OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan KPU telah menetapkan penundaan jadwal penyelenggaraan pesta demokrasi daerah menjadi bulan Desember 2020 mendatang. Keputusan bersama ini lalu direspon oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini yang kemudian menjadi payung hukum penundaan pemilukada, karena sebelumnya, belum ada norma yang dapat menjadi payung hukum penundaan tersebut. Tulisan ini, mencoba untuk menganalisis lebih jauh salah satu pasal dalam Perppu ini, yaitu penetapan jadwal penyelenggaraan pemilukada pada bulan Desember 2020. Secara substansial, tentu keberadaan norma yang sudah sangat konkret dan jelas ini menyalahi tata aturan perundang-undangan di Indonesia, karena sejatinya sebuah norma dalam undang-undang termasuk Perppu haruslah bersifat abstrak dan umum. Namun di luar itu, ada masalah lain yang harus menjadi pertimbangan kita bersama menyikapi ketentuan ini, yaitu tantangan yang akan dihadapi jika pemilukada tetap diselenggarakan pada bulan Desember mendatang.
KPU di Masa Pandemi
Pihak yang akan sangat terdampak dengan pelaksanaan pemilukada adalah para penyelenggara pemilukada, khususnya KPU. Jika pemilukada diselenggarakan pada bulan Desember, maka sejak bulan Juli proses atau tahapan pemilukada sudah harus dimulai. Mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan, penetapan calon, gugatan, kampanye, dan lain sebagainya. Pertama, jika melihat situasi dan kondisi saat ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada bulan Juli mendatang, pandemi covid-19 ini belum akan benar-benar hilang dari Indonesia. Pemerintah sendiri dalam laporan terakhirnya memperkirakan penyebaran virus baru terselesaikan pada bulan September 2020, dengan asumsi kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini berhasil. Dengan demikian ini akan berdampak pada kinerja KPU dan penyelenggara pemilu yang lainnya. Bekerja dengan pekerjaan teknis seperti KPU, akan sangat beresiko di tengah pandemi saat ini. Optimalisasi kinerja penyelenggara pemilukada ini penting karena ia akan menjadi legitimasi berhasil atau tidaknya dan demokratis atau tidaknya pemilukada.
Kedua, akan ada masalah yang sangat besar terkait dengan data. Saat ini, sebagian besar penduduk telah berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, sehingga ada pengurangan penduduk yang sangat besar pada satu daerah, sebaliknya ada penambahan penduduk yang sangat signifikan pula pada daerah yang lain. Dalam negara yang mengkategorikan memilih sebagai hak seperti Indonesia, besar dan kecilnya kuantitas pemilih dalam pemilu memang tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pemilu. Namun, karena memilih adalah hak konstitusional, tetap saja KPU dan pemerintah wajib menjamin pemenuhannya. Dengan kata lain, jika ada warga negara yang tidak memiliki hak pilih, dan pemerintah membiarkannya begitu saja, maka telah terjadi pelanggaran hak konstitusional. Artinya, mobilitas penduduk yang tak terkendali pada masa pandemi ini, akan menyulitkan KPU dalam mendata daftar pemilih sementara melakukan pandataan ulang, akan sangat sulit dilakukan.
Ketiga, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah terkait dengan anggaran. Selama ini, politik anggaran pemilukada selalu saja menimbulkan masalah, ada tolak-tarik antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga anggaran biasanya baru tersedia menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilukada. Tahapan pemilukada yang sudah harus dimulai sejak bulan Juli mendatang, tentu saja sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terlebih pada tahun 2020 ini akan diselenggarakan pemilukada serentak di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah sedang memfokuskan anggaran pada penanganan covid-19 dan ini rasional. Sehingga, sangat kecil kemungkinan akan ada sisa anggaran yang cukup untuk tetap menyelenggarakan pemilukada di tahun 2020 ini.
