OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Tidak sedikit cara pandang yang masih meletakksn stereotipe terhadap ‘perjuangan politik kaum muslim’. Kolonialisasi cara pandang pengetahuan Barat tentang Islam tidak sedikit memberi citarasa “sinis”. Bukan tiba-tiba anggapan-anggapan tersebut muncul. Kekerasan, menjadi salah satu dari sekian stigma yang tertanam. Pencitraan tersebut semakin terkomodifikasi dengan berbagai gesekan-gesekan politis yang terjadi di tingkat global. Konflik-konflik kekerasan di beberapa negara muslim seakan menambah daftar “pembenar” dari berbagai tuduhan tersebut. Wajah Islam sepertinya tidak jauh dari problem-problem kekerasan. Bahkan sering kali dunia Islam dalam kecenderungan “orientalisme” Barat masih dibaca dan dilihat secara hitam putih. Tidak saja bahwa teoritisi Barat kadang mempunyai pretensi sepihak untuk melihat wajah Islam dalam “kotak beku” kesimpulan yang sudah dianggap permanen, tetapi kadang meletakkannya sebagai salah satu ancaman peradaban. Meskipun tidak semua pengamat di luar Islam mempunyai kecenderungan premis tersebut, namun minimal praanggapan buruk itu masih cukup kuat tertanam.
Di masyarakat muslim sendiri memiliki berbagai keragaman cara pandang terhadap tema-tema krusial yang ditimpakan kepada aktifitas politis Islam termasuk di dalamnya adalah pilihan gerakan. Beberapa aktifitas gerakan Islam memang tidak dipungkiri lebih memilih “jalur kekerasan” sebagai mekanisme perjuangan. Tidak sedikit pula, gerakan islam lebih memahami ekspresi keislamannya dengan tradisi dan cara yang berbeda. Kita tentu mengenal sebagian yang memilih jalan epistemik untuk berperang secara fisik seperti yang terlihat dalam beberapa gerakan islam radikal. Sebut saja muslim Taliban di Afghanistan yang cukup terkenal setelah. Taliban dengan mayoritas suku Pathan yang mempunyai tradisi panjang dalam persoalan kekerasan.
Afghanistan dengan dinamika sejarah politiknya memang akan menampilkan kepermukaan Islam yang penuh dengan wajah “perang” dan “kekerasan” setidaknya gambaran ini tercermin dalam berbagai catatan sejarah politik di sana. Komunitas-komunitas suku yang dominan seringkali lebih menggambarkan kondisi sosial politik yang penuh dengan situasi nkonflik dan ketegangan-ketegangan. Tentu banyak sisi-sisi lain yang perlu ditelusuri dan digali. Data literatur sejarah politik yang banyak tersebar tidak jauh dengan situasi dan fakta-fakta konflik. Kemungkinan pilihan alternatif perjuangan politik di luar jalan kekerasan terasa tidak mendapat tempat? Buku Badshah Khan : Kisah Perjuangan Muslim Antikekerasan yang Terlupakan, karya Eknath Easwaran menampilan fakta dan kisah yang lain. Sebuah gambaran ekspresi perjuangan kaum muslim yang jauh dari tradisi dan kultur kekerasan.
Badshah Khan adalah seorang ulama dari sekian tokoh pejuang Islam amat terpandang dari perbatasan Hindia dan Pakistan yang mendedikasikan dirinya bagi perjuangan muslim dengan memilih prinsip perjuangan tanpa kekerasan. Lahir dari Suku Pathan yang keras dan pada dasarnya hidup dalam lingkungan tradisi dan keyakinan yang bertolak belakang. Pejuang Taliban sebagian besar adalah suku Pathan. Mereka dikenal dengan keberaniannya. Tidak ada kamus perdamaian. Perdamaian hanya bisa dicapai oleh bangsa Pathan sendiri. Badshah Khan menunjukan ‘wajah islam” yang lain yang selama ini belum banyak dilihat oleh bangsa Barat ataupun kaum muslim sendirik. Tentu Badshah Khan, adalah sosok pengecualian dari komunitas yang jauh dari tradisi perjuangan tanpa kekerasan.
Sulit dibayangkan,anah politik yang selalu meyakini dan menghayati jalan pengorbanan untuk berperang bisa melahirkan sosok Badshah Khan yang berbeda cara pandang dan keteguhan iman untuk berdiri dalam jalan cinta dan hasrat untuk mengampuni. Juah berbeda dengan Kaum Pathan yang kian lama belajar untuk menyerahkan dirinya pada sukunya dalam aksi yang seringkali harus menuntut pengorbanan diri secara total. Kematian karena kekerasan sudah hampir dapat dipastikan dan kadang-kadang justru dicari. Kematian semacam ini adalah jalan terpasti menuju surga. Sekiranya prinsip ini yang menjadikan pilihan kekerasan menjadi jantung gerakan komunitas Pathan.
Badshah Khan berpikir berbeda tentang perjuangan Islam, “Islam adalah amal. Yakeen, dan muhabat, yakni pelayanan tanpa pamrih, keimanan dan cinta kasih. Sikap “antikekerasan” bukanlah semata kebijakan yang bisa dikompromikan dengan situasi dan kondisi, melainkan bagian dari iman”. Setidaknya prinsip itu yang membuat Khan sangat termasyhur dengan sikap pilihannya. Selanjutnya yang menjadi rintangan terbesar di jalan Badshah Khan adalah budaya “bahasa dendam” dan “kekerasan” yang mengakar dalam masyarakat Pathan. Menawarkan prinsip antikekerasan bagi orang-orang yang sudah sekian lama hidup dalam budaya konflik bukan barang mudah. Tidak sekedar diremehkan karena dianggap pelarian dari rasa keberanian, tetapi juga berhadapan dengan godaan-godaan untuk reaktif terhadap kekerasan. “Anti kekerasan adalah senjata paraa penakut”. Demikian apriori yang berkembang dikalangan kaum Pathan.
Ajaran nilai Badshah Khan sangat jauh dari skeptisime tersebut. Jalan hidup dalam sikap antikekerasan adalah kekuatan yang sangat aktif dan tidak memberi ruang sedikitpun bagi mereka yang pengecut maupun bermental lemah. Gerakan ini bukan kepasifan untuk berjuang. Ia aktif untuk menghadang setiap tirani dan kezaliman. Jauh dari sikap menyerah secara pasif pada kejahatan. Perjuangan tanpakekerasan menyaratkan suatu perlawanan secara dinamis melawan eksploitasi individu, sosial, ekonomi dan politik dengan menggunakan “cinta” sebagai senjata. Sikap antikekerasan tidak pernah tunduk terhadap tirani dan eksploitasi. Butuh keberanian untuk mengawal gerakan ini menjadi benar. Dalam komentar catatanya, Ghani khan menunjukan premis-premis dasar yang amat penting dalam aktifitas tanpa kekerasan :
“Badshah Khan telah menemukan bahwa dalam satu detik , “cinta” dapat menciptakan lebih banyak hal daripada kehancuran akibat bom selama satu abad; bahwa kekuatan paling baik ternyata adalah kekuatan yang paling besar: bahwa satu-satunya cara untuk menjadi pemberani adalah dengan melakukan kebenaran; bahwa impian yang bebas dari nafsu lebih didambakan daripada hidup itu sendiri. Inilah hal-hal yang telah dianjurkan kepada kaum Pathan”.
