OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
Puasa Ramadhan kali ini bersamaan dengan situasi negara yang tidak baik-baik saja : pajak yang naik, gelombang pemutusan kerja, biaya kebutuhan pokok yang melonjak tinggi, turunnya kelas menengah ke kelas bawah, dan praktek korupsi yang tak terkendali. Pertanyaannya, sejauhmana puasa bulan ini berkontribusi terhadap penciptaan tatanan sosial dan bernegara yang beradab? Pertanyaan ini cukup relevan, mengingat mayoritas warga dan pejabat negara beragama Islam, walapun ada yang non-Islam masing-masing mereka memiliki laku puasa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing, yang kesemua itu diharapkan akan menciptakan individu-individu tercerahkan dan peduli terhadap penderitaan manusia yang lain.
Makna Penting Puasa
Puasa secara bahasa dartikan dengan menahan diri, sedangkan secara terminologi diartikan dengan menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Definisi ini memberi makna bahwa puasa menjadi media berlatih seseorang agar mampu untuk menahan diri terhadap banyak hal yang nanti akan merusak pengabdian tulus kepada Tuhannya, dan pada dimensi yang lain puasa mengajarkan agar seseorang bisa menyerap prinsip timbal balik dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Puasa sebagai pengabdian kepada Tuhan tidak diragukan lagi pesannya. Hampir semua umat beragama berpuasa karena memang ada firman Tuhan yang mewajibkan dengan harapan umat beragama akan menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Tuhan, dirinya sendiri, dan hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpuasa, maka otomatis pengabdian dan ketulusannya akan dihitung di sisi Tuhan. Sebaliknya, pengabaian terhadap puasa akan dihitung sebagai pengingkaran terhadap pesan Tuhan.
Secara personal, puasa sangat bagus bagi kesehatan. Dalam beberapa studi disebutkan bahwa ketika berpuasa sistem pencernaan akan beristirahat dan sisa-sisa energi akan digunakan untuk perbaikan, pemulihan, dan peremajaan sel-sel tubuh. Di dunia medis, kesehatan memiliki manfaat untuk menjaga berat badan, menjaga kesehatan jantung, meningkatkan metabolisme tubuh, mengendalikan nafsu makan, meningkatkan fungsi kesadaran, mengaktifkan detoksifikasi, menjaga kesehatan kulit, mengurangi resiko diabetes, dan menjaga kesehatan mental.
Manfaat puasa secara kesehatan penting dipelajari mengingat tren terbaru dunia menyebutkan bahwa kematian banyak orang saat ini disebabkan oleh pola makan yang tidak terkendali. Mungkin karena itu, puasa telah menjadi kebiasaan umat terdahulu. Misalnya Pythagoras (580-500 SM) yang biasa berpuasa selama 40 hari karena meyakini akan memperbaiki persepsi mental dan kreatifitas, serta Hippocrates (460-357 SM) yang menjadikan puasa sebagai obat bagi pasiennya.
Prinsip Resiprositas
Manfaat yang tidak kalah penting dari puasa adalah kontribusi sosialnya. Puasa mengajarkan pemaknaan terhadap kehidupan, interaksi sosial, dan kemanusiaan. Puasa yang didalamnya melarang makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan dosa seperti ghibah mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu. Larangan-larangan ini adalah sesatu yang sulit dikerjakan, mengingat setiap orang sudah terbiasa melakukannya, tetapi semua itu kemudian dilarang dan bahkan menjadi faktor yang membatalkan ibadah puasa.
Larangan makan dan minum misalnya membuat orang lapar, haus dan dahaga. Setiap orang yang berpuasa akan merasakannya sehingga pada kondisi tersebut harapannya ada kesadaran betapa nestapanya orang-orang miskin mencari makan di tengah kesulitan mencari pekerjaan. Pada saat yang sama betapa menyedihkannhya mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja di tengah beban ekonomi keluarga yang tidak sedikit.
