OPINIONS & REVIEWS

Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia

1 October 2025

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Rumusan Pasal 3 UU Tipikor yang memukul rata tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara adalah termasuk tindak pidana korupsi, telah memumculkan banyak persoalan. Pasal ini digunakan untuk menjerat beberapa pejabat pemerintahan yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sekalipun tidak ada kesalah pidana yang dilakukan oleh pejabat tersebut, artinya yang terjadi adalah murni pelanggaran administrasi. Di sini tampak persinggungan yang begitu erat antara hukum administrasi dan hukum pidana, sekalipun sesungguhnya keduanya dapat dibedakan. Namun, bukan tidak mungkin kesalahan administrasi, tetapi dituntut dengan kesalah pidana, telah ada banyak kasus yang menunjukkan realitas ini.

Sejatinya diskursus mengenai wewenang atau kewenangan adalah domain hukum administrasi dan/atau hukum tata negara. Kewenangan (bevoegdheden) melekat pada jabatan (het ambt). Tanpa jabatan tidak bakal ada kewenangan. Jabatan (het ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan kewenangan. Dalam mengfungsikan kewenangan yang melekat padanya, jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut pejabat (ambtsdrager) atau pejabat pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang dalam memfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh pejabat (ambtsdrager).

Dalam mengatasi sengketa normatif (normatief geschil) antar cabang hukum dalam upaya pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud di atas perlu dipedomani apa yang oleh Romli Atmasasmita, kemukakan bahwa kini berlangsung perubahan arah politik hukum terkait penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana upaya pencegahan korupsi didudukkan sama pentingnya dengan penindakan korupsi. Oleh karena itu, pendekatan yang selama ini digunakan dalam UU Pemberantasan Tipikor, yang menjadikan tindakan represif sebagai “primum remedium” harus ditinjau ulang. Hukum pidana harus dikembalikan kepada khitahnya sebagai senjata pamungkas atau sebagai upaya terakhir yang harus dipergunakan dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan asas “ultimum remedium”.

Mekanisme Baru Penyelesaian Penyalahgunaan Wewenang

Jika sebelumnya, penyalahgunaan wewenang adalah domain Pengadilan Negeri menurut rezim UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka sejak disahkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam UU No. 30 Tahun 2014, penyalahgunaan wewenang merupakan genus yang terdiri dari tiga spesies yang berbeda-beda yakni: (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; (3) bertindak sewenang-wenang. UU Administrasi Pemerintahan tidak menjelaskan pengertian penyalahgunaan wewenang, ia hanya mengkualifikasi ke tiga jenis spesies penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebut di atas. Adapun akibat hukum penyalahgunaan wewenang yang diperiksa oleh PTUN adalah kesalahan yang berakibat pada kerugian keuangan negara.

Namun, pengujian tindakan/keputusan penyalahgunaan wewenang yang menjadi domain PTUN, bukanlah tindakan/keputusan pejabat negara yang mengeluarkan, melainkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Pasal 20 ayat (1) UU Adpem menyebutkan, “Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administratif semata, maka ditindaklanjuti oleh pejabat pemerintahan dengan penyempurnaan administrasi. Namun jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, maka dilakukan pengembalian keuangan negara paling lama 10 hari kerja. Atas keputusan APIP inilah maka Pejabat/Badan Administrasi yang mengeluarkan tindakan/keputusan dapat mengajujukan permohonan ke PTUN untuk menguji keputusan APIP tersebut. Maka kesimpulannya: 1) yang dapat menjadi pemohon adalah pejabat/badan administrasi; 2) objek perkara adalah hasil pengawasan APIP; 3) penyalahgunaan wewenang yang dimaksud harus merugikan keuangan negara. Dengan kata lain, jika ada masyarakat yang mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang baik yang merugikan keuangan negara maupun tidak, tidak dapat langsung dimohonkan ke PTUN, melainkan harus melewati APIP terlebih dahulu. Selain itu, yang dapat mengajukan permohonan ke PTUN hanyalah pejabat/badan administrasi pemerintahan.

