Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) is an independent research center by the Universitas Islam Indonesia that emphasizes scientific accountability in its work. PUSHAM UII is dedicated to promoting the enjoyment of human rights in Indonesia.
Our Latest Programs
Research at the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia includes both field-based and desk-based research. PUSHAM UII always places research as a crucial foundation in advocacy and education activities.
Our Latest Programs
Advocacy by the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia consists of policy formation and evaluation, as well as the development of policy implementation mechanisms.
Our Latest Programs
In the field of education, the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia provides human rights education for various groups, ranging from academics, practitioners, government officials, to the general public.
PROGRAM
Activities of the Center for Human Rights
Universitas Islam Indonesia
01
RESEARCH
Research at the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia includes both field-based and desk-based research. PUSHAM UII always places research as a crucial foundation in advocacy and education activities.

02
ADVOCACY
Advocacy by the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia consists of policy formation and evaluation, as well as the development of policy implementation mechanisms.

03
EDUCATION
In the field of education, the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia provides human rights education for various groups, ranging from academics, practitioners, government officials, to the general public.

PUBLICATION
Internal Publications
Universitas Islam Indonesia
ACADEMIC PAPERS
RESEARCH REPORTS
OPINIONS & REVIEWS
Opinions on human rights issues at the national, regional, and international levels, as well as book reviews on related topics.

Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis
[Paulo Freire]
Kita terkejut dengan informasi bahwa ada seorang anak yang mengkafirkan temannya gara-gara berbeda agama dan menganggapnya sebagai orang yang berbeda. Informasi itu berkembang luas karena diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat pengaduan dari salah satu wali murid terkait potret intoleransi pelajar yang terjadi di sekolah.
Pengkafiran pelajar ternyata ditopang oleh ragam informasi yang memperlihatkan menguatnya cara pandang eksklusif di kalangan pelajar. Di beberapa sekolah, lewat kegiatan-kegiatan OSIS terlihat kegiatan yang semakin menjauhkan dari semangat kebersamaan antar lintas keyakinan dan bahkan mendiskreditkan terhadap keyakinan yang berbeda. Keyakinan agama di kalangan pelajar semakin dibuat tertutup dan dijauhkan untuk dapat berdialog dengan ragam kepercayaan, keyakinan dan bahkan dengan ragam pilihan madzhab. Dialog lintas agama dicegah, dialog lintas madzhab dan pemikiran tidak dibangun.

Cara pendang ekslusif di kalangan pelajar ternyata berhubungan kuat dengan praktek intoleransi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi yang terlihat : mulai pembubaran diskusi karena terkait perbedaan pemikiran agama, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok yang dituduh syiah dan ahmadiyah, sampai dengan pembakaran tokoh agama di Aceh misalnya karena diduga yang bersangkutan melakukan praktek pengobatan alternatif yang dinilai menyimpang dari akidah.
Apa yang terjadi pada pelajar yang semakin eksklusif dalam beragama di Indonesia memperlihatkan tentang wajah wacana publik keagamaan di Indonesia yang semakin mengalami krisis. Agama seperti kehilangan perannya untuk menghidupkan pesan kemanusiaan, keadaban dan kedamaian di muka bumi. Agama seperti penghidup api pembedaan dan permusuhan di antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Indikasinya adalah penganut agama yang tidak lagi mau untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang dinilai tidak satu keyakinan agama dan kepercayaan. Bahkan, orang dan kelompok yang berbeda dianggap sebagai musuh.
Di tengah situasi yang serba ekslusif, kita berharap pada sistem pendidikan agama yang lebih menggali nilai-nilai emansipatif yang terdapat di jantung agama. Sistem pendidikan agama yang emansipatif sejalan dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu sebuah proses untuk memausiakan manusia (humanizing human being). Sistem pendidikan agama yang memanusiakan tentu tidak mudah. Dibutuhkan guru yang mengerti tentang hakekat agama, kurikulum yang mempertemukan dialog antar agama, kepercayaan dan madzhab, sarana prasarana yang mendukung dan pelajar yang diperkuat untuk menjadi pribadi yang dapat menghargai setiap manusia dengan keragamannya.
Buya Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa pendidikan Islam bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen –menurut beliau—adalah bagaimana nilai moral yang ditelah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pernyataan Buya Syafi’i secara tidak langsung juga mengkritik tentang sistem pendidikan agama selama ini yang masih belum menjadi media pembebas penganutnya untuk lebih terbuka, lebih memahami perbedaan sebagai fitrah, lebih memahami ajaran agama untuk saling menguatkan nilai solidaritas untuk membebaskan negara Indonesia dari lubang kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Ajaran agama yang ekslusif secara tidak langsung sebenarnya memasung penganutnya berada di garis keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah suasana ekslusifisme beragama, kita terus berharap ada ruang pembebasan dari praktek bodoh yang terjadi.