Larangan membicarakan orang lain misalnya, dimana didalamnya ada praktik bullying berupa tindakan agresif perundungan yang melukai orang lain, atau body shaming berupa perilaku menjelek-jelekkan atau mongomentari penampilan fisik seseorang. Pelaku bullying dan body shaming cukup besar di Indonesia, utamanya komentar-komentar menyudutkan yang tersebar di media sosial. Akibat perbuatan tersebut ada dampak serius terhadap kesehatan fisik, mental, dan bahkan mendorong bunuh diri korbannya.
Puasa telah mengajarkan prinsip perilaku timbal balik atau prinsip resiprositas dalam hubungannya antar manusia. Abdullah An-Na’im menyebut bahwa prinsip resiprositas adalah salah satu landasan normatif prinsip kesetaraan dan non diskriminasi dalam pemikiran HAM. Prinsip ini mengajarkan bahwa perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan; atau cintailah manusia lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri. Karena itu, cukup beralasan berharap bahwa puasa Ramadhan tahun ini dapat berkontribusi terhadap perbaikan hubungan antar manusia yang beragam, dan khususnya hubungan penguasa dan rakyat, dimana penguasa harapannya dapat berkesadaran sehingga menjauhi membuat aturan dan kebijakan yang berdampak menyengsarakan rakyatnya.
1 February 2025
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Salah satu instrumen penting dan substansial dalam pemiluhan umum adalah mekanisme atau sistem keadilan pemilu. Sistem keadilan pemilu sederhananya dapat dimaknai sebagai sistem untuk memastikan proses pemilu di suatu negara berjalan secara bebas, adil, dan jujur. Dalam sistem tersebut terdapat beberapa bagian, di mana salah satunya adalah mekanisme penegakan hukum pemilu. Mekanisme ini digunakan sebagai sarana terakhir dalam membentengi keadilan pemilu. Sehingga pada esensinya dapat dijelaskan bahwa sistem keadilan pemilu menyiapkan mekanisme yang ditujukan untuk menanggulangi kesalahan/kekeliruan atau bahkan kecurangan yang terjadi dalam proses pemilihan. Mekanisme-mekanisme tersebut sangat berpengaruh dalam melindungi legitimasi pemilihan umum dalam hal terjadi kekeliruan ataupun kecurangan.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka sistem keadilan pemilu yang terdapat dalam UU Pemilu setidaknya ada dua: Pertama, terkait prosedur pelaksanaan, UU Pemilu telah mengatur seluruh aspek penyelenggaraan 11 tahapan pemilu. Selain itu, UU Pemilu juga telah mengatur ihwal hak pilih, penyelenggara pemilu yang independen, dan mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa. Kedua, terkait mekanisme penyelesaian pelanggaran, UU Pemilu telah mengatur dua kelompok masalah hukum dalam pemilu, yaitu: pelanggaran dan sengketa. Secara umum, pelanggaran pemilu dipahami sebagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran pemilu sangatlah rumit, selain karena banyaknya jenis pelanggaran juga lienar dengan banyaknya institusi yang terlibat dalam penyelesaiannya. Jika dilihat dari aspek ini, maka pemilu di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemilu yang paling rumit di Indonesia. Setidaknya ada sembilan institusi yang terlibat, yaitu: (1) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (2) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); (3) Komisi Pemilihan Umum (KPU); (4) Kepolisian Negara; (5) Kejaksaan; (6) Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; (7) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; (8) Mahkamah Agung; dan (9) Mahkamah Konstitusi. Belum lagi keterlibatan Komisi Penyiaran atau Dewan Pers untuk mengawasi pemberitaan dan iklan kampanye. Sehingga, setidaknya akan ada 10 institusi yang terkait dengan penyelesaian masalah hukum pemilu.
Dari sekian banyak jenis pelanggaran pemilu dan institusi penyelesaiannya tersebut, salah satu yang paling kompleks adalah penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu atau pidana pemilu, yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Karena ia merupakan tindak pidana, maka tahapan penyelesaiannya tentu saja mengikuti mekanisme integrated criminal justice system (sistem pengadilan pidana terpadu), yaitu sejak penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, persidangan di pengadilan, hingga pelaksanaan putusan hakim. Bedanya, tahapan pelaporan, penyidikan, dan penuntutan melibatkan tiga lembaga sekaligus yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakumdu), yaitu Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Walaupun kewenangan penanganan pelanggaran Pemilu terdapat pada Bawaslu, proses penanganan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu wajib melewati Sentra Gakkumdu. Jika prosedur dalam Sentra Gakkumdu terlewati, maka penanganan pelanggaran Pemilu cacat prosedur.