Seperti nilai perjuangan Gandhi, Badshah Khan telah mengikrarkan diri untuk mendedikasikan bagi pembelaan rakyat. Walaupun resikonya ia harus berhadapan dengan tirani dan jeruji penjara. Bahkan beberapa tahun karena aktifitasnya, Badshah Khan harus mendekam di penjara beberapa tahun selama pemerintahan Inggris di India. Dia belajar mengekang hasrat-hasratnya untuk mebebaskan rakyatnya dan mengangkat meraka ketempat yang semestinya dalam sejarah. Selama karyanya di India, Badshah Khan telah berhasil menghimpun barisan pejuang antikekerasan. Khan sempat juga membentuk “Pusthun Jirgah” sebuah Liga Pemuda Pathan bersama liga pemuda muslim lainnya mencanangkan berbagai progtam reformasi pendidikan, sosial dan politik yang baru. Tetapi karya komunitas gerakan yang sangat terkenal adalah Khudai Khidmatgar (Pelayan-pelayan Tuhan) yang mendedikasikan kerjanya pada orientasi kebebasan dan pelayanan.
Ribuan orang kian waktu semakin tertarik dengan ekspresi keislaman ini. Ribuan orang Pathan bahkan dengan setia mengangkat sumpah untuk berjuang dalam garis nilai antikekerasan. Bagi tradisi dan nilai hidup orang Pathan, arti sumpah bukan sederhana. Sekali diucapkan kata-kata orang Pathan tidak dapat diingkari. Kecenderungan militansi ini yang membuat gerakan tanpa kekerasan justru mendapat radikalitas yang sebenarnya. Khudai Khidmatgar setidaknya sanggup membuktikan klaim Gandhi bahwa “sikap antikekerasan dimaksudkan bagi mereka yang kuat.” Setidaknya mematahkan anggapan sebagian pandangan dunia yang memandang kekerasan nyaris sebagai respon yang alamiah terhadap konflik dan sikap antikekerasan sebagai pengungsian bagi mereka yang terlalu lemah atau terlalu takut untuk bertempur menggunakan senjata.
Sebagian besar pengikut Khudai Khidmatgar setidaknya juga menunjukan bahwa sikap penghargaan terhadap “antikekerasan” harus diletakkan pada kebebasan keberanian yang merdeka, hidup dalam iman yang mendalam kepada Tuhan dan prinsip tidak menghargai ketakutan dan sikap pengecut. Pengalaman di India banyak memberi pelajaran berharga, Aktifitas dengan “kekerasan” (perlawanan sebelum 1919) menciptakan kebencian di benak rakyat India terhadap kekerasan. Namun, pergerakan tanpa kekerasan memenangkan cinta, hasrat dan simpati rakyat
Ekpresi perjuangan muslim ini sangat menggugah kesadaran bagi semua orang. Melawan dengan “cinta” seakan hanyalah slogan dan utopia belaka, tetapi dalam prinsip perjuangan Badshaj Khan, prinsip dan ekspresi tanpa kekerasan justru banyak melahirkan pembaharuan sosial politik jangka panjang. Setidaknya ingin meyakinkan bahwa “kekerasan” akan selalu melahirkan “anak kandung kekerasan” yang kontraproduktif dengan cita-cita dasar agama. Mengawal prinsip ini bukan karya yang sederhana dan mudah. Ada prinsip dasar dan janji komitmen mendasar yang harus diyakini dan dipraktikan. Komitmen yang harus menjadi sumpah dan nilai hidup yang harus ditaati.
Bernjanji akan menolak “kekerasan” dan “balas dendam”; berjanji mengampuni mereka yang menindas atau memperlakukan dengan kejam; bernjanji akan menolak terlibat dalam permusuhan dan perselisihan dan tidak akan mencari musuh; berjanji akan memperlakukan setiap orang Pathan sebagai saudara dan temanku; bernjanji akanj menolak adat-adat dan praktik praktik antisosial; berjanji akan hidup sederhana, melakukan kebajikan dan menolak kejahatan; berjanji akan bersikapm sopan dan baik serta tidak menuruti gaya hidup santai serta berjanji akan mengabdikan setidaknya dua jam sehari untuk karya sosial. Begitulah prinsip sumpah yang menjadi kredo utama perjuangan tanpa kekerasan yang dilakukan para pengikut Khudai Khidmatgar.
Jangan pernah berpikir bahwa dengan memperkaya dirimu sendiri,
negerimu akan menjadi makmur. Tidak akan pernah.
Jika kamu ingin negerimu dan rakyatmu makmur,
kamu harus berhenti hidup hanya untuk dirimu sendiri.
Kamu harus mulai hidup untuk masyarakat.
Itulah jalan untuk menuju kemakmuran dan kemajuan.
(Badshah Khan)
Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik kapitalisme lanjut. Fase ini berkembang pesat ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neoklasik yang masih percaya mesin intervensi “regulasi pemerintah” Sebagian memberikan memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk membedakan dengan “entitas negara” dan sekaligus untuk menghidari kekeliruan asumsi umum bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara akan melenyap dengan sendirinya. Negara sekiranya justru pada tahap perkembangan tertentu justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme. Teori melenyapnya negara dalam sistem neoliberilme justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat. Barangkali alur argumentasi secara umum terhadap problem neoliberalisme tertangkap demikian. Penting kiranya untuk lebih jauh membaca dalil-dalil justifikasi dan juga diskursus yang dibawa neoliberalisme beserta alat angkutnya sehingga sebagai sebuah ide, sistem ini menjadi diterima secara umum.
Books Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Haevey yang diterbitkan Penerbit Resist ini merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an sianggap sebagai lompatan konfigurasu ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep yang ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting kiranya untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide neoliberalisme cukup berkembang pesat.
Buku ini secara eksplisit mau mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari kondisi negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey ada dua alasan penting, pertama, karena dalam konteks praktik, banyak negara menyimpang dari derskripsi teorinya dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain. Oleh Harvey menyebutnya sebagai bersifat “transisional” atau “tidak stabil”. Di antara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat sebuah kondisi disparitas yang semakin nampak bahwa neoliberalisme dalam dirinya menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam imaji mendasar neoliberal, diharapkan berdiri hanya sebagai “penonton”. Perkembangan waktu, harapan ini justru terkesan hanya menjadi kedok dari kepentingan yang lebih besar. Negara justru semakin memantapkan peranan intervensionisnya sebagai institusi yang mempunyai legitimasi untuk mengatur dan mencipta regulasi. Kedua, neoliberalisme banyak kasus justru lebih menampakan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang didengungkan. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Ketiga, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Keempat, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligopolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Kelima, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.
Diskursif dan Daya Pikat Neoliberalisme
Bagaimana kita bisa menelisik jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey senbagai “disparitas yang ideal dan yang real” adalah dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting kiranya memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Apa yang cukup harus dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keyakinan umum adalah buah campur tangan dari berbagai kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide apapun sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Apa yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Bab I cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di beberapa kawasan seperti di Eropa Timur, Amerika Latin, Uni Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebaan inipula yang menjadi ikon propaganda Anerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik. Kekuasaan Irak di bawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Di balik stas nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak mengesahkan berbagai keputusan perubahan di sekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein lebih menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing, dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Lebih parah lagi, kebiakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.
