OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Ketika Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang perburuhan diketukpalukan tahun ini, serentak ribuan barisan buruh dari berbagai organisasi buruh di Indonesia marah dan lantang melakukan protes. Keputusan pemerintah ini tentu saja dianggap sangat arogan, tidak manusiawi dan dianggap akan mematikan nasib buruh. Protes massa buruh tidak hanya memberi kita cerminan bahwa problem buruh sampai detik ini kian tidak membaik tetapi juga menggambarkan bahwa sistem ekonomi politik mainstream tetap saja selalu tidak berpihak pada kelas-kelas pinggiran semacam kaum buruh. Nasib terpuruknya buruh tidak sampai di sini. Krisis ekonomi global yang saat ini terjadi lagi-lagi akan menenggelamkan harapan sekian banyak buruh karena ancaman PHK massal. Kelas buruh yang akhirnya banyak menanggung dampak paling buruk. Inilah gambaran nafsu kapitalisme yang amat mengerikan. Atas nama efektifitas dan roda bertahannya industri, “buruh” selalu ditempatkan sebagai halnya mesin berjalan. Inilah “metafora mesin” yang kini selalu dimapankan oleh logika industri. Apalagi sistem kontrak kerja (outsourching) telah meletakan buruh pada situasi yang paling rentan. Nasibnya telah dibatasi oleh berbagai klausul atiran memaksa yang samasekali tidak memihak. Nasib jutaan kaum pekerja (buruh) ada di ujung tanduk. Bersiap sewaktu-eaktu harus dipangkas dalam ikatan kerja tanpa jaminan kompensasi apapun. Kalau dilihat dalam logika ini, maka ‘buruh’ bisa saja mewakili citra sebuah gambaran “perbudakan modern”. Perbudakan yang kian membentuk dalam wujud yang semakin ekstrim dan modern. Inilah sistem dan warisan kebudayaan penghisapan yang detik ini justru oleh para penguasa masih dilestraikan dengan begitu angkuhnya.
Makna “budak” tentu dalam kamus umum dimengerti sebagai seseorang yang diposisikan menjadi pembantu, abdi, atau sesorang yang diletakkan sebagai layaknya setengah manusia (subhuman). Sebagai sebuah sistem kebudayaan dalam epos sejarah masayarakat, “perbudakan” memberi pengertian sebagai sistem sosial dimana ada orang dan sekelompok orang merampas hak dan kepentingan manusia yang lain. Probloemnya, mainstream kebudayaan mapan tidak meletakan buruh ini hakikatnya sebagai budak. Diskursus kekuasaan bahkan mampu mensublimkan dan menghaluskan ini menjadi bukan persoalan yang rawan. Parahnya lagi, diskursus tentang apapaun yang menyinggung “buruh” masih selalu dianggap sebagai kegiatan “subversif” kekiri-kirian yang “haram” dibincangkan. Apakah wacana tentang nasib buruh hanyalah menjadi tradisi dan kecenderungan sikap gerakan-gerakan yang ada dalam jalur ideologi “kiri”? Apakah Islam mempunyai khasanah tersendiri tentang problem buruh ini? Jika saja Islam merupakan entitas maha besar dari kesatuan utuh sejarah poeradaban ini, bukankah persentuhan dengan dinamika buruh semakin dimungkinkan terjadi? Bagamaina kemudian diskursus tentang buruh ini diterjemahkan oleh Islam?
Islam sangat diharapkan mampu serius berbicara mengenai “teologi buruh” yang tidak mengasingkan diri untuk ikut membicarakan berbagai relasi modal, buruh dan negara dan terutama peduli terhadap sekian problem buruh yang semakin memprihatikan. Spirit inilah yang tertangkap dalam gagasan buku Theology of Labor karya Abdul Jalil. Tentu gagasan ini sekaligus juga berangkat dari keprihatinan bahwa dalam konteks Indonesia yang memiliki mayoritas warga muslim, tetapi kenyataannya sekian waktu gerakan Islam masih cenderung tiarap untuk merespon problem buruh yang semakin tragis. Tidak jarang pula bahwa sekian roda ekonomi yang dikelola oleh komunitas dan institusi muslim masih juga larut dalam prinsip kapitalistik yang justru jauh dari spirit keperpihakan umat. Bisnis-bisnis muslim tidak ubahnya sama dengan bisnis lainnya yang lebih beriktiar untuk kepentingan keuntungan modal ketimbang pemenuhan rasa keadilan bagi sekian warga muslim.
Melalui penelusuran aspek historis perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, buku ini mau eksplisit mengatakan bahwa problem buruh saat ini tidak ubahnya merupakan cerminan sistem perbudakan yang masih diwariskan ribuan tahun yang lalu. Budak hanyalah manusia kelas pinggiran yang nasib hidupnya ditentukan oleh kemahakuasaan para pemilik budak. Fakta tragis ini nyatanya pernah ada di Indonesia. Tahun 1877, di wilayah Sumba, kematian raja harus diikuti oleh kematian seratus orang budak demi kehidupan baka sang raja. Di beberapa perjalanan kehidupan suku Indonesia fenomena perbudakan juga cukup masih berkembang. Dengan seiring perkembangan peadaban sistem perbudsakan juga mengalami transformasi luar biasa. Kolonialisasi asing atas bangsa Indonesia juga semakin memposisikan sistem perbudakan dalam wujud yang lebih modern. Walaupun ada beberapa kebijakan peraturan yang dikeluarkan untuk menata sistem perbudakan ini, pada prinsipnya sistem ini relatif belum menghilang. Memang pada tahun 1817, pemerintah kolonial Belanda telah memberi peraturan larangan untuk jual beli budak. Dalam Regeringsreglement, semacam Undang-undang Hindia Belanda (1818) melarang jual beli budak, termasuk larangan mendatangkan/memasukan budak dari luar Indonesia.