Sentra Gakumdu; Awal Masalah
Kompleksitas persoalan penegakan pidana pemilu sudah dimulai sejak penanganan perkara oleh Sentra Gakumdu tersebut. Model kerja dan penataan komposisi Sentra Gakumdu dengan kewenangan demikian, dalam prakteknya memunculkan banyak hambatan. Penyatuan tiga lembaga (Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan) dalam Sentra Gakumdu, sulit mencapai kesamaan persepsi dalam menangani kasus pelanggaran tindak pidana pemilu. Unsur kepolisian dan kejaksaan yang menjadi bagian dari Sentra Gakkumdu memiliki kekhawatiran tidak dapat memenuhi bukti pemidanaan pelanggaran pemilu, sehingga mereka menjadi sangat defensif dalam menerima laporan tindak pidana pemilu untuk diproses di penyidikan. Masing-masing unsur Sentra Gakkumdu masih memperlakukan Sentra Gakkumdu-nya itu sendiri berdasarkan kepentingan sektoral tiap-tiap lembaga (tidak secara komprehensif dan menyeluruh).
Akibatnya, sampai hari ini Sentra Gakumdu masih berkutat pada dua kritik besar. Pertama, perbedaan pendapat antara Bawaslu pada satu sisi, dan Kepolisian serta Kejaksaan pada sisi yang lain, menjadikan banyak laporan yang tidak sampai dilanjutkan hingga proses peradilan. Sekalipun menurut Bawaslu syarat formil dan materil telah terpenuhi, namun menurut Kepolisian dan Kejaksaan belum atau bahkan tidak terpenuhi. Kondisi ini terjadi di banyak kasus, sehingga menjadikan masyarakat enggan melaporkan pelanggaran. Kedua, sekalipun perkara sudah sampai pada tahapan penuntutan di kejaksaan, namun tuntutan pidana oleh jaksa sangatlah ringan. Hampir semua tuntutan pidana adalah pidana percobaan, tentu saja ini berdampak negatif terhadap efektifitas penegakan hukum pidana pemilu dan bermuara pada substansi keadilan pemilu bagi pihak yang dirugikan.
Ratio Decidendi
Masalah terus berlanjut saat perkara disidangkan dan diputus oleh pengadilan, hasil penelusuran penulis, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Sumatera Barat misalnya, dari total 21 perkara yang diperiksa oleh pengadilan, 20 diantaranya diputus dengan hukuman percobaan. Padahal tindak pidana yang dilakukan beragam, mulai dari politik uang, kampanye yang melibatkan calon, mencoblos berkali-kali oleh salah satu calon, merubah hasil pemungutan suara, dan lain sebagainya. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan oleh hakim adalah 3 bulan penjara.
Jika ditimbang dari aspek yuridis-positivis, memang tidak ada yang salah, hakim memutus rendah karena memang tuntutan jaksa yang rendah, lalu hakim menggantinya dengan pidana percobaan, KUHAP sendiri memang mengatur hukuman di bawah 1 tahun dapat diganti dengan pidana percobaan. Sepanjang penelusuran penulis, ratio decidendi, atau pertimbangan hakim dalam memutus perkara hanya apa yang diatur dalam UU Pemilu dan KUHAP. Artinya semua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, sejatinya ada aspek lain yang juga dipertimbangkan oleh hakim, aspek substasial materil yang justeru menjadi marwah dan ruh dari pengaturan tindak pidana pemilu. Pertama, aspek kedaulatan rakyat, pemilu adalah implementasi konkret dari kedaulatan rakyat dan demokrasi, oleh karena itu harus dipastikan sistem dan mekanismenya berjalan dengan adil dan fair. Jika ada pelanggaran pidana yang dilakukan, maka artinya ia telah menyentuh dan mengganggu halaman kedaulatan rakyat, maka pidana harus ditegakkan dengan tegas. Kedua, bangsa Indonesia hari ini tengah dalam fase transisi menuju demokrasi yang substansial, oleh karena itu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah prasyarat utama yang mesti diwujudkan. Oleh karena itu benalu-benalu yang mengganggu suburnya pemilu Luberjurdil tersebut harus dibasmi lagi-lagi dengan tegas. Dalam konteks ini, maka pelanggaran pidana pemilu difungsikan. Hakim, memimiliki wewenang untuk mewujudkan itu, melalui pertimbangan dalam putusannya, kedaulatan rakyat dan pemilu Luberjurdil, kita letakkan.