Apa relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan? Propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slohan kebebasan tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Inilah buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini. Bahkan jika dicermati, langkah pengadopsian keseluruhan kebijakan neoliberal ini banyak dipraktikan dengan berbagai tekanan dan perebutan kekuasaan secara paksa. Eksperimen Neoliberalisme di Chili adalah wujud vulgar dari liberalisasi dengan paksa dan brutal yang banyak melahirkan keuntungan-keuntungan revivalisasi akumulasi kapital negara-negara Barat. Pembangunan konsep utopianisme neoliberalisme menurut David Harvey hanyalah sebagai suatu sistem justifikasi dan legitimasi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk pemulihan kekuasan elite ekonomi semata.
Membaca Mesin Angkut Kapitalisme
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia adalah terbentuknya aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya. Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.
Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.
Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral. dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan;Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.
Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.
Neoliberalisme : Jalan Hegemoni Baru
Bagaimana ide Neoliberal ini tetap dikawal untuk menjadi pandangan kolektif yang permanen? Meminjam analisis Gransci, Harvey menekankan pentingnya membaca bagaiaman sebuah ide kemudian diyakini menjadi pikiran kolektif. Kecerdasan membawa ini dalam kesadaran kultural sangat penting dalam kerja neoliberal. Segala diskursus kultural dimobilisasi untuk membangun kepercayaan kolektif bahwa sesuatu ide harus diterima sebagai realitas yang benar. Slogan-slogan politik diciptakan untuk menyamarkan stratego-strategi yang ada dibalik retorika tanpa isi. Menurut Harvey banyak saluran dan alat angkut yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti yang pernah dilontarkan oleh Althuser sebagai ”Aparatus Ideologis”, alat angkut itu terbentang pada korporasi-korporasi, media, universitas-universitas, sekolah0sekolah, lembaga keagamaan dan asosiasi-asosiasi profesi.Dengan berbagai kekuatan diskursus yang dibawa mesin-mesin Neoliberal maka tercipta iklim opini yang berpandangan bahwa neoliberalisme adalah satu-satunya menu tawaran bagi kemajuan ekonomi. Tidak ada alternatif di luar itu. Penguasaan opini akan semakin masif dan terkonsolidasi berkat penguasaan kekuasaan negara.
Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B. Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui. Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Dimana Meletakan Alternatif Gerakan ?
Keragaman atas kondisi objektif dan transisi negara dalam cengkeraman neoliberalisme juga berpengaruh terhadap munculnya berbagai varian gerakan sosial. Pilihan-pilihan berbeda ini satu sisi membuka iklim demokratisasi atas jawaban terhadap hadirnya noliberalisme tetapi sisi yang lein juga menyebabkan berbagai penyatuan aktifitas gerakan sering tersendat. Meskipun tidak cukup detail dalam membaca kemungkinan gerakan alternatif semacam apa yang perlu dibangun untuk menghadapi neoliberalisme berkaca dalam dilema keragaman gerakan sosial ini, David Harvey memberikan dua catatankecenderungan penting yang selama ini bisa dijadikan model pilihan, Pertama, terlibat dan ikut serta dalam gerakan-gerakan oposisi dan membangun program perjuangan oposisi yang berjangka luas. Kedua, melakukan riset-riset teoritis dan praktis mengenai kondisi saat ini dan berusaha menemukan kemungkinan alternatif-alternatif yang bisa bisa dikembangkan. Tentu dua hal pendekatan gerakan ini tidaklah harus dibaca terpisah berdiri sendiri. Penting kiranya mengambil keduanya sebagai cara untuk mengembangkan kualitas gerakan. Apa yang menjadi premis penting dari konsekuensi tersebarnya berbagai reaksi gerakan yang lebih pulral adalah bukan untuk menuntut dan memaksa kita menyatukan dalam pola yang seragam tetapi menemukan hubungan-hubungan organisasi dari gerakan-gerakan yang beagam itu dalam roh perlawanan yang sama. Mungkin premis jawaban juga masih sangat mengambang dan oleh karenanya catatan terakhir yang ditulis Harvey dalam buku ini amat penting disimak: Semakin Neoliberalisme difahami sebagai retorika utopian yang gagal dan tidak lebih sebagai ”topeng” untuk menutup-nutupi proyek kembali kepentingan kelas yang berkuasa, semakin kuat basis bagi munculnya kembali gerakan-gerakan massa yang menyuarakan tuntutan-tuntutan akan egalitarianisme politik dan keadilan ekonomi, perdagangan yang adil, dan jaminan perlindungan ekonomi yang lebih besar.
Ketika Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang perburuhan diketukpalukan tahun ini, serentak ribuan barisan buruh dari berbagai organisasi buruh di Indonesia marah dan lantang melakukan protes. Keputusan pemerintah ini tentu saja dianggap sangat arogan, tidak manusiawi dan dianggap akan mematikan nasib buruh. Protes massa buruh tidak hanya memberi kita cerminan bahwa problem buruh sampai detik ini kian tidak membaik tetapi juga menggambarkan bahwa sistem ekonomi politik mainstream tetap saja selalu tidak berpihak pada kelas-kelas pinggiran semacam kaum buruh. Nasib terpuruknya buruh tidak sampai di sini. Krisis ekonomi global yang saat ini terjadi lagi-lagi akan menenggelamkan harapan sekian banyak buruh karena ancaman PHK massal. Kelas buruh yang akhirnya banyak menanggung dampak paling buruk. Inilah gambaran nafsu kapitalisme yang amat mengerikan. Atas nama efektifitas dan roda bertahannya industri, “buruh” selalu ditempatkan sebagai halnya mesin berjalan. Inilah “metafora mesin” yang kini selalu dimapankan oleh logika industri. Apalagi sistem kontrak kerja (outsourching) telah meletakan buruh pada situasi yang paling rentan. Nasibnya telah dibatasi oleh berbagai klausul atiran memaksa yang samasekali tidak memihak. Nasib jutaan kaum pekerja (buruh) ada di ujung tanduk. Bersiap sewaktu-eaktu harus dipangkas dalam ikatan kerja tanpa jaminan kompensasi apapun. Kalau dilihat dalam logika ini, maka ‘buruh’ bisa saja mewakili citra sebuah gambaran “perbudakan modern”. Perbudakan yang kian membentuk dalam wujud yang semakin ekstrim dan modern. Inilah sistem dan warisan kebudayaan penghisapan yang detik ini justru oleh para penguasa masih dilestraikan dengan begitu angkuhnya.
Makna “budak” tentu dalam kamus umum dimengerti sebagai seseorang yang diposisikan menjadi pembantu, abdi, atau sesorang yang diletakkan sebagai layaknya setengah manusia (subhuman). Sebagai sebuah sistem kebudayaan dalam epos sejarah masayarakat, “perbudakan” memberi pengertian sebagai sistem sosial dimana ada orang dan sekelompok orang merampas hak dan kepentingan manusia yang lain. Probloemnya, mainstream kebudayaan mapan tidak meletakan buruh ini hakikatnya sebagai budak. Diskursus kekuasaan bahkan mampu mensublimkan dan menghaluskan ini menjadi bukan persoalan yang rawan. Parahnya lagi, diskursus tentang apapaun yang menyinggung “buruh” masih selalu dianggap sebagai kegiatan “subversif” kekiri-kirian yang “haram” dibincangkan. Apakah wacana tentang nasib buruh hanyalah menjadi tradisi dan kecenderungan sikap gerakan-gerakan yang ada dalam jalur ideologi “kiri”? Apakah Islam mempunyai khasanah tersendiri tentang problem buruh ini? Jika saja Islam merupakan entitas maha besar dari kesatuan utuh sejarah poeradaban ini, bukankah persentuhan dengan dinamika buruh semakin dimungkinkan terjadi? Bagamaina kemudian diskursus tentang buruh ini diterjemahkan oleh Islam?
