OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Saat ini, pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.
Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.
Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.
Harmonisasi
Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.
Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.
Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.
Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012, kuota paling sedikit hanya 1%
Pengawasan Lemah
Substansi penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.
Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran.
SUMBER :
Koran Kedaulatan Rakyat (KR), 28 November 2019
Para wakil rakyat terpilih dalam Pemilu 2019 telah diumumkan. Mereka yang terpilih tentu bergembira, sedangkan wakil rakyat yang tidak terpilih sebagian besar kecewa bahkan ada yang stres, walaupun ada ada sebagian yang secara terbuka menerima kekalahan sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.
Di balik hiruk pikuk kemenangan para wakil rakyat, baik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota), satu hal yang selalu muncul setelah musim pemilihan umum : apakah para wakil rakyat itu bisa, dan akan serius memperjuangkan nasib rakyat yang terus terlanggar hak-haknya?
Dalam sistem demokrasi, pertanyaan relasi rakyat dan wakilnya merupakan hal yang sangat umum. Kondisi tersebut muncul karena setiap momen penyelenggaraan pemilu, rakyat kembali disuguhkan dengan janji-janji manis, padahal janji para kandidat sebelumnya belum kunjung dirasakan rakyat. Lebih jauh, keluhan dan suara rakyat dalam banyak hal cenderung tidak dihiraukan.
Krisis Lembaga Perwakilan
Krisis aktor dan sistem lembaga perwakilan cukup banyak kalau kita bedah satu persatu. Kritik terbaru muncul dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang mengkritik DPR karena menggelar rapat dan pertemuan tertutup dengan mitra kerjanya di masa sidang ke-III dan IV tahun 2018 dan 2019. Padahal rapat-rapat tersebut membahas sesuatu yang bukan menjadi rahasia negara. Tidak adanya transparansi dan akses pengawasan tentu berpotensi melahirkan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, krisis menahun yang terjadi di lembaga perwakilan adalah keseriusan para wakil rakyat dalam menghadiri rapat yang membahas isu-isu publik. Formappi mencatatat bahwa sidang paripurna DPR yang dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019, Anggota Dewan yang hadir hanya 281 orang, padahal Anggota DPR RI keseluruhannya berjumlah 560 orang. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat para wakil rakyat dipilih dan dibayar di atas keringat rakyat, ditambah catatan ketidakseriusan Anggota Dewan untuk mendiskusikan dan memecahkan secara tuntas akar persoalan struktural pelanggaran hak yang menimpa masyarakat.
Fakta tidak kalah menyedihkan dinyatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa ada 254 Anggota Dewan yang telah menjadi tersangka korupsi sepanjang periode 2014-2019. Dari ratusan angka pelaku tersebut, 20 orang diantaranya anggota DPR RI dimana pelakunya tersebar di berbagai partai dan sebagian besar merupakan pimpinan di lembaga perwakilan rakyat dan partai politik.
Melihat problem di atas, muncul kecemasan sangat serius, apakah para wakil rakyat yang baru terpilih akan berprilaku serupa dengan dengan perilaku para wakil rakyat yang terdahulu? Kecemasan ini semestinya tidak begitu kuat seandainya ada mekanisme yang lebih sistemik untuk mengkoreksi perilaku para wakil rakyat yang bermasalah.
Wakil Rakyat Baru
Terlepas dari problem yang menggelisahkan, kritik membangun terus terjadi dan selalu ada harapan agar para wakil rakyat terpilih saat ini lebih bertanggungjawab. Secara hukum, tugas dan wewenang wakil rakyat cukup besar, yang secara umum terkait dengan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, serta tugas-tugas lain yang secara umum menghimpun, menyerap, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Terkait fungsi legislasi, para wakil rakyat terpilih telah ditunggu untuk mendiksusikan secara mendalam program legislasi nasional dan daerah. Para wakil rakyat dituntut membuat aturan-aturan yang berkualitas, dan secara substantif dapat mendorong perwujudan pemenuhan hak-hak yang selama ini belum terjamin dan bahkan secara umum masih banyak yang berjalan di tempat.
Terkait aturan-aturan yang akan diperjuangkan, sudah semestinya para wakil rakyat turun ke komunitas masyarakat dan mendengarkan krisis-krisis sosial yang salah satu faktornya adalah terkait ketidakjelasan jaminan hukum dan belum jelasnya sanksi bagi pemangku kewajiban yang tidak menjalankan tanggungjawabnya. Sedangkan terkait fungsi pengawasan dan anggaran, para wakil terpilih dituntut dapat serius mengawal program-program yang dibuat pemerintah yang harapan besarnya dapat memperbaiki nasib rakyat lemah yang selama ini masih masih tercerabut hak-haknya. Para wakil rakyat dituntut menjalin komunikasi dengan komunitas rakyat yang ada di level bawah, memahami problem strukturalnya, dan memperjuangkan nasib rakyat meja di meja kekuasaan.