Penundaan Pemilukada
Tiga masalah diatas hanyalah sekelumit tantangan kecil yang dihadapi oleh KPU, masih banyak masalah lain yang jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, pilihan rasional saat ini adalah segera memutuskan penundaan pemilukada, agar seluruh lapisan pemerintah dapat berfokus pada penanganan covid-19. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme yang cukup bebas untuk menunda proses penyelenggaraan pemilukada, sehingga tidak ada lagi problem yuridis untuk mengambil kebijakan penundaan. Sebaiknya, penundaan Pemilukada ini tidak ditentukan dengan batas waktu yang pasti, melainkan menunggu sampai pemerintah berhasil menangani pandemi covid-19. Setelah pandemi covid-19 berhasil diatasi, maka pemerintah, KPU dan DPR dapat kembali membahas dan menentukan penyelenggaraan pemilukada. Pelihan kebijakan ini tentu saja bukan tanpa masalah, namun dilihat dari berbagai sisi, masalah yang akan timbul jauh lebih kecil dari pada tetap memaksakan pemilukada di bulan Desember mendatang.
Ada yang anomali dalam sistem perwakilan Indonesia. Anomali itu, kalau kita perhatikan dari fenomena yang terjadi belakangan ini, bahkan berada dalam substansi atau jantung dari sistem perwakilan itu sendiri. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam konstitusinya dan juga dalam falsafah negara Pancasila telah memaklumkan bahwa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Oleh karena itu, ada wakil rakyat yang dipilih secara berkala setiap lima tahun sekali, untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan mengimbangi kekuatan eksekutif agar tidak tak terkendali. Sayangnya, konsepsi sistem perwakilan sebagai pengejawantahan daulat rakyat itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan dalam banyak hal keduanya (wakil rakyat dan daulat rakyat) kerap berada pada titik yang berlawanan. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa daulat rakyat adalah kausa dari wakil rakyat, dengan kata lain eksistensi wakil rakyat merupakan derivasi dari daulat rakyat. Maka, saat wakil rakyat tidak lagi sejalan dengan daulat rakyat, sesungguhnya ia telah kehilangan esensinya atau kausanya sebagai wakil rakyat.
Fenomena Covid-19
Apa yang terjadi belakangan ini semakin memperkuat tesis itu, bahwa wakil rakyat kerap kali berhadap-hadapan dengan daulat rakyat. Fenomena wabah covid-19 telah memunculkan keprihatinan bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Efek dari wabah ini berkait kelindan dengan ruang hidup masyarakat yang lain, utamanya terhadap pekerjaan mereka, baik yang bekerja pada sektor barang maupun jasa. Para pedagang harus menutup usaha mereka karena minimnya transaksi, para penjual jasa baik kasar maupun profesional kehilangan pelanggan mereka, perusahaan-perusahaan besar tidak dapat beroperasi sehingga berdampak pada PHK terhadap karyawannya, dan masih banyak sektor terdampak lainnya.
Sayangnya, ditengah situasi itu, kita justeru melihat, mendengar, dan membaca berita yang menyesakkan dada akibat ulah wakil rakyat kita di parlemen. Beberapa hari belakangan ini, parlemen tengah disibukkan dengan pelaksanaan tahapan pembahasan dan pengesahan beberapa Randangan Undang-Undang. Ironinya, RUU yang dibahas dan akan disahkan itu, sama sekali tidak terkait dengan kondisi yang tengah dihadapi masyarakat saat ini. Justeru RUU yang sangat kontroversial, yang dalam kondisi biasa dapat dipastikan akan memunculkan gelombang protes masa yang besar. Beberapa RUU itu misalnya, RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RKUHP, tiga RUU ini telah berulangkali batal disahkan karena dianggap memiliki cacat substansial dan prosedural. Kini, saat masyarakat dan pemerintah tengah sibuk berjibaku dengan wabah covid-19, parlemen justeru memanfaatkan kesempatan itu secara “diam-diam”.
