NEWS
Latest News by the Center for Human Rights
Studies of the Universitas Islam Indonesia
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Undang-undang terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Rabu-Jum’at, 7-9 September 2016
Tempat : Griya Limasan Niela Sary, Jl. Pramuka, Gg. Kecubung, Rt. 6 RW 16, Pandansari, Wonosari, Gunungkidul
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Kegiatan TOT yang dilakukan selama 4 hari ini dimulai dengan pembukaan oleh KBP Mamboyng ( Kabag Kermadiklat Robindiklat Lemdiklat Polri) dilanjutkan dengan sambutan dari Direktur Pusham UII dan The Asia Foundation. KBP Mamboyng menegaskan bahwa hak asasi manusia wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh aparat kepolisian sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi terutama perkap kapolri no 8 tahun 2009. Kemudian peserta dibagi menjadi 7 kelompok yang akan membahas dan bermusyawarah untuk merumuskan metode pembelajaran modul dalam kelas.
Adapun ke tujuh materi tersebut adalah :
- Hak Asasi Manusia
- Pengurangan (derogation) dan pembatasan (limitation)
- Prinsip-prinsip penegakan hukum yang menghormati hak asasi manusia
- Ketentuan berperilaku bagi penegak hukum (code of conduct for law enforcement officials)
- Hak Asasi Manusia dan kelompok rentan
- Mekanisme pengawasan nasional Hak Asasi Manusia
- Hak Asasi Manusia dan kebebasan beragama
Proses selanjutnya peserta akan berkelompok sampai hari terakhir untuk mempresentasikan hasil diskusinya secara bergantian. Setiap kelompok membuat SAP pembelajaran dan metodologi pembelajaran yang bervariasi dengan berbagai selingan game yang sangat menarik sehingga forum ini sama sekali tidak menjenuhkan.
Ada materi yang sangat khusus yaitu materi ke VII: Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Beragama. Untuk materi ini Lemdikpol (Bagian kurikulum ) akan mencoba memasukkan dalam kurikulum pendidikan Polri dan menambah jam pelajarannya.
Tujuan ToT :
- Memperkenalkan Modul “PENGEMBANGAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA UNTUK PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI”.
- Memberikan kesempatan latihan penggunaan Modul “PENGEMBANGAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA UNTUK PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI” di kalangan Gadik.
- Mendapatkan masukan ragam fasilitasi kreatif dan menarik dalam pembelajaran / penggunaan modul.
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Senin 21 s/d Kamis 24 Maret 2016 bertempat di Jogjakarta Plaza Hotel . Kegiatan ini diikuti 34 orang terdiri 28 orang Gadik Sekolah Polisi Negara, 4 Pusat Pendidikan Polri, 1 Sekolah Polisi Wanita dan 1 Sekolah Pembentukan Perwira (setukpa)
- 18 March 2016
The first problem of the media is posed
by what does not get translated,
or even published in the dominant political languages.
(Jacques Derrida)
Prinsip nilai demokrasi salah satunya adalah nilai penghargaan atas ekspresi dan aktualisasi kebebasan berpendapat warga negara. Kebebasan bahkan menjadi term paling sentral perbincangan berkaitan dengan demokrasi. Setiap warga negara telah dijamin secara penuh untuk mengekspresikan prinsip itu. Tentu saja makna kebebasan itu tak semata hanya sebagai perkara ‘asal bebas’. Ada berbagai rambu dan instrumen negara yang telah mengaturnya. Jauh dari pandangan logika awam, nilai kebebasan sejatinya mengandung dimensi lebih dalam dan filosofis. Tidak dipungkiri, seringkali banyak kekeliruan dalam upaya memahami dan mempraktikan apa itu hakikat nilai kebebasan.
Demokrasi dan kebebasan memang tak luput membawa residu dalam artikulasi praktiknya. Salah satu yang tidak bisa dibendung tentu saja yakni ruang kebebasan bermedia dengan ragam ekspresi dan artikulasi yang terus berkembang. Tak jarang citra dan makna kebebasan menjadi diperburuk dengan berbagai diskursus yang sudah melampui batas norma dan etika hukum bermedia itu sendiri. Inilah salah satu bentuk dlema residu dan paradox nilai kebebasan. Utopia kebebasan bisa saja justru menjadi kerangka kuasa bagi pelemahan dan diskriminasi kebebasan orang lain.
