OPINIONS & REVIEWS

Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia

1 December 2025

Dr. M. Syafi'ie, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

Potret pendidikan bagi difabel masih memilukan. Sepanjang tahun 2018 masih ditemukan kasus di mana anak-anak difabel ditolak masuk sekolah. Beberapa komunitas telah melakukan advokasi dan media massa telah memberitakannya. Di antara kasusnya menimpa RF, siswa SMP Negeri Rangkasbelitung, Lebak, Banten. Tekadnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di beberapa SMK di Rangkasbitung pupus karena kondisi difabilitasnya. Kasus lain menimpa  BKR, seorang anak yang memiliki hambatan mobilitas yang ditolak di beberapa SD di Pekanbaru, dan dua anak difabel penglihatan asal Makassar yang ditolak saat melakukan Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA dan SMK di Sulawesi Selatan.

Kasus yang terjadi di tiga wilayah adalah fakta yang terkuak di media massa, jika ditelusuri lebih mendalam, pasti akan ditemukan banyak kasus penolakan difabel. Alasannya selalu sama : pertama, anak difabel sekolahnya bukan di Sekolah Umum, tetapi di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ketika di perguruan tinggi, selalu diarahkan agar masuk ke jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Kedua, lembaga pendidikan selalu beralasan bahwa di sekolah belum ada sarana prasarana yang aksesibel dan belum ada guru pendamping difabel. Ketiga, lembaga pendidikan berangapan bahwa difabel tidak cukup memiliki kapasitas di sekolah umum. Alasan ini yang mengakibatkan ada beberapa anak difabel dikeluarkan dari sekolah karena dinilai sulit mengikuti standar belajar mengajar dan penilaian yang telah ditetapkan di sekolah.

Penolakan difabel masuk sekolah atau perguruan tinggi dengan alasan-alasan yang secara substantif bertentangan dengan Undang-Undang adalah satu dari sekian potret diskriminasi yang dirasakan difabel di lembaga pendidikan. Problem lanjutan  ketika difabel ditolak masuk di sekolah atau perguruan tinggi, mereka harus hidup sebatang kara dan tidak memiliki cukup basis pengetahuan untuk berkembang di masa depan. Terputusnya akses pendidikan mengakibatkan difabel semakin tersisih dari pentas dunia ketenagakerjaan dan selalu menjadi bagian dari penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Masalah lain ketika difabel diterima di lembaga pendidikan, masih banyak hambatan yang terjadi, mulai dari sarana prasarana sekolah yang tidak aksesibel, cara mengajar guru yang tidak tepat karena tidak adanya profil assessment yang cukup memadai, kurikulum yang tidak dijalankan sesuai profil assessment, serta sebutan dan stigma negatif kerap dilontarkan oleh pihak-pihak yang ada dalam lingkungan pendidikan. Karena itu, langsung atau tidak langsung anak didik difabel biasa menjadi korban kekerasan dan hak-hak yang melekat pada harkat dan martabatnya sebagai manusia tercerabut sedemikian rupa.

Gambaran existing difabel di dunia pendidikan memperlihatkan betapa anak difabel mengalami diskriminasi serius.  Sistem pendidikan di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib dilakukan perombakan. Sekolah inklusi yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah dan didukung oleh masyarakat sipil setidaknya menjadi salah satu jalan keluar di tengah tata kelola pendidikan yang diskriminatif kepada difabel.

Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi menurut J. David Smith adalah konsep yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam program-program sekolah. Bagi sebagian pendidik, isitilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Tujuan besarnya adalah agar setiap peserta didik dapat terlibat dan berpartisipasi dalam proses belajar mengajar (J. David Smith, 2014)

Pemerintah lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif  Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Tujuan pendidikan inklusif ada dua, pertama, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasasan  dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kedua, mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Pendefinisian dan tujuan pendidikan inklusi yang terumuskan dalam peraturan memberi penjelasan bahwa pemerintah sedang berupaya mengatasi eksklusi yang menimpa kaum difabel di mana selama ini selalu diarahkan untuk belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pemerintah lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 menyatakan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan, dan 1 (satu)  satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik yang dianggap memiliki kelainan.

Namun demikian, secara normatif Peraturan Pemerintah yang secara spesifik mengatur pendidikan inklusif ini tidak cukup tegas dalam menjamin pemenuhan hak atas pendidikan inklusi bagi difabel. Peraturan ini masih menyatakan bahwa penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Pertimbangan ketiadaan sumber daya mengakibatkan beberapa sekolah di Indonesia sejauh ini tidak mau menerima dan atau mengeluarkan anak didik difabel.