Atas berbagai masukan dan perkembangan kritik memang ada perkembangan dan perubahan dalam pengelolaan sistem perbudakan. Sejarah mencatat bahwa Regeringsreglement sampai tahun 1827, 1830 dan tahun 1836 memang belum ada perubahan berarti tentang niat penghapusan sistem perbudakan. Baru pada tahun 1854 dengan eksplisit memang menghendaki sistem perbudakan. Namun perubahan inipun belum cukup hakikat sistem eksploitasi yang lebih mengeras. Sistem kerja rodi salah satunya masih tetap dipertahankan sebagai cara massalisasi akumulasi modal kolonial sampai dihapuskannya pada tahun 1930 dan berganti dengan sistem kerja “kapitalistik”. Hadirnya sistem ini, mengangkat hakikat perbudakan menjadi berwajah lebih modern. Walaupun telah diatur posisi yang lebih terbuka pada kesempatan buruh tetapi pada kenyataannya nasib buruh masih selalu terpinggirkan. Kondisi masih belum beranjak baik, karena pada prinsipnya sistem kapitalistik masih sangat menempatkan kekuasaan korporasi melalui pemilik modal dengan tidak terbatas. Pemutusan hubungan kerja bisa saja tiba-tiba dilakukan hanya oleh beberapa alasan yang bisa sasja tidak adil bagi buruh. Penentuan jumlah gaji yang harus diterima oleh para buruh juga relatif ditentukan oleh kekuasaan para pengusaha. Telah terjadi dominasi kapitalis dan relasi hubungan industrial yang timpang. Demikianlah, Bab 4 buku ini mau melihat lebih jauh relasi ketimpangan kerja industrial tersebut.
Kerakusan kapitalisme industri dirasakan menjadi sebab terutama dari peminggiran buruh. Kapitralisme industri begitu banyak telah membuahkan mesin pemerasan keringat buruh hanya demi penumpukan keuntungan ketimbang rasa keadilan. Hasil yang diraih sebagi keuntungan tidak kembali pada apa yang sejarusnya menjadi hak kesejahteraan buruh. Negara yang dianggap mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membantu problem ini justru menjadi bagian utuh dari adanya relasi ketimpangan itu. Alih-alih memberi kompensasi yang adil bagi hak hidup buruh, negara justru kerap kali menjadi sarana ideologis dan sekaligus represif untuk mempertahankan sistem ketimpangan ini. Apa yang kemudian harus dilakukan? Apakah Islam juga mampu memberi jawaban memadahi dari sekian problem ini ketika Indonesia yang ralatif berpenduduk mayoritas muslim, nasib buruh juga masih terus ditelantarkan?
Abdul Jalil dan bab 5 buku ini mau sedikit menengok dan merefleksikan dalam kacamata perspektif pengalaman Islam beserta beberapa pisau tafsir yang ada di dalamnya. Proposisi keyakinan buku ini mau memberi sugesti optimistis bahwa Islam harusnya mampu menawarkan alternatif dari problem perburuhan ini. Sebagaimana agama yang komprehensif dan universal, Islam dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem ekonomi yang bisa menjadi alternatif di luar dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme. Islam yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk “fiqh” (hukum Islam) yang bersifat operatif operasional diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab realitas perburuhan kontenporer. Selain itu juga berbekal konsep dasar Al-Qur’an, diharapkan bisa memberi tekanan terhadap sistem agar penanganan masalah buruh tetap mengacu pada koridor fitrah kemanusian yang sejatinya. Meskipun konsep yang utuh tentang sistem perburuhan belum ada secara komprehensif dalam definitif hukum islam karena refrensi tekstual dan historis memang belum ada, namun bahwa nilai-nilai yang mengacu pada hakikat dasar perburuhan sebenarnya bisa ditemukan dan bisa menjadi bahan acuan tafsir teologis yang berharga dengan segenap mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” yang selalu berdinamika dan berkembang.
Dalam beberapa catatan, buku ini mau memberikan penegasan menarik bahwa Islam memberikan refleksi berharga bagi pembacaan problem buruh. Berangkat dari awal tafsir tentang hak, Abdul Jalil dalam catatan buku ini kembali memaparkan hak-hak buruh yang sebenarnya banyak tersirat ditampilkan dalam Islam. Islsm sangat mendambakan kompetensi dan produkstifitas manusia. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an (Qs : al-Mulk (67) : 2) bahwa “kehidupan” adalah ujian bagi manusia di dalam berbuat dan beramal. Jika kita letakan dalam konteks riil ekonomi maka bisa dikatakan bahwa yang lebih baik perbuatannya adalah mereka yang memang produktif. Dalam Islam jelas tegas mengingatkan bahwa penghargaan dan pemberian upah bagi buruh dengan selayaknya adalah merupakan poin mendasar yang harus diperhatikan. Dalam sebuah hadist telah dinyatakan bahwa “Berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering”. (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Hadist no. 2434.) Pengingkaran seorang majikan terhadap pemberian upah yang selayaknya secara eksplisit dilarang dalam Islam.
“Tiga kelompok orang yang akan saya musuhi di hari kiamat, yakni orang yang bersumpah atas nama-Ku dan kemudian dia ingkar; orang yang menjual orang lain yang berstatus merdeka kemudian hasilnya dimakan; dan orang yang tidak membayar upah pekerja setelah mereka melakukan pekerjaannya”, (Shahih al-Bukhari, hadist no. 2075).
Beberapa hak yang mendasar yang selama ini juga santer diperjuangkan oleh buruh seperti hak mendapatkan keselmatan, kesehatan dan perlindungan juga telah ditegaskan juga dalam nilai-nilai Islam. Dengan begitu, Islam memberi penegasan bahwa para majikan pada hakikatnya harus bertanggungjawab penuh atas berbagai hal yang menjadi kebutuhan buruh seperti kesehatan, perlindungan, dan keselamatan kerja. Menelantarkan buruh merupakan hal yang sangat ditentang oleh Islam. Islam dengan gamblang mengajarkan untuk tidak boleh mentelantarkan dan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai fitrah kemanusiannya.