3 December 2024
M. Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Sejak tahun 1992, tanggal 3 Desember telah ditetapkan sebagai hari difabel internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setiap tanggal ini, komunitas dan pegiat isu difabel ikut merayakan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang salah satu pesannya memberi ingatan kepada elemen masyarakat dan para pemangku kebijakan tentang hak-hak difabel, potensi difabel, serta diskriminasi yang terus menerus terjadi.
Dalam sejarah, pengakuan hak-hak difabel bukanlah sesuatu yang muncul secara mudah, tetapi manifes dari suatu kelompok kelompok tertindas yang berjuang melawan label dan stigmatisasi negatif. Menurut Mansour Fakih, konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat, Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang lebih dalam bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya dan atau tidak sepenuhnya.
Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan ini menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma; serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik seperti yang kita saksikan saat ini.
Problem Menyejarah
Kegelisahan Mansour Fakih dan beberapa aktivis difabel juga dipikirkan oleh banyak pemikir disabilitas di belahan dunia. Pemikir Michael Oliver dan Colin Barnes menghadirkan pendekatan baru dalam melihat disabilitas, yaitu pendekatan social model of disability. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas.
Pendekatan sosial merupakan kritik terhadap pendekatan medical model dan model moral. Dalam kacamata medical model, esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri dan normal.
Pendekatan medical model dikiritik sedemikian rupa karena dinilai menopang marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment). Pada level empirik, pendekatan ini menciptakan penghilangan hak-hak difabel untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Difabel selalu dipersalahkan karena dinilai dokter tidak sehat secara jasmani (fisik) dan atau pun rohani (mental dan spiritual).
Pendekatan lain yang juga dinilai menyumbang diskriminasi adalah model moral atau budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan, bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber.
Problem moral dan budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi di level masyakat, bahkan tidak terkecuali Indonesia. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel. Keyakinan ini menjadi mitos yang melekatkan difabel dengan perilaku kurang baik orang tuanya, dan dalam jangka yang panjang memberi dampak pengucilan difabel dalam interaksi sosial masyarakat.
Pengakuan Hak
Sejak munculnya kritik kelompok social model dan pada skala yang lebih luas menghadirkan pengakuan hak-hak difabel, maka semestinya stigma negatif difabel dihentikan. Stigma tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Terkait dengan hak difabel, sejak tahun 1981, PBB telah memulai pencanangan International Year of Disabled People; pada tahun 1993 PBB menetapkan Standar Rules for the Equalisation on The Oportunities for Persons With Disabilities; dan tahun 2006 Majelis Umum PBB sepakat terhadap Convetion on The Rights of Person With Disabilities (CRPD).
Pengakuan hak-hak difabel yang luas di level di internasional, memberi dampak pengakuan hukum di Indonesia. Pertama, Indonesia telah meratifikasi CRPD lewat UU No. 19 Tahun 19 Tahun 2011. Ratifikasi CPRD ini memberi makna bahwa pemerintah Indonesia berjanji secara hukum untuk bertanggungjawab menjamin dan meningkatkan realisasi yang utuh dari semua hak dan kebebasan fundamental difabel tanpa diskriminasi. Kedua, Indonesia juga telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang secara hukum mencabut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pengesahan Undang-Undang baru ini menegaskan bahwa term dan paradigma kecacatan telah dihapuskan di Indonesia.
