OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
1 February 2021
M. Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Beberapa minggu yang lalu terjadi kegaduhan di masyarakat terkait sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sistem ini merupakan realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Karena begitu derasnya kritik orang tua di beberapa tempat, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru dan mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2019.
Seperti dilansir banyak media, permasalahan yang muncul akibat penerapan sistem zonasi, pertama, daya sekolah dan jumlah siswa tidak seimbang di beberapa tempat. Ada sekolah yang berlebih muridnya, dan ada ada sekolah yang kekurang murid. Kedua, belum adanya pertimbangaan yang jelas terkait jumlah anak didik dan keberadaan sekolah di beberapa tempat. Ketiga, infrastruktur, fasilitas dan sarana prasarana sekolah belum merata. Keempat, berkurangnya kompetisi antar siswa untuk masuk sekolah negeri terbaik. Kelima, nilai ujian nasional tidak penting lagi, karena yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak rumah atau zonasi peserta didik ke sekolah.
Sedangkan alasan pemerintah dan dalam banyak hal juga bisa dimengerti, pertama, sistem zonasi akan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Anak didik tidak perlu sekolah jauh dari rumahnya. Kedua, akses pendidikan akan lebih merata. Ketiga, kondisi kelas yang heterogen sehingga akan mendorong siswa untuk bekerjasama di level yang berbasis lokal. Keempat, sistem zonasi akan mengurangi praktik jual beli kursi. Kelima, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru. Keenam, memudahkan identifikasi persoalan sistem pendidikan sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berpijak pada plus minus dan polemik sistem zonasi, satu hal yang juga mesti dipikirkan oleh pemangku kebijakan adalah nasib anak-anak difabel yang hingga saat ini masih banyak ditolak ketika mendaftar di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan. Padahal, secara zonasi, tempat tinggal anak difabel tersebut dekat dengan sekolah umum di daerahnya.
Pertanyaannya, apakah sistem zonasi saat ini akan memberi akses bagi anak difabel untuk sekolah di dekat rumahnya dan secara otomatis sekolah tersebut menjadi sebuah sekolah inklusi? Atau, kondisinya masih sama dengan kisah pilu terdahulu, di mana anak-anak difabel tetap akan mengalami kesulitan saat mendaftar di sekolah umum dan orang tua difabel akan kesulitan kembali untuk antar jemput anaknya yang difabel karena akses sekolah yang jauh. Dalam banyak hal, anak-anak difabel tidak bisa bersekolah karena adanya hambatan-hambatan struktural yang secara langsung dan tidak langsung memutus hak-hak anak difabel atas di dunia pendidikan.
Ketentuan Sistem Zonasi
Dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, pertama, jalur zonasi, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah.
Dalam peraturan terbaru, Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 % (delapan puluh persen) dari tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi paling banyak 15% (lima belas persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Peraturan terbaru dengan demikian tidak banyak mengubah ketentuan pilihan sistem zonasi, hanya sedikit mengubah besaran persentasi penerimaan siswa lewat sistem zonasi dan jalur prestasi.
Bagaimana dengan penerimaan anak didik difabel? Dalam peraturan dinyatakan bahwa kuota dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu; dan/atau anak difabel pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Bahkan dengan alasan yang kurang jelas, Permendikbud akan memberi sanksi berupa pengeluaran bagi orang tua/wali yang terbukti memalsukan keadaaan sehingga seolah-olah peserta didik merupakan seorang anak difabel. Hal ini dalam banyak hal akan membuat takut orang tua, utamanya dari kalangan kaum miskin dan orang tua anak difabel.
Membaca ketentuan Permedikbud terlihat jelas bahwa anak didik difabel tidak cukup mendapatkan afirmasi dalam ketentuan sistem zonasi yang tujuannya notabene ingin mendorong akses layanan pendidikan. Dalam peraturan hanya terbaca anak didik difabel diterima sesuai kuota zonasi jika tersedia sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal, keberadaan sekolah inklusif saat ini masih menjadi catatan sangat serius di berbagai daerah di Indonesia, baik ketersediaan sekolahnya dan atau pun problem ketersediaan guru pendamping dan sarana prasarana yang belum aksesibel.