Beberapa Persoalan

Atas dasar ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka muncul beberapa persoalan baru yang berdampak pada efektivitas penegakan hukum penyalahgunaan wewenang, yaitu:

Pertama, efektivitas pengawasan oleh APIP. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, APIP adalah terdiri atas: a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau dengan nama lain; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. Masalah besar, klasik, dan akut pengawasan pemerintahan di Indonesia adalah kinerja APIP yang dinilai belum optimal. Dari aspek keorganisasian, APIP merupakan lembaga internal pemerintah yang juga melakukan fungsi pembinaan, selain itu, jabatan pimpinan APIP juga bergantung pada Pejabat Pemerintahan, sehingga akan sangat sulit mengharapkan APIP dapat menjalankan kewenangannya dengan baik. Terlebih lagi Inspektorat-inspektorat yang berada di daerah-daerah, jika terlalu berani berhadap-hadapan dengan kepala daerah, mereka akan terancam dipindah tugaskan ditempat yang lain. Belum lagi, hasil pengawasan Inspektorat yang kerap tidak ditindaklanjuti oleh Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan. Kondisi tersebut diperparah pula aspek anggaran, karena APIP sangat menggantungkan anggarannya kepada pemerintah. Maka, dalam konteks ini, sulit rasanya APIP memiliki “keberanian” untuk menyatakan suatu tindakan/keputusan merupakan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Kedua, persinggungan hukum, bagaimana jika suatu ketika laporan hasil pengawasan APIP menyatakan bahwa Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian keuangan negara. Apakah perkara itu masih boleh dibawa ke proses pidana, dan jika boleh bagaimana posisi APIP, apakah mereka akan menjadi pihak “ketiga” yang membantu Pejabat/Badan tersebut di persidangan? Mahkamah Agung memang telah mengeluarkan No. 4 Tahun 2015, namun belum cukup lengkap menjawab persoalan ini.

1 September 2025

M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

M. Syafi’ie
(Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

 RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, utamanya para akademisi yang menilai  adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya. Secara metodologi undang-undang ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehngga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 Undang-Undang terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosilogis yang berbeda.

 Pada aspek paradigmatik, Undang-Undang Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini adalah bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal yang diantara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, membuka kran tanpa batas investasi asing,, dan deregulasi dengan cara mengurangi  peran, tanggungjawab dan pengawasan pemerintah.

Pada aspek substansi, sudah pasti Undang-Undang ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal yang utama. Dalam hal ini yang sangat terlihat ialah sentralisasi peridzinan, aktor dan kran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses yang lebih mudah untuk alih fungsi lahan.

Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktifis, dan akademisi ini bermakna bahwa tidak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki rancangan undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Minus Kepercayaan

Pengesahan beberapa Undang-Undang oleh parlemen dan mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekedar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung penormaan hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat  untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.

Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada  hukum.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan tentang makna penting naskah akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketiga aspek tersebut masih menuai kritik dan mendapatkan banyak masukan substantif dari kalangan masyarakat dan akademisi.

Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan, serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada aspek sosilogis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait dengan fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tidak boleh melahirkan dampak-dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.

Pada aspek yuridis, sebuah  undang-undang yang dibuat harus memastikan bahwa ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi pertamasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa Undang-Undang yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, utamanya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan filosofis, sosilogis dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan Undang-Undang baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan. Catatan serius Undang-Undang-Undang Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengessahannya yang berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tidak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, dan pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.

Pencapaian Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tidak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah Undang-Undang semestinya tidak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievment), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievment) dan dampak sosial (sociological impact).

Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan Undang-Undang KPK, Perubahan UU Minerba dan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan capaian tersendiri dalam pembuatan hukum di era pemerintaham dan perlemen periode ini. Namun demikian, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi : apakah konstruktif atau desktruktif  untuk penghargaan para pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggungjawab. 

