NEWS
Latest News by the Center for Human Rights
Studies of the Universitas Islam Indonesia
- 8 June 2017
Beberapa waktu akhir-akhir ini, isu perbedaan primordial menjadi tantangan bagi tercapainya kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Isu SARA, ujaran kebencian, diskriminasi, konflik dan kekerasan bernuansa perbedaan makin menggejala. Agama, sebagai struktur penyeru kedamaian, seringkali juga malah dilibatkan dalam reproduksi potensi konflik. Beberapa lembaga penting yang konsen pada isu tersebut seperti Setara Institute, Wahid Institute, Komnas HAM dan beberapa lembaga riset lainnya telah menyimpulkan hal serupa, ada problem dan tantangan serius pada isu kebebasan beragama ini. Terlebih lagi bahwa tautan faktor berbagai problem tersebut tidak jauh-jauh juga irisannya dengan problem struktural tentang peran dan tanggungjawab negara.
Secara konstitusional, perbedaan agama selayaknya tidak menjadi persoalan karena telah terlindungi secara apik. Pasal 28E, 28I dan 28J, 29 UUD 1945 telah mengatur secara eksplisit mengenai perlindungan keberagamaan ini. Pada Pasal 22 dan Pasal 55 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan penegasan ulang akan pentingnya kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan itu. Tidak hanya itu, Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 2005, ayat (1),(2) dan (3) juga telah secara tegas dan jelas mengenai perlindungan dan pemenuhan hak tersebut.
Beberapa turunan peraturan di bawahnya seperti peraturan bersama Menteri Agama dan dalam Negeri dan beberapa peraturan lainnya telah menunjukkan bahwa secara normatif aturan itu telah dirumuskan. Namun, jika berkaca kembali pada intensitas dan maraknya gejala praktik intoleransi, konflik dan kekerasan itu maka refleksi yang lebih jauh perlu kita lakukan. Setidaknya kita bersama dituntut kembali untuk bisa menjawab problem tersebut lebih kritis ketimbang hanya berhenti pada analisis yang normatif dan legal semata.
Dalam beberapa kajian dan analisis, banyak peraturan perundangan dan regulasi mempunyai dimensi yang bertentangan dengan spirit kebebasan beragama (Rizal Pangabean & Ihsan Ali Fauzi, 2011: 25). Untuk masalah ini tentu perlu upaya membaca dan memperbaharui berbagai tata regulasi struktural yang kontraproduktif terhadap semangat penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa perkembangan peraturan daerah terutama berkembangnya peraturan daerah yang mengandung isu sektarianisme agama dan suku telah memberi efek bola salju tersendiri atas munculnya berbagai warna kekerasan dan polemic di daerah terutama yang menyangkut problem keagamaan dan keyakinan (Ahmad Suaedy, dkk, 2007: x)
Mengacu sementara pada berbagai asumsi filosofis dan normatif hukum, negara mempunyai peran utama dalam tugas menjaga, memberi perlindungan serta aspek penegakan hukum terhadap semua hal berkait kebebasan beragama. Negara dalam pemahaman prinsip-prinsip hak asasi manusia, adalah pemangku kewajiban penuh atas kewajiban melindungi, mempromosikan dan juga tugas menegakkan hak asasi manusia setiap warga tanpa pandang bulu dan latar belakangnya. Dalam berbagai orientasi, kebijakan serta kewenangan yang ada, negara sejatinya mempunyai peran sentral dan aktif dalam menjawab kebutuhan tanggung jawab tersebut.