Pendekatan peraturan lama ini dalam melihat difabel masih dianggap sebagai orang cacat, dianggap orang yang memiliki kelainan, dan tidak normal. Satu pendekatan yang sudah lama dikritik di tingkat komunitas karena menciderai hak-hak difabel yang semestinya bebas dari stigma yang negatif.

Harapan Baru

Sejak  tahun 2009 setidaknya pemerintah Indonesia telah memiliki landasan normatif dan operasional dalam mewujudkan pendidikan inklusi. Sekolah-sekolah inklusi semakin kesini terus bermunculan seperti kecambah. Di antara catatan pentingnya terletak pada indikator sistem pendidikan inklusi yang belum memadai. Banyak sekolah inklusi lahir tapi sistemnya sebenarnya belum inklusif. Elemen penting indikator hak atas pendidikan meliputi aksesibilitas (accessibility), ketersediaan (availability), penerimaan (acceptability), dan adaptabilitas (adabtability) belum terimplementasi dan terukur dengan selayaknya.

Pendidikan inklusi kedepan harapannya lebih menjawab problem dan hambatan yang dialami difabel. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) sudah sepantasnya menelaah peraturan lama yang belum memadai dan menyesuaikan dengan peraturan terbaru. Peraturan pokok terkait disabilitas saat ini adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Salah satu substansi Undang-Undang ini adalah kewajiban pemerintah pusat, pemerintah daerah dan penyelenggara pendidikan tinggi agar membentuk Unit Layanan Disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif. Fungsi dan kewenangan unit ini cukup srategis karena terkait dengan mainstreaming pemenuhan hak-hak difabel di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia. Penyelenggara pendidikan yang tidak membentuk unit ini bisa dikenakan sanksi teguran tertulis, penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan idzin penyelenggaraan pendidikan, dan pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.

Sumber :
Media Cetak Seputar Indonesia (SINDO), 13 November 2018

1 November 2025

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.  (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Akhir-akhir ini, kita kembali disibukkan dengan isu dinasti politik. Bedanya, kalau dulu dinasti politik identik dengan anak, isteri, dan saudara seorang kepala daerah yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah di wilayah lain, namun hari ini dinasti politik yang dimaksud menyentuh pada lingkungan istana. Mulai dari anak kandung presiden Jokowi yang maju menjadi calon walikota Solo, menantunya juga ikut mencalonkan diri menjadi walikota Medan, keduanya diusung oleh partai yang sama dan juga partai pengusung presiden Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dilanjutkan dengan keponakan Prabowo, mantan seteru Presiden Jokowi pada pilpres 2019 lalu yang kini menjabat Menteri Pertahanan, menjadi calon kepala daerah di daerah Tangerang Selatan, anak kandung wakil presiden Ma’ruf Amin yang juga maju dalam pemilkada di Tangerang Selatan, dan masih banyak lagi calon kepala daerah lain yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan istana.

Pemilukada serentak yang akan digelar Desember mendatang melibat 273 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemilukada terbanyak dalam sejarah pemilukada serentak sejak tahun 2015 lalu. Maka, tidak heran jika kompleksitas persoalan mulai muncul, terlebih dalam situasi Covid-19 yang memaksa penyelenggaraan pemilukada harus diundur yang sebelumnya adalah bulan September. Masalah-masalah lama, semisal politik uang, penggunaan sentimentalitas suku dan agama sebagai alat kampanye, hingga konflik horizontal antar pendukung, memang tidak terasa begitu mengkhawatirkan. Berbeda halnya dengan pemilukada-pemilukada sebelumnya. Namun, persoalan dinasti politik adalah persoalan yang masih terus menggerogoti demokrasi lokal, bahkan nampak lebih buruk daripada periode-periode sebelumnya.

Dinasti politik, jika dilihat dari aspek jaminan konstitusional, memang tidak ada larangan dalam konstitusi Indonesia, juga tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Sebaliknya, konstitusi justeru menjamin hak politik setiap warga negara, untuk dipilih, memilih, dan mencalonkan diri dalam jabatan publik. Konstitusi juga melarang adanya larangan terhadap orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Artinya, sepanjang seseorang telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan publik tertentu, maka ia berhak untuk kesempatan itu, sekalipun ia adalah keluarga dekat dari presiden, menteri, maupun kepala daerah.

Begitupun halnya dengan demokrasi, dalam aspek prosedural formal, seseorang dapat menduduki jabatan publik, semisal presiden, kepala daerah, DPRD, maupun jabatan lainnya, adalah sepanjang yang bersangkutan dipilih oleh mayoritas masyarakat di daerah itu. Atau dengan kata lain, sepanjang orang tersebut berhasil memenangkan konstestasi pilpres, pileg, maupun pemilukada.

