OPINIONS & REVIEWS
Short Reflection and Analysis by the Staff of the Center for
Human Rights Studies of the Universitas Islam Indonesia
24 April 2025
M. Syafi'ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Penyandang disabilitas, juga dikenal sebagai penyandang difabel yang notabene singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan.[1] Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.
Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya.[2]

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.[3]
Pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2016, terdapat lima ragam penyandang disabilitas, pertama, penyandang disabilitas fisik ialah terganggunya fungsi gerak. Misal, amputasi; lumpuh layuh atau kaku; paraplegi; Celebral palsy (CP); stroke; kusta; dan orang kecil. Kedua, penyandang disabilitas intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: slow learner; difabel grahita; dan down syndrom. Ketiga, peyandang disabilitas mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi: Psikososial (Seperti, skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian); dan difabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (Autis dan Hiperaktif). Keempat, penyandang disabilitas sensorik ialah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, Misal, difabel netra; difabel rungu; dan/atau difabel wicara. Kelima, penyandang disabilitas ganda ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, Misal : difabel rungu-wicara, difabel netra-tuli, difabel daksa dan netra sekaligus
Dalam lingkungan sosial, hambatan-hambatan yang biasa dialami penyandang disabilitas setidaknya ada dua, pertama, aksesibilitas fisik seperti tidak adanya ramp, fasilitas publik yang tidak ada guiding block, tidak disedikanannya informasi braile, video dan audio yang tidak difasilitasi bahasa isyarat, tidak adanya lift dalam bangunan bertingkat dan seterusnya. Kedua, aksesibilitas non fisik seperti petugas layanan publik dan masyarakat yang tidak memahami cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Dalam konteks bernegara, penyandang disabilitas sebenarnya telah dijamin haknya. Setidaknya Indonesia telah memiliki dua aturan pokok, yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Convention on The Rights of Persons With Disabilities, di mana Indonesia telah meratifikasi pada tanggal 10 November 2011. Dalam kedua aturan tersebut diantur hak-hak penyandang disabilitas, yakni : hak untuk hidup, perlndungan dalam situasi yang penuh resiko dan darurat, pengakuan yang setara di depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi, bebas untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, ha katas informasi, penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, kebebasan berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitasi dan habilitasi, dan hak atas pekerjaan.
Problem pemenuhan hak penyandang disablitas semakin kesini semakin tersuarakan. Hal ini tidak terlepas dari data penyandang disabilitas yang relatif besar di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-negara dunia. Di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150. 000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa.[4] Sebelumnya, tahun 2004 penyandang disabilitas Indonesia diperkirakan sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400 (13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti asuhan.[5]
Hak Penyandang Disabilitas atas Informas
Hak atas informasi adalah hak semua orang. Termasuk dalam hal ini adalah penyandang disabilitas. Secara spesifik Pasal 5 ayat 1 huruf t Undang-Undang No. 8 tahun 2016, menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 24 dinyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi meliputi hak (a) memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) mendapatkan informasi dan komunikasi melalui media yang mudah diakses, (c) menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentative dalam interaksi resmi.
Aturan di atas sangat jelas mengatur hak informasi penyadang disabilitas. Namun, dalam prakteknya, penyandang disabilitas tidak mendapatkan haknya. Mengapa? Karena informasi yang selama ini disajikan dalam ruang publik, tidak akses atau bahkan tidak dapat dibaca sama sekali oleh penyandang disabilitas.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penyandang disabilitas memiliki hambatan-hambatan, diantaranya adalah hambatan penglihatan, pendengaran, wicara dan mobilitas. Dalam konteks ha katas informasi, penyandang disabilitas yang biasa mengalami pelanggaran adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan dan hambatan pendengaran dan wicara.
Bagi penyandang disabilitas yang memiliki hambatan penglihatan, maka informasi media cetak sulit dibaca, bahkan tidak bisa dibaca, karena penyandang disabilitas penglihatan akan bisa membaca dengan media braille atau informasi yang berupa bunyi atau suara. Tidak ada media cetak selama ini yang berbentuk braille, dan sedikit juga media elektronik yang menyajikan informasinya dalam bentuk suara. Penyandang disabilitas pendengaran dan wicara, umumnya mengalamai kesulitan memahami informasi media televisi. Sebagian besar, media televisi belum memfasilitasi penerjemah bahasa isyarat.