Pengakuan hak difabel saat ini menegaskan banyak hal, utamanya tanggungjawab pemerintah untuk mewujdukan kesadaran sosial bahwa difabel merupakan bagian dari keragaman manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia pada umumnya. Pemerintah juga bertanggungjawab menghapus segala bentuk diskriminasi yang mengurangi bahkan meniadakan hak-hak difabel yang ternyata masih terus terjadi. Momentum hari difabel adalah pengingat kepada kita semua bahwa bukan zamannya lagi ada cara pandang, perilaku dan kebijakan yang merendahkan difabel.
1 June 2024
Despan Heryansyah (Researcher at the Center for Constitutional Law Studies (PSHK FH UII))
Presidential dismissal and makar are two words that inflict the same effects yet different consequences. Both lead to terminating the president from his term of office before it officially ends by legislation, which is five years for two terms. The presidential dismissal is conducted through legal mechanisms and regulated in the Constitution, whereas makar is prohibited by statutory regulations.
Regulations regarding the dismissal of the president and/or vice president are regulated in Article 7A and 7B of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The Constitution stipulates that the dismissal of the president can only be carried out if it is proven, by the Constitutional Court, to have violated the laws involving: betrayal of the state, corruption, bribery, other serious crimes and despicable acts, and/or no longer qualifying as president and/or vice president. Besides, some political mechanisms must be passed through before and after the Constitutional Court’s decision. In other words, it requires political and legal mechanisms after the amendment of the Constitution; thus, nowadays it seems impossible to dismiss the present president, from both the legal aspects and the political aspects.
Makar or aanslag, on the other hand, is a criminal act prohibited and regulated in the Criminal Code. Article 104 of the Criminal Code determines the form of makar as an act of killing, depriving independence, and making president or vice president incapable of governing. Moreover, article 106 of the Criminal Code regulates the form of makar as an action intending that all or part of the country’s territory falls into the enemy’s hands and to separate parts of the country’s territory.
Hence, it is obvious that the presidential dismissal and makar are two very different things. Dismissal of the president, because it is regulated in the Constitution, is included as a constitutional act. Meanwhile, makar is prohibited in statutory regulations due to an unconstitutional act. Here is the logical consequence; if a party discusses the mechanisms of the presidential dismissal, which is indeed an important material in the department of state administration law, it cannot absolutely be labeled as makar. Discussions or discourses concerning the dismissal of the president, as long as based on the procedure, are legal wherever whenever. Different from it, makar is prohibited and not justified at all.
This situation has lately happened in a discussion entitled ““Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” by students of the Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada. The discussion was to be canceled since some individuals accused the act as inappropriate makar. This was such a real mistake, which in fact many people still hold, in distinguishing between makar and dismissal of the president. In addition, the discussion was in the academic room, unintervenable academic freedom platform, to develop science and to voice social criticisms.
Salah satu kasus yang menyita perhatian kelompok pro demokrasi saat ini ialah terkait dengan penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti. Keduanya merupakan aktifis HAM yang cukup kritis terhadap beberapa kasus struktural yang terjadi di Indonesia. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka setelah dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Kasus ini bermula dari unggahan video di kanal youtube Haris Azhar yang mendiskusikan hasil riset tentang konsensi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di wilayah Intan Jaya Papua, dan dikemukakan ada keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang tersebut. Riset yang dikutip oleh Haris dan Fatia berpijak pada laporan “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua : Kasus Intan Jaya” dimana laporan riset ini dilakukan oleh YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia dan Trend Asia.
Kasus yang menimpa Haris dan Fatia sebenarnya bukan peristiwa baru dimana pembela HAM dilaporkan ke institusi kepolisian. Diantara kasus yang mengemuka ialah laporan Moeldoko terhadap dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan pencemaran nama baik; kasus Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit Omni Internasional di media sosial; serta kasus guru perempuan SMAN 7 NTB bernama Baiq Nuril Mukmin yang dijerat UU ITE karena merekam pembicaraan tidak senonoh saat ditelpon Kepala Sekolah.