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem : A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berfikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, dimana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berfikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.
Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, dimana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja didalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan manafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, dimana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.
Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elit yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarkhi. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.
Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saati ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan-keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.
Gaya pemerintahan saat ini mengkwatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, dimana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.
Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, dimana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme. Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, dimana pemerintahan kemudian menjelma sebagai kekuasaan teror (state terorisme) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pers, dan hak asasi manusia.
Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan akal-akalan pengesahan RUU TNI yang menjadi penanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme
Sumber :
Media Cetak Kedaulatan Rakyat, 20 Maret 2025

Kebebasan akademik merupakan instrumen yang sangat fundamental di dalam masyarakat perguruan tinggi dalam rangka memberi jalan bagi lahirnya pikiran-pikiran ilmiah dari kaum intelektual kampus yang kreatif dan produktif dengan gagasan-gagasan barunya. Pada tataran praktis, kebebasan akademik bukan saja menjadi ruang bagi intelektual kampus untuk mengembangkan keilmuannya, tetapi juga menjadi ruang terbuka untuk melakukan kritik sosial. Kritik sosial yang dilakukan oleh intelektual kampus, baik melalui penelitian maupun diskusi, tidaklah sama dengan kritik sosial pada umumnya, hal ini karena kritik sosial intelektual kampus tunduk pada standar-standar ilmiah. Namun, pandangan-pandangan ilmiah objektif yang lahir dari kebebasan akademik itu tidaklah berjalan mulus, bahkan pada orde pasca reformasi dewasa ini. Adakalanya temuan atau pandangan ilmiah yang lahir dari prinsip kebebasan akademik itu tidak sejalan atau bahkan berbenturan dengan kekuatan diluarnya sehingga kebebasan akademik menghadapi tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman terutama apabila pandangan ilmiah itu bertentangan dengan pandangan dan keyakinan penguasa formal termasuk pada pendukungnya. Pada titik ini, relevansi kebebasan akademik dan kritik sosial, hampir selalu menjadi dua instrumen yang berlawanan (Moh. Mafud MD, 1999: 63).
Situasi yang terjadi di Yogyakarta terkait diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Memberhentikan Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” oleh Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, menggambarkan dinamika di atas. Diskusi ini terpaksa dibatalkan, karena panitia dan pembicara mendapatkan teror dari kelompok yang sudah dapat diduga siapa pelakunya. Ada pihak yang menganggap diskusi itu sebagai makar lalu menyebarkannya ke media sosial sehingga menjadi viral.
Banyak pihak yang menyayangkan fenomena ini, diskusi akademik dilingkungan kampus sebagai ruang belajar dan mengembangkan keilmiah sejatinya tidak bisa diintervensi oleh kekuatan lain diluar kampus. Bahkan, kampus sendiri pun tidak boleh mengintervensi ruang kebebasan itu. Harus diketahui, bahwa kebebasan akademik pada umumnya menyangkut dua wilayah perhatian: Pertama, kebebasan yang dimiliki oleh lembaga perguruan tinggi untuk melaksanakan fungsinya tanpa dicampuri oleh kekuasaan diluar; Kedua, Kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar, dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri (Achmad Ichsan, 1985:53).
Kebebasan Akademik dan Kritik Sosial
Dari batasan proporsional tentang kebebasan akademik di atas, ditemukan relevansi atau kaitan antara kebebasan akademik dan kritik sosial. Di sini secara sederhana dapat dikatakan bahwa produk dari kebebasan akademik dapat berupa kritik sosial atau penilaian tentang terjadinya kekurang beresan di dalam masyarakat maupun penyelenggaraan negara. Diskusi di atas misalnya, mungkin saja akan mengarah pada kritik terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi covid-19, atau bahkan terkait peluang pemberhentian presiden karena dianggap gagal mengatasi pandemi, sekalipun hampir tidak mungkin karena pemberhentian presiden ada perkara politik. Namun, batasan kebebasan akademik, hanya sampai pada ruang akademik saja, tidak ada kepentingan politik yang menungganginya, sehingga kekhawatiran berlebih apalagi menuding diskusi itu sebagai tindakan makar adalah juga sangat berlebihan. Harus ditegaskan bahwa dalam konteks kebebasan akademik, cara untuk menolak atau mengadili hasil penelitian dan pandangan akademik, bukanlah dengan melaporkannya kepada pihak kepolisian, bukan pula dengan membatalkan kegiatan apalagi melakukan teror, melainkan dengan membuat penelitian dan pandangan tandingan yang berseberangan, yang juga mengikuti standar-standar akademik. Dengan kata lain, hasil penelitian dan pandangan akademik tidak dapat diproses secara hukum, apapun hasil dari penelitian itu, yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian serupa yang berseberangan dengan penelitian awal.
Kebebasan akademik dapat dipandang sebagai sumber kritik sosial yang bermutu, karena darinya dapat diperoleh produk pemikiran yang rasional sebagai bahan yang memungkinkan sebuah kritik sosial lebih dapat diterima oleh masyarakat. Kebebasan akademik memungkinkan warga sivitas akademika kampus melakukan fungsi-fungsi akademisnya secara leluasa tanpa intervensi dari kekuatan luar haruslah mendapat jaminan agar darinya lahir kritik sosial yang rasional dan operasional. Jika jaminan akan kebebasan akademik itu tidak diberikan, maka kritik sosial yang lahir dari sana akan bermutu rendah. Oleh karena itu, penguasa, masyarakat, dan elemen lain sejatinya berterimakasih karena dengan kebebasan akademik, dunia kampus dapat memberikan respon dan kritik terhadap berbagai kebijakan namun tanpa disertai kepentingan lain, ia murni sebagai bentuk kepedulian terhadap negara dan masyarakat. Oleh karena itu, bagi negara dan masyarakat, kebebasan akademik bukanlah lawan, justeru adalah teman.
LATEST UPDATES
Activities and News
Universitas Islam Indonesia
ACTIVITIES
Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia implements programs and advocacy using approaches based on education, research, and community engagement.
NEWS
HIGHLIGHTS
LATEST UPDATES
Focus Group Discussion (FGD) Peta Jalan Pemasyarakatan Inklusif
Tahun 2024, Pusham UII bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atas dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) melalui …
Pendidikan dan Pelatihan tentang Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum di Diklat Reserse Lemdiklat POLRI
Pusham UII bermitra dengan Diklat Reserse Lemdiklat Polri dimulai pada tahun 2020. Kemitraan juga dilakukan dengan lembaga Badiklat Kejaksaan …