Pesan Bagi Pemangku Kebijakan
Dalam beberapa forum, keberadaan sistem zonasi sangat diharapkan akan menciptakan akses pendidikan yang lebih adil bagi anak-anak difabel. Selama ini, banyak anak didik difabel ditolak ketika mendaftar di sekolah dekat rumah tinggalnya. Pihak sekolah dengan alasan-alasan yang beragam biasanya menolak pendaftaran anak didik difabel dan mengarahkan agar mendaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jaraknya di banyak tempat ternyata jauh dari tempat tinggal anak didik difabel.
Penolakan anak difabel di sekolah secara umum bertentangan dengan hukum. Pada Pasal 5 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa difabel memiliki hak atas pendidikan. Pada Pasal 10 huruf b dinyatakan bahwa hak pendidikan untuk difabel termasuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi peserta didik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Terkait dengan sistem zonasi, Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang disabilitas juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak difabel untuk bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Zonasi menjadi pertimbangan utama bagi anak didik difabel.
Berangkat dari kegaduhan sistem zonasi dan problem akut yang menimpa anak didik difabel, besar harapan untuk pemangku kebijakan khususnya pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar melakukan evaluasi ulang terhadap tata kelola pendidikan bagi anak-anak difabel. Sistem zonasi lebih jauh harapannya akan menjadi media yang akan membuka ruang terciptanya pendidikan inklusi, akses pendidikan yang lebih manusiawi, dan berharap anak-anak difabel tidak lagi termarginalkan.
Sumber :
Media Online Solider-SIGAP pada 4 Juli 2019
1 January 2021
Despan Heryansyah (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Sengkarut hubungan pusat dan daerah sudah sejak lama mewarnai diskursus politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Sejak penjajahan kolonial Belanda, Jepang, awal kemerdekaan hingga hari ini, hampir selalu menghadapi isu sama yang tak pernah kunjung ditemukan jalan penyelesaiannya, yaitu isu sentralisasi. Undang-undang pemerintahan daerah yang terakhir, UU Nomor 23 Tahun 2014, justeru dianggap sebagai UU yang paling sentralistik sejak reformasi dan amandemen UUD N RI Tahun 1945.
Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara yang berbentuk kesatuan. Padahal argumentasi ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikonsepsikan oleh UUD 1945, terutama UUD pasca amandemen, sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Disamping itu, secara teoritik, dengan kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen dan kompromi politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu.
Kondisi di atas diperparah pula oleh orientasi pembangunan yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi sejak terpilih menjadi presiden pada tahun 2014 silam. Sebernanya tidak ada yang salah dengan paradigma pembangunan itu. Hanya saja, kerap kali pada perjalanannya pemerintah menjadikan pembangunan sebagai peran pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah yang telalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu sistem perencanaan terpusat (cental planning). Kendali pemerintahan dan pembangunan berada di tangan pemerintah pusat. Perencanaan dan pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan, diawasi, dan dievaluasi. Dalam konteks inilah dapat dipahami, mengapa dalam UU 23 Tahun 2014, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, keduanya diposisikan sebagai daerah administrasi dan wakil pusat di daerah.
Memposisikan daerah sebagai daerah administrasi dan wakil pusat telah membebaskan pemerintah daerah dari tanggung jawab politik, baik terhadap DPRD maupun masyarakat daerah. Kondisi ini juga telah menyuburkan korupsi di tingkat daerah, yang berbuah maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, dan berbagai masalah lain sebagai dampak dari penataan hubungan pusat dan daerah yang sentralistik.
Covid-19 dan Sengkarut Hubungan
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pusat berkesempatan untuk memperlajarim memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat, baik untuk meningkatkan kesejahteraan daerah maupun masyarakat daerah.