Dengan beberapa masalah di atas, sudah selayaknya tata kelola informasi, baik cetak maupun elektronik dibenahi. Komisi Informasi Publik sudah selayaknya mengawal hak atas informasi bagi penyandang disabilitas. Pemerintah yang notabene menjadi pemangku kewajiban pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sudah seharusnya bertanggungjawab atas pelanggaran hak atas informasi yang masih terjadi.
[1] Pada dasarnya setiap orang diciptakan secara berbeda-beda, termasuk di antara mereka terlahir dalam kondisi memiliki kekurangan, dan cacat. Secara kodrati mereka lahir sebagai manusia denga fisik yang berbeda-beda. Karena itu, seluruh pelayanan publik, diantaranya ialah architecture bangunan fisik harus memiliki kaitan untuk membantu kepentingan masyarakat yang memiliki kekurangan berupa cacat fisik seperti buta, lumpuh dan lain sebagainya. Lihat Architecture for Diferently Abled, liputan khusus Majalah Sketsa : Majalah Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24 hlm 38.
[2] Lihat Pasal 1 Convention on the Rights of Persons With Disabilities
[3] Bandingkan dengan definisi disabilitas dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4/2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial
[4] Lihat selebaran UCP dan Roda Untuk Kemanusiaan tentang Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas
[5] Data-data ini secara keseluruhan dihimpun dari berbagai laporan seperti PERTUNI, GERGATIN, BPS, dan lembaga lainnya. Secara umum data yang ada dinilai masih belum komprehensif dan akurat karena masing-masing lembaga menggunakan stanadar penilaian yang berbeda-beda. Pendaataan yang buruk tersebut secara tidak langsung berdampak terhadap advokasi yang tepat yang didasarkan pada bukti, kajian kebutuhan, formulasi kebijakan, monitoring kemajuan dan evaluasi. Lihat Nicola Golbran, Akses Terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas Indonesia : Kajian Latar Belakang, Australian AID, 2010, hlm 29
1 April 2025
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) banyak mengatur norma baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat tata usaha negara. Konsekuensi logisnya, juga banyak memberikan kompetensi absolut baru terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN). Salah satu ketentuan baru dalam UU Adpem tersebut, juga menjadi kompetensi PTUN adalah mengenai diskresi.
Secara sederhana, diskresi dapat dimaknai sebagai kewenangan bebas yang melekat pada jabatan tata usaha negara. Sedangkan UU Adpem memaknai diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa diskresi menghendaki adanya prasyarat: dilakukan oleh pejabat pemerintahan, untuk mengatasi persoalan konkret, dalam hal peraturan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Prasyarat ini menjadi tolak ukur dapat atau tidaknya diskresi dikeluarkan oleh seorang pejabat pemerintahan.
Urgensi Diskresi
Dalam konteks negara hukum modern, negara dituntut untuk mengambil tindakan aktif mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya. Bagi negara Indonesia sendiri, kesejahteraan masyarakat ini menjadi salah satu tujuan didirikannya Republik Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD N RI Tahun 1945. Namun pada sisi yang lain, negara juga dituntut untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, oleh karena itu tindakan negara harus didasarkan pada kewenangan dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan (termasuk keputusan) yang dilakukan menyimpang dari peraturan perundang-undangan adalah tindakan yang sewenang-wenang. Dengan kata lain, setiap tindakan pemerintah harus disadarkan pada peraturan terlebih dahulu. Namun, kompleksnya persoalan kemasyarakatan menjadikan peraturan akan selalu tertinggal di belakang, sehingga jika harus selalu menunggu ada peraturannya, akan terjadi stagnasi pemerintahan. Dalam hal inilah diskresi dibutuhkan, tanpa harus menunggu ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dalam kondisi tertentu pejabat pemerintah berwenang mengambil tindakan.