“Para buruh adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barangsiapa mempunyai buruh hendaklah mereka diberi makan sebagaimana ia makan, diberi pakaian sebagaimana ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa ia harus dibantu”. (al Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadist no. 559)
Penekanan terhadap penghargaan martabat kemanusian sudah menjadi kewajiban bagi semua orang Muslim. Dalam konteks relasi kerja industrial, Islam jelas mengajarkan bahwa hal yang paling dinistakan bila sistem ini menempatkan manusia sebagai “mesin”. Manusia adalah entitas yang harus dihormati dan mendapat penghidupan yang layak. Menjadi sebuah hak bagi para buruh untuk mendapatkan penghidupan yang layak tersebut. Apa yang diujarkan oleh Nabi sangat gamblang dan lugas bahwa seorang majikan yang yang tidak mampu menyediakan penghidupan yang layak bagi para buruhnya maka sebenarnya dia adalah seorang “pembunuh”
“…saya mendengar Nabi bersabda : barang siapa mengangkat buruh, jika ia tidak mempu mempunyai rumah maka harus dibikinkan rumah; Jika ia belum menikah maka harus dinikahkan; Jika ia tidak mempunyai pembantu maka harus dicarikan pembantu; jika ia tidak mempunyai kendaraan maka harus diberikan kendaraan. Jika majikan tidak memberikan hal tersebut. Ia adalah seorang pembunuh”. ( Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, hadist no. 17329)
Yang lebih menarik dari pemaparan beberapa fakta tersebut, buku ini juga mampu memberi sedikit gugahan pembaca bahwa secara hostoris seperti nilai-nilai yang menyoal tentang perbutuhan juga pernah terangkat dalam dinamika sejarah Islam seperti persoalan-persoalan tumbuh berkembangnya sarikat-sarikat buruh sesuai dengan perkembangan peradaban Islam. Dari buku ini meminjam hasil penelitian yang dilakukan oleh Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The Islamic City (1970), Serikat Buruh dalam Islam bahkan telah tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Utsmaniyah, tepatnya di Turki Anatolia pada abad XIV Masehi yang dalam catatan sejarah lebih akrab disebut sebagai “Akhi” dan “Fityan”. Bahkan dalam literatur lain, Andre Raymod menyebutkan beberapa catatan berharga mengenai munculnya berbagai sarikat buruh dalam sejarah Islam. Seperti adanya serikat-serikat buruh di sektor-sektor pekerjaan seperti tukang cukur, pembawa panji-panji, mu’azhzhin, dan juga buruh pekerja di kebun kopi. Sejak abad XVI hingga XIX Masehi, serikat-serikat buruh telah terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan, Mereka hidup di pasar kota. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecilpun mempunyai serikat buruh. Dalam catatan seharah di atas telah banyak yang disumbangkan oleh hadirnya serikat-serikat buruh ini. Serikat buruh telah memberikan andil luar biaa bagi perjalanan peradaban Islam.
Tentu ada beberapa catatan yang menarik dan perlu untuk dikembangkan lagi sebagai usaha pendalaman dan pengembangan tulisan ini. Secara prinsip problem buruh adalah problem yang harus dibaca secara lebih utuh karena akan banyak menyeret persoalan yang lain. Beberapa usaha Abdul Jalil untuk serius memberikaan alasan perlunya sikap kritis dan maju dalam membaca persoalan buruh perlu harus diberi apresiasi mengingat minimnya kajian dan riset yang serius untuk mengamati problem perburuhan di Indonesia. Ada catatan yang perlu ditambahkan, pertama, tulisan ini masih terbatas menjangkau fakta-fakta yang masih umum dan masih terbatas pada cuilan-cuilan fragmentasi pengalaman peristiwa yang tertekskan dalam literatur-literatur yang sudah mapan seperti teks Kitab Suci. Maka ruh atas gambaran ini belum terasa menjangkau epos konteks jaman yang lebih mendalam dengan segala polemik di dalamnya. Kedua, problem perburuhan juga belum memberi gambaran yang lebih banyak tentang bagaimana gerakan-gerakan Islam sendiri membangun perspektif dan epistemologi gerakan terutama berkaitan dengan permasalahan buruh. Jika ini diangkat maka tentu saja ada berbagai problem menarik tentang subjektifitas gerakan yang khas yang bisa kita baca terutama dalam konteks gerakan buruh di Indonesia berkait juga dengan gerakan islam. Ketiga, apa yang diangkat Abdul Jalil memang masih akan terbaca sebagai gagasan normatif ideal. Apa yang sebenarnya menarik untuk dikerjakan lebih lanjut adalah menjawab tesis penting mengapa detik ini pula gerakan Islam belum cukup mampu untuk menjawab tantangan nasib buruh lebih komprehensif. Problem politik, ekonomi , sosiologi dan juga kebudayaan gerakan tentu menjadi penting untuk digali bersama dengan usaha penelusuran aspek teologis secara lebih kontekstual.
Peresensi
Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Pemerhati politik dan Budaya tinggal di Yogyakarta)
Selama satu tahun ini, teman-teman dan para ikhwan gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta telah belajar bersama-sama dengan Pusham UII, Tim Pengacara Muslim (TPM) Jateng, LBH Yogyakarta dan berbagai organ lain dalam apa yang disebut dengan gerakan advokasi hak asasi manusia. Berbagai training dan diskusi selalu membahas dengan sengit berbagai pengalaman gerakan dan sekaligus pengalaman ketertindasan dimana umat Islam, kerapkali menjadi korban kejahatan aparat Negara, sejak zaman orde baru hingga era reformasi ini. Beberapa buku dan bahan bacaan didiskusikan untuk memperkaca wawasan, meningkatkan keterampilan dan mengasah sensifitas.
Salah satu agenda yang kerap saya sampaikan kepada para ikhwan itu adalah bahwa para aktivis Islam belum mempunyai karya penelitian dan dokumentasi yang brilian dalam bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde BAru dan orde reformasi ini dalam isu terorisme. Sebaliknya, para aktivis gerakan Kiri dan Komunis telah mempunyai puluhan judul buku yang mencatat, merekam, mendokumentasikan dan menganalisa pengalaman mereka sebagai korban kejahatan rezim Soeharto dalam peristiwa 65/66, atau peristiwa pasca G.30 S. 65. Hal ini berbeda setarus delapan puluh derajat dengan rekan-rekan aktivis Islam yang pernah menjadi korban rezim orde baru dan reformasi ini, sejak peristiwa Komando Jihad, Usroh, Tanjung Priok, Lampung, hingga isu Terorisme belakangan ini.