Di Yogyakarta, potensi munculnya perdebatan seru berbalut nuansa ketegangan juga mulai terlihat. Era demokratisasi di satu sisi memberi dampak positif akan dihormatinya ekspresi perbedaan, baik agama dan keyakinan, pandangan politik, dan ekspresi primordial lainnya. Namun di sisi lain, ekspresi tersebut seringkali memunculkan respon negatif atau kontraproduktif dari kelompok lain yang merasa terganggu atas ekspresi lain tersebut. Pada situasi ini, pemerintah, khususnya pemerintah daerah dituntut untuk ‘awas’ dan bijak dalam rangka mengelola situasi agar tidak mudah berujung pada konflik sektarian.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia akan menyelenggarakan seminar dan workshop dalam rangka mengidentifikasi dan mencari solusi bersama atas situasi yang semakin menggejala tersebut. Capaian akhir dari seminar dan workshop ini diharapkan juga bisa menemukan rumusan-rumusan prinsip dasar dan model panduan penanganan potensi konflik bernuansa keagamaan yang adil dan menjunjung prinsip nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model panduan penanganan ini bisa menjadi standar dasar penanganan yang dipakai oleh pemerintah daerah dan/atau kepolisian. Setidaknya standar model panduan ini akan melengkapi secara teknis operasional dari berbagai prinsip rujukan yang ada dalam payung hukum yang sudah ada.
Tujuan Seminar dan Workshop
- Mendiskusikan dan merespon secara kritis tentang fenomena isu dan maraknya berbagai ketegangan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan dan keyakinan yang berkembang saat ini terutama berkaitan dengan prinsip dasar kebebasan beragama dan tanggungjawab negara.
- Mendiskusikan dan menggali latar belakang potensi kekerasan, khususnya di dunia pendidikan dan merumuskan langkah antisipasinya.
- Mendiskusikan dan memberi masukan berharga untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan institusi kepolisian dalam rangka meningkatkan peran dan tanggungjawabnya untuk memenuhi tugas perlindungan dan penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan.
- Merumuskan dan menyusun model dan standar panduan dasar penanganan konflik dan kekerasan berdimensi keagamaan yang memenuhi prinsip keadilan dan penghargaan atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Materi :
a) Intoleransi : Masalah Perkembangan Paham Intoleransi di Lembaga Pendidikan dan Solusi Bagi Keindonesiaan
Narasumber : Listia, Pegiat Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligisu (PaPPIRus)
b) Menggelar Kebhinekaan, Merajut Kebersamaan: Respon Kaum Muda Atas Menguatnya Politik Identitas
Narasumber : Najib Kailani, S.Fil.I., M.A. Ph.D (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
c) Mengeja Arah Pilihan Identitas Politik dan Politik Identitas Kaum Muda
Narasumber : Ikmal Yasir (Ketua Himpunan Mahasiswa Islam MPO Cabang Yogyakarta)
Waktu dan Tempat
Hari, Tanggal : Selasa-Rabu, 6-7 Juni 2017
Waktu : 12.00-18.00 WIB
Tempat : Hotel Santika Premiere
Jl. Jend. Sudirman No. 19 Yogyakarta
Peserta
- Kepala Dinas Pendidikan Propinsi DIY
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Bantul
- Kepala Dinasi Pendidikan Kota Yogyakarta
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Kulon Progo
- Kepala Dinasi Pendidikan Kabupaten Gunung Kidul
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Gajah Mada
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Atmajaya
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Sanata Dharma
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Ahmad Dahlan
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Kristen Duta Wacana
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Janabadra
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta
- Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
- Kepala Sekolah SMAN 1 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 3 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 8 Yogyakarta
- Kepala Sekolah SMAN 6 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 2 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 3 Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Negeri 4 Bantul (MAN Lab UIN Sunan Kalijaga)
- Kepada Madrasah Mu’allimin Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Sunan Pandanaran Yogyakarta
- Kepada Madrasah Aliyah Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta
- Ketua IPNU DIY
- Ketua IPPNU DIY
- Ketua IRM DIY
- Ketua Pemuda Muhammadiyah DIY
- Ketua Ansor DIY
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UGM
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UMY
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UAD
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UKDW
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Atmajaya
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Ketua Lembaga Eksekutif Mahasiswa UNY
Kepolisian sebagai salah satu organ penyelenggara negara memiliki peran yang sangat penting dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia. Hak asasi manusia akan terlindungi hanya jika polisi berperan dan memberikan perlindungan terhadap seluruh manusia yang ada pada suatu negara. Jika dilihat dari tiga kewajiban negara dalam konteks hak asasi manusia, maka kepolisian merupakan aktor yang paling berperan melaksanakan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect). Pada konteks ini, polisi merupakan pelindung hak asasi manusia.