Kondisi di atas lah yang diharapkan dapat melembaga dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia. Dengan demikian, kondisi covid yang tengah mewabah di Indonesia dan dunia belakangan ini, dapat memacu pemerintah daerah untuk lebih kreatif dan tegas menjadi motor penggerak masyarakat daerah. Kondisi daerah yang beragam, termasuk potensi penyebaran covid-19 juga berbeda antar satu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga, akan lebih baik jika kebijakan pemetaan penyebaran, penanggulangan, dan penyelesaiannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Sayangnya, situasi tersebut dalam konteks saat ini tidak mungkin dapat diterapkan. Pertama, pemerintah pusat, dengan berbagai kewenangan yuridisnya, memiliki kekuasaan yang begitu besar dalam hampir seluruh bidang pemerintahan. Artinya, peluang daerah untuk memiliki kebijakan sendiri, termasuk dalam penanganan covid-19 ini, tanpa persetujuan dari pemerintah pusat, hampir tidak mungkin. Bahkan, dalam konteks diskresi, yang secara teoritis berarti kewenangan bebas pejabat TUN untuk mengambil kebijakan dalam syarat dan kondisi tertentu, juga harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pusat. Ini berarti, sistem yang saat ini berlaku, telah memunculkan ketergantungan yang begitu besar daerah atas pusat. Kedua, dari aspek pemerintah daerah juga masih ada masalah, desentralisasi mengharuskan adanya kompetensi dan kreativitas kepala daerah untuk menjawab berbagai masalah yang muncul di daerah. Namun, berada di bawah hegemoni pemerintah pusat selama ini, menjadikan pemerintah daerah kalang kabut saat menghadapi pandemi. Mereka dituntut untuk kreatif padahal selama ini terkungkung di bawah pusat, tentu saja harapan menjadi kreatif ini jauh panggang dari api.
Pandemi covid-19 ini menjadi bukti sengkarut penataan hubungan pusat dan daerah. Ada daerah yang ingin bertindak progresif namun khawatir dianggap mendahului pusat, sebaliknya, ada pula daerah yang tidak melakukan apa-apa karena kehilangan kreativitas. Pilihan kita untuk mempertahankan pendekatan sentralistik, mendapatkan tantangan berat saat pandemi, ini meransang kita untuk mempertanyakan kembali penataan hubungan pusat dan daerah di masa depan.
Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan KPU telah menetapkan penundaan jadwal penyelenggaraan pesta demokrasi daerah menjadi bulan Desember 2020 mendatang. Keputusan bersama ini lalu direspon oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini yang kemudian menjadi payung hukum penundaan pemilukada, karena sebelumnya, belum ada norma yang dapat menjadi payung hukum penundaan tersebut. Tulisan ini, mencoba untuk menganalisis lebih jauh salah satu pasal dalam Perppu ini, yaitu penetapan jadwal penyelenggaraan pemilukada pada bulan Desember 2020. Secara substansial, tentu keberadaan norma yang sudah sangat konkret dan jelas ini menyalahi tata aturan perundang-undangan di Indonesia, karena sejatinya sebuah norma dalam undang-undang termasuk Perppu haruslah bersifat abstrak dan umum. Namun di luar itu, ada masalah lain yang harus menjadi pertimbangan kita bersama menyikapi ketentuan ini, yaitu tantangan yang akan dihadapi jika pemilukada tetap diselenggarakan pada bulan Desember mendatang.
KPU di Masa Pandemi
Pihak yang akan sangat terdampak dengan pelaksanaan pemilukada adalah para penyelenggara pemilukada, khususnya KPU. Jika pemilukada diselenggarakan pada bulan Desember, maka sejak bulan Juli proses atau tahapan pemilukada sudah harus dimulai. Mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan, penetapan calon, gugatan, kampanye, dan lain sebagainya. Pertama, jika melihat situasi dan kondisi saat ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada bulan Juli mendatang, pandemi covid-19 ini belum akan benar-benar hilang dari Indonesia. Pemerintah sendiri dalam laporan terakhirnya memperkirakan penyebaran virus baru terselesaikan pada bulan September 2020, dengan asumsi kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini berhasil. Dengan demikian ini akan berdampak pada kinerja KPU dan penyelenggara pemilu yang lainnya. Bekerja dengan pekerjaan teknis seperti KPU, akan sangat beresiko di tengah pandemi saat ini. Optimalisasi kinerja penyelenggara pemilukada ini penting karena ia akan menjadi legitimasi berhasil atau tidaknya dan demokratis atau tidaknya pemilukada.