Menurut hemat saya, para aktivis Islam (gerakan Islam) perlu belajar dari kelompok ini: tentang bagaimana cara mereka merekam sejarah ketertindasan itu dan membuatnya sebagai ‘panggung kekejaman’ rezim berkuasa di masa lalu. Salah satu buku yang patut dipelajari adalah buku ini: ‘Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi’ yang ditulis oleh M.R Siregar. Buku ini mengupas secara gamblang bagaimana berbagai peristiwa dan sistematika pelanggaran HAM terjadi, dan akar masalah, konteks ekonomi serta politik yang melatarbelakanginya.
Genealogi “politik” HAM
Bab satu dan kedua, buku ini mengupas akar masalah sejarah ekonomi dan politik di Indonesia dimana gerakan Kiri dan Komunis termasuk kelompok Radikal yang dalam banyak hal pilihan politiknya sama dengan apa yang diambil oleh mantan “Amir” DI/TII S.K.M. Kartosuwiryo. Sikap sayap kiri ini sangat penting untuk dicatat: penolakan terhadap manifesto politik Belanda, perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvile yang tujuannya adalah menyangkut apa yang selama ini kita sebut dengan problem HAM Ekosob, yakni pemerintah yang bekerja untuk kepentingan modal/negara asing dengan mengorbankan kehidupan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Masa kabinet Hatta, merupakan salah satu periode penting di awal kemerdekaan politik RI, dimana pemerintah menerima tekanan Amerika, Belanda dan Inggris dengan membiarkan perusahaan-perusahaan asing menguras kekayaan dan sumber daya alam strategis.
Dengan mengutip Kreutzer, MR Siregar menuliskan lagi bagaimana perusahaan asing mampu menaklukan pemerintah RI dan menguras kekayaan alam negeri ini (hlm 14):
“pada hari-hari itu (awal November 1945, red), Amerika Serikat telah memperoleh kepentingan- kepentingan yang cukup besar di kepulauan Indonesia. Perusahaan-perusahaan swasta Amerika telah mulai menambang biji nikel dan besi di Sulawesi (Celebes). Industri-industri pertambangan di Bangka dan Belitung mengekspor seng dan timah di Amerika Serikat. Standart Oil Rockefeller telah menggali kurang lebih 500 sumur minyak di Sumatra. Di pulau yang sama Goodrich dan raksasa karet lainnya memiliki perkebunan-perkebunan sekitar 100.000 ha untuk masing-masing.”
Dalam tekanan tersebut, hanya front persatuan nasional yang dapat mengalahkan kaum imperialis itu. Sayangnya, front ini yang dulu digagas Muso dan PKI ditolak oleh Masyumi dan PNI (hlm. 18). Dengan kata lain, sejarah juga menunjukan bahwa berbagai faksi dan elit gerakan nasional, pada akhirnya akan saling mengalahkan dan membunuh untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan internasional. Sejarah pada akhirnya menjadi milik Hatta, yang kemudian belakangan milik Jendral Soeharto dengan dukungan Amerika dan negara-negara imperialis lainnya.
Bila problem Hak Asasi Manusia, di antaranya berakar pada negara yang mengabdi pada kapitalisme, seperti yang ditunjukan oleh UU PMA 2007 belakangan ini, maka dominasi dan imperialisme pasca kolonial terbukti gagal untuk dilawan dan dihilangkan. Dengan kata lain, pembaharuan UU PMA, UU SDA, UU Migas dan berbagai perundang-undangan lain yang bertentangan dengan UUD 1945, dan UU HAM 1999, UU No. 11/2005 tentang HAM Ekosob, telah memiliki akar struktural dan sejarah yang penting untuk dibaca lagi melalui buku ini.
Kekerasan Tentara Pemerintah, dalam kabinet Hatta yang secara diam-diam bekerjasama dengan Amerika juga terjadi di masa-masa revolusi yang menjadi jalan awal dari sejarah panjang kekerasan tentara Indonesia terhadap buruh, yang masih berlangsung hingga hari ini. Hal yang sama dilakukan setelah PKI tumbang di masa-masa orde baru, terhadap para aktivis Islam di Pula Jawa dan Sumatra.
Bila SBY gagal dan tidak mampu memberikan perlindungan HAM Ekosob kepada korban lumpur Lapindo, pemerintah tidak mampu melindungi buruh (menyangkut hak-hak buruh yang telah ditetapkan dalam UU Hak Ekosob, No. 11 tahun 1005), yang notabene adalah rakyatnya dari Perusahaan hari ini, maka akar masalahnya sudah berlangsung pasca perjanjian KMB tahun 1949. Salah satu nota kesepakatan pemerintah RI dan Belanda adalah menjamin perkebunan/tanah dan perusahan asing tidak dinasionalisasi, tidak diberikan pada para petani (yang telah dirampas masa kolonial), bahkan sebagian diberikan kepada Amerika Serikat. Duet Soekarno-Hatta, didukung oleh PNI, PSI dan partai lain telah memberikan secara cuma-cuma kepada para kolonialis itu tanah-tanah, perkebunan dan perusahaan. Inilah kemerdekaan yang tidak sepenuhnya, sebagaimana yang masih berlangsung hingga hari ini. Di kalangan Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) saat itu sangat menentang kebijakan-kebijakan paska-kolonialis itu.
