RESEARCH
Research is one of our foundational approaches to program implementation at the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia alongside Education and Advocacy. To advance the human rights situation in Indonesia, we use the latest data collected from the field or other reliable sources. Through research, we are able to observe the existing human rights conditions with accurate precision. The data we derive acts as a basis to map problems and design targeted interventions as a solution to promote the human rights situation in Indonesia.
To date, the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia applies the research approach in various programs. Among them are; research on the application of human rights law in court rulings; research on court accessibility and correctional facilities for people with disabilities; and research on fulfilling the rights to a fair trial before the law for people with disabilities.
Research Approach:
- Problems or enjoyments of human rights issues must be observed and understood accurately.
- Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia uses a research approach in observing the problems or enjoyment of human rights in Indonesia.
- The research conducted covers field-based and non-field-based research.
- Research, whether field-based or non-field-based, becomes a basis for Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia to map problems and design the most accurate interventions.
Buku ini mengulas upaya pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas pada proses penyidikan dan penyelidikan di kepolisian. Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum, semua instansi penegak hukum, termasuk kepolisian wajib mengupayakan pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Berangkat dari perintah itu, buku ini melihat lebih jauh bagaimana praktek yang dilakukan oleh kepolisian dalam memenuhi akomodasi yang layak tersebut. Wilayah yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah Polda Nusa Tenggara Barat, semata-mata karena isu penyandang disabilitas yang menyita perhatian publik terbaru terjadi di bawah Polda NTB, yaitu kasus Agus.
Berdasarkan studi lapangan dan literatur yang dilakukan, buku ini sampai pada dua kesimpulan: Pertama, pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas belum direspon dengan cukup baik oleh instansi penegak hukum, melalui peraturan yang lebih teknis. Sekalipun telah tersedia akomodasi berupa sarana aksesibel dan layanan inklusif bagi penyandang disabilitas, sifatnya hanya sporadis mengikuti responsivitas pejabat semata. Kedua, pembentukan kebijakan internal kepolisian dalam menyediakan akomodasi yang layak adalah perintah dari undang-undang dan peraturan pemerintah, sehingga penting untuk segera disahkan. Di luar itu, bagi penyidik dan penyelidik sendiri, dibentuknya peraturan yang lebih teknis justru memberikan perlindungan hukum agar suatu ketika saat berhadapan dengan kasus konkret, tidak lagi kebingungan.

Terutama dalam 4 tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus kepailitan yang signifikan di Indonesia. Berdasarkan data kasus yang diputus di pengadilan, sejak 2022 hingga 2024, tercatat lebih dari 250 kasus kepailitan diputus pengadilan setiap tahunnya. Hingga kuartal ketiga 2025, pengadilan bahkan sudah memutus 150 kasus kepailitan. Peningkatan kasus kepailitan di Indonesia mengindikasikan bahwa, pertama, kreditor menganggap penyelesaian sengketa keperdataan melalui mekanisme kepailitan lebih berkepastian dan bermanfaat untuk pemenuhan haknya atas piutang yang sudah jatuh tempo. Kedua, pelaku usaha tidak benar-benar siap dalam mengelola perusahaannya secara bertanggung jawab.
Namun, riset PUSHAM UII mengungkap sisi lain dari penyelesaian kasus kepailitan, suatu bagian yang belum banyak diberi perhatian. Melalui riset berjudul “BERTAHAN, TANPA TANGAN NEGARA. Masalah Struktural Sistem Kepailitan di Indonesia dan Dampaknya pada Hak Asasi Pekerja,” PUSHAM UII sampai pada kesimpulan bahwa pekerja, selaku kreditor preferen paling utama, justru menjadi korban sesungguhnya dalam penyelesaian kasus kepailitan, khususnya dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Didasarkan pada pengalaman pekerja PT Sinarupjaya Utama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan PT Panamtex di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, riset PUSHAM UII menegaskan bahwa proses pengurusan dan pemberesan harta pailit telah menjadi ruang terbuka untuk pelbagai ketidakadilan bagi pekerja yang terdampak, juga menjadi pintu masuk bagi kerugian hak asasi manusia yang harus ditanggung pekerja dan keluarganya.
Silahkan simak laporan lengkapnya di sini.