Ujaran kebencian (hate specch) salah satu yang menggejala saat ini terutama dalam praktik masyarakat termediasi. Dinamika diskursus media telah mengalami transformasi begitu luar biasa. Kemunculan beraneka ragam jenis teknologi media sosial baru ikut menyumbang warna interaksi sosial masyarakat. Teknologi media sosial satu sisi telah memberi ruang terbuka bagi ekspresi, pendapat, sharing informasi, interaksi on line ataupun jenis-jenis komunikasi termediasi lainnya. Tak lupat pula, sisi yang lain mediasi media juga memberi banyak dialektika perdebatan, interaksi diskusi dan atau bahkan sampai bertebarnya ujaran-uajaran kebencian yang makin meresahkan.
Hate Speech memang menjadi ancaman dari prinsip moralitas, etika, hukum dan juga relasi antar masyarakat. Banyak peristiwa konflik besar dunia yang seringkali diawali dan diprovokasi oleh tindakan ujaran kebencian. Kegelisahn tentang Hate Speech juga direspon oleh negara, salah satunya mendorong institusi Kepolisian memberikan surat edaran resmi untuk mengatasi semakin berkembangnya Hate Speech. Pokok2 yang ada dalam surat edaran tersebut diantaranya adalah menyebut beberap tindakan yang bisa dikatagorikan Hate Specch adalah: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak meyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Poin dasar tindakan ini sejatinya juga sudah diatur dalam poun-poin KUHP. Ditambahkan bahwa seluruh tindakan tersebut di atas bisa akan berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan ata konflik sosial.
Pada surat edaran Kapolri nomor SE/06/X/2016 tersebut juga menyebutkan bahwa ujaran kebencian tersebut bisa menyangkut berbagai aspek, diantaranya dimensi suku, agama, aliran keagamaan, kepercayaan ata keyakinan, ras, antar glongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual. Ruang dan media apa saja yang bisa digunakan untuk membangun Hate Speech? Pada surat edaran dicontohkan eksplisit seperti orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, cerma keagamaan, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.
Menimbang beberapa item pasal di KUHP terutama pasal 156, 157, 311, 312 KUHP maka berbagai tindakan yang disebutkasn sebagai Hate Specch bisa dikenakan sanksi pemidanaan. Ditambah lagi kepolisan juga mempertimbangkan peran UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama pasal Pasal 28 jis pasal 45 UU ITE. Undang-undang yang juga terkait dengan kepentingan ini adalah Undang-undang No. 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis serta Undang-undang No. 07 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Secara legal hukum, sejatinya sudah banyak instrumen yang bisa dipaai untuk membaca dan memahami apa yang sejatinya difahami sebagai ujaran kebencian.
Namun jika dibaca lebih kritis, dimensi mendasar berkait dengan isu ujaran kebencian sejatinya tidak semata hanya bisa ditangkap dalam kaca mata legal formal. Berbagai praktik ujaran justru kian hari kian berkembang. Jikapun sudah ada tindakan hukum, justru dirasakan lebih tajam ke bawah. Bagi nalar kekuasaan, kebebasan ekspresi, tuntutan gagasan perubahan atau ide-ide kreatif untuk mengkritisi negara, malah sering disikapi sebagai ujaran provokasi kebencian. Apa yang dimengertin sebagai ‘pendapat kritis’ dan juga ‘ujaran kebencian’ batasnya menjadi tipis dan kabur.
Negara kerab menggunakan standar ganda dalam penanganan tentang ujaran kebencian. Provokasi kelompok-kelompok yang kerab melakukan represi, terror, diskriminasi dan intoleransi justru kerab dibiarkan, sementara kelompok minoritas yang terancam justru selalu tidak mendapat perlindungan yang memadahi. Satu sisi, gagasan kritis justru mudah dicurigai subversif dan mengancam status quo dan kerab diantisipasi dengan tindakan represif negara. Inilah problem mendasar dari kekacauan nalar perspektif dalam memaknai isu kebebasan dan eskpresi kebebasan di Indonesia. Penegak hukum juga seringkali lebih berorientasi pada nalar kekuasaan ketimbang prinsip penegakan hyukum yang berkeadilan.