Aksi-aksi buruh dan petani di Sumatra Utara, di Jawa Timur, kemudian disambut dengan berondongan senjata, dan pembunuhan-pembunuhan terhadap aktivis buruh dan tani oleh Tentara. Pemerintah dan militer menjadi alat kapitalisme pasca kolonial yang sedang memperbaiki dirinya pasca PD II (hl, 51, 215). Mari kita lihat catatan MR Siregar:
“Tuntutan pihak perkebunan asing melibatkan sekitar 28.000 keluarga di Jawa dengan luas tanah sekitar 80.000 ha, di antaranya 20.000 ha di Malang (Jawa Timur). 23.000 ha di Kediri dan
14.000 ha di Suarakarta (Jawa Tengah). Di Sumatra terdapat 150.000 keluarga, atau sama dengan 750.000 jiwa. Tanah yang hendak dirampas kembali ini tak sedikit yang telah digarap petani sejak pendudukan Jepang, dan sepanjang tahun-tahun nperjuangan bersenjata membela kemerdekaan 1945-1949, telah memberikan sumbangan yang tidak kecil kepadan republik.”
..“Tetapi berdasarkan persetujuan KMB, tanah-tanah tersebut harus dikembalikan kepada “pemiliknya” semula yaitu para pemegang konsesi kolonial. ….Menteri dalam negeri Mr. Moh Roem (Masyumi) dan Gubernur Sumatra Utara Abd. Hakim (Masyumi) tanpa perasaan iba apalagi keadilan barang sedikitpun mengerahkan stauan-satuan Polisi mengawal traktor-traktor yang dikerahkan pihak perkebunan menggilas tanah-tanaman-tanaman dan rumah-rumah kamu tani di berbagai tempat di Sumatra Timur, khususnya di Tanjung Morowa. Pentraktoran dilakukan ketika padi sedang menguning, dan tanaman palawija siap untuk dipanen.”
Kita kemudian disadarkan oleh buku ini, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak petani, buruh dan HAM secara umum, telah memiliki fondasi yang begitu kuat di jantung kekuasaan di republik ini. Pelanggaran- pelanggaran ini, dan keberpihakan Tentara, khususnya Angkatan Darat pada Neokolonialisme seperti pemusnahan terhadap petani di atas telah menjadi “kondisi yang dipersiapkan” untuk holokaus yang tidak terperikan itu. Penghisapan atas buruh, penindasan terhadap petani (yang notabene mayoritas mereka adalah umat Islam), menjadi kenyataan yang terus berlanjut hingga hari ini. Sukses terpenting dari pembantaian 65/66 adalah penghancuran segala bentuk gerakan sosial yang berbasis pada pemenuhan dan perjuangan hak-hak rakyat. Dan seperi kita semua tahu, setelah 65/66 Rezim Soeharto dengan leluasa “membantai umat Islam” di berbagai wilayah di Indonesia.
Buku ini merupakan pencapaian gerakan ghazwul fikri yang tangguh dari korban 65/66 di Indonesia. Ini merupakan bahan pelajaran yang sangat penting bagi gerakan Islam di negeri ini. Buku ini merekam dan mencatat ulang sejumlah peristiwa kekerasan HAM, kejahatan HAM, yang tidak saja sebagai sebuah holokaus, namun juga hingga taraf tertentu menjadi genosida yang patut diingat dan dibuka secara publik. Secara spesifik, deskripsi secara detil, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto dan Rezim Orde baru, terdapat dalam bab ‘VI: Dimensi Holokaus dari Tragedi ini’ (hlm. 201—317). Kemudian dimensi struktural, ekonomi, dan politik HAM di Indonesia diurai dengan sangat panjang lebar, dalam dua bab: bab VII, Hak Menentukan Nasib Sendiri di Depan Kemahakuasaan Imperialisme (318—397); dan bab VIII, Dimensi Struktural dari Tragedi Ini (398—520).
Korban Kejahatan dalam ‘Tragedi Kemanusiaan’
Mari kita lihat beberapa peristiwa kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun-tahun yang mengerikan itu.
Bentuk Kejahatan | Deskripsi | Keterangan |
Pogrom (massa yang melakukan serangan) | Aksi ini terjadi secara serentak, meluas dan sistematis, terjadi di hampir seluruh kota dan provinsi di Indonesia. | Misalnya yang menimpa seorang ibu dan 3 naknya yang masih kecil di Sumatra Utara (h.216-217), menimpa Pramudya Anata Toer di Jakarta (217-218) |
Penahanan (dipenjara) tanpa proses pengadilan | Para korban setelah ditangkap, mereka disiksa di kamp-kamp penahanan (kantor polisi, tentara, atau gedung lainn), selama bertahun-tahun. | Misalnya lagi yang menimpa sang ibu di atas, ditahan selama 5 tahun. |
“Penyembelihan” | “Di Jakarta, sekawanan Pogrom menjerang air dalam drum. Ketika sudah menggelagak (mendidih), seseorang yang mereka amankan …dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas dicelupkan di dalamnya…kepuasan mereka lepas dalam tawa dan sorak sorai…ketika korban dikeluarkan dari drum maka sang korban …Kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas matang…serta kedua bola matanya meletup…di sebuah kmapung di Jakarta sebuah keluarga berakhir dengan sebutam “Sate Komunis”. (h.223) | Perburuan daging komunis di Jawa Tengah dipimpin oleh Kol. Sarwo Edhie. 800 orang dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala (h.223) |
Masih banyak contoh lain, yang digambarkan oleh MRS secara detil, dengan beberapa contoh di beberapa provinsi. Penyiksaan dalam tahanan , kondisi dalam penjara yang tidak manusiawi, yang menyebabkan banyak tahanan meninggal perlahan-lahan (232—236). Penyiksaan ketika diinterogasi (238— 244). Demikian halnya kondisi kerja pakasa, seperti zaman pendudukan Jepang. Tak lupa buku ini merekam beberapa proses pengadilan sudah barang tentu dapat dengan mudah diketahui hasilnya (252—289). Tidak berhenti pada “kematian” di penjara, selepas dari tahanan, mereka kemudian menjadi warga “sub-human” (untuk yang kedua kalinya) di masyarakat (289—317).
Pelaku
Mengenai pelaku kekerasan dan kejahatan tersebut, MRS melukiskan seorang Jendral Sumitro, sebagaimana yang dia kutip dari wawancara Sumitro dengan televisi BBC.