Barangkali parlemen menilai penanganan wabah covid-19 ini adalah tugas pemerintahan eksekutif, sedangkan parlemen berada pada wilayah yang lain. Padahal, parlemen adalah wakil rakyat, artinya segala derita yang muncul pada rakyat, juga mengikat wakil rakyat. Tesis ini, mewajibkan parlemen mengambil peran aktif dalam setiap keadaan yang menimpa rakyat, termasuk dalam pandemi covid-19 ini.
Demokrasi Sebagai Etos Politis
Realitas di atas, menandakan ada masalah atau bahkan ada yang salah dengan demokrasi sebagai sistem politik di negara kita. Pandangan demokrasi sebagai sistem politik memang banyak dianut dewasa ini. Orang seakan yakin bahwa jika sistem politik sudah tertata secara demokratis, aktornya pun (termasuk masyarakat) menjadi demokratis. Optimisme semacam itu segera mendapat tantangannya dari kenyataan empiris bahwa cukup banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan di Asia (termasuk Indonesia sendiri), memiliki konstitusi demokratis, tetapi konstitusi ini tidak serta merta mewujudkan demokrasi real. Kantong anggur yang baru berisi anggur yang lama. Di sinilah kita meminjam konsepsi dari F. Budi Hardiman, bahwa kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksanan demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian. Itulah mengapa di tengah pandemi covid-19 ini, tidak tampak simpati wakil rakyat atas rakyat, yang terjadi justeru sebaliknya wakil rakyat berhadap-hadapan dengan pemilik daulat.
1 August 2021
M.Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusham UII)
Di awal tahun, tidak ada salahnya kita mengingat kasus pelanggaran HAM tahun lalu. Setidaknya kasus-kasus yang ada akan memperingatkan pemangku kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan di tahun ini. Di hari HAM 2018, Kontras merilis peristiwa pelanggaran HAM yang cukup mengagetkan. Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam (umum) mencapai 194 kasus, okupasi lahan mencapai 65 kasus, kriminalisasi 29 kasus, penembakan atas nama terorisme 15 kasus, penangkapan atas nama terorisme 99 kasus, vonis hukuman mati 21 kasus, penyiksaan (umum) 73 kasus, extrajudicial killing 182 kasus, pelanggaran aksi 32 kasus, pembubaran paksa 75 kasus, pelanggaran di sektor kebebasan beragama dan berkeyakinan 78 kasus, pelarangan aktifitas 28 kasus, intimidasi minoritas 19 kasus, dan persekusi 35 kasus.
Data pemantauan yang dihimpun Kontras memperlihatkan betapa pelanggaran HAM tahun 2018 terbilang sangat besar dan didominasi konflik sumber daya alam dan exstra judicial killing. Pertanyaannya, mengapa peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih terjadi? Apakah di Indonesia sedang devisit norma terkait dengan HAM, atau yang bermasalah ialah hilangnya tanggungjawab negara terhadap semangat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM?
Terkait dengan norma hukum yang menjamin HAM, pasca jatuhnya rezim Orde Baru norma-norma hukum HAM telah banyak yang disahkan. Kovenan dan sebagian besar konvensi internasional telah diratifikasi lewat perundang-undangan. Norma hukum HAM yang dibuat pemerintah sendiri juga banyak yang telah disahkan. Bahkan UUD 1945 telah menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam bab yang tersendiri. Walau pun ada beberapa catatan terhadap pengaturan norma hukum HAM, negara Indonesia terbilang cukup maju dalam memproduksi aturan yang menjamin hak asasi manusia.
Letak persoalan suburnya kasus pelanggaran HAM tahun lalu lebih tepat akibat dari lemahnya semangat penyelenggara negara, utamanya ‘aparat keamanan’ dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti kasus kriminalisasi dan okupasi lahan dalam kasus konflik sumber daya alam yang memperlihatkan betapa pemerintah dan aparat keamanan tidak cukup jelas bagaimana prinsip dan standar HAM mesti diutamakan dalam menyelesaikan persoalan. Penembakan, penangkapan, penyiksaan dan extrajudicial killing memperlihatkan betapa aparat kemanan masih mengutamakan pendekatan ‘represif’ dibanding dengan cara persuasi dan penegakan hukum yang fair. Sedangkan kasus intimidasi monoritas, persekusi dan pelarangan aktivitas ibadah memperlihatkan betapa aparat keamanan dan pemerintah cenderung abai dalam menjamin hak atas rasa aman setiap warga negara yang ada di negara bangsa ini.