Dari uraian di atas, ada tantangan penting untuk bisa merumuskan kembali berbagai topik menarik yang harus diperbaiki dan dikembangkan. Pertama, soal penterjemaham langkah menghadapi berbagai ihwal perekmabngan ujaran kebencian yang mengancam nilai toleransi dan demokrasi; kedua, tantangan terhadap prinsip openegakan etika dan hukum media yang menjadi sat instrument penting membaca persoalan isu ini; Ketiga, adalah menemukan tawaran-tawaran analisis kunci yang berharga bagi pembangunan iklim demokrasi dan interaksi sosial yang termediasi. Output besarnya tentu mengajak kita untuk bersama-sama bisa menjawab problem dan tantangan gejala krisis demokrasi media yang saat ini makin mersehakan. Tantangan praktisnya tentu kita diajak bisa merespon secara kritis dan membangun langkah strategis untuk bisa mengatasi gejalamaraknya uajaran kebencian dalam masyarakat kita.
Tujuan Gagasan Diskusi :
Mendiskusikan secara kritis tentang gejala maraknya tradisi ujaran kebencian (hate specch) dan tantangan terhadap dinamika ruang publik dan pengembangan masyarakat yang toleran dan demokratis.
Mendiskusikan secara kritis berbagai tantangan Etika, Hukum dan Prinsip-prinsip demokratisasi media berhadapan dengan merebaknya kultur ujuaran kebencian (hate specch) dalam pola-pola komunikasi masyarakat yang semakin termediasioleh teknologi media;
Mendiskusikan dan mengurai secara kritis topik perbincangan mendasar tentang isu-isu kebebasan, demokrasi dan masa depan media yang hari ini berjalan;
Merefleksikan dan menemukan rumusan dan rekomendasi berharga untuk menjawab ancaman kultur uajaran kebencian;
Pelaksanaan Acara :
Hari/Tanggal : Rabu, 17 Maret 2016
Waktu : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar Pusham UII Yogyakarta
Narasumber:
- Dr. Iqbal Ahnaf (Dosen dan Peneliti CRCS UGM)
- Eko Riyadi, MH (Direktur Pusham UII Yogyakarta)
- Anang Zakaria (Direktur Aji Yogyakarta, Wartawan Tempo)
Ruang kampus secara prinsip tidak hanya bisa dibaca sebagai tempat pembelajaran dan menimba gagasan-gagasan kognisi keilmuan. Kampus menjadi bagian penting dari wadah penyaluran ekspresi akademik, yang berarti merupakan ruang ilmiah yang terbuka bagi pengembangan nilai dan gagasan apapun. Kebebasan akademik juga berarti sebuah ruang demokratis bagi civitas akademik untuk berinteraksi, bergumul dan berbagi berbagai lintas gagasan ilmu dan pengetahuan. Secara ideal, kebijakan kampus harus memberikan ruang-ruang itu secara terbuka, adil dan tidak diskriminatif kepada siapapun.
Begitu strategisnya kampus, dalam konteks historis, secara politis pula kampus sejatinya menjadi medan ketegangan dan juga bagian suprastruktur penting dalam kepentingan-kepentingan politik dominan. Kampus bisa menjadi bagian penting dari ruang konsolidasi gagasan ideologi. Oleh sebab itu, banyak kampus yang didirikan oleh negara ataupun swasta sejatinya juga menjadi bagian aparatus penting dalam mendukung dimensi kepentingan ideologi negara. Warna dan dinamika kampus kemudian juga akan ditentukan oleh relasi dinamika politik negara dan dalam batas tertentu juga bisa menentukan warna dan dinamika politik negara.
Bisa dikatakan bahwa kebebasan akademik dan juga berbagai jargon mengenai independensi kampus merupakan utopia normatif dan dalam banyak kadar bisa menjadi sekedar idealisasi ilusif. Kampus tak bisa lepas dari tarik-menarik ketegangan, negosiasi dan artikulasi berbagai kepentingan yang melibatkan diri baik negara, pasar ataupun kekuatan-kekuatan sipil lainnya. Secara ideal sebagai bagian tugas membangun spirit atas mandat kebebasan akademik, maka kampus sendiri tentu mempunyai kewajiban penuh untuk bersifat terbuka dan adil. Prinsip regulasi ruang kebebasan inilah yang harus dikelola dan ditata secara benar dan tepat.
Problem riil yang berkembang saat ini, gejala atas watak diskriminatif dan pelecehan terhadap spirit kebebasan ruang akademik mulai banyak bermunculan. Pada pengalaman rezim Orde Baru, intervensi dan watak diktatorial yang eksploitatif dan diskriminatif, sangat kuat datang dari kekuatan langsung negara. Pelarangan, pembubaran, penangkapan dan juga teror atas iklim akademik datang dari aparat dan kebijakan negara. Mahasiswa , dosen ataupun siapa saja bisa mudah ditangkap dan dicekal oleh aparat keamanan negara karena sekedar melakukan diskusi atau mimbar ilmiah di kampus. Kondisi pasca reformasi setelah iklim demokratisasi dikembangkan, intervensi dan infiltrasi atas kebebasan akademik tidak hanya datang dari kebijakan negara melainkan berkembang muncul dari kekuatan sipil atau kelompok-kelompok non aparatus negara resmi yang berkelindan dengan kekuatan-kekuatan politik ekonomi besar.