Hal ini senada dengan bunyi beberapa pasal dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain sebagai berikut:
(a) Konsideran Menimbang huruf b
Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(b) Pasal 1 angka 6
Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
(c) Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
(d) Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Hal yang sama juga ditegaskan di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 8 Perkap Nomor 8 disebutkan bahwa Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen hak asasi manusia baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional, baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
Berdasarkan beberapa pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa polisi didirikan dengan tujuan menjadi alat negara dalam melindungi hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya akan terpenuhi dan terlindungi ketika polisi hadir untuk melakukannya. Pada konteks ini maka polisi bukanlah musuhnya hak asasi manusia dan sebaliknya polisi juga tidak boleh memusuhi hak asasi manusia. Justru polisi merupakan pelindung hak asasi manusia.
Kerangka teoritis dan yuridis di atas menjadi dasar bagi usulan kegiatan jamuan ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang atas kerjasama antara AKPOL Semarang dan PUSHAM UII Yogyakarta.
Tujuan
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan:
- Memberikan pemahaman yang utuh tentang hukum hak asasi manusia.
- Meningkatkan kapasitas tenaga pendidik Akademi Kepolisian dalam diskursus hukum hak asasi manusia.
- Meningkatkan kapasitas tenaga pendidik dalam ranka memberikan materi hukum hak asasi manusia bagi peserta didik di Akademi Kepolisian.
Rencana Waktu dan Tempat
Hari : Selasa – Kamis
Tanggal : 16 – 18 Mei 2017
Tempat : Yogyakarta
Susuan Materi
- Filosofi, Teori, Sejarah, dan Terminologi Hak Asasi Manusia.
- Hak Sipil dan Politik, serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
- Aktor Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
- Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia.
- Instrumen Nasional Hak Asasi Manusia.
- Mekanisme Pengawasan dan Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Nasional.
- Hukum Hak Asasi Manusia dan Ilmu Kepolisian.
Secara prinsip Negara adalah entitas utama yang bertangungjawab untuk memberikan kehadirannya pada setiap pemenuhan kebutuhan warga negaranya, tak terkecuali perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai keberagaman dan penghargaan atas setiap ekspresi kehidupan beragama, maka negara bertugas menjamin pelaksanaan kehidupan keberagamaan itu dengan baik. Negara kemudian berkewajiban memberikan berbagai instrumennya untuk memenuhi kewajiban tersebut, terutama menyiapkan perangkat aparatus negara yang terlibat wajib untuk menyediakan berbagai akses kebebasan beragama tersebut. Segala upaya serius untuk memenuhi peningkatan kapasitas kemampuan aparat negara termasuk aparat penegak hukum menjadi penting dilakukan.
Kebebasan beragama juga dicatatkan sebagai salah satu hak mendasar dalam poin hak asasi manusia. Menjadi tak terelakkan bahwa dimensi persoalan ini sangatlah penting untuk difahami. Sebagai hak asasi manusia, segala hal tentang upaya baik melindungi, mendorong, membantu mengkampanyekan nilai-nilai sampai pada penegakan hukum adalah sesuatu yang krusial untuk tangungjawab tersebut. Tentu saja tanggugjawab tersebut akan diderivasi dalam porsi tugas yang akan diemban oleh institusi kepolisian.