Sumber :
Media Cetak Kompas, 14 Oktober 2020

1 August 2025

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.  (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Akhir-akhir ini, kita kembali disibukkan dengan isu dinasti politik. Bedanya, kalau dulu dinasti politik identik dengan anak, isteri, dan saudara seorang kepala daerah yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah di wilayah lain, namun hari ini dinasti politik yang dimaksud menyentuh pada lingkungan istana. Mulai dari anak kandung presiden Jokowi yang maju menjadi calon walikota Solo, menantunya juga ikut mencalonkan diri menjadi walikota Medan, keduanya diusung oleh partai yang sama dan juga partai pengusung presiden Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dilanjutkan dengan keponakan Prabowo, mantan seteru Presiden Jokowi pada pilpres 2019 lalu yang kini menjabat Menteri Pertahanan, menjadi calon kepala daerah di daerah Tangerang Selatan, anak kandung wakil presiden Ma’ruf Amin yang juga maju dalam pemilkada di Tangerang Selatan, dan masih banyak lagi calon kepala daerah lain yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan istana.

Pemilukada serentak yang akan digelar Desember mendatang melibat 273 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemilukada terbanyak dalam sejarah pemilukada serentak sejak tahun 2015 lalu. Maka, tidak heran jika kompleksitas persoalan mulai muncul, terlebih dalam situasi Covid-19 yang memaksa penyelenggaraan pemilukada harus diundur yang sebelumnya adalah bulan September. Masalah-masalah lama, semisal politik uang, penggunaan sentimentalitas suku dan agama sebagai alat kampanye, hingga konflik horizontal antar pendukung, memang tidak terasa begitu mengkhawatirkan. Berbeda halnya dengan pemilukada-pemilukada sebelumnya. Namun, persoalan dinasti politik adalah persoalan yang masih terus menggerogoti demokrasi lokal, bahkan nampak lebih buruk daripada periode-periode sebelumnya.

Dinasti politik, jika dilihat dari aspek jaminan konstitusional, memang tidak ada larangan dalam konstitusi Indonesia, juga tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Sebaliknya, konstitusi justeru menjamin hak politik setiap warga negara, untuk dipilih, memilih, dan mencalonkan diri dalam jabatan publik. Konstitusi juga melarang adanya larangan terhadap orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Artinya, sepanjang seseorang telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan publik tertentu, maka ia berhak untuk kesempatan itu, sekalipun ia adalah keluarga dekat dari presiden, menteri, maupun kepala daerah.

Begitupun halnya dengan demokrasi, dalam aspek prosedural formal, seseorang dapat menduduki jabatan publik, semisal presiden, kepala daerah, DPRD, maupun jabatan lainnya, adalah sepanjang yang bersangkutan dipilih oleh mayoritas masyarakat di daerah itu. Atau dengan kata lain, sepanjang orang tersebut berhasil memenangkan konstestasi pilpres, pileg, maupun pemilukada.

Ditilik dari dua aspek itu, konstitusi dan demokrasi, pencalonan anak dan menantu presiden Jokowi, keponakan Prabowo, putri wakil presiden Ma’ruf Amin, dan yang lainnya, adalah dapat dibenarkan. Tidak ada larangan konstitusional maupun perundang-undangan sama sekali. Sepanjang dipercaya dan dipilih oleh masyarakat daerahnya masing-masing, maka mereka layak untuk menduduki jabatan kepala maupun wakil kepala daerah.

Namun demikian, harus pula diperhatikan bahwa politik khususnya demokrasi juga memiliki dimensi etis. Dalam konteks ini, kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksana demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian dan oligarkis. Dalam perspektif etos politis ini, maka dinasti politik sejatinya tidak mendapatkan tempat. Adalah tidak etis, seorang penguasa memberikan peluang keluarganya untuk berkompetisi dipanggung politik. Bukan saja tidak fair bagi calon lain dalam kontestasi, karena calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” tersebut dapat dipastikan afirmasi tertentu, baik dalam aspek administrasi maupun yang lainnya. Namun, juga tidak fair bagi masyarakat daerah. Bagi masyarakat yang masih sangat kental dengan hegemoni patron-client, maka dorongan untuk memilih calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” sangatlah besar. Singkatnya, keberadaan dinasti politik, tidaklah berbanding lurus dengan perbaikan kualitas demokrasi lokal. Ke depan, ada baiknya dipertimbangkan agar ketentuan menganai dinasti politik ini tidak hanya berada dalam lingkup etos politis, namun juga penting diatur dalam hukum positif.

1 July 2025

M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

Beberapa topik pada debat calon presiden (capres) masih ramai diperbincangkan. Salah satunya, pernyataan capres Anies Baswedan yang mengungkap bahwa kebebasan berpendapat dan indeks demokrasi di Indonesia menurun. Bahkan, pemerintah dinilai kerap menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk memidanakan pihak-pihak yang mengkritisi kekuasaan.