Intimidasi, teror dan pembubaran pemutaran film Senyap di beberapa kampus Indonesia adalah salah satu bukti nyata. Mereka datang dari berbagai kekuatan intoleran yang kemudian direstui oleh kebijakan kampus karena ancaman dan intimidasi tersebut. Intimidasi dan teror juga menimpa berbagai gagasan, diskusi dan seminar tentang isu-isu penting lain seperti soal LGBT di beberapa universitas seperti di kampus Sanata Darma dan juga kampus UI Jakarta. Kejadian yang belum lama berselang yakni pelarangan dan pembubaran niat dan rencana diskusi tentang Syiah yang akan diadakan di kampus UIN Yogyakarta. Acara ini dipaksa dan diancam oleh gerakan yang mengatasnamakan Anti Syiah. Tak juga belum lama, rencana gagasan diskusi di FIB UGM terpaksa dibatalkan karena adanya ancaman dan intimidasi. Ada transformasi dan perubahan bentuk mekanisme intimidasi dengan membawa nilai-nilai kepentingan yang sensitif seperti dimensi agama, stigma ideologi dan juga isu kewaspadaan nasional lainnya.
Meskipun ada perubahan pola dan transformasi bentuk, ada benang merah yang menyamakan yakni masih adanya bukti ancaman serius terhadap kemerdekaan, kebebasan dan keterbukaan akademik di ruang kampus. Tentu ini sesuatu langkah mundur bagi cita-cita demokratisasi pendidikan yang sebenarnya. Secara langsung ataupun tidak langsung, banyak otoritas kampus yang masih mempunyai pola lama yakni tunduk dan takut pada intervensi kepentingan politik besar yang ada. Kelindan aktor negara, kampus dan juga kekuatan intoleran yang mengancam kebebasan kampus masih bisa kita rasakan.
Gejala teror dan intimidasi kampus harus menjadi perhatian penting semua saja. Ada beberapa dimensi penting yang harus kita lihat: Pertama, tentang menjernihkan lagi apa sejatinya yang dimengerti sebagai spirit kebebasan akademik dan potret politik kebijakan kampus sendiri dalam menjaga marwah dan mandat tersebut; Kedua, perlu memikirkan upaya strategi untuk mengembalikan aspek kebebasan akademik yang sebenarnya dan langkah untuk menghadapi teror, intimidasi dan infiltrasi kekuatan-kekuatan intoleran yang berkembang saat ini; Ketiga, yang juga jauh sangat penting kiranya adalah untuk melihat bagaimana evolusi dan transformasi berbagai model dan tindakan yang masih punya watak intoleran yang akan menutup upaya perkembangan dunia kampus secara lebih luas.
Untuk itu Pusham UII Yogyakarta tertarik untuk membahas dan mendiskusikan fenomena ini sebagai bagian penting memberikan respon catatan terhadap maraknya berbagai aksi kekerasan, teror dan intimidasi terhadap berbagai aktifitas kebebasan akademik kampus. Melalui diskusi dan analisis ini tentu berharap bisa memberikan sumbangan berharga baik gagasan atau rekomendasi konkrit untuk mensikapi kasus-kasus yang kemungkinan besar masih akan berulang.
Tujuan Diskusi :
- Membaca secara kritis akar masalah dan dampak perkembangan atas gejala menguatnya teror dan intimidasi terhadap ruang kebebasan akademik kampus;
- Menemukan berbagai kunci persoalan atas transformasi perkembangan berbagai kecenderungan menguatnya budaya kekerasan, teror dan intimidasi kebebasan akademik kampus;
- Menemukan strategi tepat dan respon kritis atas kecenderungan teror dan intimidasi kekuatan-kekuatan intoleran yang mengganggu perkembangan kultur kebebasan akademik kampus.
Narasumber:
- Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D (Direktur Program Pascasarjana UIN Suka Yogyakarta)
- Ign. Mahendra Kusumawardhana, Aktifis KPO PRP.
