NEWS
Latest News by the Center for Human Rights
Studies of the Universitas Islam Indonesia
Foto bersama
Peradilan yang fair merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui dalam hukum HAM interasional, regional, dan nasional. Pentingnya hak atas peradilan yang fair berada dalam konteks seorang tersangka yang akan dibatasi penikmatan hak-haknya akibat dari penjatuhan putusan pengadilan, dan seorang korban yang hendak dipulihkan hak-haknya melalui suatu mekanisme hukum. Maka dari itu, setiap perangkat negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas peradilan yang fair.
Jaksa merupakan salah satu perangkat negara, khususnya dalam penegakan hukum. Institusi kejaksaan berkewajiban untuk memastikan agar setiap aparaturnya mampu menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas peradilan yang fair. Kewajiban ini juga perlu direalisasikan setiap jaksa dalam proses peradilan yang melibatkan penyandang disabilitas.
Upaya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas dapat dimajukan, antara lain, melalui jalur pendidikan. Dalam hal ini, mekanisme pendidikan akan menghadirkan perspektif dan kesadaran baru bagi para jaksa dalam melaksanakan tugas penegakan hukumnya.

Sambutan oleh Ka Badan Diklat Kejaksaan & Kepala Pusham UII
Dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) bekerja sama dengan Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum bagi Jaksa Pendidik di Badiklat Kejaksaan (Pendidikan dan Pelatihan). Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Grandhika, Jakarta, pada Senin – Rabu, 6 – 8 Mei 2024, ini dibuka oleh Kepala Badan Diklat Kejaksaan, Dr. Tony Tribagus Spontana, S.H., M.Hum dan Kepala Pusham UII, Eko Riyadi, S.H., M.H. Dalam sambutannya, Tony T. Spontana menekankan tiga komponen penting bagi Jaksa yaitu peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penjagaan sikap dan perilaku, termasuk mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Dalam konteks inilah para peserta pelatihan perlu mengikuti Pendidikan dan Pelatihan. Di samping itu, Eko Riyadi menekankan proses pendidikan dan pelatihan sebagai pintu pembuka bagi para Jaksa untuk memahami penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Dalam kerja sama ini, Pusham UII dan Badan Diklat Kejaksaan telah membuat modul, bahan ajar, dan buku saku untuk membantu para Jaksa memahami dan menangani perkara yang melibatkan penyandang disabilitas

Foto: Narasumber, Adhi Kusumo Bharoto, sedang menjelaskan etiket berinteraksi dengan teman
Para peserta Pendidikan dan Pelatihan didampingi oleh fasilitator dari Badan Diklat Kejaksaan, Pusham UII, pegiat disabilitas, dan aktivis penyandang disabilitas yang terdiri dari perempuan, laki-laki, dan penyandang disabilitas mental, penyandang disabilitas daksa, dan penyandang disabilitas tuli. Dalam proses Pendidikan dan Pelatihan, para peserta mendalami materi tentang hak asasi manusia dan penyandang disabilitas: mulai dari pengertian, teori, ragam, hambatan, etikat berinteraksi, hingga akomodasi yang layak dalam proses peradilan. Para peserta juga difasilitasi untuk menegakkan Kode Etik Jaksa saat menangani perkara yang melibatkan penyandang disabilitas. Di akhir kegiatan, para peserta melaksanakan moot court atau peradilan semu untuk mempraktikkan proses beracara yang melibatkan penyandang disabilitas di pengadilan.
Kegiatan ini ditutup oleh Dian Fris Nalle, S.H., M.H selaku Kabid Penyelenggaraan Pusdiklat Teknis Fungsional Badan Diklat Kejaksaan, yang mewakili Kadiklat Kejaksaan, dan M. Syafi’ie, S.H., M.H yang mewakili Kepala Pusham UII. Fris Nalle menyampaikan bahwa para Jaksa yang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmunya pada pelayanan di Kejaksaan. M. Syafi’ie menyampaikan bahwa para peserta diharapkan dapat membagikan ilmu yang didapatkan ke para Jaksa dan calon Jaksa di Badiklat Kejaksaan.