Iluastrasi Beberapa Kasus
Konfllik sumber daya alam tahun lalu dan beberapa masih berlangsung saat ini antara lain terjadi di Tumpang Pitu, kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, Pembangunan Waduk Sepat, Pembangunan Panas Bumi di Gunung Talang, konflik Serat Rayon di Sukoharjo dan konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu. Dari konflik yang terjadi, setidaknya 29 kasus yang di proses di pengadilan dan ironisnya aktivis lingkungan yang sebagian besar warga pemilik lahan ditetapkan sebagai pelaku kriminal. Bahkan, kriminalisasi tidak hanya menimpa aktivis lingkungan dan warga, tetapi menimpa para ahli yang berpendapat sesuai dengan kepakaran ilmunya. Ahli yang terancam hukum ialah Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Suharjo yang digugat atas atas kasus kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP. Kasus serupa menimpa Basuki Basis, seorang ahli lingkungan hidup IPB yang digugat karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani KPK terkait kerusakan lingkungan karena pemberian idzin salah satu usaha pertambangan.
Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam lain terjadi Yogyakarta, yakni okupasi tanah dengan dasar kepentingan umum dalam pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Demi memperlancar pembangunan bandara, pihak pengembang dan pemerintah melakukan penggusuran paksa dan mengabaikan standar pembangunan yang berbasis HAM. Pengosongan lahan warga dilakukan dengan cara-cara paksa dan tidak menghormati warga yang telah lama tinggal di lokasi. Komnas HAM menyebut pengosongan lahan warga tidak didasarkan pada semangat kemanusiaan dan melanggar terhadap norma-norma HAM yang telah menjadi hukum di Indonesia. Kasus yang okupasi lahan yang serupa juga terjadi di Desa Sidodadi Serdang dan Kota Binjai, di mana lahannya dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu yang selanjutnya akan diolah perusahaan.
Di sektor hak sipil politik, kasus extrajudicial killing dengan cara tembak tempat ternyata massif terjadi. Kontras menemukan setidaknya terdapat 236 orang meninggal. Kasus ini ditengarai akibat pernyataan Kapolri yang memerintahkan kepada jajarannya agar bertindak tegas dan melakukan tembak mati kepada jambret, begal dan pengedar narkoba. Di lapangan, pernyataan Kapolri ternyata salah diterjemahkan dan berakibat banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum. Banyak orang terbunuh tanpa proses hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Butuh Kemauan Pemegang Kekuasaan
Kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan menahun dan belum ada progresifitasnya sampai awal tahun ini adalah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah lewat Menko Polhukum Wiranto pernah berinisiatif membentuk Tim Gabungan Terpadu dan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban pada 31 Mei 2018 di Istana Negara. Namun demikian, dalam pertemuan tersebut terkonfirmasi ketidakmauan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur pengadilan dan muncul rencana yang semata non hukum, yaitu penyelesaian lewat rekonsililasi. Dalam perjalanannya, inisiatif ini tidak mengalami perkembangan dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan kasus dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.
Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan beberapa kasus pelanggaran HAM lain berkelindan dengan besarnya informasi hoax dan berita-berita buruk yang secara langsung dan tidak langsung memperkuat stigma, persekusi, ujaran kebencian dan dorongan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang minoritas. Kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam KUHP dan pelanggaran terhadap Undang-Undang ITE juga semakin tidak terkendali arah penegakannya.
Di awal tahun ini, problem perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih menjadi persoalan serius di negara ini. Butuh politicall will pemegang kekuasaan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan standar HAM sebagai basis setiap kebijakan dan implementasi program pembangunan. Termasuk kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa. Tanpa itu, pemerintah pusat atau pun daerah akan selalu tercatat sebagai pelanggar HAM dari ke tahun.
