. Mengapa? Karena informasi yang selama ini disajikan dalam ruang publik, tidak akses atau bahkan tidak dapat dibaca sama sekali oleh penyandang disabilitas.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penyandang disabilitas memiliki hambatan-hambatan, diantaranya adalah hambatan penglihatan, pendengaran, wicara dan mobilitas. Dalam konteks ha katas informasi, penyandang disabilitas yang biasa mengalami pelanggaran adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan dan hambatan pendengaran dan wicara.
Bagi penyandang disabilitas yang memiliki hambatan penglihatan, maka informasi media cetak sulit dibaca, bahkan tidak bisa dibaca, karena penyandang disabilitas penglihatan akan bisa membaca dengan media braille atau informasi yang berupa bunyi atau suara. Tidak ada media cetak selama ini yang berbentuk braille, dan sedikit juga media elektronik yang menyajikan informasinya dalam bentuk suara. Penyandang disabilitas pendengaran dan wicara, umumnya mengalamai kesulitan memahami informasi media televisi. Sebagian besar, media televisi belum memfasilitasi penerjemah bahasa isyarat.
Dengan beberapa masalah di atas, sudah selayaknya tata kelola informasi, baik cetak maupun elektronik dibenahi. Komisi Informasi Publik sudah selayaknya mengawal hak atas informasi bagi penyandang disabilitas. Pemerintah yang notabene menjadi pemangku kewajiban pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sudah seharusnya bertanggungjawab atas pelanggaran hak atas informasi yang masih terjadi.
[1] Pada dasarnya setiap orang diciptakan secara berbeda-beda, termasuk di antara mereka terlahir dalam kondisi memiliki kekurangan, dan cacat. Secara kodrati mereka lahir sebagai manusia denga fisik yang berbeda-beda. Karena itu, seluruh pelayanan publik, diantaranya ialah architecture bangunan fisik harus memiliki kaitan untuk membantu kepentingan masyarakat yang memiliki kekurangan berupa cacat fisik seperti buta, lumpuh dan lain sebagainya. Lihat Architecture for Diferently Abled, liputan khusus Majalah Sketsa : Majalah Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24 hlm 38.
[2] Lihat Pasal 1 Convention on the Rights of Persons With Disabilities
[3] Bandingkan dengan definisi disabilitas dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4/2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial
[4] Lihat selebaran UCP dan Roda Untuk Kemanusiaan tentang Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas
[5] Data-data ini secara keseluruhan dihimpun dari berbagai laporan seperti PERTUNI, GERGATIN, BPS, dan lembaga lainnya. Secara umum data yang ada dinilai masih belum komprehensif dan akurat karena masing-masing lembaga menggunakan stanadar penilaian yang berbeda-beda. Pendaataan yang buruk tersebut secara tidak langsung berdampak terhadap advokasi yang tepat yang didasarkan pada bukti, kajian kebutuhan, formulasi kebijakan, monitoring kemajuan dan evaluasi. Lihat Nicola Golbran, Akses Terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas Indonesia : Kajian Latar Belakang, Australian AID, 2010, hlm 29
1 April 2025
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) banyak mengatur norma baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat tata usaha negara. Konsekuensi logisnya, juga banyak memberikan kompetensi absolut baru terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN). Salah satu ketentuan baru dalam UU Adpem tersebut, juga menjadi kompetensi PTUN adalah mengenai diskresi.
Secara sederhana, diskresi dapat dimaknai sebagai kewenangan bebas yang melekat pada jabatan tata usaha negara. Sedangkan UU Adpem memaknai diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa diskresi menghendaki adanya prasyarat: dilakukan oleh pejabat pemerintahan, untuk mengatasi persoalan konkret, dalam hal peraturan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Prasyarat ini menjadi tolak ukur dapat atau tidaknya diskresi dikeluarkan oleh seorang pejabat pemerintahan.
Urgensi Diskresi
Dalam konteks negara hukum modern, negara dituntut untuk mengambil tindakan aktif mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya. Bagi negara Indonesia sendiri, kesejahteraan masyarakat ini menjadi salah satu tujuan didirikannya Republik Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD N RI Tahun 1945. Namun pada sisi yang lain, negara juga dituntut untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, oleh karena itu tindakan negara harus didasarkan pada kewenangan dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan (termasuk keputusan) yang dilakukan menyimpang dari peraturan perundang-undangan adalah tindakan yang sewenang-wenang. Dengan kata lain, setiap tindakan pemerintah harus disadarkan pada peraturan terlebih dahulu. Namun, kompleksnya persoalan kemasyarakatan menjadikan peraturan akan selalu tertinggal di belakang, sehingga jika harus selalu menunggu ada peraturannya, akan terjadi stagnasi pemerintahan. Dalam hal inilah diskresi dibutuhkan, tanpa harus menunggu ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dalam kondisi tertentu pejabat pemerintah berwenang mengambil tindakan.