Islam sangat diharapkan mampu serius berbicara mengenai “teologi buruh” yang tidak mengasingkan diri untuk ikut membicarakan berbagai relasi modal, buruh dan negara dan terutama peduli terhadap sekian problem buruh yang semakin memprihatikan. Spirit inilah yang tertangkap dalam gagasan buku Theology of Labor karya Abdul Jalil. Tentu gagasan ini sekaligus juga berangkat dari keprihatinan bahwa dalam konteks Indonesia yang memiliki mayoritas warga muslim, tetapi kenyataannya sekian waktu gerakan Islam masih cenderung tiarap untuk merespon problem buruh yang semakin tragis. Tidak jarang pula bahwa sekian roda ekonomi yang dikelola oleh komunitas dan institusi muslim masih juga larut dalam prinsip kapitalistik yang justru jauh dari spirit keperpihakan umat. Bisnis-bisnis muslim tidak ubahnya sama dengan bisnis lainnya yang lebih beriktiar untuk kepentingan keuntungan modal ketimbang pemenuhan rasa keadilan bagi sekian warga muslim.
Melalui penelusuran aspek historis perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, buku ini mau eksplisit mengatakan bahwa problem buruh saat ini tidak ubahnya merupakan cerminan sistem perbudakan yang masih diwariskan ribuan tahun yang lalu. Budak hanyalah manusia kelas pinggiran yang nasib hidupnya ditentukan oleh kemahakuasaan para pemilik budak. Fakta tragis ini nyatanya pernah ada di Indonesia. Tahun 1877, di wilayah Sumba, kematian raja harus diikuti oleh kematian seratus orang budak demi kehidupan baka sang raja. Di beberapa perjalanan kehidupan suku Indonesia fenomena perbudakan juga cukup masih berkembang. Dengan seiring perkembangan peadaban sistem perbudsakan juga mengalami transformasi luar biasa. Kolonialisasi asing atas bangsa Indonesia juga semakin memposisikan sistem perbudakan dalam wujud yang lebih modern. Walaupun ada beberapa kebijakan peraturan yang dikeluarkan untuk menata sistem perbudakan ini, pada prinsipnya sistem ini relatif belum menghilang. Memang pada tahun 1817, pemerintah kolonial Belanda telah memberi peraturan larangan untuk jual beli budak. Dalam Regeringsreglement, semacam Undang-undang Hindia Belanda (1818) melarang jual beli budak, termasuk larangan mendatangkan/memasukan budak dari luar Indonesia.
Atas berbagai masukan dan perkembangan kritik memang ada perkembangan dan perubahan dalam pengelolaan sistem perbudakan. Sejarah mencatat bahwa Regeringsreglement sampai tahun 1827, 1830 dan tahun 1836 memang belum ada perubahan berarti tentang niat penghapusan sistem perbudakan. Baru pada tahun 1854 dengan eksplisit memang menghendaki sistem perbudakan. Namun perubahan inipun belum cukup hakikat sistem eksploitasi yang lebih mengeras. Sistem kerja rodi salah satunya masih tetap dipertahankan sebagai cara massalisasi akumulasi modal kolonial sampai dihapuskannya pada tahun 1930 dan berganti dengan sistem kerja “kapitalistik”. Hadirnya sistem ini, mengangkat hakikat perbudakan menjadi berwajah lebih modern. Walaupun telah diatur posisi yang lebih terbuka pada kesempatan buruh tetapi pada kenyataannya nasib buruh masih selalu terpinggirkan. Kondisi masih belum beranjak baik, karena pada prinsipnya sistem kapitalistik masih sangat menempatkan kekuasaan korporasi melalui pemilik modal dengan tidak terbatas. Pemutusan hubungan kerja bisa saja tiba-tiba dilakukan hanya oleh beberapa alasan yang bisa sasja tidak adil bagi buruh. Penentuan jumlah gaji yang harus diterima oleh para buruh juga relatif ditentukan oleh kekuasaan para pengusaha. Telah terjadi dominasi kapitalis dan relasi hubungan industrial yang timpang. Demikianlah, Bab 4 buku ini mau melihat lebih jauh relasi ketimpangan kerja industrial tersebut.
Kerakusan kapitalisme industri dirasakan menjadi sebab terutama dari peminggiran buruh. Kapitralisme industri begitu banyak telah membuahkan mesin pemerasan keringat buruh hanya demi penumpukan keuntungan ketimbang rasa keadilan. Hasil yang diraih sebagi keuntungan tidak kembali pada apa yang sejarusnya menjadi hak kesejahteraan buruh. Negara yang dianggap mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membantu problem ini justru menjadi bagian utuh dari adanya relasi ketimpangan itu. Alih-alih memberi kompensasi yang adil bagi hak hidup buruh, negara justru kerap kali menjadi sarana ideologis dan sekaligus represif untuk mempertahankan sistem ketimpangan ini. Apa yang kemudian harus dilakukan? Apakah Islam juga mampu memberi jawaban memadahi dari sekian problem ini ketika Indonesia yang ralatif berpenduduk mayoritas muslim, nasib buruh juga masih terus ditelantarkan?
Abdul Jalil dan bab 5 buku ini mau sedikit menengok dan merefleksikan dalam kacamata perspektif pengalaman Islam beserta beberapa pisau tafsir yang ada di dalamnya. Proposisi keyakinan buku ini mau memberi sugesti optimistis bahwa Islam harusnya mampu menawarkan alternatif dari problem perburuhan ini. Sebagaimana agama yang komprehensif dan universal, Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif di luar dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme. Islam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk “fiqh” (hukum Islam) yang bersifat operatif operasional diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontenporer. Selain itu juga berbekal konsep dasar Al-Qur’an, diharapkan bisa memberi tekanan terhadap sistem agar penanganan masalah buruh tetap mengacu pada koridor fitrah kemanusian yang sejatinya. Meskipun konsep yang utuh tentang sistem perburuhan belum ada secara komprehensif dalam definitif hukum islam karena refrensi tekstual dan historis memang belum ada, namun bahwa nilai-nilai yang mengacu pada hakikat dasar perburuhan sebenarnya bisa ditemukan dan bisa menjadi bahan acuan tafsir teologis yang berharga dengan segenap mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” yang selalu berdinamika dan berkembang.
Dalam beberapa catatan, buku ini mau memberikan penegasan menarik bahwa Islam memberikan refleksi berharga bagi pembacaan problem buruh. Berangkat dari awal tafsir tentang hak, Abdul Jalil dalam catatan buku ini kembali memaparkan hak-hak buruh yang sebenarnya banyak tersirat ditampilkan dalam Islam. Islsm sangat mendambakan kompetensi dan produkstifitas manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an (Qs : al-Mulk (67) : 2) bahwa “kehidupan” adalah ujian bagi manusia di dalam berbuat dan beramal. Jika kita letakan dalam konteks riil ekonomi maka bisa dikatakan bahwa yang lebih baik perbuatannya adalah mereka yang memang produktif. Dalam Islam jelas tegas mengingatkan bahwa penghargaan dan pemberian upah bagi buruh dengan selayaknya adalah merupakan poin mendasar yang harus diperhatikan. Dalam sebuah hadist telah dinyatakan bahwa “Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering”. (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Hadist no. 2434.) Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian upah yang selayaknya secara eksplisit dilarang dalam Islam.