Ditilik dari dua aspek itu, konstitusi dan demokrasi, pencalonan anak dan menantu presiden Jokowi, keponakan Prabowo, putri wakil presiden Ma’ruf Amin, dan yang lainnya, adalah dapat dibenarkan. Tidak ada larangan konstitusional maupun perundang-undangan sama sekali. Sepanjang dipercaya dan dipilih oleh masyarakat daerahnya masing-masing, maka mereka layak untuk menduduki jabatan kepala maupun wakil kepala daerah.

Namun demikian, harus pula diperhatikan bahwa politik khususnya demokrasi juga memiliki dimensi etis. Dalam konteks ini, kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksana demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian dan oligarkis. Dalam perspektif etos politis ini, maka dinasti politik sejatinya tidak mendapatkan tempat. Adalah tidak etis, seorang penguasa memberikan peluang keluarganya untuk berkompetisi dipanggung politik. Bukan saja tidak fair bagi calon lain dalam kontestasi, karena calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” tersebut dapat dipastikan afirmasi tertentu, baik dalam aspek administrasi maupun yang lainnya. Namun, juga tidak fair bagi masyarakat daerah. Bagi masyarakat yang masih sangat kental dengan hegemoni patron-client, maka dorongan untuk memilih calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” sangatlah besar. Singkatnya, keberadaan dinasti politik, tidaklah berbanding lurus dengan perbaikan kualitas demokrasi lokal. Ke depan, ada baiknya dipertimbangkan agar ketentuan menganai dinasti politik ini tidak hanya berada dalam lingkup etos politis, namun juga penting diatur dalam hukum positif.

1 October 2025

Dr. M. Syafi'ie, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, utamanya para akademisi yang menilai  adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya. Secara metodologi undang-undang ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehngga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 Undang-Undang terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosilogis yang berbeda.

 Pada aspek paradigmatik, Undang-Undang Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini adalah bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal yang diantara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, membuka kran tanpa batas investasi asing,, dan deregulasi dengan cara mengurangi  peran, tanggungjawab dan pengawasan pemerintah.

Pada aspek substansi, sudah pasti Undang-Undang ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal yang utama. Dalam hal ini yang sangat terlihat ialah sentralisasi peridzinan, aktor dan kran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses yang lebih mudah untuk alih fungsi lahan.

Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktifis, dan akademisi ini bermakna bahwa tidak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki rancangan undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Minus Kepercayaan

Pengesahan beberapa Undang-Undang oleh parlemen dan mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekedar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung penormaan hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat  untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.

Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada  hukum.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan tentang makna penting naskah akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketiga aspek tersebut masih menuai kritik dan mendapatkan banyak masukan substantif dari kalangan masyarakat dan akademisi.

Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan, serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada aspek sosilogis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait dengan fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tidak boleh melahirkan dampak-dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.

Pada aspek yuridis, sebuah  undang-undang yang dibuat harus memastikan bahwa ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi pertamasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa Undang-Undang yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, utamanya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan filosofis, sosilogis dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan Undang-Undang baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan. Catatan serius Undang-Undang-Undang Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengessahannya yang berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tidak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, dan pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.

Pencapaian Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tidak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah Undang-Undang semestinya tidak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievment), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievment) dan dampak sosial (sociological impact).

Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan Undang-Undang KPK, Perubahan UU Minerba dan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan capaian tersendiri dalam pembuatan hukum di era pemerintaham dan perlemen periode ini. Namun demikian, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi : apakah konstruktif atau desktruktif  untuk penghargaan para pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggungjawab. 

Sumber :
Media Cetak Kompas, 14 Oktober 2020

1 September 2025

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Rumusan Pasal 3 UU Tipikor yang memukul rata tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara adalah termasuk tindak pidana korupsi, telah memumculkan banyak persoalan. Pasal ini digunakan untuk menjerat beberapa pejabat pemerintahan yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sekalipun tidak ada kesalah pidana yang dilakukan oleh pejabat tersebut, artinya yang terjadi adalah murni pelanggaran administrasi. Di sini tampak persinggungan yang begitu erat antara hukum administrasi dan hukum pidana, sekalipun sesungguhnya keduanya dapat dibedakan. Namun, bukan tidak mungkin kesalahan administrasi, tetapi dituntut dengan kesalah pidana, telah ada banyak kasus yang menunjukkan realitas ini.