Beberapa organisasi masyarakat sipil menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap pembela HAM setiap tahunnya selalu tinggi. Sepanjang tahun 2021 misalnya, kasus pembela HAM menempati peringkat pertama dari jumlah korban UU ITE. Umumnya, para pembela HAM dilaporkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kasus pembela HAM yang lain ada yang berujung ancaman, kekerasan, dan pembunuhan seperti yang terjadi pada Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) yang dibunuh karena berita, Marsinah yang dibunuh karena memperjuangkan hak upah, dan Munir Said Thalib (Munir) yang dibunuh dengan racun arsenik karena kritis terhadap sengkarut tata kelola sektor keamaan.
Nasib Pembela HAM
Isu pembela HAM saat ini menjadi concern tersendiri. Nasibnya kerap berujung menyedihkan karena berhadapan dengan aktor kuat dari oligarki kekuasaan. Pembela HAM dikenal sebagai human rights defender, yaitu istilah yang menunjuk pada orang-orang yang secara individu maupun bersama-sama pihak lain bertindak untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia. Dalam Declaration on Human Rights Defender, pembela HAM diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.
Amnesty Internasional menyatatakan bahwa siapa pun orang yang melakukan kerja-kerja untuk hak asasi manusia bisa dikatakan sabagai pembela HAM, termasuk orang yang memperjuangkan gender, masyarakat adat, buruh, dan petani; para pejuang keadilan; orang yang memperkuat hukum dan pemerintahan demokratis; orang yang memperjuangkan hak-hak sipil dan politik; serta orang-orang yang memperjuangkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Definisi ini bersifat luas dan universal. Namun demikian, betapa pun luas definisinya, aktor yang dihadapi tentu bertingkat tergantung pada kasusnya. Dalam kasus yang menimpa Munir, Udin, atau beberapa kasus mutaakhir memperlihatkan bahwa aktor yang dihadapi ialah orang-orang yang berada di sentrum kekuasaan dan memainkan peran yang sangat strategis dalam berbagai kebijakan dan program yang yang didalamnya sangat rentan disalahgunakan.
Pembela HAM umumnya dihabisi dengan berbagai cara, antara lain pembatasan aktifis HAM untuk mendapatkan akses informasi yang notabene menjadi pijakan perjuangan, pembatasan hak berserikat dan berkumpul karena dianggap sebagai aktifitas yang akan mengganggu jalannya pemerintahan, dan yang paling biasa berupa pembatasan untuk menyampaikan pendapat, walaupun pendapat tersebut sifatnya jujur dan berada dalam koridor ilmiah. Strategi lain adalah dengan penggunaan pasal-pasal karet, antara lain Pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE dan Pasal penghasutan dalam KUHP. Kelompok pro demokrasi menyebut peristiwa ini dengan kriminalisasi, dimana pembela HAM yang menyuarakan isu publik biasanya dilaporkan dengan pencemaran nama baik. Cara yang paling bar-bar ialah ancaman, penganiayaan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan seperti yang menimpa kepada Munir dan Udin. Ikutan lain yang biasa dimunculkan ialah label dan stigma negatif yang dilakukan dengan berbagai cara oleh jaringan oligarki kekuasaan yang pada intinya agar pembela HAM layak untuk dijauhi dan dimusuhi.
Nasib pembela HAM dengan demikian sangat rentan, walaupun posisinya telah dijamin oleh hukum. Pasal 101 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, atau organisasi kemasyaratan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. Apa yang dilakukan Haris dan Fatia adalah ekspresi untuk memajukan hak asasi manusia di bidang hak ekonomi sosial dan budaya, dimana negara semestinya bebas dari tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakannya termasuk bagian dari hak berpendapat dan menyampaikan informasi hasil penelitian ke masyarakat luas.
Konteks tragis dan tragedi pembela HAM memperlihatkan betapa Indonesia sebagai negara hukum mengalami krisis yang akut, dimana praktik hukum dan kekuasaan kerap menjauh dari sisi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Para pembela HAM kerap dikriminalisasi dengan penggunaan pasal-pasal karet yang dimainkan oleh jaringan oligarki kekuasaan. Karena itu, sudah selayaknya ada pembacaan kritis dan pembenahan mendalam terhadap sistem hukum dan kekuasaan yang terus menerus berjalin kelindan menghabisi para pembela HAM.
SUMBER :
Koran SINDO, 13 April 2022