Tak ada satu pemimpin politik yang bisa mengakhiri suatu demokrasi;
demikian juga, tak satu pemimpin yang bisa menyelamatkan suatu demokrasi.
Demokrasi adalah usaha bersama. Nasibnya tergantung pada kita semua
(Steven Levitsky & Daniel Ziblatt)
Levitsky & Ziblatt telah memberikan peringatan bahwa terdapat pemimpin yang dilahirkan melalui mekanisme demokratis, tetapi kemudian menjadi pihak yang membunuh demokrasi. Namun, sebagian besar pemimpin membunuh demokrasi secara perlahan. Pemilu masih diselenggarakan, parlemen kritis masih ada, media massa masih aktif, bahkan nafsu kekuasaan politik dilegalkan dan disetujui oleh parlemen dan dianggap konstitusional oleh lembaga yang memiliki kewenangan melakukan judicial review, seperti Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, 2023, hlm. 60).
Peringatan di atas nampak jelas telah terjadi di Indonesia pada akhir periode pertama dan di sepanjang periode kedua Presiden Joko Widodo, kira-kira tahun 2018-2024. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan Undang-Undang Pertambangan, Omnibus Law, Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas usia calon presiden dan wakil presiden, dan terakhir walaupun gagal adalah putusan Mahkamah Agung tentang batas usia calon gubernur dan wakil gubernur menjadi penanda rusaknya tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. Seluruh perubahan ini nampak legal secara prosedural, bahkan dikukuhkan oleh lembaga peradilan. Namun, semua perubahan itu terjadi sesungguhnya bukan didasarkan pada kebutuhan konstitusional demi kepentingan terbaik rakyat dan bangsa Indonesia, tetapi lebih sebagai jalur untuk kepentingan politik dan ekonomi sekelompok elite
dan anak-anak Presiden Joko Widodo.
Di tengah situasi yang semakin genting serta diamnya kekuatan politik dan organisasi sosial kemasyarakatan termasuk keagamaan, komunitas akademik mengambil peran untuk melantangkan suara nyaring spirit republik dan demokrasi, walaupun ada yang suaranya parau. Pernyataan publik yang telah disuarakan menandai masih adanya cendekiawan yang berpijak pada nilai, walaupun
ada juga yang mencari aman dan mengirimkan sinyal dukungan kepada rezim. Buku ini merekam suara publik yang tajam sekaligus yang parau. Dipersilakan kepada pembaca untuk menikmati sikap komunitas akademik dan masyarakat sipil di dalam buku ini.
Buku ini merekam 76 (tujuh puluh enam) pernyataan publik yang dibacakan oleh komunitas akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Secara teknis, pernyataan publik dikumpulkan dan dikelompokkan menjadi 4 (empat) yaitu suara perguruan tinggi, asosiasi perguruan tinggi, komunitas alumni lembaga pendidikan, dan koalisi masyarakat sipil. Suara perguruan tinggi termasuk di dalamnya pernyataan resmi perguruan tinggi, pernyataan komunitas dosen, dan komunitas mahasiswa.
Pernyataan publik yang direkam di dalam buku ini telah mendapatkan persetujuan dari para pihak
yang menyatakan sikap publiknya. Penyunting telah mengirimkan surat persetujuan kepada semua pihak yang mengeluarkan rilis dan memberi waktu selama 7 (tujuh) hari untuk membalasnya. Di dalam surat persetujuan telah diinformasikan bahwa jika dalam waktu 7 (tujuh) hari, pihak yang merilis tidak menyampaikan keberatan, maka hal itu dianggap sebagai persetujuan untuk rilis. Di luar 76 (tujuhpuluh enam) pernyataan publik yang direkam dalam buku ini, terdapat beberapa rilis yang tidak dimasukkan karena ketiadaan persetujuan dari pihak yang membuatnya.
DOWNLOAD BUKU HASIL PENELITIAN (PDF)

Tepat pada 28 Januari 2025, pemerintahan Prabowo-Gibran genap berusia 100 hari. Dalam 100 hari pertama ini, pemerintahan Prabowo-Gibran tercatat telah mengesahkan 155 peraturan perundang-undangan, dengan rincian 87 undang-undang, 1 peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden. Namun, pada periode yang sama, belum terlihat keseriusan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengurusi bidang hak asasi manusia. Hal ini meletakkan dasar bagi Pusham UII untuk menilai dan mengevaluasi performa hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama.
Hasil penilaian dan evaluasi itu dituangkan dalam laporan penelitian berjudul “LANGKAH AWAL YANG SURAM: Performa Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-Undangan Pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 Hari Pertama.”
Performa HAM Suram, Skor Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkisar 0,1 dari 1
Dari sisi peraturan perundang-undangan, Pusham UII menilai bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan hak asasi manusia sebagai elemen minoritas. Orientasi hak asasi manusia dalam 155 peraturan perundang-undangan ditemukan sangat lemah berdasarkan peraturan yang memuat hak asasi manusia (Skor: 0,14 dari skala 0-1). Berdasarkan cakupan hukum dan ragam hak asasi manusia, orientasi hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran juga ditemukan sangat lemah (Skor: 0,06 dari skala 0-1).
Di samping itu, juga ditemukan masalah-masalah lain dari peraturan perundang-undangan yang telah disahkan, yaitu: pengakuan hak-hak masyarakat adat yang tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak bagi masyarakat adat; klise dalam penggunaan frasa ‘Melindungi Segenap Bangsa dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum; ketidakjelasan pemaknaan untuk agenda pembangunan berkelanjutan; dan eksklusi/pemisahan bidang hak asasi manusia dari bidang-bidang lain.