Pernyataan itu menjadi diskusi menarik di kalangan komunitas, bahkan kedua kubu beradu data perihal kondisi demokrasi di Indonesia. Partisan Anies misalnya merujuk pada data indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).

Skor indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan tidak full democracy, tetapi belum jatuh pada skor hybrid regime dan authoritarian. EIU dikelola Economist Group yang rutin menilai kondisi demokrasi di ratusan negara dunia yang didasarkan pada lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Pada sisi yang lain, partisan pemerintah yang diwakili Prabowo Subianto merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia masuk dalam kategori baik. Bahkan, menurut BPS, indeks demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan sejak 2020. IDI sendiri merupakan angka yang memperlihatkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia yang substansi, metode, dan pelaksanaan olah datanya dijalankan secara kolaboratif oleh BPS, Bappenas, Kemenko Polhukam, Kemendagri, serta pemerintah daerah.

Data siapakah yang paling benar? Sebagai pembaca yang kritis, tentu kita akan melacak lebih detail dan memaknai secara substantif kualitas demokrasi yang dirasakan langsung oleh rakyat hari ini. Apalagi, menurut V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023, sebanyak 43 persen jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi.

Bahkan, tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986. Situasi itu ditandai, antara lain, dengan represivitas pemerintah terhadap masyarakat sipil, kebebasan berekspresi menurun, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir menurut laporan itu juga mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia-Pasifik yang lain seperti Kamboja, Afghanistan, India, Bangladesh, Hongkong, Myanmar, Filipina, dan Thailand.

Substansi Demokrasi

Secara kebahasaan, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang berarti rakyat. Demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan rakyat yang dalam makna lain diartikan sebagai daulat rakyat dalam pemerintahan suatu negara. Cara pandang kedaulatan rakyat merupakan antitesis dari konsep negara yang dikuasai secara tunggal oleh raja, pemimpin agama, dan atau bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan cara tiran, aristokrasi, dan atau oligarki.

Demokrasi setidaknya memiliki tiga nilai prinsip, yakni keadilan, kesetaraan dan persamaan hak, serta kebebasan dan kemerdekaan. Secara konseptual, demokrasi bisa dibaca secara substantif dan prosedural. Demokrasi substantif menghendaki demokrasi secara hakiki, yaitu demokrasi dinilai tegak dengan nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat berdaulat dengan sesungguhnya. Kehidupan sosial bernegara memperlihatkan budaya saling menghormati, toleransi, anti kekerasan, serta tumbuhnya kebijakan yang berkeadilan sosial yang berdampak pada kesejahteraan yang merata.

Sementara itu, demokrasi prosedural menghendaki demokrasi pada level prosedur. Yaitu, adanya aturan atau prosedur formal yang mengandung nilai-nilai demokrasi yang aturannya bersifat nondiskriminasi, imparsial, dan independen.

Pertanyaan Kunci

Merujuk pada konsep demokrasi, apakah negara Indonesia sudah memenuhi kualifikasi sebagai negara demokrasi dan bagaimana kualitasnya? Secara konstitusional, Indonesia memilih demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Pertanyaan pentingnya lebih pada kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu sejauh mana kedaulatan rakyat dijaga dan dihormati oleh penyelenggara pemerintahan? Seberapa jauh aktivitas dan keputusan politik pemerintahan melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Dan, sejauh mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum?

Pertanyaan tersebut seiring dengan situasi keprihatinan terkait semakin renggangnya hubungan rakyat dengan wakil-wakil rakyat dan semakin renggangnya hubungan rakyat dengan pemerintahan yang dalam banyak hal mengesahkan regulasi yang tidak sejalan dengan pikiran dan tuntutan rakyat. Regulasi yang dikritisi misalnya UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Negara (IKN), dan beberapa regulasi lain yang proses pembuatannya minim partisipasi dan secara substansi mempertebal aristokrasi dan oligarki yang menggerogoti pemerintahan.