Dalam konteks yang lain, pengaturan diskresi dalam UU Adpem juga untuk mengakomodir isu nyata yang berkembang dalam pelaksanaan pemerintahan. Ada banyak pejabat, terutama di tingkat daerah, yang mengeluhkan ketakutannya dalam mengambil tindakan/keputusan. Ada banyak masalah konkret yang muncul di daerah, namun pada saat ditelusuri aturannya, belum ada ketentuan yang mengatur, atau sekalipun ada namun masih rancu. Namun, pejabat yang bersangkutan enggan mengambil kebijakan karena khawatir akan ‘dikriminalisasi’ oleh pihak lain. Kekhawatiran ini tentu beralasan karena Pasal 3 UU Tipikor mengatur tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara adalah termasuk tindak pidana korupsi. Konsekuensinya juga sama, karena ketakutan pejabat pemerintah mengeluarkan kebijakan padalah telah ada permasalah konkret, sehingga terjadi stagnasi pemerintahan. Oleh karena itu, UU Adpem menjamin kebebasan pejabat pemerintah untuk mengambil kebijakan, sekalipun UU tidak mengaturnya, atau disebut dengan diskresi. Diskresi dalam UU Adpem, adalah jaminan bagi pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat, daerah, maupun desa agar tidak di ‘kriminalisasi’.
Wajah Ganda Pengaturan
Pengaturan sesuatu dalam peraturan perundang-undangan, hampir selalu memunculkan wajah ganda. Pada satu sisi, pengaturan memang melahirkan kepastian hukum, namun pada sisi yang lain pengaturan itu justeru melahirkan birokrasi dan berbagai masalah baru. Masalah diskresi misalnya, pengaturan diskresi dalam UU Adpem, sebagaimana penulis paparkan di atas memang mengatasi kekhawatiran ‘kriminalisasi’ terhadap pejabat pemerintahan. Namun pada sisi yang lain, justeru menjadikan diskresi yang pada mulanya adalah kewenangan bebas menjadi tidak bebas lagi, atau kehilangan makna kebebasannya karena diatur demikian detilnya.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, diskresi dikeluarkan dalam hal terdapat peristiwa konkret, baik karena keadaan darurat, keadaan mendesak, terjadi bencana alam, maupun keadaan lainnya. Pasal 23 UU Adpem mengatur bahwa diskresi dikeluarkan dalam hal peraturan perundang-undangan: memberikan pilihan kebijakan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, adanya stagnasi pemerintahan. Namun Pasal 25 menentukan bahwa diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat 5 hari sebelum penggunaan diskresi, juga wajib membuat laporan pasca penggunaan diskresi. Pasal 27 kembali mensyaratkan penggunaan diskresi yaitu wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara. Selain itu, dalam menggunakan diskresi, Pasal 30 mengatur pejabat pemerintahan dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang berupa tindakan/keputusan yang melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, tindakan sewenang-wenang.
Berbagai syarat yang ditentukan di atas, justeru menyulitkan pejabat pemerintah dalam mengeluarkan diskresi, padahal pada pokoknya diskresi adalah kewenangan bebas, jika diatur sedemikian rupa, maka diskresi kehilangan makna kebebasannya. Terlebih, dalam prakteknya berbagai syarat di atas akan sangat sulit untuk dipenuhi. Dalam kondisi mendesak misalnya, dan muncul secara tiba-tiba, bagaimana mungkin harus meminta izin dari atasan dalam waktu lima hari sebelumnya. Padahal, karena ini menyangkut prosedur diskresi, akan ada kemungkinan diskresi dibatalkan karena prosedur tidak terpenuhi. Diskresi tentu harus tetap diatur agar melahirkan kepastian hukum bagi pemerintah dan juga masyarakat, namun cukup ketentuan-ketentuan umumnya saja, selebihnya biarkan PTUN yang akan memeriksa apakah diskresi tersebut sah atau tidak.
Puasa Ramadhan kali ini bersamaan dengan situasi negara yang tidak baik-baik saja : pajak yang naik, gelombang pemutusan kerja, biaya kebutuhan pokok yang melonjak tinggi, turunnya kelas menengah ke kelas bawah, dan praktek korupsi yang tak terkendali. Pertanyaannya, sejauhmana puasa bulan ini berkontribusi terhadap penciptaan tatanan sosial dan bernegara yang beradab? Pertanyaan ini cukup relevan, mengingat mayoritas warga dan pejabat negara beragama Islam, walapun ada yang non-Islam masing-masing mereka memiliki laku puasa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing, yang kesemua itu diharapkan akan menciptakan individu-individu tercerahkan dan peduli terhadap penderitaan manusia yang lain.
