OPINIONS & REVIEWS

Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia

1 January 2020

 Despan Heryansyah (Researcher at the Center for Constitutional Law Studies (PSHK) Law Faculty UII Yogyakarta)

There appears an anomaly in Indonesia’s representative system, if seen from the currently happening phenomenon, exactly in its substance. As a democratic country, Indonesia in its constitution and in the state philosophy of Pancasila has promulgated that democracy prevails in the life of the nation, state and society. People’s representatives, therefore, are elected periodically every five years to voice the people’s interests and to balance the executive power to be under control. Unfortunately, the conception of the representative system as the embodiment of people’s sovereignty does not work as expected, and even in many cases both (people’s representatives and people’s sovereignty) are often opposite. Philosophically, people’s representatives are derived from people’s sovereignty. Thus, when the people’s representatives are no longer in line with the people’s sovereignty, they have lost their essence or reason as the people’s representatives.

Covid-19 Phenomenon

What has happened lately further strengthens that thesis that people’s representatives often contradict with the people’s sovereignty. Covid-19 outbreak phenomenon has raised concerns for the world community, including Indonesia. This epidemic greatly affects the world communities’ longevity, especially their work and service. As a result, traders have to close their businesses due to lack of transactions, service providers have lost their customers, large companies are unable to operate, leading to layoffs for their employees, and so forth.

Unfortunately, the parliament has been busy with the implementation of the stages of discussion and ratification of a number of draft laws such as Work Draft Bill, Penitentiary Bill, and Criminal Code Bill that are controversial and ironically have nothing to do with the current conditions. Such bills, even in a normal condition, can lead to a wave of mass protests. Due to probably substantial and procedural defects, they have been repeatedly canceled. While the public and the government are fighting against covid-19, the parliament seizes this precarious condition “quietly”. How ironic.

Perhaps, the parliament considers covid-19 outbreak is to be handled by the executive government. In fact, parliament is the people’s representatives that have responsibility for getting rid of any distresses from which our people are suffering. This thesis requires the parliament to take an active role in every situation that befalls the people, including covid-19 pandemic.

Democracy as a political ethos

The above reality indicates there is something wrong with democracy as a political system in our country. The view of democracy as a political system is widely adopted nowadays. People seem to believe that as long as the political system is democratically organized, the actors (including the people) will be democratic, too. Such optimism is immediately challenged by the empirical fact that quite a number of countries in Latin America, in Eastern Europe, and in Asia (including Indonesia) have democratic constitutions, but these constitutions do not necessarily realize real democracy. A new wine bottle is filled with old wine. The conception from F. Budi Hardiman says that we need to distinguish democracy as a political system and democracy as a political ethos. As a political system, democracy is a political mechanism for public policy making that embodies people’s sovereignty or public interest. In contrast, as a political ethos, democracy is the energy or mentality that drives individuals to carry out democracy. This political ethos is not in the system, but is attached to actors, society, and state administrators, all of whom implement democracy. What we have witnessed lately shows that Indonesian democracy is only at the level of the political system, but the mentality of its actors is still authoritarian. It no wonder the people’s representatives do not show any sympathy with the people. The people’s representatives are conflict with the people’s sovereignty, instead.

