Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Our Latest Programs
Research at the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia includes both field-based and desk-based research. PUSHAM UII always places research as a crucial foundation in advocacy and education activities.
Our Latest Programs
Advocacy by the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia consists of policy formation and evaluation, as well as the development of policy implementation mechanisms.
Our Latest Programs
In the field of education, the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia provides human rights education for various groups, ranging from academics, practitioners, government officials, to the general public.
Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) is an independent research center by the Universitas Islam Indonesia that emphasizes scientific accountability in its work. PUSHAM UII is dedicated to promoting the enjoyment of human rights in Indonesia.
PROGRAM
Activities of the Center for Human Rights
Universitas Islam Indonesia
01
RESEARCH
Research at the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia includes both field-based and desk-based research. PUSHAM UII always places research as a crucial foundation in advocacy and education activities.

02
ADVOCACY
Advocacy by the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia consists of policy formation and evaluation, as well as the development of policy implementation mechanisms.

03
EDUCATION
In the field of education, the Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia provides human rights education for various groups, ranging from academics, practitioners, government officials, to the general public.

PUBLICATION
Internal Publications
Universitas Islam Indonesia
ACADEMIC PAPERS
RESEARCH REPORTS
OPINIONS & REVIEWS
Opinions on human rights issues at the national, regional, and international levels, as well as book reviews on related topics.

Akhir-akhir ini, kita kembali disibukkan dengan isu dinasti politik. Bedanya, kalau dulu dinasti politik identik dengan anak, isteri, dan saudara seorang kepala daerah yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah di wilayah lain, namun hari ini dinasti politik yang dimaksud menyentuh pada lingkungan istana. Mulai dari anak kandung presiden Jokowi yang maju menjadi calon walikota Solo, menantunya juga ikut mencalonkan diri menjadi walikota Medan, keduanya diusung oleh partai yang sama dan juga partai pengusung presiden Jokowi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dilanjutkan dengan keponakan Prabowo, mantan seteru Presiden Jokowi pada pilpres 2019 lalu yang kini menjabat Menteri Pertahanan, menjadi calon kepala daerah di daerah Tangerang Selatan, anak kandung wakil presiden Ma’ruf Amin yang juga maju dalam pemilkada di Tangerang Selatan, dan masih banyak lagi calon kepala daerah lain yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan istana.
Pemilukada serentak yang akan digelar Desember mendatang melibat 273 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemilukada terbanyak dalam sejarah pemilukada serentak sejak tahun 2015 lalu. Maka, tidak heran jika kompleksitas persoalan mulai muncul, terlebih dalam situasi Covid-19 yang memaksa penyelenggaraan pemilukada harus diundur yang sebelumnya adalah bulan September. Masalah-masalah lama, semisal politik uang, penggunaan sentimentalitas suku dan agama sebagai alat kampanye, hingga konflik horizontal antar pendukung, memang tidak terasa begitu mengkhawatirkan. Berbeda halnya dengan pemilukada-pemilukada sebelumnya. Namun, persoalan dinasti politik adalah persoalan yang masih terus menggerogoti demokrasi lokal, bahkan nampak lebih buruk daripada periode-periode sebelumnya.
Dinasti politik, jika dilihat dari aspek jaminan konstitusional, memang tidak ada larangan dalam konstitusi Indonesia, juga tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Sebaliknya, konstitusi justeru menjamin hak politik setiap warga negara, untuk dipilih, memilih, dan mencalonkan diri dalam jabatan publik. Konstitusi juga melarang adanya larangan terhadap orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Artinya, sepanjang seseorang telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan publik tertentu, maka ia berhak untuk kesempatan itu, sekalipun ia adalah keluarga dekat dari presiden, menteri, maupun kepala daerah.
Begitupun halnya dengan demokrasi, dalam aspek prosedural formal, seseorang dapat menduduki jabatan publik, semisal presiden, kepala daerah, DPRD, maupun jabatan lainnya, adalah sepanjang yang bersangkutan dipilih oleh mayoritas masyarakat di daerah itu. Atau dengan kata lain, sepanjang orang tersebut berhasil memenangkan konstestasi pilpres, pileg, maupun pemilukada.
Ditilik dari dua aspek itu, konstitusi dan demokrasi, pencalonan anak dan menantu presiden Jokowi, keponakan Prabowo, putri wakil presiden Ma’ruf Amin, dan yang lainnya, adalah dapat dibenarkan. Tidak ada larangan konstitusional maupun perundang-undangan sama sekali. Sepanjang dipercaya dan dipilih oleh masyarakat daerahnya masing-masing, maka mereka layak untuk menduduki jabatan kepala maupun wakil kepala daerah.
Namun demikian, harus pula diperhatikan bahwa politik khususnya demokrasi juga memiliki dimensi etis. Dalam konteks ini, kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksana demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian dan oligarkis. Dalam perspektif etos politis ini, maka dinasti politik sejatinya tidak mendapatkan tempat. Adalah tidak etis, seorang penguasa memberikan peluang keluarganya untuk berkompetisi dipanggung politik. Bukan saja tidak fair bagi calon lain dalam kontestasi, karena calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” tersebut dapat dipastikan afirmasi tertentu, baik dalam aspek administrasi maupun yang lainnya. Namun, juga tidak fair bagi masyarakat daerah. Bagi masyarakat yang masih sangat kental dengan hegemoni patron-client, maka dorongan untuk memilih calon yang memiliki hubungan dengan “penguasa” sangatlah besar. Singkatnya, keberadaan dinasti politik, tidaklah berbanding lurus dengan perbaikan kualitas demokrasi lokal. Ke depan, ada baiknya dipertimbangkan agar ketentuan menganai dinasti politik ini tidak hanya berada dalam lingkup etos politis, namun juga penting diatur dalam hukum positif.