Hari dan jam Acara :
Hari : Rabu, 10 Februari 2016
Pukul : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Pertemuan Lt. II PUSHAM UII
Peserta Diskusi : Mahasiswa, Pengajar, NGO, Organisasi Keagamaan, Masyarakat Sipil
Membaca dinamika sosial saat ini, radikalisme keberagamaan dan sikap intolerasi semakin subur berkembang. Banyak kalangan bahkan melihatnya sebagai bahaya serius terhadap pluralisme, kebhinekaan dan kultur demokrasi. Beberapa kelompok dan komunitas keagamaan, dengan keyakinan prinsip tertentu gemar dan mudah menggunakan perilaku kekerasan dan sikap menebar kebencian. Sikap sentimen dan gemar mengkafirkan satu dengan yang lain rasanya semakin digemari. Pada skala tertentu. Ia bahkan mampu membangun keresahan dan percikan-percikan konflik di masyarakat.
Dalam banyak aspek, kultur dan etos kekerasan ini tentu bukan hadir tiba-tiba. Hadirnya kegemaran menebarkan rasa kebencian dan permusuhan bukan sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Sangat penting kiranya untuk mampu membaca dan memahami potret dari hidup berkembangnya kultur intoleransini. Pembacaan dan analisis yang kritis dan tepat, tentu saja akan memberi bukan semata hasil jawaban yang memuaskan, namun bisa produktif memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah yang ada.
Secara teoritik, tentu perlu dijawab akar masalah yang melatarbelakangi dan berbagai kelindan nalar yang bekerja dari lahirnya habitus radikalisme, intoleransi dan etos kekerasan yang berdimensi agama tersebut. Potret bingkai ekonomi politik, sosiologis, psikososial dan kultural tentu akan memberi warna perspektif yang beragam dan saling menggenapi. Sebagai sebuah rumus pemecahan masalah, tak ada rumus dan teori tunggal yang bisa fasih menjawab problem mendasar tersebut. Perlu penggalian berbagai aspek dan dimensi yang menyertainya.
Institusi Kepolisian dan tentunya juga AKPOL sebagai lembaga penting pendidikan Polri, mempunyai kewajiban serius untuk selalu mengembangkan diri dalam upaya menemukan berbagai metode pemecahan masalah yang lebih tepat dan benar. Kemampuan analisis sosial, mapping persoalan dan juga perumusan metodologi pemecahan masalah ini, tentu harus ditingkatkan terus menerus. Jika tidak alih-alih akan bisa menemukan rumusan problem solving yang brilliant, yang terjadi justru akan mendorong problem baru yang kontraproduktif.
Secara prinsip, radikalisme dan budaya kekerasan tentu sebuah problem harus bisa diatasi dan dihilangkan. Namun pertanyaan yang jauh lebih penting adalah bagaimana rumusan strategi yang harus dibangun Kepolisian sehingga rute dan langkah yang dikerjakan bisa benar, tepat, berkeadilan dan juga menghargai prinsip dan nilai-nilai HAM. Institusi Kepolisian mempunyai mandat dan kewajiban besar untuk bisa menemukan itu.
Demikian juga dengan AKPOL, institusi penting ini harus mampu bisa merumuskan sebuah kerangka besar nilai pendidikan dan juga model strategi pendidikan yang mampu menyiapkan produk taruna yang berkualitas dan mendalami sejak awal akan prinsip-prinsip nalar yang benar. Oleh sebab itu kiranya penting dalam workshop dan evaluasi kerjasama Pusham UII Yogyakarta dan Akpol Semarang ini, bersama-sama mendiskusikan problem ini dengan lebih mendalam.
Tujuan Materi :
- Memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih mendalam tentang akar dan mata rantai kekerasan berdimensi agama dengan seluruh nalar dan berkelindannya praktik-praktik tersebut dalam masyarakat;
- Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang faktor sosiologis, ekonomi politis dan juga kultural yang berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya problem intoleransi, radikalisme dan kekerasan tersebut:
- Memberikan temuan-temuan penting dalam aspek metodologi dan strategi yang lebih tepat bagi institusi kepolisian dalam rangka menjawab dan merespon problem radikalisme, intoleransi dan kultur kekerasan tersebut;
- Memberikan masukan-masukan yang berharga bagi pembenahan sistem, konten dan metodologi pendidikan di Akpol berkait dengan problem penanganan isu intoleransi, radikalisme dan kultur kekerasan berdimensin agama di Indonesia.
