Para pendiri republik ini sempat melakukan kesalahan fatal ketika menolak hak asasi manusia karena menganggapnya sebagai produk Barat yang membawa angin individualisme. Perdebatan dalam sidang BPUPK sempat memanas, yang pada akhirnya mengharuskan konstitusi awal kita begitu minim pengaturannya terkait hak asasi manusia. Padahal keberadaan konstitusi sejatinya adalah dalam upaya melindungi HAM.
Mengartikan hak asasi manusia sebagai ekspresi Individualisme merupakan salah paham yang demikian fatal, dan dalam kenyataan hanyalah sebuah akal elite neofeodal untuk melegitimasi privilese mereka. Pemantapan HAM justru melindungi dan memberdayakan setiap manusia yang paling lemah dan terancam di dalam masyarakat, dan sekaligus membatasi kesewenang-wenangan mereka yang kuat. Karena itu, jaminan HAM bukan tanda individualisme, melainkan ukuran paling nyata tentang solidaritas bangsa itu dengan anggota-anggotanya yang paling lemah.
Diakui ataupun tidak, HAM hari ini telah menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Terlepas dari perdebatan seputar universalitas ataupun partikularitas hak asasi manusia, tapi HAM telah menjadi komponen utama dalam merumuskan kebijakan negara. Segala sesuatu harus terlebih dahulu dinilai dari perspektif HAM. Bahkan hari ini telah muncul kesadaran universal bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran HAM, maka ia akan menjadi musuh seluruh umat manusia dimanapun berada.
Tidak terkecuali budaya (dalam pengertian sempit disebut adat istiadat), dalam perjalanannya harus bersentuhan dengan Hak Asasi Manusia. Maka pertanyaannya adalah bolehkah HAM membatasi keberadaan budaya? Jawabannya tentu saja bisa, selagi pembatasan itu dilakukan untuk melindungan kemaslahatan dan HAM manusia yang lebih luas. Sebagai contoh misalnya, dalam banyak adat di Indonesia, perempuan di bolehkan menikah di bawah 18 tahun. Namun untuk melindungi masa depan dan hak asasi setiap perempuan, maka hukum membatasi pernikahan perempuan minimal 18 tahun.
Keistimewaan Yogyakarta
Hal yang serupa terjadi di Yogyakarta melalu Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sudah menjadi adat dan sejarah perkembangan kesultanan Yogyakarta bahwa seorang sultan haruslah laki-laki. Belum ada sejarahnya Yogyakarta dipimpin oleh perempuan. Mahkamah Konstitusi lalu membuka peluang perempuan untuk menjadi sultan Yogyakarta, yang tentu saja secara otomatis akan menjadi gubernur Yogyakarta.
Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta dapat menerima putusan tersebut dengan lapang dada. Masih ada sebagian yang beranggapan bahwa Yogyakarta harus dipimpin oleh laki, karena selain belum ada sejarah sultan perempuan juga seorang sultan adalah imam di dalam shalat. Oleh karena itu, jabatan tersebut tidak dapat diduduki oleh perempuan., alasan demikian tentu saja masih dapat di dialogkan.
Masa silam, saat di mana kuasa laki-laki masih begitu dominan atas perempuan, ditambah dengan kondisi perempuan yang belum berpendidikan seperti saat ini, menjadikan laki-laki manusia yang paling berhak atas semua jabatan. Hampir seluruh masyarakat Indonesia (selain Minangkabau) berada di bawah bayang-bayang patrilineal.
Namun hari ini, kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Hak Asasi Manusia telah mengantarkan manusia pada satu pemahaman bahwa setiap manusia tanpa melihat latar belakang jenis kelaminnya memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia. Keduanya memiliki peluang yang sama untuk menduduki posisi tertentu, bergantung pada siapa yang paling layak. Bahkan terkadang, karena kondisinya yang tidak begitu menguntungkan, perempuan harus mendapatkan afirmatif action. Telah banyak perempuan saat ini, yang kualitasnya sudah menyamai bahkan lebih dari laki-laki, karenanya sudah tidak relevan lagi jika tetap berpegang teguh pada prinsip patrilineal.
Dengan demikian, secara sosiologis, ada perubahan kondisi tertentu yang menjadikan perempuan kini berhak atas semua jabatan, termasuk sultan Yogyakarta. Sementara secara yuridis, putusan MK yang sifatnya final dan mengikat harus ditaati oleh seluruh masyarakat Yogyakarta bahwa seorang perempuan dibolehkan menjadi sultan (meski masih terkendala dengan istilah Hamengku Buwono). Namun demikian, tidak berarti bahwa jalan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya telah tertutup, karena di dalam internal keraton, semuanya masih dapat didiskusikan, kita sangat yakin bahwa prioritas keraton Yogya adalah kesejahteraan dan ketentraman masyarakat Yogya, bukan jabatan praktis semata.