1 December 2019

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Pemilihan umum kepala daerah serentak (Pemilukada) sampai hari ini tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang, dengan segala konsekuensi dan kompleksitas persoalannya. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang telah menyediakan prosedur penundaan tahapan pemilukada, yaitu atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR, sehingga alternatif penundaan masih tetap tersedia, jika memang pelaksanaan pada Desember mendatang tidak memungkinan. Sejauh ini, KPU dan Bawaslu telah melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dukungan terhadap calon perseorangan. Menariknya, verifikasi faktual dilakukan dengan model lama, yaitu mendatangi dari rumah ke rumah.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah secara demokratis, UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur keberadaan calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah daerah. Di samping calon yang diusulkan atau diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Pada mulanya, calon perseorangan adalah jawaban “hukum” atas krisis demokrasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pertama, calon perseorangan adalah sebagai bentuk perlindungan hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Sekalipun keberadaan partai politik adalah keniscayaan dalam negara demokrasi, namun hak asasi seseorang untuk dipilih harus tetap tersedia. Oleh karena itu, hukum menyediakan mekanisme calon perseorangan sebagai pengejawantahan dari hak asasi tersebut. Kedua, calon perseorangan merupakan solusi apabila terjadi kebuntuan politik, di mana tidak ada partai yang mau mengusung calon lain, padahal ada tokoh yang dianggap potensial di daerah yang bersangkutan. Mekanisme calon perseorangan, memungkinkan orang tersebut untuk mencalonkan diri. Ketiga, calon perseorangan juga menjadi solusi bagi maraknya calon tunggal yang selama ini muncul. UU membuka peluang bagi keberadaan calon tunggal dengan hanya melawan kotak kosong, akibatnya banyak calon “bermodal” yang berbondong-bondong menjadi calon tunggal dengan membeli semua suara partai di daerahnya. Sehingga tidak memungkinkan munculnya calon dari partai lain. Calon tunggal adalah jawaban dari masalah itu, sekalipun tanpa dukungan partai politik, tetap dimungkinkan muncul pasangan calon kepala daerah lain.

Masalahnya, eksistensi calon perseorangan pada saat ini belum berhasil menjadi alternatif bagi kriris demokrasi yang dihadapi Indonesia. Pasalnya, ada ‘cacat’ bawaan yang dimiliki oleh mekanisme calon perseorangan, manjadikannya sulit bergerak, layu, lalu mati ditinggalkan. Tidak sedikit pula pihak yang menganggap mekanisme calon perseorangan memang direncanakan untuk gagal (intended to fail), sebagai bentuk arogansi para pembuat UU.

Pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme calon perseorangan, masih mensyaratkan jumlah dukungan yang sangat besar, yaitu didukung paling sedikit 10% jumlah penduduk dalam kabupaten/kota yang jumlah daftar pemilih tetapnya 250.000 jiwa, 8.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 250.000-500.000 jiwa, 7,5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 600.000-1.000.000 jiwa, dan 6.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya di atas 1.000.000 jiwa. Selain itu, jumlah dukungan tersebut juga harus tersebar di lebih dari 50%  jumlah kecamatan di daerah. Jumlah tersebut tentu sangatlah besar, sehingga untuk dapat menjadi calon perseorangan membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Padahal, sumber daya yang dimiliki caon perseorangan tentu sangatlah terbatas.  Dengan persyaratan yang demikian, maka menjadi calon kepala daerah melalui mekanisme perseorangan berpotensi membutuhkan sumber daya dan biaya yang jauh lebih besar ketimbang melalui partai politik. Wajar saja jika sampai hari ini, jalur perseorangan belum banyak diminati oleh masyarakat daerah. Kedua, dengan model replikasi sistem pemerintahan nasional ke tingkat daerah, di mana hampir seluruh kebijakan strategis kepala daerah membutuhkan dukungan mayoritas anggota DPRD, maka potensi penolakan oleh DPRD sangatlah besar, jika kebijakan itu tidak mengakomodir kepentingan partai politik masing-masing anggota DPRD. Lebih jauh, kemungkinan untuk dimakzulkan di pertengahan jalan, juga sangat besar, sekalipun membutuhkan dukungan putusan dari Mahkamah Agung.