Institusi kepolisian yang hadir dalam garda depan kedekatannya dengan dinamika masyarakat, adalah salah satu institusi negara yang bertugas dan berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum tentu saja tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak warga negara juga menjadi tanggungjawab penting kepolisian. Dalam mengupakan hal tersebut, tentu saja dibutuhkan kerja serius baik dalam rangka peningkatan kapasitas pemahaman sampai pada dimensi artikulasi praktik di lapangan. Tidak dipungkiri tantangan ke arah tersebut butuh usaha serius dari kepolisian.
Dalam rangka menyiapkan para kader dan personil kepolisian yang bisa memahami dan juga menerapkan ranah paradigma kewajiban perlindungan tersebut. tentu harus menyiapkan sejak dini kepada calon-calon personil kepolisian. Institusi pendidikan Akpol berperan penting untuk membantu menyiapkan kapasitas kemampuan dalam dimensi teoritik maupun praktik ke pada seluruh calon perwira kepolisian. Institusi ini mempunyai kebutuhan untuk memberikan pembekalan yang penuh atas betapa pentingnya kerja dan tanggung jawab atas isu kebutuhan ini. Kelemahan dalam menyiapkan sejak dini pada institusi pendidikan kepolisian, akan bisa dirasakan pada berbagai kelemahan dan kekurangan yang terjadi di lapangan.
Jauh dari itu, secara umum kita menyadari bahwa perubahan dan dinamika masyarakat lokal bahkan sampai global mengalamai perkembangan yang cukup pesat. Banyak gejolak politik ekonomi yang kian membutuhkan kapasitas lebih dari para penegak hukum. Berbagai dinamika politik ekonomi itu juga tak jarang meyeret berbagai isu konflik sosial yang bernuansa SARA termasuk politisasi dan komodifikasi konflik atas nama agama. Bahkan hari-hari ini kita juga sedang disibukan dengan berbagai kekawatiran yang serius akan hadirnya spirit dan gejala fundamentaisme dan radikalisasi agama yang sudah terasa memprihatinkan dan mengganggu dimensi rasa nyaman dan aman warga negara. Berbagai kelindan itu tentu akan juga berdampak pada tarikan sampai tingkat akar rumput. Lagi-lagi institusi kepolisian secara langsung dan tidak langsung selalu berhadapan dengan tugas dan tanggungjawab untuk menyikapi hal tersebut dengan baik dan proposional.
Dalam ragka menjawab tantangan ini, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) dan AKPOL bekerja sama untuk membuat dan menyediakan ruang pelatihan (training) bagi para taruna Akpol untuk bisa memahami sekaligus menerapkan secara baik dan proporsional bagaimana berhadapan dengan tantangan konflik sosial yang semakin kompleks. Untuk itu Pusham UII Yogyakarta bermitra dengan Akpol Semarang akan memberikan training pelatihan kepada taruna Akpol terutama menjawab tema kewajiban negara terhadap perlindungan hak kebebasan beragama di Indonesia. Acara diselenggarakan di Akademi Kepolisian Semarang pada hari rabu, 19 April 2017.
Tujuan Pelatihan :
- Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para taruna Akpol tentang peran dan kewajiban negara dalam rangka kewajibannya untuk melindungi hak kebebasan beragama di Indonesia.
- Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para Taruna Akpol tentang pemetaan berbagai konflik sosial yang bernuansa agama di Indonesia beserta pemahaman bagaimana bisa menganalisinya secara baik.
- Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas pengetahuan dan pemahaman kepada para taruna Akpol tentang apa yang difahami tentang kapasitas tugas dan tanggungjawab institusi kepolisian untuk menyikapi dan menghadapi berbagai persoalan konflik social yang bernuansa keagamaan tersebut.
- Training ini akan memberikan peningkatan kapasitas kemampuan praktis operasional bagaimana penanganan masalah berkaitan dengan isu-isu social yang menyeret dimensi keagamaan di Indonesia.