Kedua, akan ada masalah yang sangat besar terkait dengan data. Saat ini, sebagian besar penduduk telah berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, sehingga ada pengurangan penduduk yang sangat besar pada satu daerah, sebaliknya ada penambahan penduduk yang sangat signifikan pula pada daerah yang lain. Dalam negara yang mengkategorikan memilih sebagai hak seperti Indonesia, besar dan kecilnya kuantitas pemilih dalam pemilu memang tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pemilu. Namun, karena memilih adalah hak konstitusional, tetap saja KPU dan pemerintah wajib menjamin pemenuhannya. Dengan kata lain, jika ada warga negara yang tidak memiliki hak pilih, dan pemerintah membiarkannya begitu saja, maka telah terjadi pelanggaran hak konstitusional. Artinya, mobilitas penduduk yang tak terkendali pada masa pandemi ini, akan menyulitkan KPU dalam mendata daftar pemilih sementara melakukan pandataan ulang, akan sangat sulit dilakukan.
Ketiga, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah terkait dengan anggaran. Selama ini, politik anggaran pemilukada selalu saja menimbulkan masalah, ada tolak-tarik antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga anggaran biasanya baru tersedia menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilukada. Tahapan pemilukada yang sudah harus dimulai sejak bulan Juli mendatang, tentu saja sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terlebih pada tahun 2020 ini akan diselenggarakan pemilukada serentak di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah sedang memfokuskan anggaran pada penanganan covid-19 dan ini rasional. Sehingga, sangat kecil kemungkinan akan ada sisa anggaran yang cukup untuk tetap menyelenggarakan pemilukada di tahun 2020 ini.
Penundaan Pemilukada
Tiga masalah diatas hanyalah sekelumit tantangan kecil yang dihadapi oleh KPU, masih banyak masalah lain yang jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, pilihan rasional saat ini adalah segera memutuskan penundaan pemilukada, agar seluruh lapisan pemerintah dapat berfokus pada penanganan covid-19. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme yang cukup bebas untuk menunda proses penyelenggaraan pemilukada, sehingga tidak ada lagi problem yuridis untuk mengambil kebijakan penundaan. Sebaiknya, penundaan Pemilukada ini tidak ditentukan dengan batas waktu yang pasti, melainkan menunggu sampai pemerintah berhasil menangani pandemi covid-19. Setelah pandemi covid-19 berhasil diatasi, maka pemerintah, KPU dan DPR dapat kembali membahas dan menentukan penyelenggaraan pemilukada. Pelihan kebijakan ini tentu saja bukan tanpa masalah, namun dilihat dari berbagai sisi, masalah yang akan timbul jauh lebih kecil dari pada tetap memaksakan pemilukada di bulan Desember mendatang.
1 July 2020
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Terminologi yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah “pemilukada”, bukan “pilkada”, bukan pula “pemilihan” seperti yang selama ini digunakan. Terkait dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perdebatan panjang yang melelahkan bahkan sampai hari ini belum selesai, yaitu apakah rezim pemilihan kepala daerah termasuk rezim pemilu, ataukah rezim pemilihan kepala daerah. Konsekuensi pilihan atas dua hal ini sangatlah panjang, ia berkaitkelindan dengan mekanisme pemilihan (lansung atau tidak lansung), lembaga penyelenggara, hingga proses penyelesaian sengketa (MK atau bukan), dan masih banyak hal lainnya. Tentu masing-masing pihak yang berbeda pendapat, memiliki argumentasi dan kepentingannya sendiri. Namun, paska Putusan MK Nomor 55 Tahun 2019, perdebatan itu sejatinya telah berakhir. MK telah menyatakan pemilihan kepala daerah merupakan bagian atau rezim dari pemilu sebagai diatur di dalam Pasal 22E UUD N RI Tahun 1945, konsekuensi logisnya baik mekanisme, kelembagaan, maupun penyelesaian sengketa juga mengikuti ketentuan pemilu. Dengan kata lain, penyelenggara Pemilukada adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP sedangkan penyelesaian sengketa berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, terminologi yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemilukada.