Makna Penting Puasa
Puasa secara bahasa dartikan dengan menahan diri, sedangkan secara terminologi diartikan dengan menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Definisi ini memberi makna bahwa puasa menjadi media berlatih seseorang agar mampu untuk menahan diri terhadap banyak hal yang nanti akan merusak pengabdian tulus kepada Tuhannya, dan pada dimensi yang lain puasa mengajarkan agar seseorang bisa menyerap prinsip timbal balik dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Puasa sebagai pengabdian kepada Tuhan tidak diragukan lagi pesannya. Hampir semua umat beragama berpuasa karena memang ada firman Tuhan yang mewajibkan dengan harapan umat beragama akan menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Tuhan, dirinya sendiri, dan hubungan antar manusia. Ketika seseorang berpuasa, maka otomatis pengabdian dan ketulusannya akan dihitung di sisi Tuhan. Sebaliknya, pengabaian terhadap puasa akan dihitung sebagai pengingkaran terhadap pesan Tuhan.
Secara personal, puasa sangat bagus bagi kesehatan. Dalam beberapa studi disebutkan bahwa ketika berpuasa sistem pencernaan akan beristirahat dan sisa-sisa energi akan digunakan untuk perbaikan, pemulihan, dan peremajaan sel-sel tubuh. Di dunia medis, kesehatan memiliki manfaat untuk menjaga berat badan, menjaga kesehatan jantung, meningkatkan metabolisme tubuh, mengendalikan nafsu makan, meningkatkan fungsi kesadaran, mengaktifkan detoksifikasi, menjaga kesehatan kulit, mengurangi resiko diabetes, dan menjaga kesehatan mental.
Manfaat puasa secara kesehatan penting dipelajari mengingat tren terbaru dunia menyebutkan bahwa kematian banyak orang saat ini disebabkan oleh pola makan yang tidak terkendali. Mungkin karena itu, puasa telah menjadi kebiasaan umat terdahulu. Misalnya Pythagoras (580-500 SM) yang biasa berpuasa selama 40 hari karena meyakini akan memperbaiki persepsi mental dan kreatifitas, serta Hippocrates (460-357 SM) yang menjadikan puasa sebagai obat bagi pasiennya.
Prinsip Resiprositas
Manfaat yang tidak kalah penting dari puasa adalah kontribusi sosialnya. Puasa mengajarkan pemaknaan terhadap kehidupan, interaksi sosial, dan kemanusiaan. Puasa yang didalamnya melarang makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan dosa seperti ghibah mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu. Larangan-larangan ini adalah sesatu yang sulit dikerjakan, mengingat setiap orang sudah terbiasa melakukannya, tetapi semua itu kemudian dilarang dan bahkan menjadi faktor yang membatalkan ibadah puasa.
Larangan makan dan minum misalnya membuat orang lapar, haus dan dahaga. Setiap orang yang berpuasa akan merasakannya sehingga pada kondisi tersebut harapannya ada kesadaran betapa nestapanya orang-orang miskin mencari makan di tengah kesulitan mencari pekerjaan. Pada saat yang sama betapa menyedihkannhya mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja di tengah beban ekonomi keluarga yang tidak sedikit.
Larangan membicarakan orang lain misalnya, dimana didalamnya ada praktik bullying berupa tindakan agresif perundungan yang melukai orang lain, atau body shaming berupa perilaku menjelek-jelekkan atau mongomentari penampilan fisik seseorang. Pelaku bullying dan body shaming cukup besar di Indonesia, utamanya komentar-komentar menyudutkan yang tersebar di media sosial. Akibat perbuatan tersebut ada dampak serius terhadap kesehatan fisik, mental, dan bahkan mendorong bunuh diri korbannya.
