WORKSHOP KELOMPOK STRATEGIS “Kemana Arah Penegakan Hukum Kasus Udin ?”

Kelamnya penegakan hukum di  Indonesia pada rezim tertentu, selalu memberikan pekerjaan tambahan bagi generasi sesudahnya. Terdapat banyak kasus yang tidak tuntas penyelesaiannya, seperti  kasus Marsinah, Lumpur Lapindo, kasus Munir, kasus Tri Sakti dan Semanggi dan berbagai kasus lainnya. Di Yogyakarta, salah satu kasus yang tidak tuntas dan segera mendekati masa daluarsa adalah kasus meninggal wartawan media Bernas bernama Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.

Persoalan daluarsa kasus Udin ini ditanggapi beragam oleh beberapa pihak. Artijo misalnya mengatakan bahwa “Kasus pembunuhan Udin tidak (akan) kedaluwarsa karena tersangka (pembunuhnya ) belum pernah diadili,”. Pernyataan lainnya adalah “nampaknya ada skenario untuk mengambinghitamkan. Tersangkanya saja belum pernah diperiksa, bagaimana bisa disebut kedaluwarsa?”. Pernyataan tersebut disampaikan Artidjo dalam diskusi publik “Upaya Mengungkap Misteri Pembunuhan Udin Melalui Mekanisme Pengadilan”, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis, 5 September 2013. (Kompas 6 September 2013).

Yosep Adi Prasetyo, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, mengatakan bahwa  “istilah” kedaluwarsa tidak dikenal dalam kasus pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kasus Udin termasuk kategori Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sejauh ini, terasa belum ada upaya cukup serius dari aparat penegak hokum untuk menyelesaiakn kasua Udin tersebut. Hal ini ditandai dengan molornya waktu penanganan kasus hingga mendekati 18 tahun, tidak diungkapknya actor utama pelaku pembunuhan dan tidak jelasnya alur penegakan hokum kasus tersebut. Kasus pembunuhan Udin terjadi pada pada 13 Agustus 1996. Diduga penganiayaan yang merengut nyawa Udin ini terkait dengan berita yang dia tulis di harian Bernas, di antaranya soal dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul. Setelah itu, masyarakat justru disuguhi berita tentang rekayasa kasus tersebut seakan-akan dilakukan oleh seseroang dengan alibi perselingkuhan. Namun scenario tersebut gagal karena para pelaku (yang dilibatkan dalam scenario) telah memberikan keterangan yang menunjukkan bahwa mereka dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.  

Pada kesempatan ini Pusham UII dan rekan-rekan yang peka terhadap peristiwa meninggalnya wartawan Udin di Yogyakarta akan melakukan sebuah diskusi secara mendalam untuk memformulasikan kembali temuan fakta dan konstruksi hukum yang diterapkan agar peristiwa tersebut menemukan titik temu agar dan dapat di ajukan di pengadilan sebagai jawaban atas keraguan publik terhadap institusi kepolisian terutama Polda DIY dalam keseriusan mengungkap pelaku yang sesungguhnya.

Adapun Tujuan kegiatan ini adalah :

  1. Merefleksikan kembali Kasus Udin sebagai bahan pembelajaran potret lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
  2. Mengetahui kebijakan Polda DIY akan Proses hukum terhdap “kasus Udin” yang hampir kadaluarsa.
  3. Mencari formulasi advokasi yang dapat digunakan aparat penegak hukum dalam mengungkap peristiwa tersebut, sebagai upaya perjuangan bersama antara masyarakat sipil dan kepolisian Repiblik Indonesia agar tegaknya kebenaran, tegaknya hukum dan tegaknya keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan maupun masyarakat luas khususnya insan pers dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta.
  4. Mendorong aparat penegak hukum agar melakukan kinerja sesuai dengan peraturan yang berlaku dan transparan.


Acara ini bertempat di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada tanggal 29 -30 Oktober 2013. Peserta workshop berjumlah 25 orang yang terdiri dari polisi, wartawan, LSM, Advokad, Pusat studi, dan gerakan mahasiswa. Dan Pembicara : Kapolda DIY, Heru Prasetya (Tim Investigasi Kijang Putih), Nur Ismanto (advokad senior)  dan Ari Sujito.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top