Catatan lainnya terkait demokrasi Indonesia saat ini ialah semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat dan pada sisi yang lain terjadi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia. Amnesty International misalnya mencatat bahwa sedikitnya 328 kasus serangan fisik dan digital terjadi dan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Beberapa aktivis pembela demokrasi dan HAM, di antaranya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, saat ini sedang diadili karena mendiskusikan hasil penelitian kasus Intan Jaya. Ada banyak kasus kriminalisasi yang kita bisa baca menjadi pertanda buruknya sistem demokrasi saat ini. Demokrasi Indonesia mengalami regresi, melorot, dan mundur yang hampir menyerupai represi rezim Orde Baru. 

Sumber :
Media Cetak JAWA POS, 21 Desember 2023

13 June 2025

M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis
[Paulo Freire]

Kita terkejut dengan informasi bahwa ada seorang anak yang mengkafirkan  temannya gara-gara berbeda agama dan menganggapnya sebagai orang yang berbeda. Informasi itu berkembang luas karena diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat pengaduan dari salah satu wali murid terkait potret intoleransi pelajar yang terjadi di sekolah.

Pengkafiran pelajar ternyata ditopang oleh ragam informasi yang memperlihatkan menguatnya cara pandang eksklusif di kalangan pelajar. Di beberapa sekolah, lewat kegiatan-kegiatan OSIS terlihat kegiatan yang semakin menjauhkan dari semangat kebersamaan antar lintas keyakinan dan bahkan mendiskreditkan terhadap keyakinan yang berbeda. Keyakinan agama di kalangan pelajar semakin dibuat tertutup dan dijauhkan untuk dapat berdialog dengan ragam kepercayaan, keyakinan dan bahkan dengan ragam pilihan madzhab. Dialog lintas agama dicegah, dialog lintas madzhab dan pemikiran tidak dibangun.


Cara pendang ekslusif di kalangan pelajar ternyata berhubungan kuat dengan praktek intoleransi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi yang terlihat : mulai pembubaran diskusi karena terkait perbedaan pemikiran agama, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok yang dituduh syiah dan ahmadiyah, sampai dengan pembakaran tokoh agama di Aceh misalnya karena diduga yang bersangkutan melakukan praktek pengobatan alternatif yang dinilai menyimpang dari akidah.

Apa yang terjadi pada pelajar yang semakin eksklusif dalam beragama di Indonesia memperlihatkan tentang wajah wacana publik keagamaan di Indonesia yang semakin mengalami krisis. Agama seperti kehilangan perannya untuk menghidupkan pesan kemanusiaan, keadaban dan kedamaian di muka bumi. Agama seperti penghidup api pembedaan dan permusuhan di antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Indikasinya adalah penganut agama yang tidak lagi mau untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang dinilai tidak satu keyakinan agama dan kepercayaan. Bahkan, orang dan kelompok yang berbeda dianggap sebagai musuh.

Di tengah situasi yang serba ekslusif, kita berharap pada sistem pendidikan agama yang lebih menggali nilai-nilai emansipatif  yang terdapat di jantung agama. Sistem pendidikan agama yang emansipatif sejalan dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu sebuah proses untuk memausiakan manusia (humanizing human being). Sistem pendidikan agama yang memanusiakan tentu tidak mudah. Dibutuhkan guru yang mengerti tentang hakekat agama, kurikulum yang mempertemukan dialog antar agama, kepercayaan dan madzhab, sarana prasarana yang mendukung dan pelajar yang diperkuat untuk menjadi pribadi yang dapat menghargai setiap manusia dengan keragamannya.

Buya Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa pendidikan Islam bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen –menurut beliau—adalah bagaimana nilai moral yang ditelah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Pernyataan Buya Syafi’i secara tidak langsung juga mengkritik tentang sistem pendidikan agama selama ini yang masih belum menjadi media pembebas penganutnya untuk lebih terbuka, lebih memahami perbedaan sebagai fitrah, lebih memahami ajaran agama untuk saling menguatkan nilai solidaritas untuk membebaskan negara Indonesia dari lubang kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Ajaran agama yang ekslusif secara tidak langsung sebenarnya memasung penganutnya berada di garis keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah suasana ekslusifisme beragama, kita terus berharap ada ruang pembebasan dari praktek bodoh yang terjadi.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top