“dihias dengan senyumdibiir, wajah yang cerah dan riang gembira, jenderal pensiunan Sumitro dengan bangga memberitahukan bahwa dialah orangnya yang diberikan kepercayaan oleh Soeharto untuk mengomandani penyembelihan dalam tahun-tahun gelap gulita yang penuh genangan darah dan air mata….Sumitro menyebut kampanye maut itu sebagai “hunting” (perburuan)…” (hlm. 222—223)
Pelaku lain yang digambarkan oleh MRS adalah Kolonel Sarwo Edhie (mertua presiden SBY): “Perburuan daging manusia anti komunis di provinsi ini (Jateng, penulis) dikepalai oleh seorang opsir yang sangat bengis Kolonel Sarwo Edhie. Sarwo Edhie melatih dua tiga hari grup-grup pemuda naisonalis dan Islam dan kemudian melepaskan mereka keluar untuk melakukan pembunuhan.” (hlm. 223) Penjelasan lain mengenai pelaku: “..Di Jawa Timur, di Lawang, di Kabupaten Malang, para korban digantung dan dengan kejam dipukuli oleh anggota-anggota ANSOR, di bawah perlindungan satuan tentara Zipur V (sejenis satuan Zeni) di Singosari Malang, para korban di Pancung (hlm. 224).
Militer AD dengan sangat lihat melibatkan seluruh elemen ideologi, organisasi dan kelompok masyarakat, yang hendak menutupi kejahatannya dengan lumuran darah orang-orang sipil yang terprovokasi membantai komunis. Dengan miris MRS Siregar menggambarkannya:
“Kebuasan dalam penyembelihan, selain sangat beraneka ragam dam juga sangat inovatif, kreatif dan kompetitif. Para algojo yang Protestan, Katolik, dan Hindu Bali tidak mau kalah dari yang Islam. Begitu juga yang nasionalis dari yang “sosialis” dan liberal.” (hlm. 224)
Bahkan disebutkan, setiap jendral memiliki target membunuh 100.000 orang PKI atau yang dituduh PKI (hlm 215—216). Ditambah keterlibatan pelaku dari kalangan sipil yang anti komunis telah membuat pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang sulit untuk diproses melalui mekanisme hukum, sosial dan apalagi politik. Jalan terakhir yang disepakati oleh MPR tahun 1999 adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ironisnya, sebelum komisi ini dibentuk Rancangan UU yang akan mengaturnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pelanggaran HAM dalam peristiwa pasca 1 Oktober 65, sangat terkait dengan dimensi ekonomi politik imperialisme dan neokolonialisme. Kaitan dan dimensi tersebut masih berjalan hingga sekarang yang diurai dengan sangat menarik pada bab-bab berikutnya. Dampak stuktural, dan ini yang lebih parah dari holokaus dan kejahatan yang biadab terhadap komunisme adalah apa yang sekarang bisa disebut imperialisme global menancapkan kakinya di Indonesia. Pengusaan berbagai SDA oleh perusahaan asing. Otoritarianisme, oligarki politik yang menghamba pada kepentingan modal global (neoliberalisme) dan ‘telinga pemerintah yang bebal’, kedap dari suara-suara penderitaan rakyat. Terus berlangsung hingga hari ini. Pelanggaran HAM pelan-pelan berlangsung secara sistematis pasca 65/66.
Pasca Orde Baru, trend pelanggaran HAM mulai bergeser, kembali ke masa-masa awal 50-an, ketika pemerintah dan tentara berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Lebih dari itu, kita semua masih hidup dalam ‘orde baru’ yang ditanamkan ke dalam mind kita: tentang kejahatan dan kebengisan PKI, dan bahaya gerakan Islam Radikal melalui isu terorisme. Mampukah kita membebaskan diri kita dari belenggu Orde Baru itu?. Maka sudah saatnya juga para aktivis Islam Radikal membuat karya serupa yang telah dibuat MR Siregar. Meskipun aktivis Islam berbeda ideologi dan gerakan dengan mereka, namun buku ini menyimpan ‘hikmah’ yang dapat dipetik, agar menjadi kekuatan bagi gerakan Islam dalam memperjungkan hak asasinya yang telah dirampas sejak zaman orba hingga orde reformasin ini.
(tulisan ini pernah menjadi bahan diskusi dalam Acara Beda Buku ini, tahun 2007 di Yogyakarta)
9 December 2011
Sobirin Malian, S.H,. M.H
Tindak kekerasan sampai hari ini masih terus bergulir, dengan beragam motif dan latar belakang. Gerakan separatis di berbagai wilayah di Indonesia semakin menunjukkan nyalinya. Sejumlah aksi kekerasan di Poso dan Ambon telah merenggut ribuan nyawa tak bersalah. Teror bom bunuh diri di kedutaan besar asing, di pusat keramaian, bahkan di tempat-tempat suci ibadah tak terelak lagi. Ada yang berpendapat, itu semua adalah resiko dari dinamika transisi politik di belahan bumi manapun, termasuk di Indonesia.
Mengakhiri Millenium kedua dan menjelang lengsernya rezim Orde Baru, Soeharto, di berbagai wilayah di Indonesia muncul berbagai fenomena memprihatinkan berupa peristiwa kerusuhan massal dan kekerasan yang mengatasnamakan SARA (suku, etnis, dan agama). Sebagai gambaran, konflik di Sambas antara etnis Melayu dan Madura pada 1999 mengakibatkan 150 korban meninggal dunia dan lebih dari 10.000 warga setempat harus menggungsi. Sementara, konflik di Ambon telah merenggut 3.000 korban meninggal dunia. Konflik lainnya yang juga menimbulkan dampak luas adalah konflik di Timor Leste, Aceh, Papua, Maluku, dan Poso.
Munculnya konflik lokal di Indonesia tidak mudah untuk ditebak motif indikasinya, karena setiap konflik mempunyai penyebab dan dinamika yang berbeda. Dimensi permasalahan yang menyebabkan konflik-konflik tersebut berkembang relatif beragam, mulai dari unsur politik, ekonomi, sosial maupun kultural (agama). Maka, pembahasan mengenai konflik-konflik tersebut harus ditempatkan pada konteks yang lebih komprehensif.