Beberapa topik pada debat calon presiden (capres) masih ramai diperbincangkan. Salah satunya, pernyataan capres Anies Baswedan yang mengungkap bahwa kebebasan berpendapat dan indeks demokrasi di Indonesia menurun. Bahkan, pemerintah dinilai kerap menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk memidanakan pihak-pihak yang mengkritisi kekuasaan.
Pernyataan itu menjadi diskusi menarik di kalangan komunitas, bahkan kedua kubu beradu data perihal kondisi demokrasi di Indonesia. Partisan Anies misalnya merujuk pada data indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).
Skor indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan tidak full democracy, tetapi belum jatuh pada skor hybrid regime dan authoritarian. EIU dikelola Economist Group yang rutin menilai kondisi demokrasi di ratusan negara dunia yang didasarkan pada lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Pada sisi yang lain, partisan pemerintah yang diwakili Prabowo Subianto merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia masuk dalam kategori baik. Bahkan, menurut BPS, indeks demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan sejak 2020. IDI sendiri merupakan angka yang memperlihatkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia yang substansi, metode, dan pelaksanaan olah datanya dijalankan secara kolaboratif oleh BPS, Bappenas, Kemenko Polhukam, Kemendagri, serta pemerintah daerah.
Data siapakah yang paling benar? Sebagai pembaca yang kritis, tentu kita akan melacak lebih detail dan memaknai secara substantif kualitas demokrasi yang dirasakan langsung oleh rakyat hari ini. Apalagi, menurut V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023, sebanyak 43 persen jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi.
Bahkan, tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986. Situasi itu ditandai, antara lain, dengan represivitas pemerintah terhadap masyarakat sipil, kebebasan berekspresi menurun, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir menurut laporan itu juga mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia-Pasifik yang lain seperti Kamboja, Afghanistan, India, Bangladesh, Hongkong, Myanmar, Filipina, dan Thailand.
Substansi Demokrasi
Secara kebahasaan, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang berarti rakyat. Demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan rakyat yang dalam makna lain diartikan sebagai daulat rakyat dalam pemerintahan suatu negara. Cara pandang kedaulatan rakyat merupakan antitesis dari konsep negara yang dikuasai secara tunggal oleh raja, pemimpin agama, dan atau bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan cara tiran, aristokrasi, dan atau oligarki.
Demokrasi setidaknya memiliki tiga nilai prinsip, yakni keadilan, kesetaraan dan persamaan hak, serta kebebasan dan kemerdekaan. Secara konseptual, demokrasi bisa dibaca secara substantif dan prosedural. Demokrasi substantif menghendaki demokrasi secara hakiki, yaitu demokrasi dinilai tegak dengan nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat berdaulat dengan sesungguhnya. Kehidupan sosial bernegara memperlihatkan budaya saling menghormati, toleransi, anti kekerasan, serta tumbuhnya kebijakan yang berkeadilan sosial yang berdampak pada kesejahteraan yang merata.
Sementara itu, demokrasi prosedural menghendaki demokrasi pada level prosedur. Yaitu, adanya aturan atau prosedur formal yang mengandung nilai-nilai demokrasi yang aturannya bersifat nondiskriminasi, imparsial, dan independen.
Pertanyaan Kunci
Merujuk pada konsep demokrasi, apakah negara Indonesia sudah memenuhi kualifikasi sebagai negara demokrasi dan bagaimana kualitasnya? Secara konstitusional, Indonesia memilih demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pertanyaan pentingnya lebih pada kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu sejauh mana kedaulatan rakyat dijaga dan dihormati oleh penyelenggara pemerintahan? Seberapa jauh aktivitas dan keputusan politik pemerintahan melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Dan, sejauh mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum?
Pertanyaan tersebut seiring dengan situasi keprihatinan terkait semakin renggangnya hubungan rakyat dengan wakil-wakil rakyat dan semakin renggangnya hubungan rakyat dengan pemerintahan yang dalam banyak hal mengesahkan regulasi yang tidak sejalan dengan pikiran dan tuntutan rakyat. Regulasi yang dikritisi misalnya UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Negara (IKN), dan beberapa regulasi lain yang proses pembuatannya minim partisipasi dan secara substansi mempertebal aristokrasi dan oligarki yang menggerogoti pemerintahan.
Catatan lainnya terkait demokrasi Indonesia saat ini ialah semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat dan pada sisi yang lain terjadi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia. Amnesty International misalnya mencatat bahwa sedikitnya 328 kasus serangan fisik dan digital terjadi dan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Beberapa aktivis pembela demokrasi dan HAM, di antaranya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, saat ini sedang diadili karena mendiskusikan hasil penelitian kasus Intan Jaya. Ada banyak kasus kriminalisasi yang kita bisa baca menjadi pertanda buruknya sistem demokrasi saat ini. Demokrasi Indonesia mengalami regresi, melorot, dan mundur yang hampir menyerupai represi rezim Orde Baru.
Sumber :
Media Cetak JAWA POS, 21 Desember 2023

Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis
[Paulo Freire]
Kita terkejut dengan informasi bahwa ada seorang anak yang mengkafirkan temannya gara-gara berbeda agama dan menganggapnya sebagai orang yang berbeda. Informasi itu berkembang luas karena diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat pengaduan dari salah satu wali murid terkait potret intoleransi pelajar yang terjadi di sekolah.
Pengkafiran pelajar ternyata ditopang oleh ragam informasi yang memperlihatkan menguatnya cara pandang eksklusif di kalangan pelajar. Di beberapa sekolah, lewat kegiatan-kegiatan OSIS terlihat kegiatan yang semakin menjauhkan dari semangat kebersamaan antar lintas keyakinan dan bahkan mendiskreditkan terhadap keyakinan yang berbeda. Keyakinan agama di kalangan pelajar semakin dibuat tertutup dan dijauhkan untuk dapat berdialog dengan ragam kepercayaan, keyakinan dan bahkan dengan ragam pilihan madzhab. Dialog lintas agama dicegah, dialog lintas madzhab dan pemikiran tidak dibangun.

Cara pendang ekslusif di kalangan pelajar ternyata berhubungan kuat dengan praktek intoleransi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi yang terlihat : mulai pembubaran diskusi karena terkait perbedaan pemikiran agama, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok yang dituduh syiah dan ahmadiyah, sampai dengan pembakaran tokoh agama di Aceh misalnya karena diduga yang bersangkutan melakukan praktek pengobatan alternatif yang dinilai menyimpang dari akidah.
Apa yang terjadi pada pelajar yang semakin eksklusif dalam beragama di Indonesia memperlihatkan tentang wajah wacana publik keagamaan di Indonesia yang semakin mengalami krisis. Agama seperti kehilangan perannya untuk menghidupkan pesan kemanusiaan, keadaban dan kedamaian di muka bumi. Agama seperti penghidup api pembedaan dan permusuhan di antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. Indikasinya adalah penganut agama yang tidak lagi mau untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang dinilai tidak satu keyakinan agama dan kepercayaan. Bahkan, orang dan kelompok yang berbeda dianggap sebagai musuh.
Di tengah situasi yang serba ekslusif, kita berharap pada sistem pendidikan agama yang lebih menggali nilai-nilai emansipatif yang terdapat di jantung agama. Sistem pendidikan agama yang emansipatif sejalan dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu sebuah proses untuk memausiakan manusia (humanizing human being). Sistem pendidikan agama yang memanusiakan tentu tidak mudah. Dibutuhkan guru yang mengerti tentang hakekat agama, kurikulum yang mempertemukan dialog antar agama, kepercayaan dan madzhab, sarana prasarana yang mendukung dan pelajar yang diperkuat untuk menjadi pribadi yang dapat menghargai setiap manusia dengan keragamannya.
Buya Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa pendidikan Islam bukanlah sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen –menurut beliau—adalah bagaimana nilai moral yang ditelah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pernyataan Buya Syafi’i secara tidak langsung juga mengkritik tentang sistem pendidikan agama selama ini yang masih belum menjadi media pembebas penganutnya untuk lebih terbuka, lebih memahami perbedaan sebagai fitrah, lebih memahami ajaran agama untuk saling menguatkan nilai solidaritas untuk membebaskan negara Indonesia dari lubang kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Ajaran agama yang ekslusif secara tidak langsung sebenarnya memasung penganutnya berada di garis keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah suasana ekslusifisme beragama, kita terus berharap ada ruang pembebasan dari praktek bodoh yang terjadi.
LATEST UPDATES
Activities and News
Universitas Islam Indonesia
ACTIVITIES
Center for Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia implements programs and advocacy using approaches based on education, research, and community engagement.
NEWS
HIGHLIGHTS
LATEST UPDATES
Respons PUSHAM UII atas Pembubaran dan Perusakan Rumah Doa Jemaat GKSI di Kota Padang, Sumatera Barat
Peristiwa intoleransi kembali mencederai nilai-nilai kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pada Minggu, 27 Juli 2025, rumah doa jemaat …
Human Rights Academy
Pusham UII kembali membuka pendaftaran untuk Human Rights Academy Batch III yang akan diselenggarakan pada September 2025. Terbuka bagi …