1 January 2020
Despan Heryansyah (Researcher at the Center for Constitutional Law Studies (PSHK) Law Faculty UII Yogyakarta)
There appears an anomaly in Indonesia’s representative system, if seen from the currently happening phenomenon, exactly in its substance. As a democratic country, Indonesia in its constitution and in the state philosophy of Pancasila has promulgated that democracy prevails in the life of the nation, state and society. People’s representatives, therefore, are elected periodically every five years to voice the people’s interests and to balance the executive power to be under control. Unfortunately, the conception of the representative system as the embodiment of people’s sovereignty does not work as expected, and even in many cases both (people’s representatives and people’s sovereignty) are often opposite. Philosophically, people’s representatives are derived from people’s sovereignty. Thus, when the people’s representatives are no longer in line with the people’s sovereignty, they have lost their essence or reason as the people’s representatives.
Covid-19 Phenomenon
What has happened lately further strengthens that thesis that people’s representatives often contradict with the people’s sovereignty. Covid-19 outbreak phenomenon has raised concerns for the world community, including Indonesia. This epidemic greatly affects the world communities’ longevity, especially their work and service. As a result, traders have to close their businesses due to lack of transactions, service providers have lost their customers, large companies are unable to operate, leading to layoffs for their employees, and so forth.
Unfortunately, the parliament has been busy with the implementation of the stages of discussion and ratification of a number of draft laws such as Work Draft Bill, Penitentiary Bill, and Criminal Code Bill that are controversial and ironically have nothing to do with the current conditions. Such bills, even in a normal condition, can lead to a wave of mass protests. Due to probably substantial and procedural defects, they have been repeatedly canceled. While the public and the government are fighting against covid-19, the parliament seizes this precarious condition “quietly”. How ironic.
Perhaps, the parliament considers covid-19 outbreak is to be handled by the executive government. In fact, parliament is the people’s representatives that have responsibility for getting rid of any distresses from which our people are suffering. This thesis requires the parliament to take an active role in every situation that befalls the people, including covid-19 pandemic.
Democracy as a political ethos
The above reality indicates there is something wrong with democracy as a political system in our country. The view of democracy as a political system is widely adopted nowadays. People seem to believe that as long as the political system is democratically organized, the actors (including the people) will be democratic, too. Such optimism is immediately challenged by the empirical fact that quite a number of countries in Latin America, in Eastern Europe, and in Asia (including Indonesia) have democratic constitutions, but these constitutions do not necessarily realize real democracy. A new wine bottle is filled with old wine. The conception from F. Budi Hardiman says that we need to distinguish democracy as a political system and democracy as a political ethos. As a political system, democracy is a political mechanism for public policy making that embodies people’s sovereignty or public interest. In contrast, as a political ethos, democracy is the energy or mentality that drives individuals to carry out democracy. This political ethos is not in the system, but is attached to actors, society, and state administrators, all of whom implement democracy. What we have witnessed lately shows that Indonesian democracy is only at the level of the political system, but the mentality of its actors is still authoritarian. It no wonder the people’s representatives do not show any sympathy with the people. The people’s representatives are conflict with the people’s sovereignty, instead.
1 December 2019
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Pemilihan umum kepala daerah serentak (Pemilukada) sampai hari ini tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang, dengan segala konsekuensi dan kompleksitas persoalannya. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang telah menyediakan prosedur penundaan tahapan pemilukada, yaitu atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR, sehingga alternatif penundaan masih tetap tersedia, jika memang pelaksanaan pada Desember mendatang tidak memungkinan. Sejauh ini, KPU dan Bawaslu telah melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dukungan terhadap calon perseorangan. Menariknya, verifikasi faktual dilakukan dengan model lama, yaitu mendatangi dari rumah ke rumah.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah secara demokratis, UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur keberadaan calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah daerah. Di samping calon yang diusulkan atau diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Pada mulanya, calon perseorangan adalah jawaban “hukum” atas krisis demokrasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pertama, calon perseorangan adalah sebagai bentuk perlindungan hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Sekalipun keberadaan partai politik adalah keniscayaan dalam negara demokrasi, namun hak asasi seseorang untuk dipilih harus tetap tersedia. Oleh karena itu, hukum menyediakan mekanisme calon perseorangan sebagai pengejawantahan dari hak asasi tersebut. Kedua, calon perseorangan merupakan solusi apabila terjadi kebuntuan politik, di mana tidak ada partai yang mau mengusung calon lain, padahal ada tokoh yang dianggap potensial di daerah yang bersangkutan. Mekanisme calon perseorangan, memungkinkan orang tersebut untuk mencalonkan diri. Ketiga, calon perseorangan juga menjadi solusi bagi maraknya calon tunggal yang selama ini muncul. UU membuka peluang bagi keberadaan calon tunggal dengan hanya melawan kotak kosong, akibatnya banyak calon “bermodal” yang berbondong-bondong menjadi calon tunggal dengan membeli semua suara partai di daerahnya. Sehingga tidak memungkinkan munculnya calon dari partai lain. Calon tunggal adalah jawaban dari masalah itu, sekalipun tanpa dukungan partai politik, tetap dimungkinkan muncul pasangan calon kepala daerah lain.