Puasa telah mengajarkan prinsip perilaku timbal balik atau prinsip resiprositas dalam hubungannya antar manusia. Abdullah An-Na’im menyebut bahwa prinsip resiprositas adalah salah satu landasan normatif prinsip kesetaraan dan non diskriminasi dalam pemikiran HAM. Prinsip ini mengajarkan bahwa perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan; atau cintailah manusia lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri. Karena itu, cukup beralasan berharap bahwa puasa Ramadhan tahun ini dapat berkontribusi terhadap perbaikan hubungan antar manusia yang beragam, dan khususnya hubungan penguasa dan rakyat, dimana penguasa harapannya dapat berkesadaran sehingga menjauhi membuat aturan dan kebijakan yang berdampak menyengsarakan rakyatnya.
1 February 2025
Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH. (Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Salah satu instrumen penting dan substansial dalam pemiluhan umum adalah mekanisme atau sistem keadilan pemilu. Sistem keadilan pemilu sederhananya dapat dimaknai sebagai sistem untuk memastikan proses pemilu di suatu negara berjalan secara bebas, adil, dan jujur. Dalam sistem tersebut terdapat beberapa bagian, di mana salah satunya adalah mekanisme penegakan hukum pemilu. Mekanisme ini digunakan sebagai sarana terakhir dalam membentengi keadilan pemilu. Sehingga pada esensinya dapat dijelaskan bahwa sistem keadilan pemilu menyiapkan mekanisme yang ditujukan untuk menanggulangi kesalahan/kekeliruan atau bahkan kecurangan yang terjadi dalam proses pemilihan. Mekanisme-mekanisme tersebut sangat berpengaruh dalam melindungi legitimasi pemilihan umum dalam hal terjadi kekeliruan ataupun kecurangan.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka sistem keadilan pemilu yang terdapat dalam UU Pemilu setidaknya ada dua: Pertama, terkait prosedur pelaksanaan, UU Pemilu telah mengatur seluruh aspek penyelenggaraan 11 tahapan pemilu. Selain itu, UU Pemilu juga telah mengatur ihwal hak pilih, penyelenggara pemilu yang independen, dan mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa. Kedua, terkait mekanisme penyelesaian pelanggaran, UU Pemilu telah mengatur dua kelompok masalah hukum dalam pemilu, yaitu: pelanggaran dan sengketa. Secara umum, pelanggaran pemilu dipahami sebagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran pemilu sangatlah rumit, selain karena banyaknya jenis pelanggaran juga lienar dengan banyaknya institusi yang terlibat dalam penyelesaiannya. Jika dilihat dari aspek ini, maka pemilu di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemilu yang paling rumit di Indonesia. Setidaknya ada sembilan institusi yang terlibat, yaitu: (1) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (2) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); (3) Komisi Pemilihan Umum (KPU); (4) Kepolisian Negara; (5) Kejaksaan; (6) Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; (7) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; (8) Mahkamah Agung; dan (9) Mahkamah Konstitusi. Belum lagi keterlibatan Komisi Penyiaran atau Dewan Pers untuk mengawasi pemberitaan dan iklan kampanye. Sehingga, setidaknya akan ada 10 institusi yang terkait dengan penyelesaian masalah hukum pemilu.
Dari sekian banyak jenis pelanggaran pemilu dan institusi penyelesaiannya tersebut, salah satu yang paling kompleks adalah penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu atau pidana pemilu, yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Karena ia merupakan tindak pidana, maka tahapan penyelesaiannya tentu saja mengikuti mekanisme integrated criminal justice system (sistem pengadilan pidana terpadu), yaitu sejak penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, persidangan di pengadilan, hingga pelaksanaan putusan hakim. Bedanya, tahapan pelaporan, penyidikan, dan penuntutan melibatkan tiga lembaga sekaligus yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakumdu), yaitu Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan Walaupun kewenangan penanganan pelanggaran Pemilu terdapat pada Bawaslu, proses penanganan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu wajib melewati Sentra Gakkumdu. Jika prosedur dalam Sentra Gakkumdu terlewati, maka penanganan pelanggaran Pemilu cacat prosedur.