Target Pelatihan :
- Taruna meningkat kapasitasnya dalam pengetahuan dan pemahaman apa yang difahami tentang tanggungjawab negara terhadap perlindungan hak kebebasan beragama di Indonesia.
- Taruna meningkat kapasitasnya dalam pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang dimengerti sebagai kebebasan beragama beserta seluruh persoalan yang melingkupinya
- Taruna meningkat kapasitasnya dalam kemampuan analisis social dan juga tindakan operasionaL praktis penanganan segala bentuk konflik social yang membawa nilai dan dimensi agama di Indonesia.
Pengasuhan pada Akademi Kepolisian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pengasuh dan Taruna Senior sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bentuk pembinaan, bimbingan, dan pengawasan kepada Taruna secara terencana dan konsisten untuk menjadikan Taruna sebagai pribadi unggul, berilmu ilmiah, beramal amaliah, memiliki kompetensi sebagai anggota Bhayangkara, memahami Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Pedoman Pengasuhan Taruna AKPOL. Secara umum, pengasuhan memiliki tujuan untuk merubah, membentuk, menumbuh kembangkan, membulatkan, mematangkan, dan mendewasakan sikap perilaku Taruna untuk menuju Perwira Polri yang ideal.
Untuk menjamin bahwa pola pengasuhan yang diberikan sesuai dengan tujuannya dan secara efektif dilaksanakan,maka perlu dilakukan penyusunan evalusi yang juga merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan di AKPOL. Penyusunan evaluasi dimaksudkan untuk dapat memberikan nilai karakter taruna selama pola pengasuhan berlangsung. PT. Expertindo sebagai lembaga Training dan Consulting menawarkan kerjasama untuk penyediaan jasa konsultan untuk mendesain rubrik evaluasi pola pengasuhan dan penyusunan silabus dan bahan ajar berbasis karakter di AKPOL.
Sistem evaluasi merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk memberikan umpan balik dan perbaikan terhadap keberhasilan sistem pendidikan di AKPOL. Tenaga Ahli kami siap membantu dan mendampingi dalam penyusunan dan penerapan sistem evaluasi pola pengauhan berbasis karakter di AKPOL. Kegiatan diselenggarakan di Hotel Grand Edge Semarang, 17 – 19 April 2017.
Dalam skema sebuah program, kualitas kegiatan yang baik selalu menempatkan ruang catatan evaluasi. Evaluasi menjadi mekanisme untuk melihat, membaca, dan menelaah apakah sebuah perencanaan program sampai pelaksanaannya program berjalan sesuai dengan capaian yang sudah dibuat. Evaluasi juga menjadi ruang untuk memberikan catatan-catatan berharga yang bisa ditempatkan sebagai rekomendasi dan follow up program selanjutnya. Setidaknya dalam setiap bingkai evaluasi, masing-masing pihak yan dilibatkan menjadi subjek penting untuk bisa bersama-sama memberikan kontribusi penilaian dan juga refleksi perjalanan program yang telah dikerjakan.
Kerjasama program antara Pusham UII Yogyakarta dan Akpol di tahun 2017 sudah bergulir. Ada beberapa aktifitas kegiatan baik khusus untuk para gadik, pelatih, pengasuh dan juga taruna Akpol sudah berjalan. Dalam respon sementara yang terbaca, aktifitas kerjasama program terlaksana dengan baik. Meskpun secara teknis ada beberapa perubahan, namun secara substantif bisa dikatakan berproses sesuai perencanaan yang ada. Namun sebagai upaya untuk membaca secara keseluruhan baik muatan program dan dampak program, menjadi berharga untuk dilakukan ruang refleksi dan evaluasi program. Lebih jauh evaluasi ini menjadi pilar penting untuk bagian usaha dan bahan peningkatan kualitas kerjasama program untuk tahun-tahun berikutnya.