Masalahnya, eksistensi calon perseorangan pada saat ini belum berhasil menjadi alternatif bagi kriris demokrasi yang dihadapi Indonesia. Pasalnya, ada ‘cacat’ bawaan yang dimiliki oleh mekanisme calon perseorangan, manjadikannya sulit bergerak, layu, lalu mati ditinggalkan. Tidak sedikit pula pihak yang menganggap mekanisme calon perseorangan memang direncanakan untuk gagal (intended to fail), sebagai bentuk arogansi para pembuat UU.
Pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme calon perseorangan, masih mensyaratkan jumlah dukungan yang sangat besar, yaitu didukung paling sedikit 10% jumlah penduduk dalam kabupaten/kota yang jumlah daftar pemilih tetapnya 250.000 jiwa, 8.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 250.000-500.000 jiwa, 7,5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 600.000-1.000.000 jiwa, dan 6.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya di atas 1.000.000 jiwa. Selain itu, jumlah dukungan tersebut juga harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di daerah. Jumlah tersebut tentu sangatlah besar, sehingga untuk dapat menjadi calon perseorangan membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Padahal, sumber daya yang dimiliki caon perseorangan tentu sangatlah terbatas. Dengan persyaratan yang demikian, maka menjadi calon kepala daerah melalui mekanisme perseorangan berpotensi membutuhkan sumber daya dan biaya yang jauh lebih besar ketimbang melalui partai politik. Wajar saja jika sampai hari ini, jalur perseorangan belum banyak diminati oleh masyarakat daerah. Kedua, dengan model replikasi sistem pemerintahan nasional ke tingkat daerah, di mana hampir seluruh kebijakan strategis kepala daerah membutuhkan dukungan mayoritas anggota DPRD, maka potensi penolakan oleh DPRD sangatlah besar, jika kebijakan itu tidak mengakomodir kepentingan partai politik masing-masing anggota DPRD. Lebih jauh, kemungkinan untuk dimakzulkan di pertengahan jalan, juga sangat besar, sekalipun membutuhkan dukungan putusan dari Mahkamah Agung.
Terlebih, dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, memenuhi persyaratan dukungan yang demikian besar tidaklah mudah. Bukan hanya sulit mencari relawan yang bersedia untuk mencari syarat ke lapangan, namun masyarakat juga dipastikan enggan untuk bertemu dengan siapapun. Kondisi ini tentu dimaklumi karena kebijakan sosial distancing masih tetap berlangsung, diperparah pula dengan minimnya transfer pengatahuan yang benar terkait covid-19 dan tahapan pemilukada, sehingga kekhawatiran dan ketakutan berkembang dengan ‘liarnya’. Bagi calon perseorangan, yang mensyaratkan dukungan dengan fotocopy KTP el, dituntut untuk terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat tempat dimana ia mencalonkan diri, pekerjaan tersebut sangat tidak mudah dilakukan dalam situasi normal sekalipun, terlebih pada masa pandemi seperti saat ini. Berbeda halnya dengan calon yang diusung partai politik, hanya mensyarakatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik dengan presentase 20% suara saja.
Sekalipun calon perseorangan dinyatakan lolos pada tahapan verifikasi administrasi dan faktual, hambatan belumlah selesai. Masih banyak mekanisme lanjutan yang tidak kalah sulitnya, rapat tim sukses, kampanye politik, pastilah tidak mudah pada masa pandemi saat ini. Kalaupun harus tetap dilaksanakan, biaya politik yang dikeluarkan tentu sangat besar. Dengan itung-itungan politik yang demikian, maka tidak mengherankan jika banyak orang yang menarik diri menjadi calon perseorangan pada pemilukada 2020 mendatang. Tahapan pemilukada sudah dimulai, tentu tidak lagi memungkinkan untuk mengubah mekanisme calon perseorangan, namun, ini dapat menjadi catatan pemerintah ke depan, dalam rangka merekonsepsi ulang calon perseorangan.
14 May 2019
Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Pandemi corona “memaksa” kita untuk merubah seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tentu saja termasuk aspek ketatanegaraan. Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret lalu, Pemilihan Kepala Daerah yang sejatinya akan diselenggarakan pada bulan September 2020 mendatang, sepakat untuk ditunda.