“Tiga kelompok orang yang akan saya musuhi di hari kiamat, yakni orang yang bersumpah atas nama-Ku dan kemudian dia ingkar; orang yang menjual orang lain yang berstatus merdeka kemudian hasilnya dimakan; dan orang yang tidak membayar upah pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya”, (Shahih al-Bukhari, hadist no. 2075).
Beberapa hak yang mendasar yang selama ini juga santer diperjuangkan oleh buruh seperti hak mendapatkan keselmatan, kesehatan dan perlindungan juga telah ditegaskan juga dalam nilai-nilai Islam. Dengan begitu, Islam memberi penegasan bahwa para majikan pada hakikatnya harus bertanggungjawab penuh atas berbagai hal yang menjadi kebutuhan buruh seperti kesehatan, perlindungan, dan keselamatan kerja. Menelantarkan buruh merupakan hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam dengan gamblang mengajarkan untuk tidak boleh mentelantarkan dan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai fitrah kemanusiannya.
“Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barangsiapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa ia harus dibantu”. (al Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadist no. 559)
Penekanan terhadap penghargaan martabat kemanusian sudah menjadi kewajiban bagi semua orang Muslim. Dalam konteks relasi kerja industrial, Islam jelas mengajarkan bahwa hal yang paling dinistakan bila sistem ini menempatkan manusia sebagai “mesin”. Manusia adalah entitas yang harus dihormati dan mendapat penghidupan yang layak. Menjadi sebuah hak bagi para buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak tersebut. Apa yang diujarkan oleh Nabi sangat gamblang dan lugas bahwa seorang majikan yang yang tidak mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi para buruhnya maka sebenarnya dia adalah seorang “pembunuh”
“…saya mendengar Nabi bersabda : barang siapa mengangkat buruh, jika ia tidak mempu mempunyai rumah maka harus dibikinkan rumah; Jika ia belum menikah maka harus dinikahkan; Jika ia tidak mempunyai pembantu maka harus dicarikan pembantu; jika ia tidak mempunyai kendaraan maka harus diberikan kendaraan. Jika majikan tidak memberikan hal tersebut. Ia adalah seorang pembunuh”. ( Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, hadist no. 17329)
Yang lebih menarik dari pemaparan beberapa fakta tersebut, buku ini juga mampu memberi sedikit gugahan pembaca bahwa secara hostoris seperti nilai-nilai yang menyoal tentang perbutuhan juga pernah terangkat dalam dinamika sejarah Islam seperti persoalan-persoalan tumbuh berkembangnya sarikat-sarikat buruh sesuai dengan perkembangan peradaban Islam. Dari buku ini meminjam hasil penelitian yang dilakukan oleh Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), Serikat Buruh dalam Islam bahkan telah tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Utsmaniyah, tepatnya di Turki Anatolia pada abad XIV Masehi yang dalam catatan sejarah lebih akrab disebut sebagai “Akhi” dan “Fityan”. Bahkan dalam literatur lain, Andre Raymod menyebutkan beberapa catatan berharga mengenai munculnya berbagai sarikat buruh dalam sejarah Islam. Seperti adanya serikat-serikat buruh di sektor-sektor pekerjaan seperti tukang cukur, pembawa panji-panji, mu’azhzhin, dan juga buruh pekerja di kebun kopi. Sejak abad XVI hingga XIX Masehi, serikat-serikat buruh telah terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan, Mereka hidup di pasar kota. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecilpun mempunyai serikat buruh. Dalam catatan seharah di atas telah banyak yang disumbangkan oleh hadirnya serikat-serikat buruh ini. Serikat buruh telah memberikan andil luar biaa bagi perjalanan peradaban Islam.
Tentu ada beberapa catatan yang menarik dan perlu untuk dikembangkan lagi sebagai usaha pendalaman dan pengembangan tulisan ini. Secara prinsip problem buruh adalah problem yang harus dibaca secara lebih utuh karena akan banyak menyeret persoalan yang lain. Beberapa usaha Abdul Jalil untuk serius memberikaan alasan perlunya sikap kritis dan maju dalam membaca persoalan buruh perlu harus diberi apresiasi mengingat minimnya kajian dan riset yang serius untuk mengamati problem perburuhan di Indonesia. Ada catatan yang perlu ditambahkan, pertama, tulisan ini masih terbatas menjangkau fakta-fakta yang masih umum dan masih terbatas pada cuilan-cuilan fragmentasi pengalaman peristiwa yang tertekskan dalam literatur-literatur yang sudah mapan seperti teks Kitab Suci. Maka ruh atas gambaran ini belum terasa menjangkau epos konteks jaman yang lebih mendalam dengan segala polemik di dalamnya. Kedua, problem perburuhan juga belum memberi gambaran yang lebih banyak tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam sendiri membangun perspektif dan epistemologi gerakan terutama berkaitan dengan permasalahan buruh. Jika ini diangkat maka tentu saja ada berbagai problem menarik tentang subjektifitas gerakan yang khas yang bisa kita baca terutama dalam konteks gerakan buruh di Indonesia berkait juga dengan gerakan islam. Ketiga, apa yang diangkat Abdul Jalil memang masih akan terbaca sebagai gagasan normatif ideal. Apa yang sebenarnya menarik untuk dikerjakan lebih lanjut adalah menjawab tesis penting mengapa detik ini pula gerakan Islam belum cukup mampu untuk menjawab tantangan nasib buruh lebih komprehensif. Problem politik, ekonomi , sosiologi dan juga kebudayaan gerakan tentu menjadi penting untuk digali bersama dengan usaha penelusuran aspek teologis secara lebih kontekstual.
Peresensi
Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Pemerhati politik dan Budaya tinggal di Yogyakarta)
Selama satu tahun ini, teman-teman dan para ikhwan gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta telah belajar bersama-sama dengan Pusham UII, Tim Pengacara Muslim (TPM) Jateng, LBH Yogyakarta dan berbagai organ lain dalam apa yang disebut dengan gerakan advokasi hak asasi manusia. Berbagai training dan diskusi selalu membahas dengan sengit berbagai pengalaman gerakan dan sekaligus pengalaman ketertindasan dimana umat Islam, kerapkali menjadi korban kejahatan aparat Negara, sejak zaman orde baru hingga era reformasi ini. Beberapa buku dan bahan bacaan didiskusikan untuk memperkaca wawasan, meningkatkan keterampilan dan mengasah sensifitas.
Salah satu agenda yang kerap saya sampaikan kepada para ikhwan itu adalah bahwa para aktivis Islam belum mempunyai karya penelitian dan dokumentasi yang brilian dalam bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde BAru dan orde reformasi ini dalam isu terorisme. Sebaliknya, para aktivis gerakan Kiri dan Komunis telah mempunyai puluhan judul buku yang mencatat, merekam, mendokumentasikan dan menganalisa pengalaman mereka sebagai korban kejahatan rezim Soeharto dalam peristiwa 65/66, atau peristiwa pasca G.30 S. 65. Hal ini berbeda setarus delapan puluh derajat dengan rekan-rekan aktivis Islam yang pernah menjadi korban rezim orde baru dan reformasi ini, sejak peristiwa Komando Jihad, Usroh, Tanjung Priok, Lampung, hingga isu Terorisme belakangan ini.