Sentra Gakumdu; Awal Masalah
Kompleksitas persoalan penegakan pidana pemilu sudah dimulai sejak penanganan perkara oleh Sentra Gakumdu tersebut. Model kerja dan penataan komposisi Sentra Gakumdu dengan kewenangan demikian, dalam prakteknya memunculkan banyak hambatan. Penyatuan tiga lembaga (Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan) dalam Sentra Gakumdu, sulit mencapai kesamaan persepsi dalam menangani kasus pelanggaran tindak pidana pemilu. Unsur kepolisian dan kejaksaan yang menjadi bagian dari Sentra Gakkumdu memiliki kekhawatiran tidak dapat memenuhi bukti pemidanaan pelanggaran pemilu, sehingga mereka menjadi sangat defensif dalam menerima laporan tindak pidana pemilu untuk diproses di penyidikan. Masing-masing unsur Sentra Gakkumdu masih memperlakukan Sentra Gakkumdu-nya itu sendiri berdasarkan kepentingan sektoral tiap-tiap lembaga (tidak secara komprehensif dan menyeluruh).
Akibatnya, sampai hari ini Sentra Gakumdu masih berkutat pada dua kritik besar. Pertama, perbedaan pendapat antara Bawaslu pada satu sisi, dan Kepolisian serta Kejaksaan pada sisi yang lain, menjadikan banyak laporan yang tidak sampai dilanjutkan hingga proses peradilan. Sekalipun menurut Bawaslu syarat formil dan materil telah terpenuhi, namun menurut Kepolisian dan Kejaksaan belum atau bahkan tidak terpenuhi. Kondisi ini terjadi di banyak kasus, sehingga menjadikan masyarakat enggan melaporkan pelanggaran. Kedua, sekalipun perkara sudah sampai pada tahapan penuntutan di kejaksaan, namun tuntutan pidana oleh jaksa sangatlah ringan. Hampir semua tuntutan pidana adalah pidana percobaan, tentu saja ini berdampak negatif terhadap efektifitas penegakan hukum pidana pemilu dan bermuara pada substansi keadilan pemilu bagi pihak yang dirugikan.
Ratio Decidendi
Masalah terus berlanjut saat perkara disidangkan dan diputus oleh pengadilan, hasil penelusuran penulis, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Sumatera Barat misalnya, dari total 21 perkara yang diperiksa oleh pengadilan, 20 diantaranya diputus dengan hukuman percobaan. Padahal tindak pidana yang dilakukan beragam, mulai dari politik uang, kampanye yang melibatkan calon, mencoblos berkali-kali oleh salah satu calon, merubah hasil pemungutan suara, dan lain sebagainya. Rata-rata hukuman yang dijatuhkan oleh hakim adalah 3 bulan penjara.
Jika ditimbang dari aspek yuridis-positivis, memang tidak ada yang salah, hakim memutus rendah karena memang tuntutan jaksa yang rendah, lalu hakim menggantinya dengan pidana percobaan, KUHAP sendiri memang mengatur hukuman di bawah 1 tahun dapat diganti dengan pidana percobaan. Sepanjang penelusuran penulis, ratio decidendi, atau pertimbangan hakim dalam memutus perkara hanya apa yang diatur dalam UU Pemilu dan KUHAP. Artinya semua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, sejatinya ada aspek lain yang juga dipertimbangkan oleh hakim, aspek substasial materil yang justeru menjadi marwah dan ruh dari pengaturan tindak pidana pemilu. Pertama, aspek kedaulatan rakyat, pemilu adalah implementasi konkret dari kedaulatan rakyat dan demokrasi, oleh karena itu harus dipastikan sistem dan mekanismenya berjalan dengan adil dan fair. Jika ada pelanggaran pidana yang dilakukan, maka artinya ia telah menyentuh dan mengganggu halaman kedaulatan rakyat, maka pidana harus ditegakkan dengan tegas. Kedua, bangsa Indonesia hari ini tengah dalam fase transisi menuju demokrasi yang substansial, oleh karena itu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil adalah prasyarat utama yang mesti diwujudkan. Oleh karena itu benalu-benalu yang mengganggu suburnya pemilu Luberjurdil tersebut harus dibasmi lagi-lagi dengan tegas. Dalam konteks ini, maka pelanggaran pidana pemilu difungsikan. Hakim, memimiliki wewenang untuk mewujudkan itu, melalui pertimbangan dalam putusannya, kedaulatan rakyat dan pemilu Luberjurdil, kita letakkan.