Terlebih, dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, memenuhi persyaratan dukungan yang demikian besar tidaklah mudah. Bukan hanya sulit mencari relawan yang bersedia untuk mencari syarat ke lapangan, namun masyarakat juga dipastikan enggan untuk bertemu dengan siapapun. Kondisi ini tentu dimaklumi karena kebijakan sosial distancing masih tetap berlangsung, diperparah pula dengan minimnya transfer pengatahuan yang benar terkait covid-19 dan tahapan pemilukada, sehingga kekhawatiran dan ketakutan berkembang dengan ‘liarnya’. Bagi calon perseorangan, yang mensyaratkan dukungan dengan fotocopy KTP el, dituntut untuk terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat tempat dimana ia mencalonkan diri, pekerjaan tersebut sangat tidak mudah dilakukan dalam situasi normal sekalipun, terlebih pada masa pandemi seperti saat ini. Berbeda halnya dengan calon yang diusung partai politik, hanya mensyarakatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik dengan presentase 20% suara saja.

Sekalipun calon perseorangan dinyatakan lolos pada tahapan verifikasi administrasi dan faktual, hambatan belumlah selesai. Masih banyak mekanisme lanjutan yang tidak kalah sulitnya, rapat tim sukses, kampanye politik, pastilah tidak mudah pada masa pandemi saat ini. Kalaupun harus tetap dilaksanakan, biaya politik yang dikeluarkan tentu sangat besar. Dengan itung-itungan politik yang demikian, maka tidak mengherankan jika banyak orang yang menarik diri menjadi calon perseorangan pada pemilukada 2020 mendatang. Tahapan pemilukada sudah dimulai, tentu tidak lagi memungkinkan untuk mengubah mekanisme calon perseorangan, namun, ini dapat menjadi catatan pemerintah ke depan, dalam rangka merekonsepsi ulang calon perseorangan.

14 May 2019

Despan Heryansyah  (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)

Pandemi corona “memaksa” kita untuk merubah seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tentu saja termasuk aspek ketatanegaraan. Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret lalu, Pemilihan Kepala Daerah yang sejatinya akan diselenggarakan pada bulan September 2020 mendatang, sepakat untuk ditunda.

Penundaan Pemilihan Kepala Daerah di tengah pandemi corona ini, memang patut mendapat apresiasi. Keselamatan dan kesehatan masyarakat, saat ini jauh lebih utama untuk menjadi perhatian bersama. Terlebih, pemerintah pusat, meskipun bersikap setengah-setengah, melibatkan peran pemerintah daerah untuk menangani penyebaran virus ini, di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Dengan kata lain, fokus perhatian Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, tentu saja sebaiknya mengutamakan penanganan virus. Namun, bukan berarti perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah kita lepaskan, segala kemungkinan yang akan terjadi harus pula kita pikirkan, karena Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya menyangkut aspek ketatanegaraan, melainkan juga bersentuhan dengan keutuhan NKRI.

Dalam perjalanan legislasi Indonesia, penundaan Pemilihan Kepala Daerah bukanlah kali pertama, karena alasan bencana alam, Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dan Yogyakarta juga pernah mengalami penundaan. Selain itu, sekalipun Pemilihan Kepala Daerah serentak yang sesungguhnya belum pernah terlaksana, namun pada tataran legislasi juga pernah mengalami perubahan jadwal. Gagasan Pemilihan Kepala Daerah langsung serentak nasional pada awalnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pasal 201 ayat (7) menyatakan bahwa, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027”. Gagasan tersebut kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 201 ayat (8) berbunyi, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.

Artinya, dari sisi waktu, ada perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional yang sebelumnya di tahun 2027, menjadi tahun 2024. Oleh karena itu, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang semula pada bulan September 2020 ini, sudah menjadi kebiasaan hukum ketatanegaraan Indonesia. Hanya saja, yang patut menjadi perhatian bersama adalah dampak dari penundaan serta opsi hukum yang dapat diambil oleh pembentuk Undang-Undang.

Secara yuridis-normatif, ada beberapa konsekuensi penundaan Pemilihan Kepala Daerah, konsekuensi itu diantaranya: Pertama, pemunduran Pemilihan Kepala Daerah serentak di atas tahun 2020, akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah terpilih pada pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, secara implisit telah dinyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional akan diselenggarakan di tahun 2024. Artinya, jika seorang kepala daerah dilantik pada tahun 2021, maka praktis masa jabatannya hingga tahun 2024 hanya 2,5 tahun, padahal masa jabatan kepala daerah sebagaimana diatur di dalam UU adalah 5 tahun. Sementara itu, Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional selanjutnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2029 mendatang, sehingga tidak mungkin juga untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut hingga tahun 2029 karena akan terlalu lama.