Menurut hemat saya, para aktivis Islam (gerakan Islam) perlu belajar dari kelompok ini: tentang bagaimana cara mereka merekam sejarah ketertindasan itu dan membuatnya sebagai ‘panggung kekejaman’ rezim berkuasa di masa lalu. Salah satu buku yang patut dipelajari adalah buku ini: ‘Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi’ yang ditulis oleh M.R Siregar. Buku ini mengupas secara gamblang bagaimana berbagai peristiwa dan sistematika pelanggaran HAM terjadi, dan akar masalah, konteks ekonomi serta politik yang melatarbelakanginya.
Genealogi “politik” HAM
Bab satu dan kedua, buku ini mengupas akar masalah sejarah ekonomi dan politik di Indonesia dimana gerakan Kiri dan Komunis termasuk kelompok Radikal yang dalam banyak hal pilihan politiknya sama dengan apa yang diambil oleh mantan “Amir” DI/TII S.K.M. Kartosuwiryo. Sikap sayap kiri ini sangat penting untuk dicatat: penolakan terhadap manifesto politik Belanda, perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvile yang tujuannya adalah menyangkut apa yang selama ini kita sebut dengan problem HAM Ekosob, yakni pemerintah yang bekerja untuk kepentingan modal/negara asing dengan mengorbankan kehidupan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Masa kabinet Hatta, merupakan salah satu periode penting di awal kemerdekaan politik RI, dimana pemerintah menerima tekanan Amerika, Belanda dan Inggris dengan membiarkan perusahaan-perusahaan asing menguras kekayaan dan sumber daya alam strategis.
Dengan mengutip Kreutzer, MR Siregar menuliskan lagi bagaimana perusahaan asing mampu menaklukan pemerintah RI dan menguras kekayaan alam negeri ini (hlm 14):
“pada hari-hari itu (awal November 1945, red), Amerika Serikat telah memperoleh kepentingan- kepentingan yang cukup besar di kepulauan Indonesia. Perusahaan-perusahaan swasta Amerika telah mulai menambang biji nikel dan besi di Sulawesi (Celebes). Industri-industri pertambangan di Bangka dan Belitung mengekspor seng dan timah di Amerika Serikat. Standart Oil Rockefeller telah menggali kurang lebih 500 sumur minyak di Sumatra. Di pulau yang sama Goodrich dan raksasa karet lainnya memiliki perkebunan-perkebunan sekitar 100.000 ha untuk masing-masing.”
Dalam tekanan tersebut, hanya front persatuan nasional yang dapat mengalahkan kaum imperialis itu. Sayangnya, front ini yang dulu digagas Muso dan PKI ditolak oleh Masyumi dan PNI (hlm. 18). Dengan kata lain, sejarah juga menunjukan bahwa berbagai faksi dan elit gerakan nasional, pada akhirnya akan saling mengalahkan dan membunuh untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan internasional. Sejarah pada akhirnya menjadi milik Hatta, yang kemudian belakangan milik Jendral Soeharto dengan dukungan Amerika dan negara-negara imperialis lainnya.
Bila problem Hak Asasi Manusia, di antaranya berakar pada negara yang mengabdi pada kapitalisme, seperti yang ditunjukan oleh UU PMA 2007 belakangan ini, maka dominasi dan imperialisme pasca kolonial terbukti gagal untuk dilawan dan dihilangkan. Dengan kata lain, pembaharuan UU PMA, UU SDA, UU Migas dan berbagai perundang-undangan lain yang bertentangan dengan UUD 1945, dan UU HAM 1999, UU No. 11/2005 tentang HAM Ekosob, telah memiliki akar struktural dan sejarah yang penting untuk dibaca lagi melalui buku ini.
Kekerasan Tentara Pemerintah, dalam kabinet Hatta yang secara diam-diam bekerjasama dengan Amerika juga terjadi di masa-masa revolusi yang menjadi jalan awal dari sejarah panjang kekerasan tentara Indonesia terhadap buruh, yang masih berlangsung hingga hari ini. Hal yang sama dilakukan setelah PKI tumbang di masa-masa orde baru, terhadap para aktivis Islam di Pula Jawa dan Sumatra.
Bila SBY gagal dan tidak mampu memberikan perlindungan HAM Ekosob kepada korban lumpur Lapindo, pemerintah tidak mampu melindungi buruh (menyangkut hak-hak buruh yang telah ditetapkan dalam UU Hak Ekosob, No. 11 tahun 1005), yang notabene adalah rakyatnya dari Perusahaan hari ini, maka akar masalahnya sudah berlangsung pasca perjanjian KMB tahun 1949. Salah satu nota kesepakatan pemerintah RI dan Belanda adalah menjamin perkebunan/tanah dan perusahan asing tidak dinasionalisasi, tidak diberikan pada para petani (yang telah dirampas masa kolonial), bahkan sebagian diberikan kepada Amerika Serikat. Duet Soekarno-Hatta, didukung oleh PNI, PSI dan partai lain telah memberikan secara cuma-cuma kepada para kolonialis itu tanah-tanah, perkebunan dan perusahaan. Inilah kemerdekaan yang tidak sepenuhnya, sebagaimana yang masih berlangsung hingga hari ini. Di kalangan Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) saat itu sangat menentang kebijakan-kebijakan paska-kolonialis itu.
Aksi-aksi buruh dan petani di Sumatra Utara, di Jawa Timur, kemudian disambut dengan berondongan senjata, dan pembunuhan-pembunuhan terhadap aktivis buruh dan tani oleh Tentara. Pemerintah dan militer menjadi alat kapitalisme pasca kolonial yang sedang memperbaiki dirinya pasca PD II (hl, 51, 215). Mari kita lihat catatan MR Siregar:
“Tuntutan pihak perkebunan asing melibatkan sekitar 28.000 keluarga di Jawa dengan luas tanah sekitar 80.000 ha, di antaranya 20.000 ha di Malang (Jawa Timur). 23.000 ha di Kediri dan
14.000 ha di Suarakarta (Jawa Tengah). Di Sumatra terdapat 150.000 keluarga, atau sama dengan 750.000 jiwa. Tanah yang hendak dirampas kembali ini tak sedikit yang telah digarap petani sejak pendudukan Jepang, dan sepanjang tahun-tahun nperjuangan bersenjata membela kemerdekaan 1945-1949, telah memberikan sumbangan yang tidak kecil kepadan republik.”
..“Tetapi berdasarkan persetujuan KMB, tanah-tanah tersebut harus dikembalikan kepada “pemiliknya” semula yaitu para pemegang konsesi kolonial. ….Menteri dalam negeri Mr. Moh Roem (Masyumi) dan Gubernur Sumatra Utara Abd. Hakim (Masyumi) tanpa perasaan iba apalagi keadilan barang sedikitpun mengerahkan stauan-satuan Polisi mengawal traktor-traktor yang dikerahkan pihak perkebunan menggilas tanah-tanaman-tanaman dan rumah-rumah kamu tani di berbagai tempat di Sumatra Timur, khususnya di Tanjung Morowa. Pentraktoran dilakukan ketika padi sedang menguning, dan tanaman palawija siap untuk dipanen.”