Berkait dengan latar pertimbangan itu, Pusham UII Yogyakarta bersama Akpol Semarang akan melakukan evaluasi program yang sudah terlaksana selama tahun 2016 ini. Beberapa program seperti pelatihan Gadik, Pelatihan Pelatih dan juga Pendampingan Pelatihan Para Pengasuh serta program Pelatihan HAM dan pendampingan Penulisan Taruna Akpol akan menjadi basis bahan untuk dievaluasi. Sangat berharga, jika setiap pihak yang diundang untuk memberi kontribusi catatan evaluasinya dalam rangka peningkatan bentuk, isi dan metode kerjasama selanjutnya ke depan.
Maksud Tujuan :
- Mengevaluasi dan memberikan catatan masukan atas beberapa program kerjasama yang sudah berlangsung di tahun 2016 antara Pusham UII dan Akpol Semarang;
- Menjadi ruang berharga untuk merefleksikan berbagai kerjasama yang sudah berlangsung dan membuka berbagai usulan-susualn rekomendasi penting dalam upaya peningkatan kualitas program selanjutnya.
- Membangun silahturahmi dan kerekatan kerjasama program yang lebih berdimensi luas untuk semakin bisa memberi kontribusi nyata pada capaian program keseluruhan yakni semakin meningkatkan kualitas pendidikan akpol secara menyeluruh.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Hari / Tanggal : 25 Januari 2017
Tempat : Hotel Santika Semarang
Peserta
Peserta workshop adalah 35 Orang yang terdiri dari pejabat Akpol, Gadik, instruktur, pengasuh, Pusham UII, TAF dan Bidang-Bidang yang terkait.
- 28 December 2016
Perjalanan rencana proyek Bandara di wilayah Temon Kulonprogo telah banyak menyisakan problem serius bagi situasi HAM di Yogyakarta khusunya bagi semua warga terdampak. Rezim infrastruktur pembangunan berusaha meletakkan proyek ini menjadi bagian nilai strategis bagi spektrum pembangunan jangka panjang. Setidaknya dalih dan alasan besar itu yang terus didorong untuk meyakinkan bahwa proyek bandara harus diterima dan disetujui sebagai keniscayaan yang harus diambil dan dikerjakan. Kehendak pembangunan terus melegitimasi diri dengan janji-janji tentang proses pengembangan kesejahteraan warga secara menyeluruh. Bagi nalar pengembangan pembangunan, penyediaan infrastruktur strategis seperti bandara dianggap sebagai mekanisme penunjang yang bermanfaat besar bagi masa depan kemakmuran.
Sejak awal dimulainya pembangunan 25 Januari 2011, gagasan besar proyek ini seolah kian dipaksakan terus berjalan. Padahal banyak catatan serius dan cacat bawaan yang bisa kita dapatkan dari rencana proyek tersebut. Dampak awal kasat mata yang jelas nampak adalah konsekuensi akan terjadinya penggusuran bear-besaran yang akan menimpa beberapa wilayah yakni 6 desa (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo dan Temon Kulon). Tidak semata dampak penggusuran, rencana besar proyek juga secara sosiologis, ekologis maupun budaya akan memberi dampak yang tidak kalah seriusnya..
Menimbang catatan itu, pada September 2012, atas berbaga inisiatif dan partisi[patif respon kritis masyarakat, berbagai warga di 6 dusun tersebut mendirikan organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT). Kepentingan dasar dari pembentukan organ ini adalah untuk memperkuat konsolidasi warga sebagai upaya untuk merespon proyek bandara yang tentu saja akan berdampak pada mereka. Sebagian besar warga secara berani menolak rencana proyek yang akan menyebabkan berbagai perubahan nasib warga. Proyek bandara dirasa bukan menjadi pilihan yang tepat dan bermanfaat bagi kawasan tersebut.