Dalam konteks yang lain, pengaturan diskresi dalam UU Adpem juga untuk mengakomodir isu nyata yang berkembang dalam pelaksanaan pemerintahan. Ada banyak pejabat, terutama di tingkat daerah, yang mengeluhkan ketakutannya dalam mengambil tindakan/keputusan. Ada banyak masalah konkret yang muncul di daerah, namun pada saat ditelusuri aturannya, belum ada ketentuan yang mengatur, atau sekalipun ada namun masih rancu. Namun, pejabat yang bersangkutan enggan mengambil kebijakan karena khawatir akan ‘dikriminalisasi’ oleh pihak lain. Kekhawatiran ini tentu beralasan karena Pasal 3 UU Tipikor mengatur tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara adalah termasuk tindak pidana korupsi. Konsekuensinya juga sama, karena ketakutan pejabat pemerintah mengeluarkan kebijakan padalah telah ada permasalah konkret, sehingga terjadi stagnasi pemerintahan. Oleh karena itu, UU Adpem menjamin kebebasan pejabat pemerintah untuk mengambil kebijakan, sekalipun UU tidak mengaturnya, atau disebut dengan diskresi. Diskresi dalam UU Adpem, adalah jaminan bagi pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat, daerah, maupun desa agar tidak di ‘kriminalisasi’.
Wajah Ganda Pengaturan
Pengaturan sesuatu dalam peraturan perundang-undangan, hampir selalu memunculkan wajah ganda. Pada satu sisi, pengaturan memang melahirkan kepastian hukum, namun pada sisi yang lain pengaturan itu justeru melahirkan birokrasi dan berbagai masalah baru. Masalah diskresi misalnya, pengaturan diskresi dalam UU Adpem, sebagaimana penulis paparkan di atas memang mengatasi kekhawatiran ‘kriminalisasi’ terhadap pejabat pemerintahan. Namun pada sisi yang lain, justeru menjadikan diskresi yang pada mulanya adalah kewenangan bebas menjadi tidak bebas lagi, atau kehilangan makna kebebasannya karena diatur demikian detilnya.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, diskresi dikeluarkan dalam hal terdapat peristiwa konkret, baik karena keadaan darurat, keadaan mendesak, terjadi bencana alam, maupun keadaan lainnya. Pasal 23 UU Adpem mengatur bahwa diskresi dikeluarkan dalam hal peraturan perundang-undangan: memberikan pilihan kebijakan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, adanya stagnasi pemerintahan. Namun Pasal 25 menentukan bahwa diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat 5 hari sebelum penggunaan diskresi, juga wajib membuat laporan pasca penggunaan diskresi. Pasal 27 kembali mensyaratkan penggunaan diskresi yaitu wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara. Selain itu, dalam menggunakan diskresi, Pasal 30 mengatur pejabat pemerintahan dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang berupa tindakan/keputusan yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, tindakan sewenang-wenang.
Berbagai syarat yang ditentukan di atas, justeru menyulitkan pejabat pemerintah dalam mengeluarkan diskresi, padahal pada pokoknya diskresi adalah kewenangan bebas, jika diatur sedemikian rupa, maka diskresi kehilangan makna kebebasannya. Terlebih, dalam prakteknya berbagai syarat di atas akan sangat sulit untuk dipenuhi. Dalam kondisi mendesak misalnya, dan muncul secara tiba-tiba, bagaimana mungkin harus meminta izin dari atasan dalam waktu lima hari sebelumnya. Padahal, karena ini menyangkut prosedur diskresi, akan ada kemungkinan diskresi dibatalkan karena prosedur tidak terpenuhi. Diskresi tentu harus tetap diatur agar melahirkan kepastian hukum bagi pemerintah dan juga masyarakat, namun cukup ketentuan-ketentuan umumnya saja, selebihnya biarkan PTUN yang akan memeriksa apakah diskresi tersebut sah atau tidak.