Sejatinya diskursus mengenai wewenang atau kewenangan adalah domain hukum administrasi dan/atau hukum tata negara. Kewenangan (bevoegdheden) melekat pada jabatan (het ambt). Tanpa jabatan tidak bakal ada kewenangan. Jabatan (het ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan kewenangan. Dalam mengfungsikan kewenangan yang melekat padanya, jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut pejabat (ambtsdrager) atau pejabat pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang dalam memfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh pejabat (ambtsdrager).

Dalam mengatasi sengketa normatif (normatief geschil) antar cabang hukum dalam upaya pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud di atas perlu dipedomani apa yang oleh Romli Atmasasmita, kemukakan bahwa kini berlangsung perubahan arah politik hukum terkait penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana upaya pencegahan korupsi didudukkan sama pentingnya dengan penindakan korupsi. Oleh karena itu, pendekatan yang selama ini digunakan dalam UU Pemberantasan Tipikor, yang menjadikan tindakan represif sebagai “primum remedium” harus ditinjau ulang. Hukum pidana harus dikembalikan kepada khitahnya sebagai senjata pamungkas atau sebagai upaya terakhir yang harus dipergunakan dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan asas “ultimum remedium”.

Mekanisme Baru Penyelesaian Penyalahgunaan Wewenang

Jika sebelumnya, penyalahgunaan wewenang adalah domain Pengadilan Negeri menurut rezim UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka sejak disahkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam UU No. 30 Tahun 2014, penyalahgunaan wewenang merupakan genus yang terdiri dari tiga spesies yang berbeda-beda yakni: (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; (3) bertindak sewenang-wenang. UU Administrasi Pemerintahan tidak menjelaskan pengertian penyalahgunaan wewenang, ia hanya mengkualifikasi ke tiga jenis spesies penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebut di atas. Adapun akibat hukum penyalahgunaan wewenang yang diperiksa oleh PTUN adalah kesalahan yang berakibat pada kerugian keuangan negara.

Namun, pengujian tindakan/keputusan penyalahgunaan wewenang yang menjadi domain PTUN, bukanlah tindakan/keputusan pejabat negara yang mengeluarkan, melainkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Pasal 20 ayat (1) UU Adpem menyebutkan, “Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administratif semata, maka ditindaklanjuti oleh pejabat pemerintahan dengan penyempurnaan administrasi. Namun jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, maka dilakukan pengembalian keuangan negara paling lama 10 hari kerja. Atas keputusan APIP inilah maka Pejabat/Badan Administrasi yang mengeluarkan tindakan/keputusan dapat mengajujukan permohonan ke PTUN untuk menguji keputusan APIP tersebut. Maka kesimpulannya: 1) yang dapat menjadi pemohon adalah pejabat/badan administrasi; 2) objek perkara adalah hasil pengawasan APIP; 3) penyalahgunaan wewenang yang dimaksud harus merugikan keuangan negara. Dengan kata lain, jika ada masyarakat yang mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang baik yang merugikan keuangan negara maupun tidak, tidak dapat langsung dimohonkan ke PTUN, melainkan harus melewati APIP terlebih dahulu. Selain itu, yang dapat mengajukan permohonan ke PTUN hanyalah pejabat/badan administrasi pemerintahan.

Beberapa Persoalan

Atas dasar ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka muncul beberapa persoalan baru yang berdampak pada efektivitas penegakan hukum penyalahgunaan wewenang, yaitu:

Pertama, efektivitas pengawasan oleh APIP. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, APIP adalah terdiri atas: a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau dengan nama lain; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. Masalah besar, klasik, dan akut pengawasan pemerintahan di Indonesia adalah kinerja APIP yang dinilai belum optimal. Dari aspek keorganisasian, APIP merupakan lembaga internal pemerintah yang juga melakukan fungsi pembinaan, selain itu, jabatan pimpinan APIP juga bergantung pada Pejabat Pemerintahan, sehingga akan sangat sulit mengharapkan APIP dapat menjalankan kewenangannya dengan baik. Terlebih lagi Inspektorat-inspektorat yang berada di daerah-daerah, jika terlalu berani berhadap-hadapan dengan kepala daerah, mereka akan terancam dipindah tugaskan ditempat yang lain. Belum lagi, hasil pengawasan Inspektorat yang kerap tidak ditindaklanjuti oleh Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan. Kondisi tersebut diperparah pula aspek anggaran, karena APIP sangat menggantungkan anggarannya kepada pemerintah. Maka, dalam konteks ini, sulit rasanya APIP memiliki “keberanian” untuk menyatakan suatu tindakan/keputusan merupakan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Kedua, persinggungan hukum, bagaimana jika suatu ketika laporan hasil pengawasan APIP menyatakan bahwa Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian keuangan negara. Apakah perkara itu masih boleh dibawa ke proses pidana, dan jika boleh bagaimana posisi APIP, apakah mereka akan menjadi pihak “ketiga” yang membantu Pejabat/Badan tersebut di persidangan? Mahkamah Agung memang telah mengeluarkan No. 4 Tahun 2015, namun belum cukup lengkap menjawab persoalan ini.