3 December 2024
M. Syafi’ie (Dosen Fakultas Hukum UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII)
Sejak tahun 1992, tanggal 3 Desember telah ditetapkan sebagai hari difabel internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setiap tanggal ini, komunitas dan pegiat isu difabel ikut merayakan dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang salah satu pesannya memberi ingatan kepada elemen masyarakat dan para pemangku kebijakan tentang hak-hak difabel, potensi difabel, serta diskriminasi yang terus menerus terjadi.
Dalam sejarah, pengakuan hak-hak difabel bukanlah sesuatu yang muncul secara mudah, tetapi manifes dari suatu kelompok kelompok tertindas yang berjuang melawan label dan stigmatisasi negatif. Menurut Mansour Fakih, konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat, Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang lebih dalam bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya dan atau tidak sepenuhnya.
Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan ini menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma; serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik seperti yang kita saksikan saat ini.
Problem Menyejarah
Kegelisahan Mansour Fakih dan beberapa aktivis difabel juga dipikirkan oleh banyak pemikir disabilitas di belahan dunia. Pemikir Michael Oliver dan Colin Barnes menghadirkan pendekatan baru dalam melihat disabilitas, yaitu pendekatan social model of disability. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas.
Pendekatan sosial merupakan kritik terhadap pendekatan medical model dan model moral. Dalam kacamata medical model, esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri dan normal.
Pendekatan medical model dikiritik sedemikian rupa karena dinilai menopang marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment). Pada level empirik, pendekatan ini menciptakan penghilangan hak-hak difabel untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Difabel selalu dipersalahkan karena dinilai dokter tidak sehat secara jasmani (fisik) dan atau pun rohani (mental dan spiritual).
Pendekatan lain yang juga dinilai menyumbang diskriminasi adalah model moral atau budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan, bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber.
Problem moral dan budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi di level masyakat, bahkan tidak terkecuali Indonesia. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel. Keyakinan ini menjadi mitos yang melekatkan difabel dengan perilaku kurang baik orang tuanya, dan dalam jangka yang panjang memberi dampak pengucilan difabel dalam interaksi sosial masyarakat.
Pengakuan Hak
Sejak munculnya kritik kelompok social model dan pada skala yang lebih luas menghadirkan pengakuan hak-hak difabel, maka semestinya stigma negatif difabel dihentikan. Stigma tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Terkait dengan hak difabel, sejak tahun 1981, PBB telah memulai pencanangan International Year of Disabled People; pada tahun 1993 PBB menetapkan Standar Rules for the Equalisation on The Oportunities for Persons With Disabilities; dan tahun 2006 Majelis Umum PBB sepakat terhadap Convetion on The Rights of Person With Disabilities (CRPD).
Pengakuan hak-hak difabel yang luas di level di internasional, memberi dampak pengakuan hukum di Indonesia. Pertama, Indonesia telah meratifikasi CRPD lewat UU No. 19 Tahun 19 Tahun 2011. Ratifikasi CPRD ini memberi makna bahwa pemerintah Indonesia berjanji secara hukum untuk bertanggungjawab menjamin dan meningkatkan realisasi yang utuh dari semua hak dan kebebasan fundamental difabel tanpa diskriminasi. Kedua, Indonesia juga telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang secara hukum mencabut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pengesahan Undang-Undang baru ini menegaskan bahwa term dan paradigma kecacatan telah dihapuskan di Indonesia.
Pengakuan hak difabel saat ini menegaskan banyak hal, utamanya tanggungjawab pemerintah untuk mewujdukan kesadaran sosial bahwa difabel merupakan bagian dari keragaman manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia pada umumnya. Pemerintah juga bertanggungjawab menghapus segala bentuk diskriminasi yang mengurangi bahkan meniadakan hak-hak difabel yang ternyata masih terus terjadi. Momentum hari difabel adalah pengingat kepada kita semua bahwa bukan zamannya lagi ada cara pandang, perilaku dan kebijakan yang merendahkan difabel.