Kita kemudian disadarkan oleh buku ini, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak petani, buruh dan HAM secara umum, telah memiliki fondasi yang begitu kuat di jantung kekuasaan di republik ini. Pelanggaran- pelanggaran ini, dan keberpihakan Tentara, khususnya Angkatan Darat pada Neokolonialisme seperti pemusnahan terhadap petani di atas telah menjadi “kondisi yang dipersiapkan” untuk holokaus yang tidak terperikan itu. Penghisapan atas buruh, penindasan terhadap petani (yang notabene mayoritas mereka adalah umat Islam), menjadi kenyataan yang terus berlanjut hingga hari ini. Sukses terpenting dari pembantaian 65/66 adalah penghancuran segala bentuk gerakan sosial yang berbasis pada pemenuhan dan perjuangan hak-hak rakyat. Dan seperi kita semua tahu, setelah 65/66 Rezim Soeharto dengan leluasa “membantai umat Islam” di berbagai wilayah di Indonesia.
Buku ini merupakan pencapaian gerakan ghazwul fikri yang tangguh dari korban 65/66 di Indonesia. Ini merupakan bahan pelajaran yang sangat penting bagi gerakan Islam di negeri ini. Buku ini merekam dan mencatat ulang sejumlah peristiwa kekerasan HAM, kejahatan HAM, yang tidak saja sebagai sebuah holokaus, namun juga hingga taraf tertentu menjadi genosida yang patut diingat dan dibuka secara publik. Secara spesifik, deskripsi secara detil, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto dan Rezim Orde baru, terdapat dalam bab ‘VI: Dimensi Holokaus dari Tragedi ini’ (hlm. 201—317). Kemudian dimensi struktural, ekonomi, dan politik HAM di Indonesia diurai dengan sangat panjang lebar, dalam dua bab: bab VII, Hak Menentukan Nasib Sendiri di Depan Kemahakuasaan Imperialisme (318—397); dan bab VIII, Dimensi Struktural dari Tragedi Ini (398—520).
Korban Kejahatan dalam ‘Tragedi Kemanusiaan’
Mari kita lihat beberapa peristiwa kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun-tahun yang mengerikan itu.
Bentuk Kejahatan | Deskripsi | Keterangan |
Pogrom (massa yang melakukan serangan) | Aksi ini terjadi secara serentak, meluas dan sistematis, terjadi di hampir seluruh kota dan provinsi di Indonesia. | Misalnya yang menimpa seorang ibu dan 3 naknya yang masih kecil di Sumatra Utara (h.216-217), menimpa Pramudya Anata Toer di Jakarta (217-218) |
Penahanan (dipenjara) tanpa proses pengadilan | Para korban setelah ditangkap, mereka disiksa di kamp-kamp penahanan (kantor polisi, tentara, atau gedung lainn), selama bertahun-tahun. | Misalnya lagi yang menimpa sang ibu di atas, ditahan selama 5 tahun. |
“Penyembelihan” | “Di Jakarta, sekawanan Pogrom menjerang air dalam drum. Ketika sudah menggelagak (mendidih), seseorang yang mereka amankan …dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas dicelupkan di dalamnya…kepuasan mereka lepas dalam tawa dan sorak sorai…ketika korban dikeluarkan dari drum maka sang korban …Kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas matang…serta kedua bola matanya meletup…di sebuah kmapung di Jakarta sebuah keluarga berakhir dengan sebutam “Sate Komunis”. (h.223) | Perburuan daging komunis di Jawa Tengah dipimpin oleh Kol. Sarwo Edhie. 800 orang dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala (h.223) |
Masih banyak contoh lain, yang digambarkan oleh MRS secara detil, dengan beberapa contoh di beberapa provinsi. Penyiksaan dalam tahanan , kondisi dalam penjara yang tidak manusiawi, yang menyebabkan banyak tahanan meninggal perlahan-lahan (232—236). Penyiksaan ketika diinterogasi (238— 244). Demikian halnya kondisi kerja pakasa, seperti zaman pendudukan Jepang. Tak lupa buku ini merekam beberapa proses pengadilan sudah barang tentu dapat dengan mudah diketahui hasilnya (252—289). Tidak berhenti pada “kematian” di penjara, selepas dari tahanan, mereka kemudian menjadi warga “sub-human” (untuk yang kedua kalinya) di masyarakat (289—317).
Pelaku
Mengenai pelaku kekerasan dan kejahatan tersebut, MRS melukiskan seorang Jendral Sumitro, sebagaimana yang dia kutip dari wawancara Sumitro dengan televisi BBC.
“dihias dengan senyumdibiir, wajah yang cerah dan riang gembira, jenderal pensiunan Sumitro dengan bangga memberitahukan bahwa dialah orangnya yang diberikan kepercayaan oleh Soeharto untuk mengomandani penyembelihan dalam tahun-tahun gelap gulita yang penuh genangan darah dan air mata….Sumitro menyebut kampanye maut itu sebagai “hunting” (perburuan)…” (hlm. 222—223)
Pelaku lain yang digambarkan oleh MRS adalah Kolonel Sarwo Edhie (mertua presiden SBY): “Perburuan daging manusia anti komunis di provinsi ini (Jateng, penulis) dikepalai oleh seorang opsir yang sangat bengis Kolonel Sarwo Edhie. Sarwo Edhie melatih dua tiga hari grup-grup pemuda naisonalis dan Islam dan kemudian melepaskan mereka keluar untuk melakukan pembunuhan.” (hlm. 223) Penjelasan lain mengenai pelaku: “..Di Jawa Timur, di Lawang, di Kabupaten Malang, para korban digantung dan dengan kejam dipukuli oleh anggota-anggota ANSOR, di bawah perlindungan satuan tentara Zipur V (sejenis satuan Zeni) di Singosari Malang, para korban di Pancung (hlm. 224).
Militer AD dengan sangat lihat melibatkan seluruh elemen ideologi, organisasi dan kelompok masyarakat, yang hendak menutupi kejahatannya dengan lumuran darah orang-orang sipil yang terprovokasi membantai komunis. Dengan miris MRS Siregar menggambarkannya:
“Kebuasan dalam penyembelihan, selain sangat beraneka ragam dam juga sangat inovatif, kreatif dan kompetitif. Para algojo yang Protestan, Katolik, dan Hindu Bali tidak mau kalah dari yang Islam. Begitu juga yang nasionalis dari yang “sosialis” dan liberal.” (hlm. 224)
Bahkan disebutkan, setiap jendral memiliki target membunuh 100.000 orang PKI atau yang dituduh PKI (hlm 215—216). Ditambah keterlibatan pelaku dari kalangan sipil yang anti komunis telah membuat pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang sulit untuk diproses melalui mekanisme hukum, sosial dan apalagi politik. Jalan terakhir yang disepakati oleh MPR tahun 1999 adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ironisnya, sebelum komisi ini dibentuk Rancangan UU yang akan mengaturnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pelanggaran HAM dalam peristiwa pasca 1 Oktober 65, sangat terkait dengan dimensi ekonomi politik imperialisme dan neokolonialisme. Kaitan dan dimensi tersebut masih berjalan hingga sekarang yang diurai dengan sangat menarik pada bab-bab berikutnya. Dampak stuktural, dan ini yang lebih parah dari holokaus dan kejahatan yang biadab terhadap komunisme adalah apa yang sekarang bisa disebut imperialisme global menancapkan kakinya di Indonesia. Pengusaan berbagai SDA oleh perusahaan asing. Otoritarianisme, oligarki politik yang menghamba pada kepentingan modal global (neoliberalisme) dan ‘telinga pemerintah yang bebal’, kedap dari suara-suara penderitaan rakyat. Terus berlangsung hingga hari ini. Pelanggaran HAM pelan-pelan berlangsung secara sistematis pasca 65/66.