Penundaan Pemilihan Kepala Daerah di tengah pandemi corona ini, memang patut mendapat apresiasi. Keselamatan dan kesehatan masyarakat, saat ini jauh lebih utama untuk menjadi perhatian bersama. Terlebih, pemerintah pusat, meskipun bersikap setengah-setengah, melibatkan peran pemerintah daerah untuk menangani penyebaran virus ini, di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Dengan kata lain, fokus perhatian Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, tentu saja sebaiknya mengutamakan penanganan virus. Namun, bukan berarti perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah kita lepaskan, segala kemungkinan yang akan terjadi harus pula kita pikirkan, karena Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya menyangkut aspek ketatanegaraan, melainkan juga bersentuhan dengan keutuhan NKRI.
Dalam perjalanan legislasi Indonesia, penundaan Pemilihan Kepala Daerah bukanlah kali pertama, karena alasan bencana alam, Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dan Yogyakarta juga pernah mengalami penundaan. Selain itu, sekalipun Pemilihan Kepala Daerah serentak yang sesungguhnya belum pernah terlaksana, namun pada tataran legislasi juga pernah mengalami perubahan jadwal. Gagasan Pemilihan Kepala Daerah langsung serentak nasional pada awalnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pasal 201 ayat (7) menyatakan bahwa, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027”. Gagasan tersebut kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 201 ayat (8) berbunyi, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.
Artinya, dari sisi waktu, ada perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional yang sebelumnya di tahun 2027, menjadi tahun 2024. Oleh karena itu, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang semula pada bulan September 2020 ini, sudah menjadi kebiasaan hukum ketatanegaraan Indonesia. Hanya saja, yang patut menjadi perhatian bersama adalah dampak dari penundaan serta opsi hukum yang dapat diambil oleh pembentuk Undang-Undang.
Secara yuridis-normatif, ada beberapa konsekuensi penundaan Pemilihan Kepala Daerah, konsekuensi itu diantaranya: Pertama, pemunduran Pemilihan Kepala Daerah serentak di atas tahun 2020, akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah terpilih pada pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, secara implisit telah dinyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional akan diselenggarakan di tahun 2024. Artinya, jika seorang kepala daerah dilantik pada tahun 2021, maka praktis masa jabatannya hingga tahun 2024 hanya 2,5 tahun, padahal masa jabatan kepala daerah sebagaimana diatur di dalam UU adalah 5 tahun. Sementara itu, Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional selanjutnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2029 mendatang, sehingga tidak mungkin juga untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut hingga tahun 2029 karena akan terlalu lama.
Kedua, ada banyak kepala daerah yang sudah akan berakhir masa jabatannya di tahun 2020 ini, maka praktis daerah tersebut akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, hingga kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya dilantik. Memang tidak ada yang salah jika daerah dipimpin oleh Pejabat Sementara, namun pilihan ini bukan tanpa resiko sama sekali. Selain berdampak pada keberlansungan penyelenggaraan otonomi di daerah yang bersangkutan, penunjukkan Pejabat Sementara ini juga seringkali sarat dengan kepentingan politik. Baik kepentingan yang menunjuknya, maupun dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Pejabat Sementara.
Beberapa waktu lalu, Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah akan diundur sampai dengan tanggal 9 Desember 2020. Artinya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah hanya diundur selama kurang dari 3 bulan. Dalam keterangannya, Ketua Komisi II DPR RI menyatakan keputusan ini diambil dengan asumsi dasar bahwa pandemi covid-19 akan berakhir pada 29 Mei mendatang.
Pilihan keputusan ini tentu saja memiliki banyak resiko, mulai dari aspek anggaran yang dapat diduga sangat terbatas karena fokus penggunaan anggaran saat ini adalah terhadap penanganan virus. Sehingga dapat dipastikan ketersediaan anggaran baik APBN maupun ABPD akan sulit dipenuhi. Sisi lain adalah efektivitas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah itu sendiri. Bagaimana mungkin Bawaslu dan DKPP misalnya, dapat efektif melakukan pengawasan Pemilihan ditengah situasi social distancing seperti saat ini, ini akan berdampak pada legitimasi hasil Pemilihan. Belum lagi, berpolitik di tengah rakyat sedang mengalami kesulitan akut, tidaklah etis.
Dari kaca mata ini, rasanya sulit memprediksi Pemilihan Kepala Daerah dapat terlaksana pada bulan Desember nanti. Sekalipun “dipaksakan” tetap terlaksana, akan muncul banyak hambatan melintang. Secara pribadi, penulis berpendapat bahwa sebaiknya saat ini pemerintah pusat dan daerah fokus menangani pandemi covid-19, jika keadaan sudah membaik, rutinitas politik tahunan, dapat kembali dibicarakan.