Pemilukada di tahun 2020 ini akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, artinya lebih dari setengah daerah akan melansungkan pesta demokrasi lokal. Pemerintah telah memutuskan pemilukada tetap diselenggarakan di tahun ini, yaitu 09 Desember 2020 mendatang, sekalipun pandemi covid-19 belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Pilihan ini, dengan semua konsekuensinya tentu telah dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pemunduran pemilukada yang terlampau lama, akan memiliki konsekuensi negatif terhadap penyelenggaraan otonomi di daerah, karena akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dengan kewenangan yang sangat terbatas.
Harus diakui, pandemi covid-19 telah mengalihkan perhatian semua pihak dalam penyelenggaraan pemilukada Desember 2020 mendatang, termasuk penyelenggara, pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Kita terfokus dengan penambahan anggaran pemilukada, keselamatan penyelenggara dan pemilih, optimalisasi wewenang pengawasan, dan berbagai hal teknis lainnya. Sehingga, banyak aspek substantif yang terlupakan, tidak menjadi perhatian, padahal keberadaannya begitu vital dalam konteks pemajuan demokrasi lokal. Salah satunya adalah keberadaan calon tunggal dalam pemilukada.
Setelah melewati perjalanan panjang dan berubah-ubah, akhirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 mengakomodir keberadaan calon tunggal dengan dasar Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015. Kalau diperhatikan, keberadaan calon tunggal terus mengalami peningkatan setiap waktunya. Dalam catatan penulis, pada Pemilukada serentak tahun 2015 lalu terdapat tiga kabupaten yang memiliki calon tunggal dari 269 kabupaten/kota dan provinsi penyelenggara Pemilukada. Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 9 dari 101 daerah penyelenggara Pemilukada dan kembali meningkat pada tahun 2018 menjadi 16 dari 171 pilkada. Pada Desember 2020 mendatang, akan ada 270 daerah yang mengikuti kontestasi Pemilukada, sehingga dapat dipastikan akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap calon tunggal kepala daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Terlebih dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, banyak aspek yang mendukung tumbuh suburnya calon tunggal. Banyak pihak yang mulai menyadari, memenangkan kontestasi Pemilukada dengan menjadi calon tunggal relatif lebih mudah dari berbagai sudut (kecuali biaya). Sampai hari ini, hanya ada satu daerah di mana calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong.
Ada problem substantif yang cukup fatal dalam pengakomodiran calon tunggal dalam pemilukada, terlebih dalam negara demokrasi yang masih syarat dengan transaksional dan interaksi patron-client seperti Indonesia. Pemilukada lansung yang sebelumnya diniatkan menjadi pendidikan politik dan pemenuhan kedaulatan rakyat daerah, dapat berubah menjadi transaksi “binal” elit politik di daerah-daerah. Menjadi calon tunggal, terutama petahana, di daerah tidaklah sulit, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan “membeli” suara partai-partai politik di daerah yang bersangkutan, sehingga tidak ada ruang untuk calon lain mencalonkan diri. Kalaupun ada partai yang mendukung, presentasenya tidak memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon, sehingga gagal sejak awal. Pada aspek ini, harus kita akui bahwa komitmen partai politik dalam pemajuan demokrasi masih sangat rendah. Partai menyumbang peran yang cukup besar dalam berbagai masalah demokrasi yang mengangkangi Indonesia saat ini. Di sisi lain, keberadaan calon perseorangan tidak bisa terlalu diharapkan, dengan persyaratan yang sangat sulit, hampir tidak ada yang berminat menjadi calon perseorangan, apalagi mengumpulkan berbagai persyaratan ditengah pandemi saat ini tidaklah mudah. Lagi-lagi, ini juga adalah ulah partai politik di senayan, yang tidak begitu “senang” dengan kehadiran calon perseorangan.
Problem substantif berupa demokrasi transaksional dan patron-client di atas, tentu tidak dapat dihilangkan semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat aspek pendidikan politik, kesejahteraan, dan banyak faktor lain yang mempengaruhi. Namun, dalam konteks negara hukum modern, yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki sistem yang ada, untuk menutup celah sekecil mungkin bagi tumbuh kembangnya demokrasi transaksional dan patron-client tersebut. Keberadaan calon tunggal dalam pemilukada sudah seharusnya dievaluasi, dampak negatif yang ditimbulkannya jauh lebih buruk terutama dalam pemajuan demokrasi Indonesia. Pilihannya, bisa saja dengan menutup ruang calon tunggal sama sekali, sehingga calon kepala daerah minimal harus ada dua calon, atau dengan memudahkan persyarata calon perseorangan.