1 August 2025

Dr. M. Syafi'ie, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusham UII)

Kontestasi politik semakin tidak mengenal batas baik-buruk, layak atau tidak layak, benar atau salah. Kampanye politik yang memperebutkan simpati publik kerap dilakukan dengan cara-cara yang tidak sepantasnya. Salah satu yang menjadi korban dari aktifitas politik adalah anak-anak, sebagian mereka dilibatkan dalam aktifitas dukung mendukung calon, dan harus mendengarkan ragam pendapat tim sukses yang umumnya berisi ujaran kebencian yang dilontarkan kepada pihak lawan. Anak-anak secara langsung atau tidak langsung telah menjadi korban dan membayakan untuk interaksi sosial mereka kedepannya.

Terkait Pemilihan Presiden 2019, Koran Harian ini telah memberitakan bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setidaknya telah mendapat 6 (enam) pengaduan, pertama, video anak Pramuka yang menyerukan tagar #2019GantiPresiden. Kedua, pelibatan kampanye anak dalam program kegiatan #Deklarasi gerakan emak-emak dan anak minum susu (emas) pada Rabu, 24 Oktober, di Stadion Klender, Jakarta Timur. Ketiga, penyalahgunaan anak untuk kepentingan politik kelompok tertentu saat aksi 2 November di Jakarta Pusat. Anak naik panggung dan menyerukan pilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 dan tinggalkan nomor urut 1. Keempat, perang tagar #2019GantiPresiden dan #Dia lagi sibuk bekerja yang juga melibatkan anak-anak saat acara CFD di Jakarta. Kelima, deklarasi 20 pondok pesantren dukung Jokowi 2 periode yang mengatasnamakan  kelompok Santri Militan Jokowi alias Samijo dengan dengan melibatkan anak-anak di Banten. Keenam, foto anak yang mencoret gambar Presiden Jokowi dan menodongkan senjata tajam pada leher gambar tersebut.

Pengaduan pelibatan anak ke KPAI memang baru ada 6 (enam), tetapi kalau ditelusuri lebih jauh di media sosial dan ragam aktivitas di kantong-kantong tim sukses masing-masing kandidat calon presiden dan wakil presiden, maka akan terang benderang betapa pelibatan anak cenderung massif dan tidak terkontrol. Situasi ini menandakan bahwa kontestasi politik pemilihan Presiden 2019 sangat tidak ramah kepada anak, setidaknya mengulang dari kesalahan penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah masa lalu yang juga mengorbankan hak-hak anak.

Hak Anak dan Tugas Pemangku Kewajiban

Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar anak-anak di masa depan mampu bertanggungjawab untuk keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosialnya. Anak-anak adalah tunas, potensi, generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan sifat khusus yang wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi.

Undang-Undang ini menyatakan bahwa yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan makna perlindungan anak dimaknai sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Begitu pentingnya perlindungan anak, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Dalam kontestasi politik yang saling menjatuhkan dan hoax yang merajalela, maka para pemangku kewajiban untuk proses penyelenggaraan pemilu dan pemangku kewajiban yang secara spesifik bertugas mengawasi dan melindungi hak anak harus saling bekerjasama mencegah pelanggaran hak anak dalam aktivitas politik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), serta Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA) dan KPAI pada sisi yang lain harus bersatu dan menghukum pihak-pihak yang melibatkan anak dalam kegiatan politik praktis. Tanggungjawab ini bersifat imperatif  karena secara legal, Pasal 15 huruf a UU No. 35 tahun 2014 sangat tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

Undang-Undang Perlindungan ini juga sangat tegas melarang memperlakukan anak secara diskrimintatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik secara materil maupun moril yang menghambat fungsi sosialnya; melarang  menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran; serta larangan merekrut anak atau memperalat anak untuk kepentingan militer/ atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Sanksinya berat dan bersifat pidana. Pelanggaran hak anak nyata terjadi. Sudah saatnya KPU, BAWASLU, KEMENPPA, KPAI, serta Pihak Kepolisian bekerjasama dan menghentikan pelibatan anak dalam perseteruan politik praktis.

SUMBER :
Media cetak JAWA POS, 21 NOVEMBER 2018

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top