Sumber :
Media Cetak SINDO, 10 Januari 2019
Mendiskusikan feminisme selalu akan diawali dengan pembahasan tentang gender. Apa makna keduanya? Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Dalam perkembangan, gender dan jenis kelamin dimaknai secara berbeda. Jenis kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata. Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif. Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif, mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat
Feminisme lebih progresif lagi, di mana paham ini tidak hanya berisi kritik terhadap sistem patriarkhi, tetapi lebih pada pengakuan dan sikap yang bersifat positif atas kebutuhan kaum perempuan sebagai sebuah kelompok. Dalam hal ini, feminisme bisa didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki (Fadlan, 2011).
Sebagai satu respon pada ‘keyakinan bahwa terjadi diskriminasi serius’ benarkah kaum perempuan selama ini diberlakukan tidak adil? Dalam satu studi dikatakan, di banyak negara, termasuk di negara-negara Islam, perempuan secara umum mengalami peminggiran. Di banyak negara, tidak ada jaminan kesetaraan laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan hukum. Di beberapa tempat, perempuan dibatasi hak kepemilikan tanah, mengelola property dan bisnis. Di kawasan sub Sahara Afrika sebagian besar perempuan memperolah hak atas tanah melalui suami atas dasar perkawinan dan hak tersebut hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan hanya 2/3 dari jumlah anak laki-laki. Di negara-negara berkembang, wirausaha yang dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kalah dengan wirausaha yang dikelola laki-laki (Sukron Kamil, 2007)
Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan tidak kalah genting. Komnas Perempuan dalam catatan tahun 2018 menyatakan bahwa terjadi tren kekerasan dari tahun ke tahun, misal tahun 2015 yang berjumlah 321.752 kasus, tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 346.446 kasus. Bentuk kekerasannya berupa kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi pekerja migran, dan trafficking. Spektrumnya berupa kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, perseksusi online dan offline, maraknya situs dan aplikasi online berkedok agama (misal, ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman perempuan dengan Undang-Undang ITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.
Merujuk pada Islam dan HAM
Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki ajaran yang membebaskan. Seperti yang diulas oleh banyak sejarawan, betapa posisi perempuan di masa pra Islam begitu lemah, tidak berharga, dianggap aib, orang tua marah saat mengetahui memiliki anak perempuan, dan selalu berada di bawah subordinasi laki-laki. Setelah Islam datang, posisi perempuan terangkat, dihargai, dan diletakkan sebagai seorang manusia yang bermartabat. Pada waktu itu, perempuan bisa mendapatkan hak waris, bisa menjadi saksi, dan muncul beberapa doktrin agama yang begitu menghargai perempuan seperti surga berada di telapak kaki ibu, orang tua perempuan adalah orang yang paling layak dihormati dibanding dengan orang tua laki, perempuan adalah tiang agama, perempuan tiang negara dan seterunsya.
Dalam ajaran Islam, kita akan sangat mudah menemukan bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi secara ideal. Terkait hal tersebut, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan doktrin kesetaraan gender. Pertama, prinsip kesetaraan gender merujuk pada realitas laki-laki dan perempuan dalam hubunannya dengan Tuhan, dimana keduanya sama-sama dilihat sebagai seorang hamba. Tugas seorang hamba adalah mengabdi dan menyembah. Dalam hal ini bisa dipahami dari firman Allah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (Qs. Al-Dzariyat : 56). Kapasitas sebagai manusia, laki-laki dan perempuan juga sama, nilai derajatnya sama, yang membedakan kemuliaan seseorang hanya ketaqwaannya (Qs. Al-Hujurot : 13).
Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai khalifah. Firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi..(Qs. Al-Baqoroh : 30). Ayat ini menurut Nasaruddin Umar tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di muka bumi.
Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan tuhannya (Qs. Al-A’raf : 172)
Keempat, kesetaraan gender dalam al-Qur’an dapat dilihat dari fakta bahwa antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang dimainkan keduanya. (Qs. Al-A’raf : 22)
Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya. Seperti firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.. “ (Qs. An-Nahl : 97)
Berdasar uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, bagaimana saat kita ketemu dengan pesan Qur’an dan Hadist yang secara tidak langsung melemahkan posisi perempuan? Quraish Shihab menyatakan bahwa ada beberapa teks yang tercantum dalam Qur’an dan Hadist yang cenderung disalahpahami makna, pesan dan konteksnya. Karena itu, diperlukan bagi ‘seorang pembaca’ untuk memahami dengan baik dan benar dari sebuah ucapan atau redaksi. Menurut Quraish Shihab, pertama, memahami sebuah pesan tidak cukup dengan teks, tetapi penting untuk memahami konteksnya, Qur’an ada asbabun nuzulnya, sedangkan hadist ada asbabul wurudnya. Kedua, penting bagi pembaca untuk memahami kosa kota yang ada. Ketiga, melihat secara umum tuntunan Islam yang menyangkut tema-tema tertentu yang berpolemik, yang salah satunya terkait dengan persoalan gender.
Salah satu contoh pesan hadist yang sering disalahdipahami menurut Quraish Shihab ialah, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang, niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya (HR. AT-Tirmidzi). Hadist ini disahalahpahami bahwa istri harus sepenuhnya patuh kepada suaminya, di mana level kepatuhannya menjadikan seorang perempuan lebur pada kepribadian suami sehingga tidak lagi memiliki hak menolak atau membantah. Ternyata, konteks (asbabul wurud) hadist ini tidak demikian. Diceritakan bahwa sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal ketika kembali dari Syam dan menghadap nabi SAW, sang sahabat tersebut sujud kepada Nabi. Lalu Nabi bertanya, “apa ini wahai Mu’adz? Muadz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam, dan kulihat mereka sujud kepada para rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Disinilah Nabi SAW melarangnya hal demikian dengan bersabda, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Dengan demikian, penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ajaran Islam sangat mendukung terhadap gerakan gender dan feminisme yang secara umum menuntut perlakuan yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Dalam hal ini, ukuran posisi terbaik laki-laki dan perempuan semestinya dinilai dari kompetensi, prestasi, dan kemampuan terbaiknya, serta tidak lagi didasarkan pada semangat yang sekedar status sosial berdasarkan jenis kelamin.
Lebih jauh, ajaran Islam menurut penulis sangat kompatibel dengan norma-norma hukum HAM yang menjamin hak-hak kaum perempuan, diantaranya ialah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini kita ketahui memiliki tiga prinsip penting, yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip persamaan (keadilan substantif), dan prinsip kewajiban negara. Secara normatif konvensi ini menjamin hak sipil dan politik perempuan (hak memilih dan dipilih, hak berpartisipasi, hak memegang jabatan dalam pemerintahan, hak kewarganegaraan, dan seterunsya), menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas pendidikan, hak kerja, hak kesehatan, dan seterusnya), hak persamaan di depan hukum, dan ada mekanisme pelaporan dan pemantauan terkait dengan pemenuhan hak-hak kaum perempuan.
Cukup banyak aturan dan kerjasama yang secara langsung dan tidak langsung saat ini muncul sebagai bagian untuk melindungi hak-hak perempuan, diantaranya Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mou Komnas Perempuan dan LPSK terkait Perlindungan Saksi dan Korban untuk Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Penanganan Terpadu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, dan beberapa yang lain. Secara umum, norma hukum dan kesepakatan-kesepakatan tersebut akan mencegah kaum perempuan menjadi korban ketidakadilan sosial.
Sumber :
Media Cetak SINDO, 11 April 2019
1 May 2021
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Bulan lalu, Presiden Republik Indonesia Jokowidodo mengeluarkan beberapa paket kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19. Salah satu dari dari paket kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Perppu merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang, yang dikeluarkan oleh presiden dalam suatu kondisi tertentu. Ia bersifat istimewa, sebagai salah satu ciri sistem presidensiil, di mana norma peraturan yang harusnya dibuat bersama dengan DPR, namun hanya ditetapkan oleh presiden.