Waktu dan Tempat :
Hari, Tanggal : Rabu, 20 Januari 2016
Waktu : Jam 10.00 – 12.00 WIB
Tempat : Hotel Crown Semarang, Jl. Pemuda No. 118 Semarang
Telp. 024 – 86579111
- 7 November 2015
Konstitusi Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pernyataan ini merupakan penegasan normative akan pentingnya hukum dijadikan sebagai dasar pengelolaan Negara. Pernyataan ini juga sekaligus menjadi penanda utama untuk membedakannya dengan model pemerintahan sebuah Negara yang didasarkan pada kekuasaan semata, baik itu kekuasaan monarki ataupun kekuasaan tirani.
Konsekuensi dari pilihan di atas adalah bahwa secara normative, hukum haruslah dijadikan panglima. secara normative, prinsip Negara hukum berarti bahwa warga negara dan mereka yang memerintah harus sepatutnya mematuhi hukum. Prinsip Negara hukum berlaku dalam hubungan antara cabang-cabang kekuasaan seperti pemerintah (executive), dewan perwakilan rakyat (parliament), dan kekuasaan kehakiman (judicative). Prinsip negara hukum juga mengatur bagaimana antar warga Negara dan actor prifat saling berinteraksi.
Kewenangan cabang-cabang kekuasaan Negara, bagaimana menggunakan dan melaksanakan kewenangan tersebut, bagaimana cara penyelesaian jika terjadi perselisihan antar cabang kekuasaan Negara, seluruhnya diatur dan harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Pemerintah yang akan mengeluarkan anggaran demi melaksanakan program kerja, dewan perwakilan rakyat yang akan menyusun ketentuan perundang-undangan, kekuasaan peradilan yang akan menjatuhkan hukuman atas perilaku pelanggaran hukum harus seluruhnya didasarkan pada jaminan hukum yang memadai.
Di sisi lain, ketika antar warga Negara hendak melakukan kontrak jual beli, ketentuan kopensasi atas tindakan wan prestasi oleh sebuah perusahaan, perlindungan hukum bagi seseorang pasca putusnya hubungan keluarga, semuanya dilakukan berdasarkan hukum. Singkatnya, prinsip Negara hukum berlaku bagi hubungan antara pihak yang berada pada dan di bawah suatu pemerintahan dan mereka yang memerintah, dan hubungan antara entitas privat, baik itu orang secara fisik atau secara hukum, seperti asosiasi dan perusahaan. Hal ini perlu ditekankan, karena kadang ada orang-orang yang berpendapat bahwa supremasi hukum secara eksklusif mencurahkan perhatian pembatasan penggunaan kekuasaan pemerintah.
Berangkat dari penjelasan di atas, prinsip negara hukum sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas menyangkut seluruh aspek kehidupan sebuah Negara. Jamuan ilmiah yang akan dilaksanakan ini hanya akan mengambil satu aspek dari substansi prinsip Negara hukum yaitu aspek kekuasaan yudikatif. Kekuasaan peradilan menjadi factor penentu dari aspek yang lain. Kekuasaan peradilan akan menjadi penjaga utama agar seluruh tindakan Negara dan juga warga Negara selalu sesuai dengan standar hukum dan setiap pelanggaran akan mendapatkan hukuman yang sesuai. Kekuasaan peradilan menjadi benteng terakhir dari jalannya sebuah system hukum di suatu Negara. Pada konteks ini, integritas, profesionalisme dan independensi kekuasaan peradilan menjadi prasyarat mutlak. Di dalam kerangka inilah Jamuan Ilmiah tentang Rule of Law Sebagai Basis Penegakan Hukum dan Keadilan.
Secara teknis, kegiatan ini dilaksnaakan dengan tujuan untuk mendorong perbaikan system hukum di Indonesia. Juga untuk mendorong sinergi antar institusi penegak hukum dalam rangka mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Kegiatan ini akan diikuti oleh ketua pengadilan negeri dan kepala kejaksaan negeri dari berbagai daerah di Indonesia.
Waktu :
– Gelombang I: 28 – 31 Oktober 2015
– Gelombang II: 2 – 5 Nopember 2015
Tempat :
Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk. Jl. Hayam Wuruk No. 125, Jakarta
Kegiatan ini diselenggarakan kerjasama antara Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) bersama Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) dengan dukungan dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Oslo, Norwegia.
Panitia kegiatan ini mengundang Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kejaksaan Negeri dari beberapa wilayah di Indonesia. Setiap sesi kegiatan akan diikuti oleh 30 orang peserta terdiri dari 15 orang Ketua Pengadilan Negeri dan 15 orang Kepala Kejaksaan Negeri.