Foto bersama para peserta Pendidikan dan Pelatihan

Peserta Pendidikan dan Pelatihan melaksanakan moot court
- 6 March 2024
- 24 January 2024
Tim Pusham UII bersama Jajaran Bareskrim Polri
Pusham UII menjalin kerja sama dengan Bareskrim Polri untuk isu peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Kerja sama ini difokuskan untuk penghormatan dan pemenuhan yang maksimal bagi hak-hak penyandang disabilitas dalam konteks peradilan, terutama dalam proses di Kepolisian. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembentukan Peraturan Kepala Bareskrim tentang SOP Penanganan Perkara Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum.
Pada Selasa, 23 Januari 2024, tim Pusham UII mengadakan pertemuan dengan tim Bareskrim Polri untuk mendiskusikan tindak lanjut pembahasan Peraturan Kepala Bareskrim (Perkara) tersebut. Tim Pusham UII disambut oleh Kombes Pol. Dr. Rita Wulandari Wibowo dan AKBP Ema Rahmawati. Proses diskusi berjalan cukup efektif dan produktif sehingga tersusun rencana untuk terus mengawal Perkaba hingga proses pengesahan nantinya.
- 12 January 2024
Eko Riyadi, Widodo Dwi Putro, Cekli Setya Pratiwi, Herlambang P. Wiratraman, Adrian Bedneer, dan M. Syafi’ie dalam Seminar Metodologi HAM
Pada Kamis, 11 Januari 2024, Pusham UII bekerja sama dengan LSJ FH UGM untuk mengadakan seminar mengenai pemanfaatan putusan peradilan untuk perlindungan keadilan sosial dan kebebasan sipil. Dalam seminar ini, diskusinya berfokus pada catatan-catatan kritis terhadap putusan pengadilan dalam konteks penerapan hukum HAM, praktik-praktik baik dalam putusan pengadilan yang ada, dan agenda penelitian yang dapat dikembangkan ke depan. Seminar ini merupakan tindak lanjut dari peluncuran buku ‘Metodologi Hukum HAM: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan di Indonesia’ pada akhir 2023 lalu. Seminar ini menghadirkan narasumber-narasumber yang ahli di bidangnya masing-masing. Ada Eko Riyadi memberikan pengantar mengenai alasan-alasan bagi pengadilan untuk menerapkan norma HAM. Herlambang P. Wiratraman mengkritisi ratio decidendi hakim yang berjarak dengan perkembangan doktrin dan hukum HAM. Widodo Dwi Putro memperdalam fondasi filosofis HAM
- 10 January 2024
Hak Asasi Manusia Mengisi Ketimpangan Ruh dalam Hukum
Atas nama UII, saya menyambut baik penulisan dan penerbitan buku yang akan diluncurkan dan didiskusikan hari ini. Saya juga ingin mengajak semua hadirin untuk memberikan apresiasi yang tinggi kepada ikhtiar kolektif ini, yang melibatkan penulis lintas lembaga dan dengan dukungan penuh dari The Norwegian Center for Human Rights (NCHR) atau Norsk senter for menneskerettigheter, Universitas Oslo.
Kita semua berharap, kehadiran buku langka ini akan menjadi referensi bermakna untuk pembaruan hukum di tanah air, terutama terkait inklusi hukum hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.
Saya diberi buku yang akan diluncurkan beberapa waktu lalu. Tentu, saya menyambutnya dengan antusias dan memulai membacanya. Paling tidak sebagian isi buku. Bagian epilog yang ditulis oleh Bapak Andriaan Bedner pun saya baca. Meski tidak dapat mencerna semua poin, saya sebagai orang awam hukum, menangkap banyak poin penting.
Saya pun akhirnya teringat kisah Nenek Minah yang terjadi 14 tahun lalu, pada 2009.
Nenek Minah, pada saat itu, selepas memanen kedelai di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), Purwokerto. Dalam perjalanan pulang melihat kakao matang di perkebuan tempat ia bekerja, dan dia ingin memetiknya. Tiga buah kakao dipetiknya dan diletakkan di bawah pohon.
Dia ingin mengambil biji kakao untuk disemai di kebunnya sendiri. Mandor perkebunan memergokinya. Nenek Minah langsung meminta maaf dan menyerahkan ketiga kakao tadi.
Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian. Proses hukum pun bergulir.
Akhirnya Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao seberat 3 kg seharga Rp6.000, meski dia tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.
Tentu di luar kapasitas saya untuk membahas kasus ini lebih lanjut. Namun, hati nurani saya melihat ada yang “aneh” dalam kasus tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus besar lain, seperti korupsi.
Sekilas saya lacak latar belakang Nenek Minah. Dia miskin. Untuk ongkos perjalanan menghidiri sidang dengan biaya ojek dan angkutan umum Rp50.000 juga sangat berat.
Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah itu yang dinamakan keadilan? Apakah hukum memang harus saklek/kaku tanpa melihat konteks? Ataukah ada perspektif lain?
Pekan lalu, oleh seorang kawan, saya diberi hadiah sebuah buku, berjudul The Tyranny of Merit. Penulisnya Michael J. Sandel, profesor di Harvard Law School.
Pesan besar yang diusung oleh buku ini adalah, bahwa ketika kesenjangan atau ketimpangan masih ada dan apalagi tajam, prinsip meritokrasi hanya akan mendemoralisasi atau melemahkan semangat mereka yang tertinggal.
Dalam tafsiran sederhana saya, jika hak-hak dasar manusia atau warga negara belum bisa terpenuhi maka maka lapangan permainan tidak akan menjadi landai, dan dipastikan jika ada kompetisi atau tuntutan untuk patuh kepada standar tertentu, ada pihak yang merasa diuntungkan. Iklusivitas dan keadilan kemudian dipertanyakan.
Apakah mungkin ini juga berlaku dalam hukum? Saya dengar jika dalam hukum juga ada pilitik. Pembentukan hukum sebagai “standar” bersama, juga katanya tidak selalu kalis dari kepentingan. Ada potensi hak-hak dasar manusia diabaikan.
Jika ini benar, maka paling tidak sebagian hukum positif yang berlaku mengandung ruh ketimpangan. Apakah mungkin meritokrasi dalam konteks kesetaraan di depan hukum masih valid?
Saya tidak akan masuk lebih dalam, karena di luar kapasitas saya. Saya menyerahkan kepada ahlinya untuk mendiskusikannya.