Bagi pemerintah, Perppu ini dibutuhkan untuk menyelamatkan rakyat dari dampak yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Dalam situasi saat ini, rakyat membutuhkan berbagai macam bantuan, sementara sebagian besar dari mereka kehilangan pekerjaannya karena banyaknya perusahaan dan usaha yang harus gulung tikar. Untuk membantu rakyat dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 itu, pemerintah membutuhkan dana. Misalnya untuk biaya pengobatan di Rumah Sakit, pembelian obat dan berbagai alat kesehatan, pemberian bansos dalam bentuk sembako maupun bantuan lansung tunai, stimulus ekonomi, pengurangan pajak, dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah Perppu tersebut lahir, karena APBN yang dibuat pada tahun lalu tidak mendeteksi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 ini.
Ada banyak ketentuan substansial dan prosedural yang memunculkan kontroversi dalam Perppu ini, misalnya keberadaan Perppu yang dinilai tidak cukup beralasan, karena peraturan perundang-undangan yang ada masih cukup relevan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Ini memang perdebatan klasik, dan harus diakui sangat bersifat subjektif, jadi bergantung pada bangunan argumentasi masing-masing pihak. Sedangkan dari aspek substansial misalnya terkait postur anggaran yang diatribusikan melalui peraturan presiden yang dinilai menyalahi aturan dan berpotensi disalah gunakan.
Ketentuan lain yang cukup ramai dibicarakan adalah Pasal 27 ayat (1) dan (2) yang pada pokoknya berbunyi, (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Kemudian Pasal (2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di atas memberikan kekebalan hukum bagi para pejabat, dari tingkat nasional, daerah, hingga desa, untuk memanfaatkan anggaran di tengah pandemi Covid-19 ini. Hal itu dianggap berpotensi besar akan lahan korupsi bagi pengelola anggaran. Terlebih, saat ini pengawasan penggunaaan anggaran baik yang dilakukan oleh penegak hukum, maupun KPK sedang lemah, sehingga semakin memudahkan seseorang untuk melakukan penyimpangan anggaran. Temuan dari beberapa pihak, menunjukkan bahwa saat ini pendistribusian bantuan lansung tunai yang dilakukan oleh Ketua RT dan RW, banyak disalahgunakan. Mulai dari peruntukkannya yang tidak tepat sasaran karena syarat dengan aroma nepotisme (ada penyakit akut masyarakat Indonesia saat berhubungan dengan Bansos, yaitu mendadak miskin) hingga nominal serta jumlah penerima yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya, ada KK ganda yang seharusnya hanya mendapatkan satu Bansos namun memperoleh lebih dari satu, ada pula KK siluman yang sebenarnya tidak pernah ada tapi tercantum di dalam pendataan.
Kekhawatiran menjadi semakin besar karena ketidakharmonisan ketentuan peraturan perundang-undangan kita. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah tindak pidana korupsi yang dijerak dengan UU Korupsi. Sedangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diatur ketentuan yang berbeda, dimana Penyalahgunaan Wewenang hanya mendapatkan sanksi administrasi berupa pembatalan kebijakan serta pengembalian keuangan negara. Dua peraturan yang berbeda ini akan sangat menguntungkan pengelola anggaran, karena UU Adpem hanya memberi sanksi administrasi dan itupun mensyaratkan adanya laporan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintahan (APIP). Dalam konteks ini, maka potensi penyalahgunaan anggaran penanganan Covid-19 ini tentu cukup besar.
Kini, Perppu tersebut tengah di-judicial review-kan ke Mahkamah Konstitusi, dan di sisi lain telah pula disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Tentu bagi kita sebagai rakyat biasa, yang paling penting adalah bagaimana agar implementasi Bansos tepat sasaran dan pandemi Covid-19 cepat teratasi. Diluar itu, biasanya hanyalah kepentingan elit semata, yang tak ada hubungannya dengan penderitaan rakyat.