Kedua, ada banyak kepala daerah yang sudah akan berakhir masa jabatannya di tahun 2020 ini, maka praktis daerah tersebut akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, hingga kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya dilantik. Memang tidak ada yang salah jika daerah dipimpin oleh Pejabat Sementara, namun pilihan ini bukan tanpa resiko sama sekali. Selain berdampak pada keberlansungan penyelenggaraan otonomi di daerah yang bersangkutan, penunjukkan Pejabat Sementara ini juga seringkali sarat dengan kepentingan politik. Baik kepentingan yang menunjuknya, maupun dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Pejabat Sementara.

Beberapa waktu lalu, Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah akan diundur sampai dengan tanggal 9 Desember 2020. Artinya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah hanya diundur selama kurang dari 3 bulan. Dalam keterangannya, Ketua Komisi II DPR RI menyatakan keputusan ini diambil dengan asumsi dasar bahwa pandemi covid-19 akan berakhir pada 29 Mei mendatang.

Pilihan keputusan ini tentu saja memiliki banyak resiko, mulai dari aspek anggaran yang dapat diduga sangat terbatas karena fokus penggunaan anggaran saat ini adalah terhadap penanganan virus. Sehingga dapat dipastikan ketersediaan anggaran baik APBN maupun ABPD akan sulit dipenuhi.  Sisi lain adalah efektivitas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah itu sendiri. Bagaimana mungkin Bawaslu dan DKPP misalnya, dapat efektif melakukan pengawasan Pemilihan ditengah situasi social distancing seperti saat ini, ini akan berdampak pada legitimasi hasil Pemilihan. Belum lagi, berpolitik di tengah rakyat sedang mengalami kesulitan akut, tidaklah etis.

Dari kaca mata ini, rasanya sulit memprediksi Pemilihan Kepala Daerah dapat terlaksana pada bulan Desember nanti. Sekalipun “dipaksakan” tetap terlaksana, akan muncul banyak hambatan melintang. Secara pribadi, penulis berpendapat bahwa sebaiknya saat ini pemerintah pusat dan daerah fokus menangani pandemi covid-19, jika keadaan sudah membaik, rutinitas politik tahunan, dapat kembali dibicarakan.

2 October 2017

Despan Heryansyah

Para pendiri republik ini sempat melakukan kesalahan fatal ketika menolak hak asasi manusia karena menganggapnya sebagai produk Barat yang membawa angin individualisme. Perdebatan dalam sidang BPUPK sempat memanas, yang pada akhirnya mengharuskan konstitusi awal kita begitu minim pengaturannya terkait hak asasi manusia. Padahal keberadaan  konstitusi sejatinya adalah dalam upaya melindungi HAM.

Mengartikan hak asasi manusia sebagai ekspresi Individualisme merupakan salah paham yang demikian fatal, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan HAM justru melindungi dan memberdayakan setiap manusia yang paling lemah dan terancam di dalam masyarakat, dan sekaligus membatasi kesewenang-wenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan HAM bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya yang paling lemah.

Diakui ataupun tidak, HAM hari ini telah menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Terlepas dari perdebatan seputar universalitas ataupun partikularitas hak asasi manusia, tapi HAM telah menjadi komponen utama dalam merumuskan kebijakan negara. Segala sesuatu harus terlebih dahulu dinilai dari perspektif HAM. Bahkan hari ini telah muncul kesadaran universal bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran HAM, maka ia akan menjadi musuh seluruh umat manusia dimanapun berada.