Pada bulan Maret 2020 lalu, Mahkamah Agung telah membatalkan ketentuan mengenai kenaikan iuran BPJS, melalui judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangannya, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Mengacu pada putusan MA tersebut, pemerintah kemudian menurunkan tarif iuran BPJS seperti semula, terhitung sejak bulan April 2020 lalu.
Namun, hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Nominal kenaikan sama dengan kenaikan sebelumnya, bedanya hanya untuk golongan Kelas III, kenaikan ditunda sampai dengan tahun 2021 mendatang. Tentu saja, Perpres ini memicu banyak protes di tengah masa pandemi seperti saat ini. Pemerintah, tidak saja dianggap nir empati terhadap rakyat, namun muncul pula tudingan bahwa presiden telah melanggar konstitusi.
Melanggar Kostitusi
Pasal 24A ayat (1) UUD N RI Tahun 1945 menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Salah satu kewenangan MA yang diamanatkan oleh UUD pasca amandemen adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adanya macamnya, termasuk salah satunya adalah Peraturan Presiden. Artinya, pengujian yang dilakukan oleh MA terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, pada bulan April lalu, merupakan salah satu pelaksanaan amanat konstitusi. Sehingga, kebijakan Presiden Jokowi yang melanggar Putusan MA dengan mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020, juga dapat dikategorikan melanggar konstitusi. Terlebih, dasar pembatalan Perpres dalam Putusan MA bukanlah aspek prosedural melainkan aspek substansial.
Sekalipun memang, karena yang dilanggar adalah konstitusi, maka tidak ada sanksi yuridis yang dapat dikenakan kepada presiden. Yang dapat dilakukan hanyalah kembali mengajukan judicial review Perpes tersebut kepada MA agar dibatalkan. Meski ada ruang impeachment yang dapat ditempuh jika presiden dianggap telah melanggar konstitusi, namun impeachment merupakan mekanisme politik yang hampir tidak mungkin sama sekali dapat terjadi dalam situasi seperti saat ini, di mana parlemen sepenuhnya dikuasai oleh koalisi pemerintah.
Namun demikian, terlepas dari apapun dinamika yang muncul atas lahirnya Perpres ini, tindakan Presiden Jokowi tidaklah terpuji. Hukum, baik melalui undang-undang maupun putusan hakim, adalah rel yang menuntun arah jalannya kereta Indonesia. Hukum tidak saja memungkinkan ketertiban muncul, namun juga menjadi legitimasi kuat adanya suatu pemerintahan. Terlebih, dalam konsepsi yang lebih teoritis, Presiden dan MA berada pada dua cabangan kekuasaan berbeda yang memiliki sejarah panjang. Presiden adalah rumpun cabang kekuasaan eksekutif, sedangkan MA adalah rumpun cabang kekuasaan yudikatif. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda, sekalipun tidak dipisahkan secara kaku. Dalam sejarah panjang negara, munculnya cabang kekuasaan yudikatif ini, adalah respon terhadap kesewenang-wenangan eksekutif dalam memerintah. Sehingga lahirnya yudikatif, sejatinya tidak lain untuk membatasi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif.
Dulu, kita sering kali mendengar orang berseloroh, biarlah saja jika ada suatu keputusan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), toh pemerintah dapat membuat keputusan serupa setelahnya. Hal ini dapat terjadi karena putusan PTUN, memiliki daya ikat dan daya paksa yang lemah, sehingga jika tidak dilaksanakan tidak ada sanksi yang dapat dikenakan. Ini adalah preseden buruk dalam berhukum, padahal tegaknya republik ini sangat bergantung pada tegaknya hukum kita sendiri. Dengan kata lain, menjunjung tinggi hukum, sama artinya dengan menjunjung tinggi NKRI. Biarlah ini menjadi sejarah kelam masa lalu Indonesia, jangan sampai menjadi kebiasaan yang terus terulang sampai hari ini, apalagi jika dilakukan oleh seorang presiden.