Praktik kekerasan di masa Orde Baru dengan mendasarkan pada sentimen agama, sebenarnya tidak lahir secara alami sebagai persoalan masyarakat bawah an sich. Namun, itu merupakan mata rantai keberlanjutan dari suasana dan karakter sistem politik yang sedang berkuasa (Orde Baru). Kekerasan yang terjadi bukanlah ekspresi sesaat atas situasi itu, tetapi lebih berakar pada gejala yang menyejarah dan terpendam sangat lama. Oleh karena itu, kekerasan massa yang berkembang menjelang dan sesudah runtuhnya Orde Baru, merupakan reaksi atas kekerasan sebelumnya yang dilakukan dan dilembagakan oleh negara (kekerasan struktural).
Kenapa Harus Agama ?
Ironisnya, isu SARA (suku, etnis, agama) terutama agama, menjadi umpan politis strategis untuk memperkeruh stabilitas bangsa dan negara. Orientasi masyarakat terbelah (split oriented), persatuan dan kesatuan bangsa tercerai berai, masyarakat menjadi panik, penjarahan dan pembakaran kios warga keturunan Tionghoa (Cina), serta teror dan pembakaran sarana tempat ibadah. Semua itu tidak lain merupakan dinamika politik sebuah zaman yang sedang bergejolak.
Agama seringkali menjadi taruhan bagi terwujudnya setiap interest politik. Dalam kondisi sosial- keagamaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, keinginan untuk membangkitkan sikap sektarian dengan menciptakan agama sebagai simbol merupakan fenomena yang sering dijumpai pada masa-masa akhir kekuasaan orde baru. Agama kemudian menjadi bagian dari tuntutan proporsionalisme; yaitu suatu distribusi kekuasaan yang “adil” berdasarkan jumlah populasi agama. Karena sebelumnya, pemerintah telah memberikan perlakuan khusus terhadap semua pihak kecuali pribumi muslim sendiri, terutama Cina untuk bidang ekonomi, dan Kristen untuk bidang politik dan birokrasi. Sementara, bagi masyarakat akar rumput, agama bisa berupa ancaman konversi (baca: Kristenisasi).
Sementara Hefner berpendapat, pergolakan yang terjadi menjelang akhir tampuk kekuasaan Soeharto, menunjukkan nihilnya konsensus di kalangan umat Islam mengenai pluralisme dan demokrasi. Hal ini dapat dibenarkan karena target utama dari upaya reformasi adalah penggulingan rezim yang dipersonifikasikan dengan sosok Soeharto sebagai common enemy. Menurutnya, Ada pola yang dominan, yaitu munculnya kelompok Islam ultrakonservatif yang didukung oleh rezim, yang di dalam melakukan aksi-aksinya bekerja sama dengan Prabowo Subianto (menantu Soeharto) untuk selalu mendukung Soeharto dengan menebarkan kebencian yang didasarkan pada agama. Dengan demikian, kekerasan yang menandai lengsernya Soeharto membongkar logika kebijakannya terhadap agama (Islam) yang gagal. Dan pada akhir kekuasaannya, Soeharto masih memiliki kelompok think tank elite yang fungsinya untuk memproduksi propaganda anti Cina dan anti Kristen.
Sementara sejumlah pengamat menilai, bahwa berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pasca lengsernya Soeharto sangat berhubungan dengan tumbangnya kekuatan lama, yakni mereka yang pro status- quo dan para mendukung fanatik Soeharto serta yang ingin menggagalkan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan yang reformis. Selain itu, kekerasan agama yang tersulut di daerah-daerah sebagai usaha mengalihkan perhatian publik dari usaha kelangsungan tuntutan masyarakat terhadap semakin ditegakkannya supremasi hukum, dalam hal ini terkait pengusutan terhadap harta kekayaan para pejabat Orde Baru (terutama Soeharto) yang dicapai melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). (Hal. 153).
Dalam buku ini, Haqqul Yakin, penulis buku, berkesimpulan bahwa munculnya berbagai konflik kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru dan pasca runtuhnya tampuk kekuasaan Soeharto yang selalu identik dikaitkan dengan persoalan-persoalan SARA (suku, etnis, dan agama) murni tidaklah benar. Di balik itu semua, negara yang dalam hal ini para elite politik memegang kunci skenario atas konflik demi untuk mengacaukan stabilitas pemerintah yang bersih dan damai.
Agama sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individu maupun sosial, selalu memberikan dorongan kepada pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.
Mengutip pendapat Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan untuk kepentingan semua warga negara. Negara bukan kongsi dagang yang bertujuan mengupayakan keuntungan bagi kongsi itu sendiri. Raison d’etre atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum. Maka kepentingan umum harus dileatakan lebih utama dari kepentingan pribadi dan ketika kepentingan pribadi yang utama maka sesungguhnya para pemegang kekuasaan telah menyalhgunakan wewenangnya. Sama halnya dengan fenomena korupsi yang telah melanda hampir semua negara di dunia merupakan bentuk peletakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum.
Persoalan-persoalan korupsi selalu mengiringi dinamika kehidupan masyarakat dengan intensitas yang berbeda-beda tiap masanya. Catatan kuno tentang hal tersebut telah berlangsung ribuan tahun yang lalu, dimana korupsi dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam bentuk suap menyuap, di Mesir, Babylonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno merupakan bentuk-bentuk korupsi yang ditemukan pada masa-masa itu. Namun seiring dengan munculnya negara-negara modern dengan sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru perbuatan korupsi juga terjadi. Prilaku korupsi terdapat di dalam negara demokrasi, dalam negara diktator militer, disetiap tahap pembangunan dan segala jenis sistem ekonomi, dari negara kapitalis terbuka seperti Amerika Serikat sampai pada ekonomi yang direncanakan secara terpusat seperti yang terdapat di bekas Uni Soviet.
Oleh karena itu korupsi tidak saja ada di negara maju, tetapi juga terdapat di negara-negara berkembang dan negara miskin. Di Negara-negara miskin korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi, dan mengerogoti keabsahan politik yang selanjutnya memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik.