Tidak terkecuali budaya (dalam pengertian sempit disebut adat istiadat), dalam perjalanannya harus bersentuhan dengan Hak Asasi Manusia. Maka pertanyaannya adalah bolehkah HAM membatasi keberadaan budaya? Jawabannya tentu saja bisa, selagi pembatasan itu dilakukan untuk melindungan kemaslahatan dan HAM manusia yang lebih luas. Sebagai contoh misalnya, dalam banyak adat di Indonesia, perempuan di bolehkan menikah di bawah 18 tahun. Namun untuk melindungi masa depan dan hak asasi setiap perempuan, maka hukum membatasi pernikahan perempuan minimal 18 tahun.

Keistimewaan Yogyakarta

Hal yang serupa terjadi di Yogyakarta melalu Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sudah menjadi adat dan sejarah perkembangan kesultanan Yogyakarta bahwa seorang sultan haruslah laki-laki. Belum ada sejarahnya Yogyakarta dipimpin oleh perempuan. Mahkamah Konstitusi lalu membuka peluang perempuan untuk menjadi sultan Yogyakarta, yang tentu saja secara otomatis akan menjadi gubernur Yogyakarta.

Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta dapat menerima putusan tersebut dengan lapang dada. Masih ada sebagian yang beranggapan bahwa Yogyakarta harus dipimpin oleh laki, karena selain belum ada sejarah sultan perempuan juga seorang sultan adalah imam di dalam shalat. Oleh karena itu, jabatan tersebut tidak dapat diduduki oleh perempuan., alasan demikian tentu saja masih dapat di dialogkan.

Masa silam, saat di mana kuasa laki-laki masih begitu dominan atas perempuan, ditambah dengan kondisi perempuan yang belum berpendidikan seperti saat ini, menjadikan laki-laki manusia yang paling berhak atas semua jabatan. Hampir seluruh masyarakat Indonesia (selain Minangkabau) berada di bawah bayang-bayang patrilineal.

Namun hari ini, kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Hak Asasi Manusia telah mengantarkan manusia pada satu pemahaman bahwa setiap manusia tanpa melihat latar belakang jenis kelaminnya memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Keduanya memiliki peluang yang sama untuk menduduki posisi tertentu, bergantung pada siapa yang paling layak. Bahkan terkadang, karena kondisinya yang tidak begitu menguntungkan, perempuan harus mendapatkan afirmatif action. Telah banyak perempuan saat ini, yang kualitasnya sudah menyamai bahkan lebih dari laki-laki, karenanya sudah tidak relevan lagi jika tetap berpegang teguh pada prinsip patrilineal.

Dengan demikian, secara sosiologis, ada perubahan kondisi tertentu yang menjadikan perempuan kini berhak atas semua jabatan, termasuk sultan Yogyakarta. Sementara secara yuridis, putusan MK yang sifatnya final dan mengikat harus ditaati oleh seluruh masyarakat Yogyakarta bahwa seorang perempuan dibolehkan menjadi sultan (meski masih terkendala dengan istilah Hamengku Buwono). Namun demikian, tidak berarti bahwa jalan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya telah tertutup, karena di dalam internal keraton, semuanya masih dapat didiskusikan, kita sangat yakin bahwa prioritas keraton Yogya adalah kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Yogya, bukan jabatan praktis semata.

30 August 2017

Despan Heryansyah

Harus kita akui, bahwa sampai hari ini negara kita masih sulit sekali keluar dari pusaran kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa oleh dunia Internasional, setidaknya terhadap Narkoba, Korupsi, dan Terorisme. Untuk kasus korupsi dan terorisme, kita mengapresiasi kinerja KPK dan Densus 88 yang sejauh ini telah bekerja dengan optimal. Tidak sedikit koruptor yang berhasil dijebloskan ke penjara meski kinerja KPK bukan tanpa cacat, begitu pula dengan tidak sedikit terorisme yang berhasil ditangkap yang barangkali berbanding lurus dengan jumlah terduga teroris yang ditembak mati.