Pasca Orde Baru, trend pelanggaran HAM mulai bergeser, kembali ke masa-masa awal 50-an, ketika pemerintah dan tentara berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Lebih dari itu, kita semua masih hidup dalam ‘orde baru’ yang ditanamkan ke dalam mind kita: tentang kejahatan dan kebengisan PKI, dan bahaya gerakan Islam Radikal melalui isu terorisme. Mampukah kita membebaskan diri kita dari belenggu Orde Baru itu?. Maka sudah saatnya juga para aktivis Islam Radikal membuat karya serupa yang telah dibuat MR Siregar. Meskipun aktivis Islam berbeda ideologi dan gerakan dengan mereka, namun buku ini menyimpan ‘hikmah’ yang dapat dipetik, agar menjadi kekuatan bagi gerakan Islam dalam memperjungkan hak asasinya yang telah dirampas sejak zaman orba hingga orde reformasin ini.
(tulisan ini pernah menjadi bahan diskusi dalam Acara Beda Buku ini, tahun 2007 di Yogyakarta)
9 December 2011
Sobirin Malian, S.H,. M.H
Tindak kekerasan sampai hari ini masih terus bergulir, dengan beragam motif dan latar belakang. Gerakan separatis di berbagai wilayah di Indonesia semakin menunjukkan nyalinya. Sejumlah aksi kekerasan di Poso dan Ambon telah merenggut ribuan nyawa tak bersalah. Teror bom bunuh diri di kedutaan besar asing, di pusat keramaian, bahkan di tempat-tempat suci ibadah tak terelak lagi. Ada yang berpendapat, itu semua adalah resiko dari dinamika transisi politik di belahan bumi manapun, termasuk di Indonesia.
Mengakhiri Millenium kedua dan menjelang lengsernya rezim Orde Baru, Soeharto, di berbagai wilayah di Indonesia muncul berbagai fenomena memprihatinkan berupa peristiwa kerusuhan massal dan kekerasan yang mengatasnamakan SARA (suku, etnis, dan agama). Sebagai gambaran, konflik di Sambas antara etnis Melayu dan Madura pada 1999 mengakibatkan 150 korban meninggal dunia dan lebih dari 10.000 warga setempat harus menggungsi. Sementara, konflik di Ambon telah merenggut 3.000 korban meninggal dunia. Konflik lainnya yang juga menimbulkan dampak luas adalah konflik di Timor Leste, Aceh, Papua, Maluku, dan Poso.
Munculnya konflik lokal di Indonesia tidak mudah untuk ditebak motif indikasinya, karena setiap konflik mempunyai penyebab dan dinamika yang berbeda. Dimensi permasalahan yang menyebabkan konflik-konflik tersebut berkembang relatif beragam, mulai dari unsur politik, ekonomi, sosial maupun kultural (agama). Maka, pembahasan mengenai konflik-konflik tersebut harus ditempatkan pada konteks yang lebih komprehensif.
Praktik kekerasan di masa Orde Baru dengan mendasarkan pada sentimen agama, sebenarnya tidak lahir secara alami sebagai persoalan masyarakat bawah an sich. Namun, itu merupakan mata rantai keberlanjutan dari suasana dan karakter sistem politik yang sedang berkuasa (Orde Baru). Kekerasan yang terjadi bukanlah ekspresi sesaat atas situasi itu, tetapi lebih berakar pada gejala yang menyejarah dan terpendam sangat lama. Oleh karena itu, kekerasan massa yang berkembang menjelang dan sesudah runtuhnya Orde Baru, merupakan reaksi atas kekerasan sebelumnya yang dilakukan dan dilembagakan oleh negara (kekerasan struktural).
Kenapa Harus Agama ?
Ironisnya, isu SARA (suku, etnis, agama) terutama agama, menjadi umpan politis strategis untuk memperkeruh stabilitas bangsa dan negara. Orientasi masyarakat terbelah (split oriented), persatuan dan kesatuan bangsa tercerai berai, masyarakat menjadi panik, penjarahan dan pembakaran kios warga keturunan Tionghoa (Cina), serta teror dan pembakaran sarana tempat ibadah. Semua itu tidak lain merupakan dinamika politik sebuah zaman yang sedang bergejolak.
Agama seringkali menjadi taruhan bagi terwujudnya setiap interest politik. Dalam kondisi sosial- keagamaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, keinginan untuk membangkitkan sikap sektarian dengan menciptakan agama sebagai simbol merupakan fenomena yang sering dijumpai pada masa-masa akhir kekuasaan orde baru. Agama kemudian menjadi bagian dari tuntutan proporsionalisme; yaitu suatu distribusi kekuasaan yang “adil” berdasarkan jumlah populasi agama. Karena sebelumnya, pemerintah telah memberikan perlakuan khusus terhadap semua pihak kecuali pribumi muslim sendiri, terutama Cina untuk bidang ekonomi, dan Kristen untuk bidang politik dan birokrasi. Sementara, bagi masyarakat akar rumput, agama bisa berupa ancaman konversi (baca: Kristenisasi).
Sementara Hefner berpendapat, pergolakan yang terjadi menjelang akhir tampuk kekuasaan Soeharto, menunjukkan nihilnya konsensus di kalangan umat Islam mengenai pluralisme dan demokrasi. Hal ini dapat dibenarkan karena target utama dari upaya reformasi adalah penggulingan rezim yang dipersonifikasikan dengan sosok Soeharto sebagai common enemy. Menurutnya, Ada pola yang dominan, yaitu munculnya kelompok Islam ultrakonservatif yang didukung oleh rezim, yang di dalam melakukan aksi-aksinya bekerja sama dengan Prabowo Subianto (menantu Soeharto) untuk selalu mendukung Soeharto dengan menebarkan kebencian yang didasarkan pada agama. Dengan demikian, kekerasan yang menandai lengsernya Soeharto membongkar logika kebijakannya terhadap agama (Islam) yang gagal. Dan pada akhir kekuasaannya, Soeharto masih memiliki kelompok think tank elite yang fungsinya untuk memproduksi propaganda anti Cina dan anti Kristen.
Sementara sejumlah pengamat menilai, bahwa berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pasca lengsernya Soeharto sangat berhubungan dengan tumbangnya kekuatan lama, yakni mereka yang pro status- quo dan para mendukung fanatik Soeharto serta yang ingin menggagalkan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan yang reformis. Selain itu, kekerasan agama yang tersulut di daerah-daerah sebagai usaha mengalihkan perhatian publik dari usaha kelangsungan tuntutan masyarakat terhadap semakin ditegakkannya supremasi hukum, dalam hal ini terkait pengusutan terhadap harta kekayaan para pejabat Orde Baru (terutama Soeharto) yang dicapai melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). (Hal. 153).
Dalam buku ini, Haqqul Yakin, penulis buku, berkesimpulan bahwa munculnya berbagai konflik kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru dan pasca runtuhnya tampuk kekuasaan Soeharto yang selalu identik dikaitkan dengan persoalan-persoalan SARA (suku, etnis, dan agama) murni tidaklah benar. Di balik itu semua, negara yang dalam hal ini para elite politik memegang kunci skenario atas konflik demi untuk mengacaukan stabilitas pemerintah yang bersih dan damai.
Agama sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individu maupun sosial, selalu memberikan dorongan kepada pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.