Di negara maju akan menurunkan standar kehidupan dan mengerogoti keabsahan politik, di negara yang sedang mengalami masa transisi dapat mengerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Di negara berkembang akan mengalienasikan kepemimpinan politik dan semakin mempersukar adanya pemerintahan yang efektif. Pendeknya perbuatan korupsi dapat menjatuhkan suatu pemerintahan
Memahami Korupsi Politik
Dalam tulisannya dengan mengutip beberapa sumber penulis buku ini mengatakan bahwa korupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kedudukan politik baik karena dipilih maupun ditunjuk. Kedudukan politik para pelaku dapat sebagai presiden, kepala pemerintahan, para menteri, anggota parlemen yang seringkali mengunakan fasilitas dan kemudahan politis yang melekat dalam diri mereka. Korupsi politik dapat berbentuk tirani, penghianatan atau subversi, lobbyism, pembelian suara, kecurangan dalam pemilu, patronage dan favoritisme. Selain itu pelaku korupsi politik dapat bersifat individual, kelompok, kroni, keluarga, maupun rezim suatu pemerintahan.
Penyebab korupsi politik tentu bermacam-macam, dari yang bersifat sistemik hingga yang berisfat perilaku, yang kemudian menyatu dalam kekuasaan yang tanpa kontrol dari hukum, etika dan hati nurani. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini bahwa, nafsu politik kekuasaan yang buas, sarana dan prasarana ekonomi yang tidak transpasan, kontrol yang lemah, krisis moral para pemimpin, dan penegakan hukum yang lemah dimanfaatkan oleh pemegang kakusaan politik untuk melakukan tindakan-tidakan korupsi.
Dari sini terlihat bahwa korupsi politik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan etika. Kedua hal ini kemudian tidak mampu menjadi alat kontrol dalam proses-proses politik dan kekuasaan dalam suatu negara modern. Padahal dalam negara moderen kepatuhan terhadap hukum dan etika merupakan nilai moral tertinggi yang dapat memperkuat legitimasi kekuasaan di mata masyarakat.
Hukum dan etika akhirnya digunakan oleh para penguasa untuk melegitimasi kekuasaan mereka bahkan tidak jarang digunakan sebagai instrumen untuk tindakan represif terhadap lawan-lawan politik. Seperti yang ditulis dalam buku ini bahwa intimidasi, ancaman, atau digiring ke penegak hukum merupakan suatu yang sering terjadi pada masa orde baru ketika masyarakat melakukan kontrol kritis terhadap prilaku para penguasa ketika itu sehingga hukum dan etika hanya menjadi simbol yang tidak bermakna.
Dalam konteks Islam penanggulangan korupsi politik telah dilakukan pada jaman Rasulullah, seperti diriwayatkan Abu Hamis As Sa’idi bahwa Rasulullah pernah memecat Ibnul Attabiyah pejabat pengumpul zakat dari kafillah Bani Sulaiman gara-gara menerima hadiah. Nabi juga melarang seorang pejabat menerima suap maupun hadiah. Di Jaman Kalifah Umar pernah ia memerintahkan Maslamah membagi dua kekayaan pejabat yang tidak wajar. Yang tercatat misalnya Gubernur Bahrain Abu Hurairah, Gubernur Mesir Amru Bin Ash, Gubernur Iraq Nu’man bin Ady, Gubernur Makkah Nafi’ bin Ammar Al Khuzai’i, Gubernur Yaman Ya’la bin Munabbib, Gubernur Kufah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Gubernur Syam Khalid bin Walid. Hal ini dilakukan karena Umar menduga bahwa penguasa berpeluang mendapatkan rejeki di luar kewajaran. Jika tak terbukti melakukan KKN, di akhir masa jabatan harta mantan pejabat itu di bagi dua, separuh diambil negara dan separuh di kembalikan tetapi jika harta itu terbukti di dapat dair KKN seluruh harta di sita negara (h.92-93)
Dampak Korupsi Politik
Praktek-praktek korupsi politik di banyak negara telah menempatkan pemegang kekuasan tertinggi sebagai pelakunya. Pemimpin Uganda Idi Amin; Mobutu Sese Seko dari Konggo; Jean Claude Duvalier dari Haiti; Jean Bodel Bokassa pemimpin Afrika Tengah; Zulfiqar Ali Bhutto pemimpin Pakistan; Augusto Pinochet pemimpin Chilie; Chun Do Hwan pemimpin Korea Selatan. Ini semua adalah gambaran tentang pelaku korupsi politk yang saat berkuasa adalah pemimpin negara tertinggi masing-masing.
Praktek-praktek korupsi para pejabat ini telah mengikis kredibilitas, mendelegitimasi kelangsungan kehidupan politik pemerintah serta menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi politik berimplikasi terhadap menurunnya kredibilitas pemerintahan baik secara nasional maupun internasional yang telah merugikan kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang menurut James C. Scott, adalah negara yang salah urus, dimana dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan yang merupakan akibat dari maraknya korupsi oleh pejabat negara . Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).
Membaca buku ini kita mendapatkan banyak informasi tentang korupsi politik yang terjadi di dunia internasional. Namun dibeberapa paragraf terjadi ketidak konsistenan yang dilakukan oleh penulis, salah satunya adalah dengan memasukan tentang pelanggaran berat HAM dalam buku ini, padahal sejak awal buku ini hanya membahas tentang korupsi politik dan tidak ada kaitannya dengan pelanggaran berat HAM. Selain itu ide yang melompat-lompat membuat kesulitan sendiri untuk memahami alur berpikir dari buku ini sehingga di butuhkan ketelitian dalam membacanya. Sebagai satu karya ilmiah yang berasal dari disertasi untuk memperoleh gelar doktor, buka ini mampu memberikan prespektif baru dari beragam soal tentang korupsi yang terjadi di banyak negara.
9 December 2011
Tri Guntur Narwaya, M.Si
Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.
Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.
Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.
Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan
pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya,
“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)
Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.
Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260).
Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.
Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79).
Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.
Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.
Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan
“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip- prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.
Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber- sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.
Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158).
Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.
Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa ,
“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)
Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)
“dasar dari asas syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)