Sampai tahun 2016 ini, berbagai usaha penolakan terus dilakukan warga terdampak. Tak jarang berbagai proses intimidasi, ancaman, pemecahbelahan antar warga hingga kriminalisasi juga harus dihadapi. Beberapa warga dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan telah dipanggil dan berlanjut pada proses pengadilan. Bagi sebagai warga, proses kriminalisasi warga menjadi agenda penting negara untuk melemahkan gerakan warga sipil yang terus gencar melakukan aksi dan kerja-kerja penolakan. Secara ideal dan semestinya, harusnya proyek ini harus benar-benar wajib mendengarkan aspirasi warga. Namun jika menbaca fakta historisnya, negara (pemerintah) dan pihak-pihak yang berkepnetingan akan hadirnya bandara menutup mata dan bahkan tidak mengindahkan tuntuan warga.
Kasus sengketa tanah Bandara Kulonprogo menjadi partikel bagian dari situasi besar yang bisa menggambarkan nalar rezim infrastruktur yang sedang digalakkan. Apa yang sedang dikerjakan melalui berbagai pendirian instalasi proyek tersebut adalah asumsi akan terciptanya wajah percepatan pembangunan yang dengan sendirinya akan bisa dianggap mampu memenuhi aspek upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Alih-alih akan memberi ruang terbukanya akses kemakmuran warga, di banyak kasus proyek pembangunan ini sejak awal telah menjadi pemicu utama terjadinya peminggiran waga dan sekaligus berbagai situasi kekerasan konflik yang ada.
Dampak serius yang juga nampak jelas pada pemaksaan nalar infrastruktur ini adalah sebuah kerja-kerja politik ‘kuasa eksklusi’ yang kemudian meminggirkan dan mencerabut warga dari hak akses dasar asasi yang ia miliki, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan soal-soal sosial budaya yang lain. Atas nama pembangunan, negara seringkali abai dan seakan tuna moral untuk bisa melatakkan kebijakan yang peduli dan menghargai hak asasi manusia setiap warga yang rentan terdampak. Saat hak asasi dasar ini tercerabut maka akan melahirkan rangkaian lingkaran krisis pelanggaran HAM berikutnya yang lebih sistemik.
Menjadi tugas penting untuk merespon kasus ini dengan lebih kritis. Banyak fakta objektif yang juga harus dibaca dengan lebih cermat terutama untuk meletakan penangana kasus sengketa tanah bandara ini lebih bermartabat dan menghargai hak asasi warga terdampak. Untuk itu Pusham UII Yogyakarta melalui Linkar Reboan bekerja sama dengan LBH Yogyakarta berminat untuk mendiskusikan isu ini dengan berbagai kajian perkembangan yang terupdate (baru). Sekiranyanya hasil diskusi bisa memberi sumbangan berharga untuk upaya membantu memberikan spektrum yang lebih kritis terutama perjuangan untuk pemenuhan hak warga terdampak yang banyak tertimpa konsekuensi besar adanya proyek infrastrktur bandara.
Tujuan Diskusi :
- Mengkaji dan mengelaborasi secara kritis problem perkembangan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo dengan berbagai potret dampak seriusnya bagi hak asasi warga terdampak.
- Mengurai berbagai alternatif perspektif pembacaan untuk bisa memberikan sumbangsih bagi penanganan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo
- Memberikan catatan-catatan dan sekaligus rekomendasi penting yang bisa diberikan (disumbangkan) pada berbagai pihak yang terkait, baik pemerntah, stakeholder kelembagaan negara yang lain dan juga warga terdampak dalam usaha untuk memperjuangkan pemenuhan akses hak-hak dasarnya.
Tempat dan waktu :
Hari Rabu, 21 Desember 2016.
Pukul : 13.00 – 17.00 WIB
Tempat: Kantor Pusham UII Yogyakarta
Narasumber/Pembicara :
- Yogi Zul Fadhli (Divisi Advokasi LBH Yogyajarta)
- Martono (Wahana Tri Tunggal, Kulonprogo)
- Roy Murtadho (Direktur PKPD Tebuireng dan Editor ‘Islam Begerak’)