Khusus mengenai narkoba, barangkali merupakan bentuk kejahatan yang penanganannya paling buruk dibanding dua kejahatan besar lainnya (Korupsi dan Teroris). Jika analisis kita menggunakan teori  Lawrance Friedman, maka pendekatan terhadap tiga aspek pnegakan hukum penting untuk di kaji yaitu: legas substance, structure substance, and culture substance.

Pada aspek regulasi (legal substance), kita telah memiliki UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah memberikan hukuman maksimal bagi para produsen dan distributor narkoba hingga hukuman mati (death penalty). Artinya masalah tidak terletak pada aspek regulasi, meski perlu ada perbaikan yang sifatnya tidak begitu urgen. Sementara dari aspek budaya masyarakat (culture substance) rasa-rasanya memang perlu ada perbaikan dan penataan ulang khususnya pada generasi muda kita. Kalangan terdidik yang besar dalam lingkungan serba berkecukupan, tidak menjadi jaminan akan tumbuh, besar, dan berkembang dengan sehat sebagaimana mestinya manusia normal. Justru kasus yang menimpa kalangan artis belakangan ini menunjukkan bahwa narkoba dapat meracuni siapa saja. Bicara tentang budaya masyarakat dalam perspektif hukum, maka satu-satunya jalan untuk merubahnya adalah melalui pendidikan moral dan nilai. Pendidikan memang tidak dimaknai kaku dalam bentuk pendidikan resmi di sekolah-sekolah, hal lain yang justru lebih memiliki dampak signifikan terhadap karakter anak adalah lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Hidup dalam masyarakat dan keluarga yang orientasinya nilai-nilai agama tentu akan jauh berbeda dengan orang yang tidak hidup dalam lingkungan serupa. Hal ini sekaligus menggambarkan kepada kita bahwa menjadi modern tidak serta merta menjadikan hidup bernilai. Nilai adalah tentang kesadaran akan makna hidup yang tidak tumbuh dengan sendirinya atau bawaan lahir, ia perlu diperjuangkan.

Di luar dua aspek itu, keberadaan aparat penegak hukum (legal structure) yang sejatinya sebagai garda tedepan dalam memberantas narkoba, justru sekaligus menjadi penyumbang terbesar kagagalan pemberantasan narkoba di negeri ini. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua hal, Pertama, bagaimana mungkin seorang terpidana narkoba dapat mengandalikan bisnis narkobanya dari dalam penjara hingga bertahun-tahun? Mudah terbaca, bagaimana peran pengelola Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam kasus ini, tanpa kerja sama dengan mereka, adalah mustahil seorang terpidana dapat dengan bebas bertemu, berinteraksi, termasuk beraktivitas di dalam penjara. Kondisi penjara yang sesak dan memprihatinkan, ditambah dengan pendapatan pegawai Lapas yang masih tergolong rendah, seakan menambah kesemrawutan pemberantasan narkoba di Indonesia. Kedua, bagaimana mungkin transaksi narkoba dapat dimobilisasikan secara bebas dari satu daerah ke daerah lain bahkan dari suatu negara ke negara lain? Tidak jauh berbeda dengan kasus pertama, sudah menjadi rahasia umum bahwa mobilisasi kejahatan besar berupa narkoba ini melibatkan mafia-mafia besar dilingkungan pejabat negara khususnya kepolisian dan keimigrasian. Namun sampai hari ini, kondisi itu belum tersentuh karena memang sangat sulit untuk membuktikannya. Dan sekali lagi, ini sudah menjadi rahasia umum. Bisnis narkoba, adalah bisnis yang paling menguntungkan bagi seorang pejabat yang menghambakan dirinya untuk kekayaan.

Begitulah kondisi penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba di negeri kita. Seberapa sering pun UU dirubah, Kapolri dipanggil presiden, termasuk komitmen presiden untuk menghukum tegas pelaku kejahatan narkoba, tidak akan membuahkan hasil maksimal jika pokok masalahnya tidak disentuh hingga ke tararan struktur.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top